Sembilan. Hebat, kan? Akan tetapi, karena mendengar Bu Andhini bertengkar dengan adiknya, kuurungkan saja niat tadi. Terus ngumpet di depan pagar Bu Andhini. Mungkin karena itulah, ia tak ke sekolah. Agaknya, dia habis bertengkar dengan adiknya. Kebetulan tidak ada siapa-siapa di sana, hanya mereka berdua. Bu Andhini rebah. Aku, sih, terkejut juga mendengarnya. Ingin rasanya kususul ke dalam rumahnya. Akan tetapi, setelah mendengar pertengkaran mereka, kuurungkan lagi niatku. Kulihat secara berangsur- angsur orang-orang juga berlarian ke sana. Tanpa pikir panjang aku pun lari ke sana.
Bukan main terkejut jantungku melihat Bu Andhini waktu itu. Bu Andhini meninggal. Histeris, kan? Apalagi protesanku belum kesampaian. kutulis
"Kresek, kresek," terdengar suara amplop yang tadi dibuka ibu. Aku hanya diam. Bagiku, kalaupun sean- dainya dibaca ibu, itu tidak masalah. Asalkan Bu Andhini belum datang. Ternyata dugaanku benar. Ibu membacanya keras-keras. Mungkin karena sejak tadi aku hanya diam. Akan tetapi, kali ini ibu, kok, tidak nangis lagi. Kepingin bersifat tegar, kali!
"Maaf, Bu Andhini. Ini bukan laporan, karangan atau tulisan lainnya. Ini cuma tagihan janji yang pernah kita buat dulu. Maaf, kalau akhirnya aku harus mengeluarkan unek- unek yang ibu minta.”
Menemui, anggota korban keganasan Adik Kandung. Bu Andhini favorit... Sesuai dengan kriteria surat yang ibu ajarkan, awal surat
harus memakai salam. Alhamdulillah, sekarang masih diterapkan, kok, Bu.
Assalammualaikum, Apa kabar, Bu? Apakah masih ceria seperti yang dulu? Masih ngajar? Tentu, dong, iya kan, Bu? Oh ya, apakah ibu masih ingat dengan tulisan ini? Kalau ingat siapa, dong? Eh, nanya mulu dari tadi. Bongkar saja ya, pertanyaannya. Ini Putri, Bu. Ibu ingat, kan? Sampai Putri menulis surat ini, Putri baik-baik saja, Bu! Dan, Putri juga yakin melalui doa yang Putri panjatkan setiap habis salat. Ibu, Putri masih cantik seperti yang dulu. Atau mungkin
tambah cantik? Mungkin juga manis. Manis gula kali, ya. Bu
109