Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52264Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia — Bab 8Syaukat JayadiningratRenward Brandstetter
BAB VII

GEDJALA²-BUNJI CHUSUS

225. Dalam nomor ini akan dibitjarakan beberapa gedjala-bunji jang luar biasa keadaannja dan oléh sebab itu dalam buku² peladjaran tentang bahasa² Indogerman (Indonésia) biasanja mengambil tempat jang chusus. Gedjala² itu ialah: Prothese (mengantikan bunji dengan tjara jang di-buat²), anaptyksis (mengulang bunji pada permulaan kata), Lautwiederholung (mengulangi bunji), métathesis (menukarkan tempat bunji), asimilasi, umlaut, disimilasi, me-metjah² bunji (breking).

226. Tjara prothese jang atjapkali dilakukan ialah menambahkan bunji pěpět depan kata² jang sedjak mula² terdiri atas satu suku kata atau dengan inclalui prosés tentang bunji mendjadi kata² jang terdiri atas satu suku kata. Dasar gedjala itu ialah ketjenderungan akan memakai² kata² jang terdiri atas dua suku kata (lihat keterangan dibawah nomor 19). Kata goŋ dalam bahasa Djawa kuno mendjadi ĕgoŋ dalam bahasa Djawa sekarang disamping goŋ. Kata dur,i dalam bahasa Indonésia purba lebih dulu mendjadi rurzi kemudian rwi dalam bahasa Djawa kuno (lihat keterangan dibawah nomor 137) dan mendjadi ri dalam bahasa Djawa sekarang disamping kata ěri. Kata lijst dalam bahasa Belanda mendjadi lés dalam atau ělés dalam bahasa Indonésia.

227. Bunji pěpět jang ditambahkan depan kata² itu mendjadi dasar hukum-bunji djuga. Goŋ dalam bahasa Djawa kuno mendjadi ogun dalam bahasa Toba, oléh sebab dalam bahasa itu bunji o menggantikan bunji pěpět.

228. Djika i mendahului y dan u mendahului w maka bunji i dan u itu dapat menggantikan bunji pěpět. Katasambung atau konjungsi ya dalam bahasa Djawa kuno ialah ya djuga dalam bahasa Tontémboa, tetapi disamping itu dipakai djuga kata ěya (menurut keterangan dalam nomor jang mendahului nomor ini) dan iya. Kata buwah dalam bahasa Indonésia purba ialah wwah dalam bahasa Djawa kuno; dari kata itu dengan langsung terdjadi woh dalam bahasa Djawa sekarang, tetapi disamping itu dipakai djuga kata uwoh. 229. Disamping bunji pěpět, i atau u jang prothetis itu, dalam ber-bagai² bahasa terdapat djuga vokal lain jang ditambahkan depan kata², jang mula² dimulai dengan konsonan. Kata lintah dalam bahasa Indonésia purba, bahasa Djawa kuno, bahasa Melaju, dsb. mendjadi alintah dalam beberapa bahasa lain. Kata telur dalam bahasa Indonésia purba ialah itlòg dalam bahasa Tagalog. Tak dapat diterangkan apakah hal itu bertali dengan bunji jang ditambahkan depan kata² atau dengan perubahan kata. Gedjala² jang sedjadjar (gedjala² paralél) dengan gedjala itu, jang sukar diterangkan, terdapat djuga dalam bahasa Indogerman (lihat antara lain karangan Hirt "Hand- buch der griechischen Laut- und Formenlehre").

230. Gedjala anaptyksis terdapat dalam bahasa Pabian-Lampung, oleh sebab antara bunji r dengan konsonan jang mengikutinja terdapat bunji pěpět. Kata sěrdaŋ dalam bahasa Melaju, bahasa Karo, dsb. mendjadi sarêdaŋ dalam bahasa Lampung. Gedjala anaptyksis di- lapangan bahasa² Indogerman itu dapat dibandingkan dengan gedjala tentang kata aragetud (= argento dalam bahasa Latin) dalam bahasa Oskis. Tjara anaptyksis jang lain ialah hal terdapatnja vokal antara konsonan² dalam kata² jang diambil dari bahasa asing. Dasar gedjala bunji itu ialah : agar kata² itu mudah diutjapkannja. (lihat keterangan dibawah nomor 284).

231. Hal mengulangi bunji. Bunji jang diulangi itu ialah vokal atau konsonan progrésif atau régrésif, hanja satu sadja atau merupakan réntétan.

232. Kalau dalam bahasa Howa bunji i terdapat depan konsonan langit² lembut (vélar), maka bunji itu selalu diulangi dan diutjapkan dengan tjara kurang tegas. Dalam bahasa itu terdapat kata gaga (héran); katakerdjanja bukanlah migaga, tetapi migyaga.

233. Dalam bahasa Bajo bunji a dari suku kata jang kedua dalam kata dasar mendjadi ea, djika kata itu berachir dengan ŋ, misalnja dalam kata běnàaŋ (= běnaŋ dalam bahasa Indonésia purba). Dalam kata geantèaŋ (= gantaŋ dalam bahasa Indonésia purba) bunji e dari suku kata jang pertama diulangi.

234. Dalam banjak hal dalam bahasa² Indonésia bunji sengau terdapat depan konsonan. Gedjala itu tak terdapat dalam idiom² lain dan dalam bahasa Indonésia purba. "Otak" dalam suatu idiom ialah utěk dan dalam idiom lain untěk. Dalam bahasa Djawa kuno terdapat kata usir dan uŋsir. Dalam bahasa² Indonésia atjapkali terdapat awalan dan achiran dengan bunji sengau dan kemudian bunji sengau itu terdesak oléh bunji jang diulangi dalam kata dasar. Dari kata usir (kata dasar dalam bahasa Djawa kuno) terdjadi bentuk aktif aŋusir atau maŋusir; bunji ŋ dalam kata uŋsir berasal dari awalan atau maŋ itu.

235. Gedjala mengulangi bunji itu terdapat djuga dalam bahasa² Indogerman dan keterangannja adalah sama dengan keterangan jang kami telah berikan tentang bahasa² Indonésia. (lihat antara lain karangan Zauner "Altspanisches Elementarbuch").

236. Gedjala métathese atjapkali terdapat dalam bahasa Indonésia, dalam ber-bagai² bentuk.

237. Paling banjak terdapat tjara métathese seperti berikut :

I. Vokal² dari kedua suku kata dalam kata dasar bertukar tempat. Kata ikur (ékor) dalam bahasa Indonésia purba, bahasa Melaju, dsb. mendjadi ukir dalam idiom² lain dan uhi (= ukir) dalam dialék² di Madagaskar.

II. Konsonan² dari separuh kata jang pertama bertukar tempat. Kata waluh dalam bahasa Djawa kuno, dsb. mendjadi lawo dalam bahasa Bugis.

III. Konsonan² dari separuh kata jang kedua bertukar tempat. Kata ratus dalam bahasa Indonésia purba mendjadi rasut dalam beberapa bahasa.

IV. Kedua konsonan dalam satu kata bertukar tempat. Dalam bahasa Toba terdapat kata purti (= putri dalam bahasa India kuno).

238. Sematjam métathese jang fakultatif dan menarik perhatian terdapat dalam bahasa Tontémboa. Hal itu ditundjukkan dengan tjara seperti berikut. Dalam tjerita tentang seorang perempuan miskin dan tjutjunja (téks Schwarz, hal 110) terdapat kata: sapa ěn ipěsiriq (Apakah sebabnja kami harus menghormati ?). Pada halaman 109 terdapat kata²: sapa im pêsiriq. Dengan djalan métathese ěn ipěsiriq mendjadi in. ěpěsiriq; bunji è pada permulaan kata hilang, dengan begitu terdjadilah in pěsiriq, jang achirnja dengan djalan asimilasi mendjadi im pěsiriq.

239. Gedjala métathese bersifat tentu atau kedua kata, kata jang asli dan jang berubah terdapat berdampingan. Kata par i dalam bahasa Indonésia purba mendjadi pair dalam bahasa Tontémboa, bentuk lain dari kata itu tak terdapat. Dalam bahasa Sunda terdapat kata ayud dan aduy (lunak) berdampingan. 240. Dalam banjak idiom terdapat ketjenderungan akan tjara métathese jang tertentu.

I. Ketjenderungan itu mengenai tempat bunji dalam kata². Dalam dialék Mantangay métathese tampak pada suku kata jang pertama dari kata² jang terdiri atas tiga suku kata, misalnja dalam kata dahaŋan (kerbo) (= hadaŋan dalam dialék bahasa Dajak jang terpenting).

II. Ketjenderungan itu mempunjai tudjuan jang tertentu. Dalam bahasa Sawu métathese itu terdjadi dengan tjara seperti berikut : bunji a dari suku kata jang kedua pindah kesuku kata jang pertama dan dalam hal itu a mendjadi è; dengan begitu kata pira dalam bahasa Indonésia purba ialah pěri dalam bahasa Sawu dan kata rumah ialah ěmu, dsb.

241. Dalam beberapa bahasa Indonésia jang tertentu tampaklah métathese menurut réntétan jang lurus benar. Djika dalam bahasa Indonésia purba depan vokal jang kedua dari sebuah kata terdapat bunji l dan vokal jang kedua itu diikuti r, maka dalam bahasa Gayo selalur dan itu bertukar. tempat; djadi kata tělur² dalam bahasa Indonésia purba ialah těrul dalam bahasa Gayo dan kata alur² (anak sungai) ialah arul.

242. Haplologi. Dalam beberapa idiom, misalnja dalam idiom Tsimihety, gedjala itu kadang² terdapat. Dalam "Chansons Tsimihety", Bulletin de l'Académic Malgache, 1913, hal. 100 terdapat kata mañiroboŋo (tumbuh mendjadi tertutup) jang menggantikan kata mañiriroboŋo (kata dasarnja ialah tsiri).

243. Haplologi terdapat djuga dengan réntétan menurut hukum pada kata² jang diduakalikan. Dalam hal itu bagian kata jang pertama atau jang kedua jang diduakalikan dapat disingkatkan dengan tjara haplologi. Tjara jang pertama, jaitu hal menjingkatkan bagian kata jang pertama, terdapat dengan segala matjam bentuk, misalnja:

I. Bunji jang terachir hilang seperti dalam kata luyu-luyut (agak lunak) dalam bahasa Dajak jang terdjadi dari kata luyut (lunak) dan dalam kata aki-akir (menumbuk sedikit), dsb.

II. Dua bunji jang terachir hilang seperti dalam kata lis-lisan (sapu) dalam bahasa Buli jang dibentuk dari kata lisan (menjapu).

III. Semua bunji ketjuali bunji jang terachir hilang, seperti dalam kata u-anu (tuan anu) dalam bahasa Tontémboa, jang dibentuk dari kata anu (seorang orang).

IV. Semua bunji ketjuali bunji jang pertama hilang, seperti dalam kata o-ogdog (alat) jang dibentuk dari kata dasar ogdog. 244. Bagian jang kedua dari kata jang diduakalikan disingkatkan dengan tjara haplologi. Hal itu djarang terdjadi. Dalam bahasa Padu terdapat kata laqika-ika (pondok) jang terdjadi dari kata laqika (rumah) dan dalam bahasa Djawa terdapat kata Roso-so (tjara menjebut seorang orang jang bernama Roso).

245. Dalam hal² jang telah dikemukakan dibawah nomor 243 bagian² bunji hilang dengan tjara haplologi, dan bunji² itu tidak saling mempengaruhi. Gedjala haplologi dalam bahasa² Indogerman jang di- gambarkan oleh Brugmann dalam karangannja "Kurze vergleichende Grammatik der indogermanischen Sprachen" sesuai dengan gedjala haplologi dalam bahasa² Indonésia itu, seperti dalam kata latrocinium (= latronicinium) dalam bahasa Latin.

246. Mengenai asimilasi terdapat segala kemungkinan dalam bahasa Indonésia jang terdapat dalam bahasa² Indogerman. Banding- kanlah hal² jang telah dikemukakan oléh Brugmann dalam karangannja jang dimaksudkan tadi dengan hal² seperti jang disebut dibawah ini:

1a. Vokal Bah. Indon. purba: tau Bah. Tontémboa: tow (manusia)
1b. Konsonan Bah. Indon. purba: gantuŋ Bah. Toba: gaituŋ
IIa. Progrésif Bah. Indon. purba: garuk Bah. Bima: garo
IIb. Régrésif Bah. Indon. purba: tau Bah. Tontémboa: tow
IIIa. Eenzijdig Bah. Indon. purba: tau Bah. Tontémboa: tow
IIIb. Tegenzijdig Bah. Indon. purba: aur Bah. Bima: oo (bambu)
IVa. Kontak: Bah. Indon. purba: gantuŋ Bah. Toba: gattuŋ
IVb. Pengaruh djauh Bah. Indon. purba: kulit Bah. Loinan: kilit
Va. Sebagian Bah. Indon. purba: babuy Bah. Bontok: fafuy
Vb. Lengkap Bah. Indon. purba: kulit Bah. Loinan: kilit

247. Asimilasi dalam bahasa² Indonésia bukan sadja terdjadi dalam kata dasar, tetapi meskipun djarang antara kata dasar dengan formans.

I. Formans menjinggung kata dasar, seperti dalam kata tuli (berlabuh) dalam bahasa Dajak; ,,tempat berlabuh" ialah talian.

II. Kata dasar menjinggung Formans, seperti dalam kata seraq (makanan); bentuk gerundivumnja ialah sěraqan (sěraq + formans ěn) dan dalam kata siriq (menghormati); bentuk gerundivumnja ialah siriqin (siriq + formans ěn) dan pada semua vokal, djika kata dasar berachir dengan vokal + hamza. 248. Asimilasi jang pindah dari suatu bagian susunan kata kebagian lain djarang terdapat. Dalam bahasa Bugis terdapat kata dahalēm (kemarén; do (hari) + halem (lalu).

249. Asimilasi jang tertentu terdapat dalam bahasa Indonésia dalam réntétan menurut hukum. Djika dalam kata Indonésia purba terdapat l dan r, maka bunji l itu selalu berasimilasi dengan r dalam bahasa Toba, seperti dalam kata rapar (= lapar dalam bahasa Indonésia purba). Tjara asimilasi antara kata dasar dengan formans, jang telah dikemukakan dibawah nomor 247, terdjadi djuga dengan tak ada ketjualinja.

250. Dalam beberapa bahasa Indonésia terdapat keadaan peralihan; aya dan ayu pada achir kata² dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ay. Mungkinlah dalam hal itu aya dan ayu itu dengan djalan asimilasi mendjadi ayi lebih dulu dan kemudian y + i disatukan mendjadi y, seperti dalam kata kay (= kayu dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Sigi dan dalam kata lay (= layar, dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Howa.

251. Istilah "umlaut" dalam ilmu tentang mem-banding²kan bahasa sebenarnja tidak perlu, sebab hal itu berarti asimilasi dengan tjara sebagian. Tetapi istilah itu dipakai djuga dalam bahasa² Indonésia dan berarti: asimilasi dengan tjara sebagian dan pada asimilasi itu bunji i mengubah vokal a, o dan u.

252. Umlaut agak luas tersebar dalam bahasa Indonésia. Misalnja:

Umlaut a mendjadi ä Bah. Indon. purba: lima Bah. Dajak: limä
Umlaut a mendjadi e Bah. Indon. purba: hatay Bah. Sumba: eti (hati)
Umlaut a mendjadi ö Bah. Indon. purba: patay Bah. Bontok: padöy
Umlaut o mendjadi e Bah. Toba tinggi: oyo Bah. Toba: eo (kentjing)
Umlaut u mendjadi i Bah. Indon. purba babuy Bah. Bontok: fafüy

Tjatatan. a dalam bahasa Dajak jang berubah bunjinja ditulis sebagai ä. Tjara menulis itu diambil dari Hardeland.

253. Dalam bahasa Gayo terdapat bunji ö jang sama bunjinja dengan ö dalam bahasa Djerman, seperti dalam kata dödö (dada). Bunji ö tidak terdjadi dari bunji lain jang berubah atas pengaruh bunji i.

254. Umlaut dapat merupakan permulaan asimilasi jang lengkap. Kata lima dalam bahasa Indonésia purba ialah limä dalam bahasa Dajak dan dimi dalam bahasa Howa jang erat bertali dengan bahasa Dajak. 255. Disimilasi djarang terdapat dalam bahasa² Indonésia.

256. Disimilasi terdjadi dalam hal² seperti berikut :

I. Djika dua bunji jang sama ikut-mengikuti. Kata ro (dua) diduakalikan dalam bahasa Djawa sekarang, mendjadi loro. Kata babah (membawa) dalam bahasa Indonésia purba ialah baga (membawa) dalam bahasa Mandari.

II. Djika tiga bunji jang sama ikut-mengikuti. Kata aŋin dalam bahasa Indonésia purba ialah aŋiŋ dalam bahasa Bugis, tetapi ,,mendjemur diudara" ialah maŋinaŋ; bunji n masih terdapat dalam kata itu atas pengaruh disimilasi. Oleh sebab dalam kata waŋuŋěŋ pengaruh disimilasi itu tak terdapat (kata itu dibentuk dari kata waŋuŋ (bangun), maka boleh diduga, bahwa dalam kata aŋinaŋ vokal i turut mempengaruhinja djuga. Apakah dalam hal itu barangkali berlaku gedjala jang telah diterangkan dibawah nomor 210 ?

257. Disimilasi terdjadi dengan tjara menjinggung bunji (Berünrungsdissimilation) atau dengan tjara dari djauh (Ferndissimilation):

I. Disimilasi dengan tjara menjinggung bunji. Hal itu terdjadi dalam bahasa Toba, djika s + s saling menjinggung seperti dalam kata lat-soada (belum; las (belum) + soada (tidak)

II. Disimilasi dengan tjara dari djauh seperti dalam kata tuso (= susu dalam bahasa Indonésia purba) dan dalam kata tisa (= çesa dalam bahasa India kuno) dalam bahasa Dajak.

258. Disimilasi terdjadi antara kata dasar dengan formans. Dalam bahasa Sangir achiran -aŋ mendjadi -eŋ djika suku kata jang terachir dari kata dasar mengandung a.

259. Suatu tjara chusus tentang disimilasi terdjadi, djika salah satu dari kedua bunji hilang. Kata sisa (+ çesa) dalam bahasa Dajak mendjadi tisa, sedang dalam bahasa Minangkabau kata itu mendjadi iso dan siso. Kata itu menundjukkan bahwa bunji s akan hilang seperti bunji r dalam kata phatria (persaudaraan) dalam dialék bahasa Junani (= phratria dalam bahasa Junani).

260. Dengan tjara me-metjah² bunji. Hal itu berarti: bunji a berubah mendjadi ea. Dalam bahasa Bajo bunji a pada achir kata jang diikuti ŋ berubah mendjadi ea dan tekanan dipindahkan pada e seperti dalam kata padèaŋ (rumput) jang sama artinja dengan kata pàdaŋ dalam bahasa Indonésia purba.