Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/12

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sebagai .bekas pembakaran jenazah. Guci ini berasal dari Fu-Kien, bagian kedua abad ke 16. Di Watampone, 10% pecahan itu berasal dari benda-benda keramik yang halus dari Cina Tengah dan Timur, ialah porselen dan tanah liat yang sudah mirip ke porselen, dari abad ke 14 dan ke 15 dari Lun Tsuan, Te-Hua awal, Ying Tsing dan Cho T’ou. "Bukan keramik untuk orang biasa" demikian kata de Flines.

Suatu eksvakasi yang sistematis dilakukan pada tahun 1970 oleh Uka Tjandrasasmita di Takalar. Eksvakasi ini disponsori oleh suatu kelompok orang terkemuka di Jakarta, Indonesia maupun asing. Tidak lama kemudian beberapa anggauta kelompok itu mendirikan Himpunan Keramik Indonesia atau menjadi anggautanya.

Meskipun benda yang ada pada penggalian itu jumlahnya tidak begitu besar (benda itu termasuk jenis yang murahan) tetapi kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian itu penting sekali. Karena pada waktu itu diperoleh bukti bahwa benda-benda keramik yang berhasil digali kembali, pernah berfungsi sebagai bekal kubur. Hingga saat itu para penggali liar setelah mengeluarkan piring-piring dan periuk-periuk dari tanah, membuang sisa-sisa manusia, sehingga mengakibatkan perpisahan antara jenazah dan bekal kuburnya.

Masa pembuatan benda-benda keramik itu adalah abad ke 15-16. Tempat asalnya: Cina dan Annam. Karena keramik itu tak begitu mahal, maka kesimpulan adalah bahwa orang yang dikubur itu orang biasa, karena orang terkemuka dikubur (abunya) di dalam guci keramik asing. Gejala ini mengingatkan kepada Anyer (lihat di atas)17), di mana orang terkemuka pada Masa Prasejarah dikubur di dalam tempayan tembikar yang tinggi, sedangkan orang biasa dikubur di dalam kuburan. Bahwasanya abu orang terkemuka pada masa sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan (awal abad ke 17) dimasukkan di dalam guci keramik asing menunjukkan bahwa pada masa itu keramik asing sudah menjadi ”status symbol” (perlambang kedudukan).

H.R. Van Heekeren18) menunjuk kepada sebuah laporan oleh L. Van Vuuren dari tahun 1912. Katanya di desa Bukaka, di bawah pohon ada sebuah guci yang dipendam di dalam tanah. Guci itu berisi abu jenazah seorang raja Bone, yang bernama Tamupaga. Tidak jauh dari tempat itu di atas bukit yang puncaknya terdiri dari tanah datar, ada sebuah guci kubur di bawah pohon juga. Isinya: abu jenazah raja Bone yang ketiga yang naik takhta pada tahun 1398. Di dalam tanah bukit ini ada beberapa guci kubur yang lain lagi.

Kelaziman membakar jenazah raja-raja Bugis telah disebut juga di dalam naskah-naskah yang ditulis oleh bangsa Bugis sendiri, yang disebut ”lontara”. Meskipun bangsa Bugis itu tidak memiliki prasasti batu dan tembaga seperti

8