Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/79

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

hidup mengendap-endap dalam semesta yang lembab. Merayap-rayap dalam gelap. Maklum listrik memang belum sempat menyentuh kampung kami. Sering terbayang dalam fikiran untuk kembali hidup berkecukupan. Sering aku mendengar sendok berdenting menyentuh piring. Decak mulut yang dipenuhi makanan dan sendawa. Berbincang-bincang sambil menonton televisi. Semua adalah hayal yang bermedan dalam frustasi.

Di rumah kayu inilah kami hidup dan bernapas. Bergerak dan beraktivitas. Pada mulanya memang terasa menyiksa. Punggung terasa pegal bangun di pagi hari, karena harus tidur di atas dipan beralaskan kayu dan jerami. Meskipun selalu kedinginan, alhamdulillah kami masih bisa makan. Meskipun kadang cuma sekali sehari. Hasil pekerjaan amak sebagai petani garapan tidaklah seberapa. Dengan kebiasaan menyisihkan segenggam beras setiap kali menanak mampu menjadi penolong ketika beras dalam buntil benar-benar telah habis.

Bila memang tidak ada yang akan dimakan, amak biasanya akan membacakan sajak untukku. Kamipun akan terlelap dalam rintihan perut menahan lapar.

Coba lihat Nak,coba lihat
Karung beras yang menganga disudut lumbung
Dan periuk kita menggelegak menanak remah harapan
Akan Kau dengar anakku, deraman-deraman nakal disisi
lambungmu
Coba lihat Nak
Bara kehilangan api
Cerobong kehilangan asap
Buntil-buntil melapuk dimakan cuaca
Tapi cukuplah anakku, keringat putihmu yang kau rasai
Dan dingin jemariku menyentuhmu hingga esok pagi

***

67