Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/128

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat

begitu, ditambah lagi dengan statusnya yang sudah janda ketika dinikahi ayah Man. Penyakit maruyan atau postnatal syndrome, yakni gangguan psikologis setelah melahirkan memperparah depresi ibu sehingga membuatnya menjadi gila.

 Aku mengalami cacat di kakinya akibat penyakit polio yang diderita sewaktu bayi. Umi memperlakukannya dengan kasih sayang seorang ibu, apalagi Umi tidak memiliki anak dan keluarganya tergolong punah. Bak Tuo, kakak kandung ayah memperlakukannya pula dengan baik. Apalagi Gaek yang sebetulnya bukan anggota keluarga, ia hanya seorang bijak yang dianggap mamak karena kepribadiannya yang luhur, sering membawa Aku mengenal alam dan kehidupan. Gambaran tokoh Gaek tampak dalam kutipan di bawah ini.

 Umi menceritakan, gaek adalah seorang laki-laki dari keluarga lain yang pertaliannya dengan umi hampir-hampir sudah tidak jelas lagi. Kalau tidak sekampung, mungkin saja di antara mereka tidak terkait rasa apa-apa. Entah kalau pada mereka, muncul suatu rasa kebangsaan dan nasionalisme yang kuat dan tinggi. Tapi yang terjadi sungguh lain. Aku tidak menyangka bahwa Gaek adalah laki-laki pendatang.

 “Dulu,” ujar umi,”ia memunyai keluarga yang amat miskin. Sedih sekali aku melihatnya. Dan ia sering, malahan selalu mengerjakan sawah-sawah kita. Aku menyenangi justru ia tidak banyak tingkah dan rajin. Ia tidak berbicara mengenai upah, berapa diberi diterimanya sehinggga pada akhirnya aku sudah menjadikannya sebagai salah seorang anggota keluarga kita. Sampai kini. (Bako, 1983:96)

 Alur novel Bako mengalir dengan datar, dimulai dengan gaya sorot balik (flash back), yaitu ketika menceritakan nasib sebuah biola yang berdebu. Kisah diolah kemudian menjadi pengantar kepada kisah ayah dengan pernikahannya, kehidupan rumah tangga ayah, nasib Aku beribukan seorang perempuan gila, dan nuansa hidup seorang anak pisang di rumah bako.

 Penerimaan anggota keluarga bako terhadap anak pisang dan ipar perempuan yang sebenarnya adalah sebuah ketidaklaziman di M, dalam novel ini tidak menghadirkan konflik. Padahal, semestinya ketidaklaziman yang terjadi adalah sebuah kekuatan besar pemicu konflik pada cerita ini. Tidak ada konflik yang tajam pada cerita ini, kecuali peristiwa-peristiwa kecil yang tidak mempengaruhi alur cerita ini secara keseluruhan. Aku hidup dengan damai bersama bako yang juga dengan rela menerimanya.

116