Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/102

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

bahwa yang membaca karya Anda bukanlah semua orang yang mengakui otonomi karya sastra.”

Yesmil Anwar, S.H., seorang pembaca Kompas dari Bandung memberi komentar berikut ini tentang cerpen “Si Padang”.

“Keputusan Kompas memuat cerpen “Si Padang” karya Harris Effendi Thahar sangat simpatik. Saya ingin sekali menanggapi surat yang dimuat tersebut. Saya hanya ingin bertanya: “Mengapa Anda berdua malu bercermin?” Bukankah urang awak, suku yang berjiwa besar? Ibarat kita keluar dari restoran Padang setelah makan kenyang, lalu tanpa sengaja ada serpihan kulit cabe yang menempel di sela-sela gigi sementara itu kita tak mengetahuinya, sedangkan orang lain ris: melihatnya ketika kita asyik bicara dan tersenyum. Kita perlu cermin dan sebuah dongkrak untuk membuat senyum kita cemerlang kembali.”

Ir, Masfazil Maas, juga seorang pembaca Kompas dari Bandung memberi komentar berikut ini melalui Kompas, 5 Oktober 1986.

“Cerpen Harris Effendi Thahar “Si Padang” mungkin ada benarnya. Setahu saya, kalau hanya menulis cerpen tidaklah mutlak didukung suatu data otentik, lain halnya dengan hasil sebuah penelitian. Kita janganlah menyalahkan pengarang, tetapi simaklah hasil karangannya itu. Isi karangannya baik, memberi masukan baru bagi kita semua dan keluarga Minang pada khususnya, yang berdampak positif. Kita perlu lebih waspada dan introspeksi diri.

“Ada ataupun tidak ada kejadian yang identik dengan isi cerpen itu, tidaklah perlu kita permasalahkan. Sewajarnyalah kita acungkan jempol kepada pengarang “Si Padang” yang telah berani memberikan imbauan, supaya cerita seperti itu jangan sampai terjadi dalam keluarga Minang. Kalaupun kejadian seperti itu memang ada, hendaknya kita jangan menutup mata, tetapi kita berusaha mengatasi agar kejadian seperti itu jangan sampai meluas. Kita harus tegakkan adat Minang yang luhur ita, seperti kata pepatah Anak dipangku kemenakan dibimbing.”

Dasriel Rasmala, seorang wartawan dan juga sastrawan menulis tanggapannya terhadap polemik yang muncul akibat hadirnya cerpen “Si Padang”. Tulisan itu dimuat dalam Pelita, 17 Desember 1986. Berikut ini petikan tulisan tersebut.

“Ketika cerpen “Si Padang” dimuat di Kompas Minggu, 14/9/1986, banyak reaksi yang muncul. Di antaranya mengatakan bahwa cerpen tersebut telah mencorengkan arang di kening orang Minang. Padahal, menurut penulis surat itu, orang Minangkabau selalu berbicara
90