Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

di Jawa tetapi mereka meninggalkan banyak naskah. Mereka mencatat semua hal-ihwal, dimulai dari tindakan-tindakan administrasi, peristiwa politik, peperangan dan hubungan keluarga. Termasuk naskah-naskah itu ada buku-buku catatan harian dan kronik-kronik. Di dalam Kronik Kerajaan Wajo (Noorduyn 1955) ada sebuah berita bahwa seorang raja diperabukan di atas kumpulan perisainya. Karena itu ia memperoleh nama anumerta: yang berbunyi: ”Matinroe rikannana” (beliau yang beristirahat di atas perisainya"). Seluruh abu jenazahnya dikumpulkan dan dimasukkan dalam sebuah guci. ”Ini mungkin perabuan yang terakhir untuk seorang raja besar di Wajo” demikianlah komentar Noorduyn”19)

Peristiwa ini terjadi pada awal pengislaman Sulawesi Selatan (awal abad 17), Raja-raja setelah masa itu yang sudah masuk Islam dikubur dan jenazahnya tidak dibakar lagi.

Hadimuljono, seorang arkeolog, pernah melihat sendiri di Soppeng pada makam raja, sepotong keramik asing yang dipakai sebagai maesan. Benda keramik asing dipecahkan pada waktu pengucapan sumpah berhubung dengan penandatanganan sebuah naskah kerjasama antara dua orang raja. ”Apabila perjanjian ini dilanggar, akan pecah, hancurlah pihak yang melanggar sumpah, perjanjian ini sampai tujuh turunan”. Pecahan keramik itu kemudian ditanam dan di atasnya didirikan batu. (Hadimuljono, 1978).20)

Bagaimana peranan Sulawesi di dalam hubungan sejarah? Daerah itu sudah lama berhubungan dengan Jawa.21) Prapanca, pengarang Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 sebagai syair pujian untuk Raja Hayamwuruk dari Majapahit menyebutkan beberapa daerah yang harus mengirim upeti ke Jawa. Salah satu kelompok terdiri dari: Bantayan, Luwuk, Uda- Katraya, Makasar, Butun, Banggawi. Kunir, Galiya dan Salayar yang dapat dikenali kembali sebagai daerah-daerah Sulawesi selatan yang pada masa itu ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Artinya para raja harus mengirim upetinya ke Majapahit, sedikitnya sekali setahun. Mungkin karena hubungan inilah ada pemakaian gelar-gelar atau nama-nama yang dipakai raja-raja di Jawa, meskipun di Sulawesi tidak ada penganut agama Hindu atau Budha. Misalnya dewa disebut dewata, raja bergelar batara. Manusia pertama yang turun dari langit adalah Batara Guru yang memperisterikan seorang wanita yang keluar dari Dunia Bawah, ialah, We Nyuli Timo (Noorduyn 1955, h. 48) Datu Luwu bergelar Dewaraja atau Raja Dewa (Noorduyn 1955, h. 70).

Mereka percaya bahwa ada Pencipta Semesta Alam yang Tunggal dan beberapa dewa yang lain. Kepercayaan itu ada juga pada suku-suku Toraja.22) Begitulah, meskipun bangsa Bugis itu bukan penganut agama Hindu dan Budda, mereka bukan ”animis” karena mereka sudah mengenal suatu panthe-

9