Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/103

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

memelihara lidah dan berjalan memelihara langkah. Surat lainnya menuduh Harris Effendi Thahar telah menyebar gosip yang hanya melihat kulit luar seseorang saja. “Kejadian dalam cerita tersebut—tempat seorang tokoh dihormati di tanah Minangkabau ternyata seorang yang suka berbuat maksiat, munafik, dan memunyai anak yang amoral, tempat rumah tokoh tersebut mirip terminal burung dara, yang penghuninya hampir tidak penah bertemu-adalah sangat tidak wajar, dalam arti kejadian tersebut sangat sukar ditemui”. Protes yang dilakukan itu sedang mengganyang sesuatu yang ada, tetapi pada hakikatnya juga tidak ada. Mereka memprotes “perlakuan” Harris Effendi Thahar yang membuat malu tokoh “orang Minang” tersebut, kendati “memang” perbuatannya sangat tercela. Mengapa demikian?

“Bila dilihat sikap protes yang ditunjukkannya, kita berkesimpulan bahwa yang melakukan protes tersebut adalah orang Minangkabau, atau Sekurangnya orang yang dibesarkan oleh subkultur Minangkabau dan Mereka merasa tercoreng arang di keningnya. Yang lebih penting lagi, mereka telah mengangkat cerpen tersebut ke dunia realita mereka. Cerpen tersebut dinilai sebagai suatu peristiwa konkret dan nyata tentang kehidupan manusia Minangkabau. Akibatnya, mereka ikut dipermalukan. Mengapa ada orang Minangkabau yang seburuk itu tabiatnya, semunafik itu hidupnya, di antara mereka yang sangat bangga akan ajaran budi luhur tradisi mereka.

“Bila demikian halnya, terlepas dari apakah cerpen “Si Padang” itu diangkat dari realitas yang benar-benar terjadi atau tidak, sebaiknya kita sorot sedikit latar belakang sastra Minangkabau yang sedikit banyaknya akan membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa reaksi-reaksi di atas tadi bisa dimaklumi adanya. Awal dari tradisi sastra Minangkabau dimulai dari kaba. Merupakan kisah-kisah tradisinal Minangkabau yang sering dikaitkan dengan realitas hidup orang Minangkabau sendiri. Pada mulanya kaba ini hanya menjadi cerita lisan yang biasanya dikisahkan oleh orang-orang tertentu dalam acara-acara tertentu pula. Pembawa cerita ini biasa disebut “janang”. Pada satu segi, fungsi “janang” ini bisa disamakan dengan “dalang” di Jawa. Hanya saja “janang” hanya bertutur saja, tanpa bantuan peragaan seperti wayang kulit, wayang golek, atau sejenisnya.

“Kisah-kisah kaba ini punya kecenderungan untuk menghubungkan Ceritanya dengan suatu peristiwa nyata. Penutur atau pembacanya seakan

dihadapkan kepada realitas konkret. Hal itu masih diperkuat pula dengan

91