Halaman ini telah diuji baca
CATATAN KECIL DARI EDITOR
Satu hal yang hingga saat ini belum tuntas dibicarakan mengenai Chairil Anwar adalah sajak-sajaknya yang terdapat dalam
beberapa versi, sebagaimana nampak dalam Deru Campur Debu
(DCD), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (KT),
Tiga Menguak Takdir (TMT), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang.[1] Ambillah contoh sajak “Aku” (versi DCD), yang dalam versi KT berjudul “Semangat”. Bait pertama sajak “Aku” berbunyi:
- Kalau sampai waktuku
- ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
- Tidak juga kau
sedangkan dalam versi KT, sajak itu diawali dengan:
- Kalau sampai waktuku
- kutahu tak seorang ‘kan merayu
- Tidak juga kau
Perhatikan kata ‘Ku mau (versi DCD) dan kata kutahu (versi KT).[2]
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Perhatikan pula sajak “Hampa” berikut. Menurut versi DCD,
sajak ini berbunyi:
- Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
- Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
- Sampai ke puncak. Sepi memagut,
- Tak kuasa melepas-renggut
- Segala menanti. Menanti. Menanti.
- Sepi
- ↑ Yang pernah mempersoalkan hal ini adalah A. Teeuw dalam Tergantung pada Kata (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 11-27, dan Umar Junus dalam Dasar-dasar Interpretasi Sajak (Kuala Lumpur; Heinemann Asia, 1981).
- ↑ Lihat Umar Junus, Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 7.
ix