Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/120

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

menghadap-Nya, Ibu akan menengok Putri dan Putri harus membuat unek-unek tentang Ibu."

Aku hanya diam mendengar penuturannya. Bagiku, kata- kata menghadap-Nya adalah tanda-tanda orang akan meninggal. Dan ternyata benar. Tiga hari setelah itu, ia menghadap-Nya. Wah, ada nggak, nih, yang mau menjuluki aku Mbah Dukun. He..he..he.. Makanya sekarang aku sibuk- sibuk membuat surat kepadanya supaya dia nanti tidak marah kepadaku.

"Putri, apakah kau sadar dengan apa yang kauucapkan barusan?" ulangnya.

"Putri sadar dan Putri juga tidak gila, Bu. Putri yakin, sebentar lagi Bu Andhini pasti datang. Oh ya, salam teman- teman dan orang-orang yang mencintainya, termasuk ibu, sudah Putri tulis, kok, Bu. Pasti Bu Andhini senang nanti. Ibu nggak usah takut. Percaya, deh, sama Putri, Bu Andhini pasti datang."

Muka ibu yang sedari tadi masam, merah, dan tepatnya dikatakan gado-gado, kini berubah menjadi pucat pasi. Entah takut, entah khawatir dengan keadaanku. Dan wajar saja kalau ibu khawatir terhadap keadaanku. Ini bukannya masalah apa- apa, sih. Soalnya, kemarin ibu diejek oleh tetangga, bahwa ibu punya anak yang tidak waras. Langsung saja aku keluar dan langsung saja kutampar tetanggaku. Akan tetapi, benar- benar yakinlah tetanggaku kalau aku ini gila. Bukannya membalas.

Sebenarnya tetanggaku itu masih ada hubungan darah dengan ibu Andhini. Dia itu adiknya Bu Andhini, lho. Dia itu mirip sekali dengan Bu Andhini. Cuma bedanya adalah Bu Andhini pakai jilbab, sedangkan dia itu tidak. Kata orang, Bu Andhini dengan adiknya itu berbeda ayah. Ayah adiknya itu Cina, lho. Mungkin karena itulah ia tak pakai jilbab. Kemarin, maksudnya dua hari yang lalu, tepatnya sejak kematian Bu Andhini, dia bertengkar hebat, lho dengan Bu Andhini. Aku saja, yang baru pulang sehabis menerima rapor dan mau ke rumah Bu Andhini, melengking dibuatnya. Sebenarnya tujuanku ke sana adalah mau memprotes masalah nilai. Habis, nilai bahasa Indonesiaku dapat angka 6. Padahal, pada

penerimaan rapor sebelumnya aku tetap nilai di atas.

108