Laki-laki Madura sangat menjunjung tinggi rasa hormat, tidak mengherankan jika muncul kasus-kasus carok sebagai 'ganti rugi' atau 'pembayaran' secara sosial untuk mengembalikan harga diri dan menghapus todhus dan/atau malo pada seseorang yang membuat diri orang Madura tersebut merasa malu. Jika todhus berarti malu dalam pengertian etika, maka malo berarti malu dalam kaitannya dengan penghinaan dan harga diri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wiyata (2002), terungkap bahwa seringkali, bahkan mayoritas (60,4%) kasus carok terjadi karena rasa malo yang terkait dengan masalah perempuan, sehingga jika orang lain terkait dengan urusan perempuan, maka hal tersebut dianggap menginjak-injak harga dirinya, dan hanya ada satu jalan dalam memperbaiki harga diri: carok. Tindakan carok yang dilakukan karena motif pelecehan istri tidak hanya mendapatkan izin sosial, tetapi juga dorongan dari lingkungan sekitarnya.
Perempuan menjadi 'milik' si suami sepenuhnya, berada di bawah pengawasannya. Kepemimpinan mutlak ada di tangan suami (laki-laki). Laki- laki lah yang berhak menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan karena perempuan adalah miliknya. Karena perempuan menjadi pusat harga diri laki-laki, maka perempuan menjadi makhluk yang diproteksi, diawasi, dan dimiliki oleh laki-laki. Pengawasan terhadap perempuan dapat terlihat dengan jelas pada pola permukiman tanean lanjhang yang merupakan kelompok pemukiman yang dihuni oleh keluarga batih yang isolatif dari kelompok pemukiman lain.
Tentu saja adanya opresi terhadap perempuan semakin menyudutkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan dalam bidang kesehatan. Kurangnya bidan atau tenaga kesehatan profesional perempuan menjadikan dukun sebagai alternatif utama, terutama bagi ibu hamil yang bermukim di wilayah pedesaan. Persoalan lainnya adalah, kepercayaan terhadap kualitas seorang dukun dibandingkan tenaga medis profesional
Angka Kematian Bayi dan Persoalan Kesehatan Ibu Hamil dalam Budaya Madura
13