Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/81

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Harusnya abah bekerja bukannya menghabiskan waktu untuk berburu yang tidak ada manfaatnya.”

“Jangan Kau menceramahiku Sum.”

Plakk.

Tempeleng itu meluncur bak roket berkekuatan 235 km per jam. Maka akan terdengar suara pintu dibanting. Tangis amak akan pecah menyapu langit.

Jati diri abah perlahan muncul semenjak bergabung dengan grup randai Haji Romlan sebagai pemain saluang. Grup ini begitu tenar di masyarakat. Tapi cuma dua tahun, sebelum organ tunggal memasuki kampung kami. Banyak grup-grup saluang dan randai mulai gulung tikar. Sekarang, di mana ada perhelatan pasti akan dihiasi dengan organ tunggal. Penduduk kampung akan membawa anak-anak mereka untuk menonton, bahkan sampai bergadang hingga larut malam. Yang mereka saksikan bukanlah musik atau nyanyiannya, tapi artis-artis berpakaian seksi yang meliuk-liuk di atas pentas. Kalaupun ada acara saluang paling yang akan menonton hanyalah bapak-bapak tua yang memang hatinya telah melekat dengan saluang. Biasanya yang masih bersedia memanggil saluang untuk helat hanyalah penduduk yang ekonomi rendah yang tidak mampu memanggil organ tunggal yang ongkos sewannya jutaan. Berbeda dengan saluang yang hanya dihargai tujuh ratus ribu dari malam sampai pagi. Hasil itupun harus dibagi dengan tujuh orang teman abah. Situasi itulah yang membuat tawa di rumah ini sering terbenam. Hanya ada murung. Dingin dan sepi. Semua dibungkus perasaan temaram.

Aku duduk menjuntai di pinggir serambi. Terlihat rambut putih abah mengkilap tertimpa cahaya senja. Perlahan abah meniup ditangannya. Irama irama semesta mengalun. Suara yang keluar begitu menyedihkan. Menyayat. Tidak menyisakan ruang kegembiraan untuk selarik senyum yang kurindukan.

***

69