Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/80

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Sudah kembali abah dari rumah Wak Ramlan itu Bah?”

“Sudah, Wak Ramlan bilang sudah menyewa organ tunggal untuk alek anaknya nanti.”Suara abah lirih.

Matanya cekung lurus menyapa langit-langit. Diisapnya cerutu kuat-kuat. Asap-asap putih mengepul di udara. Berangsur-angsur hilang terbawa angin. Lenyap bersamaan dengan beban pikiran. Amak hanya terdiam, tidak kuasa lagi menjawab suara putus asa abah. Kepalanya terus menekur pada kain sarimin di tangannya. Sebentar-sebentar ia berhenti. Berdiri mendekati jendela. Menembus pandangan melalui kaca yang sebagian pecah dan retak. Menatap kaki gunung Sago yang menancap kuat hingga ke ulu hati. Padi-padi merunduk menahan beban. Sebuah serambi kayu di sudut rumah kini bisu. Kedinginan di tempatnya.

***

“Minangkabau tanpa saluang tidak bisa lagi disebut Minang. Minang akan hilang, akan tinggal kabau yang sangat sulit ditusuk hidungnya. Keras. Sama seperti hati orang-orang minang masa kini, yang tidak pernah lagi tersentuh budaya-budaya minang.”

Aku teringat percakapan dengan abah di serambi sebulan lalu. Begitu kuat budaya Minang ini mengakar ke hatinya. Lebih kuat dari akar-akar pinus yang menancap di lereng-lereng Gunung Sago.

Di-PHK dari perusahan marmer membunuh semangat hidup abah. Lebih banyak mengurung diri, seperti matahari yang kehilangan timur untuk terbit. Sejak itulah hidupku dihiasi cerita-cerita yang keluar dari bibirnya. Cerita tentang saluang sebagai budaya minang yang harus dilestarikan. Kadang kadang cerita tentang binatang buruannya yang lari ke arah rimba. Dicabik cabik sepuluh ekor anjing sekaligus.

Sering terdengar suara piring dibanting, atau gelas pecah bergeming jika perburuannya gagal.

68