Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/35

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

musim silih berganti yang tua merenda angan
aku mengayam tikar
aku belajar pada sangkar
Bertahun-tahun menanti
burung-burung yang terbang
lepas entah ke mana
Musim datang lagi
pengalaman menyihh lagi
angin datang lagi bersama intuisiku
terbang lagi
aku bertenun kehidupan dari hari ke hari membuat jaring
dengan teliti
aku pilih laut aku pilih sungai kau pilih danau
aku senang lihat adu tinju aku senang main dadu nasib
tersenyum di situ
aku senang pada telor masa depan
ada di situ
aku senang nenek nyinyir
kearifan tersembunyi di situ
membalik sungai aku tak mau menjunjung gunung aku tak mau
mengurung angin aku tak mau mengurung burung aku terkurung...


Bait pertama pada puisi di alas memperlihatkan suasana resahnya hati Rush Marzuki Saria. Hal itu dilukiskan sebagai //aku menanti gagak jadi putih/menanti kuda bertanduk/ dan minta telor pada kerbau//. Keadaan yang dilukiskan di sajak ini memberi kesan bahwa yang diungkapkan adalah tentang keinginan yang mustahil akan terkabul. Semua burung gapak bulunya berwama putih, tdak pemah ada kuda yang hertanduk, dan kerbau pun tidak akan mungkin bertelur, tetapi tutah yang sedang ditunggu Rusli Marzuki Saria, sesuatu keajaiban yang tidak akan pemah terwujud.


Ketika membaca bait kedua puisi di atas, spontan kita tersentak dari keterlenaan bahwa sesungguhnya suasana keresahan hati Rusli Marzuki Sana terhadap masa depannya bukanlah hanya sebatas menunggu hadirnya hal yang mustahil. Ia ternyata belajar menyadari kehidupan yang hakiki bahwa keadaan mesti diubah bukan untuk dikhayalkan. Ia mesti mempunyai kesabaran dengan “menganyam tikar/belajar pnda sangkar yang bertahun-tahun menanti burung yang terbang


21