Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/101

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi don Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

sering muncul di Kompas Minggu. Tetapi dengan kasus ini, HET telah merusak citranya sendiri. “Si Padang” betul-betul telah mendarah daging bagi dirinya sendiri. Dalam hal yang negatifnya.

“Kalau melihat usia HET, dia masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Tidak usah meniru Chairil Anwar, yang berprestasi, tetapi dengan berbagai pemaafan dari pengagumnya bahkan H.B. Jassin, kekeliruannya tidak juga dapat membersihkan dirinya.”

Sugeng Riyanto, seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Juga turut mewarnai pro dan kontra mengenai cerpen itu. Berikut pandangan Sugeng sehubungan dengan kehadiran cerpen “Si Padang”.

“Sampai tulisan ini dibuat, cerpen “Si Padang” (Kompas Minggu 14 September 1986), sudah “dikritik” dua kali. Gejala yang cukup menarik, paling tidak minat masyarakat terhadap karya sastra cukup bisa dibanggakan. Sayang sekali “kritik-kritik” tersebut sebenarnya tidak perlu bila kita sadar bahwa karya sastra itu punya otonomi. Karya sastra harus kita terima sebagai karya sastra karena ia memiliki dunia sendiri, memiliki aturan-aturan sendiri yang berbeda dengan karya-karya tulis lain.

“Apabila kita menghadapi sebuah karya sastra, maka yang disungguhkan kepada kita adalah dunia kenyataan pencerita. Dunia yang harus dibedakan dengan kenyatan yang sebenarnya. Jika ada persamaan antara dua dunia tersebut, maka itu merupakan kebetulan saja. Karya sastra bukanlah salah satu penelitian, tapi hasil imajinasi pengarang, hasil rekaan (fiksi). Untuk itu, imajinasi harus kita hadapi dengan imajinasi pula, jangan kita tanggapi dengan salah-benar.

“Juga setelah membaca cerpen “Si Padang” ini, kita jangan lantas beranggapan bahwa memang ada orang Padang seperti yang diceritakan pencerita. Mungkin ada, tapi ini tidaklah relevan. Yang jelas pencerita menyungguhkan tokoh-tokoh yang diberi watak dan dengan gayanya yang memukau, membuat kita—pembaca—bisa terlena dan lupa bahwa kita menghadapi suatu hasil imajinasi belaka. Orang awam memang sulit menerima ini. Tapi bila kita ingat bahwa yang disuguhkan pada kita adalah karya imajinasi, masalahnya tidak akan semakin rumit. Kita tidak lantas merefleksikannya dengan kenyataan sebenarnya.

“Pengarang cerpen “Si Padang” mungkin lupa bahwa otonomi karya sastra di Indonesia belum begitu mendapat tempat selayaknya. Jadi, hendaklah jangan berbebas-bebas dalam menulis, Anda harus ingat

89