Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/74

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

akan tetap memegang teguh adat busuk itu dan membiarkanku mati tanpa ada yang merawatku dalam keadaanku yang seperti ini? Ingin sekali rasanya untuk mengakhiri hidup ini, tapi pikiranku tidak sedangkal itu. Aku harus kuat. Masih ada yang menyayangiku, Tuhanku.

Satu bulan sudah aku bertahan. Keadaanku tidak selemah kemarin. Rasa syukur mengalir dalam setiap doaku. Aku berdiri di ambang jendela, menatap ke luar. Pikiranku melayang pada sosok Ritu. Dimana dia saat ini? Tapi, ah, untuk apa aku memikirkannya lagi. Barangkali dia telah menemukan penggantiku. Adat yang pahit lagi, suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya, bahkan untuk menikah lagi tanpa seizin istri pertamanya, juga untuk meninggalkan istrinya begitu saja. Pernikahan yang bukan pernikahan pertama tidak diadakan di Tabina, semua berlangsung di rumah kepala adat.

Sementara istri-istri itu pun boleh mencari pengganti suaminya yang pergi. Tapi bagaimana? Sementara mereka tidak diizinkan untuk hadir dalam acara pokoro. Jalan keluar satu-satunya adalah menunggu seorang laki-laki lagi untuk membawanya ke rumah kepala adat. Tanpa kepastian, perceraian atau damai, seperti aku dan Ritu.

Aku tetap sabar menunggu dan tegar menghadapi semua cobaan hingga cercaan untukku. Aku perempuan tidak laku. Begitu ejekkan masyarakat kampung. Tidak apa, aku tidak sendiri, aku bersama Tuhanku. Jodohku di tangan-Nya dan belum dipertemukan denganku, itu keyakinanku.

*** 

Dua tahun berlalu, Ritu tengah menggendong anak perempuannya dengan Nakna, gadis yang ia nikahi di rumah kepala adat. Begitu manis. Bukan Ritu ataupun Nakna yang ku maksud, tapi anak mereka dengan tawanya. "Semoga saja dia dan anak-anak kecil lainnya tidak lagi hidup di zaman

62