Halaman ini telah diuji baca
- Tambah ini menanti jadi mencekik
- Memberat-mencengkung punda
- Sampai binasa segala. Belum apa-apa
- Udara bertuba. Setan bertempik
- Ini sepi terus ada. Dan menanti.
sedangkan menurut versi KT, sajak dengan judul yang sama ini
bunyinya demikian:
- Sepi di luar, sepi menekan-mendesak
- Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
- Sampai ke puncak
- Sepi memagut
- Tak suatu kuasa-berani melepas diri
- Segala menanti. Menanti-menanti.
- Sepi.
- Dan ini menanti penghabisan mencekik
- Memberat-mencengkung punda
- Udara bertuba
- Rontok-gugur segala. Setan bertempik
- Ini sepi terus ada.
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Jassin pernah mengatakan bahwa kata-kata dan tanda-tanda baca yang berbeda dalam sajak-sajak Chairil Anwar adalah “salah kutip atau salah cetak” dan “salah tik”.[1] Akan tetapi, jika kita amati kedua versi sajak “Hampa” di atas, tentu timbul pertanyaan: betulkah perubahan redaksi sajak itu hanya karena salah kutip, salah cetak, atau salah tik belaka? Apalagi kalau kita perhatikan bahwa perubahan redaksi sajak Chairil bukan hanya menyangkut perubahan kata dan tanda baca, melainkan juga menyangkut perubahan (penghilangan) bait, seperti terlihat dalam sajak “Sajak Putih” berikut. Menurut versi TMT, sajak ini berbunyi:
- Bersandar pada tari berwarna pelangi
- Kau depanku bertudung sutera senja
- ↑ Lihat H.B. Jassin, Surat-surat 1943–1983 (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 325–6; lihat juga umar Junus; “Puisi-puisi Chairil Anwar dan Pergumulan Saya dengan Teori Sastra”, 17 April 1985 (naskah 7 halaman).
x