Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/167

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

tumbuh
gugur

berselisih laku, orang-orang kembali
pindah dari satu rumah ke lain rumah, menyemai benih
dari satu ladang ke lain ladang. tetapi, hanya bau tanah
dan napasmu: daging, daging

oh, anyirnya darah

”beri aku akar,” ujarmu. padahal kita telah diberi biji
”beri aku daging,” rakusmu. padahal kita telah diberi ruh
keabadian

berselisih laku, aku kembali
ke pengaduan—di penyeberangan, orang-orang
menghilirkan
doanya yang kacau dan pedih, dalam sangkar-sangkar

(Payakumbuh, 1988— Jakarta, 19909)

Puisi “Sangkar Daging” di atas jelas menyoroti problema perjuangan manusia ke alam keabadian yang menurut pandangan Gus penuh dengan liku-liku dan godaan dunia yang bermacam-macam pula. Semua manusia harus mampu menempuh jalan hidupnya masing-masing yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.

Dengan menggunakan lirik yang panjang, Gus mengungkapkan pikirannya dengan jelas, tetapi tetap dengan jeda puisinya yang pendek-pendek sesuai dengan kekhasannya dan gayanya karena memang di situlah dunia dan kejiwaan Gus sebagai seorang penyair dalam melahirkan karyanya. Di dalam buku Ketika Kata Ketika Warna (In Words in Colours), yang diterbitkan oleh Yayasan Ananda dalam rangka memperingati Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia dan memuat karya 50 penyair Indonesia sejak Hamzah Fansuri, pada acara itu, Gus merupakan penyair paling muda.

Gus, yang dalam usia 22 tahun diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Forum Puisi Indonesia 1987 dan sejak itu mulai Sering menghadiri berbagai pertemuan penyair, di antaranya “Istiqlal

155