Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/99

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

itu datang dari pembaca kritis yang (terkesan) menolak kehadiran cerpen tersebut. Namun, ada pula tanggapan yang berusaha menengahi segala komentar yang muncul akibat dari hadirnya cerpen tersebut. Tanggapan yang bersifat pro dan kontra itu justru menjadikan karya Harris Effendi Thahar menjadi karya yang cukup fenomenal. Pada bagian ini penulis mencoba menampilkan beberapa tanggapan pembaca sehubungan dengan cerpen “Si Padang” yang sebagian besar dimuat di Kompas.

Edizal, seorang pembaca karya Haris Effendi Thahar, memberi komentar mengenai cerpen “Si Padang” karya Haris Effendi Thahar yang penulis kutip dari Kompas edisi 21 September 1986. Dengan kegundahgulanaan dan ketidakpercayaan, Edizal mengapresiasi cerpen tersebut. Berikut, pendapat Edizal.

“Saya tidak yakin karya fiksi yang digambarkan penulis merupakan bayangan dari sebagian kecil masyarakat Minang di rantau yang telah mengingkari nilai-nilai yang dibawanya. Anak-anak Minang, seperti yang diutarakan juga oleh Uda Harris, diharuskan dengan ketat belajar agama sejak kecil pada seorang kiai dan biasanya mereka langsung tidur di rumah kiai tersebut. Sesuai dengan perubahan-perubahan sosial pada masyarakat, tampaknya kebiasaan belajar agama di rumah seorang kiai sudah tidak ada lagi di beberapa kota, akan tetapi di kampung-kampung hal ini tetap berjalan.

“Di samping itu, para guru maupun orang tua selalu mengajari serta menanamkan norma-norma bermasyarakat 'Berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki' dan ini sudah mendarah daging bagi mereka. Meskipun di rantau mereka menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 'Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung', nilai-nilai yang telah mereka anut tetap dipertahankan. Kalau ada yang melanggar nilai-nilai ini, mereka akan tersisih dari pergaulan dan di kampung sendiri tidak akan diterima sebagaimana mestinya.

“Saya pribadi tidak menyangkal adanya kemungkinan hal demikian terjadi pada satu dua orang dan adalah wajar sebagai manusia biasa. Akan tetapi, kurang wajar mengekspos setitik nila dalam sebelanga madu. Mudah-mudahan khayalan belaka bagi penulis.”

Meuthia Ganie Rochman, dari FISIP UI memberi komentar yang dimuat Kompas edisi 23 September 1986, tentang cerpen “Si Padang” dengan lebih pedas. Kritikan Meuthia seperti terurai berikut ini.

“Sehubungan dengan dimuatnya cerita pendek dalam Kompas Minggu 14 Desember 1986 berjudul “Si Padang”, saya ingin menanggapi

87