Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/47

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Rusli menyuarakan keprihatinan pascaperang melalui pengamatannya terhadap Pantai Padang. Ia teringat kepada bekas lubang pertahanan di masa perang (PRRI-Permesta). Ia teringat pula ketika kapal-kapal yang sarat berisi mesiu didatangkan dari pusat (Jakarta) untuk memerangi saudara sebangsa di Sumatra Tengah. Ia teringat kepada baju hijaunya karena ia termasuk pelaku pemberontakan itu dan Ia pun melihat senjata api menjadi besi-besi tua pascapeperangan itu. Ia seperti mencibirkan penyelesaian perang saudara dengan seremoni menabur bunga di atas pusara para tentara PRRI-Permesta, seolah-olah dengan demikian persoalan selesai dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah itu kehilangan semangatnya, ibarat bara api yang sudah dingin. Persoalan sederhana ini diungkapkan dengan menampilkan kata-kata yang sederhana pula di dalam puisi “Pantai Padang” berikut.


PANTAI PADANG (1967)

Pantai Padang, bekas lubang
Pertahanan perang
Laut kaca diriku
Laut membisu, engkau tersedu
Di musim kemarau dulu. Kita
Anak-angk dengan senjata dan peluru
Kapal-kapal serat mesiu
Baju hijau, geletak besi tua
Kau tabur bunga, kutabur bunga
Sesudah peristiwa
Sesudah mengusap muka
Bara dingin


Beberapa puisi Rusli Marzuki Saria juga mengungkapkan persoalan yang ditemukan dalam kaba (cerita rekaan klasik Minangkabau). Ia sering menulis puisi yang berstruktur dan berjudul Seperti kaba. Pengaruh kaba dalam puisi Rusli Marzuki Saria wajar terjadi karena intensitas kehidupan dan wawasannya terhadap tradisi kesastraan lisan Minangkabau, Puisi “"Mangkutak” berisi nukilan Kaba Sabai Nan Aluih yang dicantumkannya sebagai catatan kaki. //Aku simangkutak pulang petang/setelah bermain ;ayang layang. /pematang gelanggang alangkah tamai/semusim tuak tua/semusim adu ayam silangkaneh// (pembuat onar).


35