Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/166

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


puisi. Ini terlihat dari penjungkir-balikkan makna yang dilakukan bukan untuk beraneh-aneh, namun sebaliknya mendatangkan makna baru, bahkan sejumlah makna baru. Kata stasiun sebagai lambang (bukan tanda!) sering dan selalu digunakan. Di tangan Gus tf, kata tersebut menemukan makna baru, bahkan dihidupkan sehingga seolah-olah menjadi makhluk yang mempunyai roh. Pada hakikatnya seorang penyair memang memberi “roh” bagi kata atau penyair menciptakan kata, menghidupkan bahasa.
 Keempat bait (masing-masing terdiri atas lima, lima, dua, dua dan satu baris) bahkan setiap kalimat atau frasa (dua pada bait satu, dua dan tiga) sajak “Menunggu” ini dimulai dengan kata barangkali. (Walaupun barangkali scdang menunggu yang lupa// (baris dan bait akhir) sebagai jawaban langsung terhadap pertanyaan /sedang menunggu siapa?/ Dalam puisi “Menurggu” ini terdapat semangat dan optimisme yang tentu saja bertolak dari sikap hidup yang jelas (yang dipaparkan dan didukung oleh kalimat-kalimat aktif). Semangat dan optimisme dipilih dan ditentukan setelah /bertengkar dengan begitu seru/ pada bait pertama dan lalu menantang untuk berlomba menunggu/ pada bait dua.
 Citraan-citraan itu sengaja dipetik untuk mengukuhkan perjuangan penyair dalam menghadirkan suasana menunggu walaupun tidak memerlukan penjelasan, tetapi tentu saja bisa dirasakan. Dalam kata-kata sehari-hari, sering kita ujarkan “menunggu ita membosankan”. Betapa lagi pekerjaan 1u adalah “menunggu yang lupa” merupakan suatu aktivitas yang dapat memeras daya ingat secara hebat dan menuntut kesabaran yang tinggi sekali. Hal itu berarti jika diaplikasikan dalam kescharian manusia dan merupakan fenomena yang universal.
 Puisi-puisi Gus memang kaya akan nilai kerohanian meskipun hal itu dilukiskannya secara tersirat atau hanya menyembul keluar dari jiwa puisinya serta dipadu dengan nilai-nilai sosial yang kental dan bersahaja. Puisi “Sangkar Daging” barangkali bisa menguatkan hal itu.


SANGKAR DAGING

berselisih laku, aka kcmbali
ke pelangkahan-di pembenihan, orang-orang mengaji
ihwal akar dan daun

154