Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/129

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Tidak ada momen yang menjadi penanda khusus pada alur novel Bako. Tidak ada peristiwa-peristiwa yang memunculkan bentrokan antara dua kekuatan yang bersaing dan berpontensi menciptakan klimaks. Ketidakmengertian Gaek terhadap prilaku Ibu yang dengan suka rela dan dengan tumitnya yang telah rusak oleh luka. memasukkan air sawah pada dinihari, mengakhiri cerita ini tanpa konflik, tanpa klimaks.

“Dan pula, gaekku menemukan kelegaan kecil yang lain lagi ketika menyadari bahwa genangan air itu bukanlah semata persiapan air yang ia sediakan kemarin. Tapi pekerjaan ibuku yang memasukan air ke sawah itu di Subuh buta ketika burung hantu mesih berbunyi-bunyi di pokok beringin sana.

“Pada suatu pagi, gaekku tidak pergi ke pancuran, dan artinya ia tidak minum-pagi di Iepau, tetapi langsung ke sawah.

““Kenapa bini si Guru terus saja ke sawah Subuh-Subuh?”, tanyanya di dalam hati, dalam perjalanan. Untung ada bulan-dini neremangi pematang. Sehingga dengan langkah-langkah yang pas ia bisa berjalan lebih pasti, tak canggung akan masuk bandar.

“Pada beberapa piring sawah sebelum sampai di sawahnya, ia menampak sesosok tubuh di dekat munggu. Darahnya berdesir, bulu kuduknya bergidik, jangan-jangan itu adalah maling atau apa. Tetapi ia melanjutkan juga perjalanan. Dan ketika sudah dekat, ia tersintak, dan Sanubarinya tersentuh, yang berada disana adalah ibuku.

“Mengapa ia datang kesini pagir-pagi begini? pikirnya dalam hati lega. Ketika sudah berada pada jarak beberapa depa, pikiran itu ia dengungkan dalam satu kalimat tanya yang benar-benar ingin tahu.

““Tapi memasukan air,” balas ibu tertawa, mundur beberapa langkah dan berbalik, seperti hendak meninggalkan persawahan itu.

“Biar aku saja yang bekerja membenahi sawah ini. Tak usahlah kau datang Subuh-subuh seperti ini,” usul gaek ramah. Ada bunyi jengkerik bersahut-sahutan, hampir hilang ditelan suara katak yang entah merindukan apa.

““Entah gila!” seru ibu pasti dan meJangkahkan kakinya, meninggalkan kakek, meninggalkan medan persawahan. Ia tidak Menoleh lagi, sedikitpun tidak. Dan gaekku terpana. Heran, sedih, dan Serba-takmengerti adalah perasaan-perasaan yang berbaur di dalam dirinya,

“Ia biarkan saja udara dingin memaguti sekujur tubuhnya.

“Dan ia pun pulang. (Bako, 1983:101-—102)

117