Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/37

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Pengertian napas keagamaan pada tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk membicarakan puisi Rusli Marzuki Saria yang mempermasalahkan agama secara tuntas dengan segala seluk-beluknya atau petunjuk yang mengajak manusia untuk beriman, beribadat, dan sejenisnya. Penyair tidak hendak berkotbah karena di dalam puisi-puisinya ia lebih cendrung menempatkan masalah agama/kepercayaan sebagai tempat penyerahan diri (yang terakhir) untuk bisa lepas dari berbagai persoalan hidup yang mengimpit. Rusii menempatkan seluruh persoalan hidup sebagai suatu takdir dari-Nya. Oleh karena itu, tiadalah dijumpai sebuah pun puisi yang mempersoalkan agama sebagai ajang dakwah yang dimaksudkan menggugah iman seseorang setelah membacanya.


Bertolak dari kehadiran puisi-puisi yang tidak mempersoalkan agama secara hakikat, tetapi sebagai tempat penyerahan diri dalam memecahkan persoalan hidup, dalam beberapa puisinya ditemui sosok penyair yang berusaha menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Di samping menerima semua persoalan hidup sebagai takdir-Nya, juga diperlihatkan upaya untuk memperbaiki pola hidup dengan memanjatkan doa-doa kepada Tuhan. Puisi Rusli yang mengungkapkan hal itu adalah “Yang Tak Lupa”, “Ketika Aku Jadi Takut”, “Desa Kehadiran”, “Selamat Malam Ya Malaikat”, “Selamat Malam Ya Tuhan”, dan “Do'a Seseorang Petani”.


Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan bengkalai kerja yang bertampuk-tumpuk. Hat itu sering menyeret kita sampai ke ujung kenestapaan. Manusia berada dalam lingkar kehudupan nestapa itu, Rusli menggambarkan dengan sudut pandang "aku", //kelambu nestapa diriku dalamnya//. Kendati demikian, amnusia harus tetap gigih menggenggam tali kehidupan agar terhindur dari kenestapaan, meskipun usaha itu tidak kunjung juga membawa keberhasilan, Sang “aku” dalam sajak itu selalu tdak bisa menumpas rasa Japar yang melilit sekujur tubuhnya. Kelaparan selalu datang di saat-saat penting, seperti di tengah berkecamuknya pemberontakan. Sebuah pemberontakan adalah sebuah kemalangan. Rush merasakan bahwa seusai pemberontakan akan banyak sekali sesal yang timbul oleh kematangan dari pemberontakan itu, Akhirnya, penyair mengembalikan segalanya sebagai takdir dari-Nya.

23