tjualian, itulah peronda malam, jang berdjalan menjusuri lorong² hitam, sambil memukul mukul kentongannja. mereka mendjalankan tugas kewadjibannja demi keamanan dusun dan para tetangganja . . . . . . . Toook. . .tok . . . toook . . . .tototokkk . . . . tooook . . . Tong. . . tooong . . .tooong. . . . . . . .
Liem Tjiong mendengkur dengan lelapnja, ia tidak ingat lagi akan keselamatan dirinja. Pintu kuil tua itu masih mendjeblak tiupan angin menerobos masuk dan meniup padam semua lilin2 dan Hioswa.
Suara kentongan itu kian lama kian mendekat, Tooong . . . . . toook.. . . . . Toonng. . . tok . . . tokkkk. . . . .
Langkah2 tapak kaki para peronda itu mulai terdengar dengan njata.
Peronda2 ini terdiri dari 6 orang, mereka berkerudung kain kain kamli jang tebal dan masing2 membawa alat sendjata untuk pendjagaan diri. Pimpinan Peronda jang tinggi kurus itu berdjalan didepan tiba2 mendjadi men kerat, tatkala melihat bekas2 darah jang bertjetjeran disepandjang djalan ketjil itu. Kelima kawannjapun menghentikan langkahnja dan bertanja;
― „Ada apa toako ?”
― „Heh... lihat bekas2 darah jang bertjetjeran, apakah ada binatang buas jang menerkam manusia dipegunungan ini ?”
63