— 66 —
tiada nanti pandang itoe istri „djitjoet“ sebagi satoe „tjiakiong“; apa lagi bangsa Tionghoa ada anggep seperti satoe kehinahan, djika satoe djedjaka tida menika, dan masi ada orang jang pertjaja tjerita tahajoel, bahoewa ia orang kata apabila satoe lelaki jang blon menika, manakala ia meninggal doenia, rohnja tida nanti di trima di Acherat dan di oedek-oedek oleh babi oetan, maka maski itoe lelaki begimana tjinta djoega pada satoe prampoean, jang djadi ia poenja istri piaraän, tetapi tiada oeroeng di kemoedian hari ia misti menika sama satoe gadis soepaja ia ada mempoenja satoe istri kawin.
Maka satoe gadis jang menika boeat djadi bini moeda orang ada sebagi djoega satoe barang permaenan; djika ia masi di soekai, selaloe si Baba toeroetin „djingenja“ poenja permintaän, tetapi djika Babanja soeda bosen padanja, ia nanti tersepak dengen kedjem oleh baba itoe.
Baeklah gadis-gadis Tionghoa djangan berpikiran kliroe, soepaja ia orang bisa idoep broentoeng dengen marika poenja soeami kawin!
Pada waktoe djem sembilan malem, satoe kreta koeda besar telah brenti di depan roemahnja Entjek Asie dan Embok Saleha soeda toeroen dari itoe kandaran boeat ambil Nona penganten.
„Doedoek lah doeloe minoem kopi, Embok !“ kata Entjim Asie pada itoe Emah Peropot.
„Trima kasi Nja! Baba si soeroe lekas-lekas, sebab dia tida bole poelang terlaloe malem !,“ kata Embok Saleha.
Di itoe waktoe Nona penganten kita soeda boeka pakean kemanten, dan ada pake badjoe kebaja sadja. Si Manis merasa djalannja djem ada kliwat plahan lantaran ia sanget ingin bisa boeroe-boeroe ketemoe pada Babanja jang tjakap, maka goenoeng di bilang besar, tetapi kegirangannja Nona penganten itoe ada terlebi besar, koetika ia meliat kreta kemanten dateng boeat bawa ia pergi ka roemanja ia poenja Baba.