Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/104

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

hubungan antara kejadian dan tempat-tempat yang konkret sehingga menambah kekonkretan realitas. Pembaca atau pendengar kaba akan beranggapan bahwa yang didengar atau dibacanya adalah suatu peristiwa konkret yang tidak disertai imajinasi pengarangnya. "Hikayat Cindur Mato", sebuah kaba yang sangat legendaris di Minangkabau banyak dikatakan orang Minang bahwa itu adalah kisah di seputar kerajaan Minangkabau. Bundo Kandung, salah seorang tokoh dalam legenda tersebut diyakini sebagai raja Minangkabau yang matrilineal itu. Banyak legenda lainnya, seperti "Anggun Nan Tongga", "Sabai Nan Aluili”, bahkan dongeng "Malin Kundang" yang tersohor itu pun dianggap sebagai suatu peristiwa nyata yang pernah bersentuhan dengan kehidupan orang Minangkabau. Di zaman sastra modern Minangkabau, roman "Sitti Nurbaya" karya Marah Rusli juga dihubungkan dengan realitas hidup orang Minangkabau. Bahkan, sebuah taman wisata di kota Padang dinamai "Taman Sitti Nurbaya."


"Selain masalah di atas, ada hal lain yang mungkin menimbulkan "konflik" antara seorang pengarang dengan pembaca karyanya. Yang terakhir ini disebabkan perbedaan pola berpikir di antara keduanya. Umar Junus, seorang kritikus sastra Indonesia/Malaysia mengatakan bahwa pola pemikiran di antara kedua unsur itu semakin terasa jaraknya. Hal ini dimungkinkan karena di antara keduanya terdapat jurang pemisah. Dunia pembaca, menurut Umar Junus, merupakan dunia yang tidak kreatif karena ia hanya lebih merupakan pemakai atau pengguna. Kemungkinan kreatif yang mungkin ada dalam diri mereka hanya kesanggupan memberi reaksi yang positif terhadap kreasi baru.


"Sebaliknya, dunia pengarang tidak dapat dilepaskan dari proses kreatif sehingga selalu akan terjadi pembaharuan. Pembaharuan ini kadang-kadang terlalu maju sehingga pembaca mesti melepaskan sama sekali kerangka pemikiran yang dipunyainya sebelumnya untuk dapat memberi reaksi yang positif terhadap karya tersebut. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah cerpen "Si Padang" itu sebuah realitas yang diangkat ke imajinasi si pengarang belaka?


"Tentunya hanya Harris Effendi Thahar yang tahu masalahnya. Tetapi, sebagai orang yang menyukai tulisan-tulisan fiksi semacam itu, dan sesekali juga mencoba membuatnya, saya lebih cenderung mengatakan bahwa Harris hanya merangkai-rangkai angan-angannya saja. Tokoh yang dihormati orang di kampung halaman dan kemudian ternyata seorang munafik di rantau itu adalah tokoh rekaan Harris belaka.92