Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 7
GEDJALA² CHUSUS PADA BUNJI² JANG TERDAPAT PADA
PERMULAAN, DI-TENGAH² DAN PADA ACHIR KATA.
Kata pendahuluan.
180. Dari uraian dalam bab IV ternjatalah, bahwa perubahan bunji bergantung pada tempat bunji itu dalam kata², jaitu pada permulaan, di-tengah² atau pada achir kata. Bunji a dalam bahasa Indonésia purba mendjadi è dalam bahasa Běsěmah djika terdapat pada achir kata, djika tak terdapat pada achir kata bunji a itu tak berubah. Gedjala itu tak akan dibitjarakan lagi. Kami hanja akan membitjarakan suatu réntétan kenjataan tentang bunji jang dipandang dari djurusan tempatnja dalam kata² (pada permulaan, di-tengah² atau pada achir kata²) menarik perhatian. Dalam hal itu masuk djuga awalan, sisipan dan achiran kata².
181. Awalan kata² dalam bahasa Indonésia jang dimulai dengan sebuah vokal ialah lemah, keras atau seperti aspirate bunjinja. Awalan jang keras bunjinja telah diterangkan (lihat keterangan dibawah nomor 142), awalan itu terdapat dalam banjak bahasa Indonésia dan oleh sebab itu dapat dipandang sebagai awalan dalam bahasa Indonésia purba djuga. Kadang² awalan jang keras bunjinja dan awalan-aspirate saling menggantikan. ,,Pada permulaan kata dalam bahasa Atjéh kadang² h menggantikan q dan sebaliknja; dalam satu dialék dipakai q dan dalam dialék lain h bergantungan pada kehendak pembitjara" (Snouck Hurgronje). Kamus² tentang bahasa Minangkabau bermuat banjak kata jang dimulai dan tidak dimulai dengan h, misalnja hindu dan indu. Dua²nja berarti ibu.
182. Dalam beberapa bahasa bunji x, y dan w menggantikan hamza djika hamza itu terdapat pada permulaan kata.
I. Dalam bahasa Muna terdapat x, misalnja dalam kata xate (hati) = atay atau qatay dalam bahasa Indonésia purba.
II. Dalam bahasa Buli hamza itu mendjadi y seperti dalam kata yataf = atěp atau qatěp dalam bahasa Indonésia purba. III. Dalam bahasa Bulanga-Uki hamza itu mendjadi w seperti dalam kata wina (= ina atau qina dalam bahasa Indonésia purba.
183. Timbulnja bunji x, y dan w itu berdasarkan gedjala² Sandhi. ,,Dalam bahasa Melaju kata ěmpat, djika berdiri sendiri atau pada permulaan kalimat, diutjapkan sebagai qěmpat. Dalam kata² těbu wěmpat buku (empat batang tebu) bunji q mendjadi w atas pengaruh bunji u jang mendahuluinja." (Fokker). Dalam kata seperti wina dalam bahasa Bulanga bunji w itu mendjadi tetap dan dari prosés², jang analoog timbul bunji y dalam bahasa Buli dan x dalam bahasa Muna.
184. Bunji sisipan. Dalam banjak bahasa Indonésia ber-bagai² vokal dapat berdiri berdampingan. Djaranglah vokal mengikuti bunji pepet atau sebaliknja; dalam beberapa hal dalam bahasa Madura terdapat kata taěn (tali). Dalam banjak bahasa Indonésia terdapat bunji-perantara atau bunji-pemisah antara beberapa vokal. Tentang hal itu dua gedjala perlu diperhatikan :
I. Antara bunji u dengan sebuah vokal dan antara bunji i dengan sebuah vokal terdapat setengah-vokal. Dalam satu bahasa terdapat kata buah dan dalam bahasa lain buwah jang sama artinja. ,,Dia" ialah dalam satu bahasa ia dan dalam bahasa lain iya.
II. Dalam banjak bahasa Indonésia bunji q atau h terdapat antara dua vokal, terutama djika kedua vokal itu sama, misalnja dalam kata léhér dalam bahasa Melaju dan leqer (léhér) dalam bahasa Madura.
185. Achiran kata jang berachir dengan vokal ialah lemah, keras atau seperti bunji aspirate bunjinja. Dalam bahasa Madura pada tiap² vokal asli jang terdapat pada achir kata dapat ditambahkan h seperti dalam kata matah (= mata dalam bahasa Indonésia purba). Dalam bahasa Busang dalam hal itu terdapat hamza, dan bunji i jang mendahului hamza itu mendjadi e dan bunji u mendjadi o.
Bahasa Indonésia purba: | lima = | Bahasa Busang: | limàq |
děpa | děpaq | ||
buta | butàq | ||
běli | běléq | ||
laki | lakèy | ||
tali | talèq | ||
asu | asòq | ||
batu | batòq | ||
kayu | kayòq |
pada satu kata djuga. Djika sebuah kata dasar dalam bahasa Indonésia purba berachir dengan sebuah vokal atau diftong, seperti dalam kata mata, laju (pergi terus) dan patay (mati), maka kata² itu dalam bahasa Madura diutjapkan dengan bunji achiran aspirate seperti dalam kata matah (= mata dalam bahasa Indonésia purba). pateh (patay dalam bahasa Indonésia, kata² sematjam itu tak terdapat dalam bahasa bunji aspirate hilang, dalam téks sebagai lampiran karangan Kiliaan Grammatik 1, hal. 124 terdapat kalimat : lajhu mateh (lalu matilah ia). Djika orang karena malu atau gelisah berhenti berbitjara, maka kata itu diutjapkan dengan memakai hamza, djadi: lajhuq mateh.
187. Dalam bahasa² Indonésia kata² biasanja dapat dimulai dengan sebuah vokal, setengah-vokal atau sebuah konsonan biasa. Begitu djuga halnja tentang kata2 dalam bahasa Indonésia purba. Dalam hal itu hal jang berikut perlu diperhatikan :
I. Dalam banjak bahasa Indonésia terdapat hamza depan bunji awalan. (lihat keterangan, dibawah nomor 181).
II. Kata² jang dimulai dengan setengah-vokal y djarang terdapat dalam bahasa Indonésia, kata sematjam itu tak terdapat dalam bahasa Indonésia purba. Kata2 jang dimulai dengan bunji w lebih banjak terdapat. Dalam bahasa Indonésia purba kata² jang dimulai dengan bunji w terdapat dalam tiga hal: walu (delapan), wara (ada), way (air).
III. Berlainan benar dengan bahasa Indogerman, dalam bahasa² Indonésia terdapat banjak kata² jang dimulai dengan konsonan ŋ̩.
188. Dalam banjak bahasa Indonésia terdapat dua konsonan pada permulaan kata, biasanja konsonan tak bersuara dengan bunji- lebur (liquida) dan bunji sengau + bunji letus homorgan (éksplotif homorgan). Hal² jang berikut perlu diperhatikan :
I. Konsonan² pada permulaan kata itu adalah sama dengan konsonan² jang terdapat di-tengah² kata; dalam bahasa Nias misalnja mb terdapat pada permulaan dan ditengah kata², seperti dalam kata mbawa-mbawa (menjentuh) disamping kata mambu (menempa).
II. Dua konsonan lebih banjak terdapat di-tengah² kata dari pada permulaan kata misalnja dalam bahasa Howa. n + 1 + s terdapat di-tengah² kata² seperti dalam kata untsi (pisang), tetapi tidak terdapat pada permulaan kata.
III. Dua konsonan lebih banjak terdapat pada permulaan kata dari pada di-tengah² kata, misalnja dalam bahasa Roti. n + d terdapat ber-turut² pada permulaan kata seperti dalam kata ndala (kuda) dalam bahasa Roti, tetapi tidak terdapat di-tengah² kata.
189. Tiga konsonan, biasanja bunji sengau + bunji letus homorgan (éksplosiva homorgan) + bunji letus (liquida) atau setengah-vokal djarang terdapat ber-turut2. Dalam bahasa Nias terdapat kata ndrundru (pondok; n + d + r) dan dalam bahasa Djawa kuno terdapat kata ndya (dimanakah, apakah; n + d + y).
190. Djika kata² dimulai dengan dua atau tiga konsonan ber- turut², maka biasanja konsonan² itu bisa terdapat djuga dalam segala bagian kalimat. Dalam téks bahasa Gayo tentang ,,Putri biru" (hal. 46) pada permulaan sebuah kalimat terdapat sebuah kata jang dimulai dengan nt: nti aku kěrjön (djanganlah saja disuruh kawin). Dalam Ramayana VIII terdapat kata ndya mengikuti kata toh (nah!) jang berachir dengan konsonan.
191. Dalam bahasa Indonésia purba tidak terdapat beberapa konsonan ber-turut² pada permulaan kata. Hal itu terdjadi menurut berbagi prosés bunji seperti berikut :
I. Menurut hukum bunji seperti dalam bahasa Howa. Bunji d dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa hal berubah mendjadi tr dalam bahasa Howa, misalnja dalam kata trùzuna (= duyun dalam bahasa Indonésia purba).
II. Karena vokal hilang seperti dalam kata bli dalam bahasa Gayo (bli = běli dalam bahasa Indonésia purba).
III. Karena pembentukan kata. Dalam bahasa Djawa kuno terdapat kata ndya dan ndi dan dalam bahasa Toba kata dia (ketiga kata itu sama artinja); adya = n + di + a. Kontaminasi tentang kata- bentuk (vormwoord) sematjam itu telah dibitjarakan dalam monografi saja dulu.
192. Dengan prosés menjingkatkan kata (lihat keterangan dibawah nomor 274 dan selandjutnja) terdapat bunji pada permulaan kata jang biasanja tak mungkin dalam bahasa jang bersangkutan. Misalnja :
I. Dalam bahasa Tontémboa bunji k diutjapkan sebagai¸c djika mengikuti bunji i. Dengan begitu dari unsur² raqi + ka terdjadi raqicu jang menjatakan sangkalan. Kata itu atjapkali disingkatkan mendjadi ca dan bunji c tetap ada, meskipun tidak mengikuti bunji i. Dalam téks Schwarz (hal. 67) misalnja terdapat kalimat kuanao: ca maindo. (Katanja djanganlah ia ditangkap).
II. Menurut hukum tentang bunji letus bersuara (média) jang telah diterangkan dibawah nomor 155 bunji letus bersuara pada permulaan kata dalam bahasa Tontémboa mendjadi bunji kwantitét (Dauer-laut). Dalam nama orang jang disingkatkan bunji letus bersuara tetap ada, misalnja dalam kata Biraq (singkatan kata Imbiraŋ.)
193. Di-tengah² kata dasar dalam bahasa² Indonésia antara dua vokal kadang2 terdapat satu atau dua konsonan tetapi djarang sekali tiga konsonan ber-turut².
194. Tentang hal tak adanja konsonan atau hal hanja adanja satu konsonan sadja di-tengah² kata dasar atau tak perlu diterangkan lebih landjut.
195. Dalam hal terdapatnja dua konsonan antara dua vokal, dapat ditundjukkan dua type dalam bahasa Indonésia purba, jaitu type-lintah dan type-taptap.
I. Type-Lintah. Hampir dalam semua bahasa Indonésia bisa terdapat bunji sengau + bunji letus homorgan (ékslosiva homorgan) di-tengah² kata. Kata lintah jang mengandung n + t ber-turut² terdapat dalam hampir semua bahasa Indonésia.
II. Type-taptap terdjadi dengan djalan menduakalikan akar kata, misalnja dalam kata taptap (memukul) dalam bahasa Djawa kuno.
196. Sebagian bahasa Indonésia sekarang mempertahankan type bahasa Indonésia purba, sebagian lagi mengubahnja.
197. Type-lintah djauh lebih luas tersebar dalam bahasa² Indonésia dari pada type-taptap. Hanja dalam beberapa bahasa Indonésia sadjalah type-lintah itu sama sekali atau sebagian diubah dengan tjara seperti berikut :
I. Dalam beberapa bahasa Indonésia, antara lain dalam bahasa Toba, dalam hubungan bunji sengau + bunji letus tak bersuara (tenuis), kedua bunji itu berasimilasi; djadi dalam bentuk bahasa lisan Toba terdapat kata gattuŋ jang sama artinja dengan kata gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba dan dalam bentuk tulisan Toba.
II. Dalam beberapa bahasa Indonésia bunji sengau tidak bersuara seperti dalam kata lita dalam bahasa Nias (lita = lintah dalam bahasa Indonésia purba). Tetapi bunji mb dan ndr (= nd) tetap ada seperti dalam kata tandru (= tanduk dalam bahasa Indonésia purba) dan dalam kata tandra (= tanda dalam bahasa Indonésia purba).
III. Sebaliknja dalam beberapa bahasa Indonésia jang lain bunji-letuslah (ékslosiva) jang hilang, misalnja dalam bahasa Roti dalam kata tana (= tanda dalam bahasa Indonésia purba).
198. Type-taptap dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Karo, bahasa Tagalog, dsb. tak berubah. Dalam beberapa bahasa Indonésia jang lain type-taptap itu berubah seperti type-lintah. Perubahan itu terdjadi dengan tjara seperti jang berikut:
I. Dengan djalan asimilasi seperti dalam bahasa Makasar; kata paspas jang terdapat dalam bahasa Indonésia purba dan bahasa Djawa kuno ialah pàppasaq (memotong; pappas + suku kata-penjangga aq) dalam bahasa Makasar.
II. Konsonan jang pertama dari kedua konsonan mendjadi hamza seperti dalam keta taqtap (= taptap) dalam bahasa Tontémboa.
III. Konsonan jang pertama dari kedua konsonan hilang seperti dalam kata tatap dalam bahasa Běsěmah.
Tjatatan. Aturan² jang disebut dalam nomor 198 ini tidak berlaku bagi segala kemungkinan tentang type-taptap tetapi hanja hal² jang memenuhi hukum.
199. Tiga konsonan tak terdapat ber-turut² dalam bahasa Indonésia purba dan djarang terdapat dalam bahasa² indonésia sekarang. Tiga konsonan ber-turut2 itu terdjadi dengan dua djalan :
I. Dengan djalan hukum bunji se-mata². Bunji nd mendjadi ndr dalam bahasa Nias seperti dalam kata tandra (= tanda dalam bahasa Indonésia purba).
II. Dengan djalan bunji-perantara. Dari kata dasar prih dalam bahasa Djawa kuno diturunkan kata kerdja amrih (menuntut); dalam bahasa Madura kata amrih itu ialah ambri; bunji b ialah bunji-perantara bagi m dan r. Dengan begitu djuga terdjadi kata ambral (= amral = admiral) dalam bahasa Djawa sekarang.
200. Dalam bahasa Indonésia purba kata² dapat berachir dengan sebuah vokal, diftong atau konsonan ketjuali konsonan langit² (palatal) (lihat keterangan dibawah nomor 61). Konsonan langit² (palatal) djarang terdapat pada achir kata dalam bahasa² Indonésia sekarang. Hal itu terdapat dalam bahasa Tontémboa. Konsonan langit² dalam bahasa Tontémboa itu terdjadi dari bunji k (lihat keterangan dibawah nomor 103).
201. Tentang vokal dan diftong dalam bahasa Indonésia purba jang berubah dalam bahasa² Indonésia sekarang telah diterangkan di bawah nomor 91 dan selandjutnja dan dibawah nomor 160 dan selandjutnja. Sekarang akan dibitjarakan tentang hal konsonan, jang perlu diperhatikan djuga.
202. Konsonan jang terdapat pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba tak berubah dalam bahasa Djawa kuno; begitu djuga hal-nja tentang bunji h. Dalam banjak bahasa di Philipina dengan hanja beberapa ketjuali sadja.
203. Dalam bahasa² Indonésia lain tentang hal konsonan pada achir kata itu tampak tiga kemungkinan: bunji itu mengalami unifikasi, berubah, mempcroléh tambahan vokal-penjangga.
204. Unifikasi. Hal itu dalam sebagian bahasa² Indonésia banjak dan dalam sebagian lagi djarang terdjadi.
I. Dalam bahasa Melaju bunji letus bersuara (média) disatukan dengan bunji letus takbersuara (tenuis). Kata bukid dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bukit dalam bahasa Melaju. Diantara bunji² letus (éksplosiva), bunjiletus takbersuara (tenuis) bisa terdapat pada achir kata.
II. Dalam bahasa Masaré bunji p. mendjadi t. Djadi kata atêp dalam bahasa Indonésia purba mendjadi atet dalam bahasa Masaré. Dalam hal itu diantara bunji² letus, dua bunjiletus takbersuara (tenuis), jaitu k dan t bisa terdapat achir kata.
III. Seperti telah diterangkan dalam monografi saja dulu, dalam bahasa Ubrug semua bunjiletus (éksplosiva) mendjadi k. Dengan begitu dalam bahasa Ubrug terdapat kata² lanik (= lanit dalam bahasa Indonésia purb), atêk (= atêp dalam bahasa Indonésia purba). Djadi diantara bunji² letus hanjalah satu bunji letus takbersuara, jaitu k bisa terdapat pada achir kata.
205. Perubahan. Dalam beberapa bahasa Indonésia konsonan pada achir kata tidak bersuara.
I. Dalam bahasa Makasar hanja satu konsonan (pada achir kata) sadja, jaitu h, jang tidak bersuara, seperti dalam kata panno (= pênuh dalam bahasa Indonésia purba).
II. Dalam bahasa Howa bunji s, h dan bunji-lebir (liquida) pada achir kata tidak bersuara, misalnja dalam kata manifi (= nipis dalam bahasa Indonésia purba) dan dalam kata fenu (= pênuh dalam bahasa Indonésia purba).
III. Dalam bahasa Bima, Nias dan bahasa² lain semua konsonan pada achir kata hilang.
206. Penambahan vokal-penjangga pada konsonan (pada achir kata). Dalam beberapa bahasa Indonésia terdapat dua kemungkinan tentang hal itu :
I. Dalam bahasa Talaud dan Howa ditambahkan vokal a, dalam bahasa Ampana vokal i, dalam bahasa Kaidipan vokal o dan kadang² vokal u, dsb. Kata inum (minum) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi imuna dalam bahasa Talaud, inuna dalam bahasa Howa, inumu dalam bahasa Kaidipan; kata putih dalam bahasa Indonésia purba mendjadi pùtiho dalam bahasa Kaidipan.
II. Vokal-penjangga menurut vokal jang mendahului konsonan pada achir kata, misalnja dalam kata tùkulu (menumbuk) dalam bahasa Mentawai disamping kata tukul dalam bahasa Karo, ràpiri (dinding), bòbolo (bunga Lilicee), dsb.
III. Dalam beberapa bahasa Indonésia kepada vokal-penjangga ditambahkan hamza, misalnja dalam kata nipisiq (= nipis dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Makasar, làppassaq (= lêpas dalam bahasa Indonésia purba), àtoroq (= atur dalam bahasa Indo- nésia purba).
IV. Konsonan jang masih terdapat karena tambahan vokal- penjangga, dengan melalui prosés bunji jang lebih landjut hilang djuga tetapi vokal-penjangga tetap ada, seperti dalam kata tùwao (= turwak dalam bahasa Indonésia purba) dan àteo (= atèp dalam bahasa Indonésia purba) di Ambon.
207. Dalam beberapa bahasa Indonésia hanja terdapat satu kemungkinan diantara kemungkinan² jang dimaksudkan dibawah nomor 204; dalam bahasa Indonésia lain terdapat dua atau tiga kemungkinan.
I. Dalam bahasa Nias hanja terdapat kemungkinan tentang berubahnja konsonan pada acliir kata : semua konsonan pada achir kata hilang dalam bahasa Nias. II. Dalam bahasa Minangkabau konsonan pada achir kata menga- lami unifikasi atau berubah. Bunji² letus (éksplosiva) mendjadi q, bunji-lebur tidak bersuara. Bunji sengau dan h tetap ada, bunji s mendjadi h.
III. Dalam bahasa Makasar terdapat semua kemungkinan itu. Konsonan anaktekak tidak bersuara, bunji sengau mendjadi ŋ, bunji bunji letus di-unifikasi mendjadi q. bunjiletus (éksplosiva) tetap mempunjai vokal-penjangga.
208. Dalam semua bahasa Indonésia konsonan pada achir kata atjapkali digantikan oléh bunji lain. Dalam bahasa Melaju disamping kata butir terdapat djuga butil. Dalam bahasa Howa terdapat kata wurutra (= burut dalam bahasa Melaju), dan kata wùruka (petjah, dsb). Gedjåla itu terdapat tersendiri dalam beberapa hal sadja, mung- kin terdjadi dari proses pembentukan kata, atas pengaruh analogi, dsb.
209. Dalam beberapa bahasa Indonésia atjapkali djuga terdapat konsonan pada achir kata, sedang dalam bahasa Indonésia purba dan bahasa Indonésia sekarang jang lain kata² jang sama artinja berachir dengan vokal. Kata pira (berapakah) dalam bahasa Indonésia purba ialah piraŋ dalam bahasa Makasar dan kata ika (ini) dalam bahasa Djawa kuno ialah kan dalam bahasa Djawa sekarang. Dalam hal itu kata-bentuk (formword) memperoléh tambahan ŋ. ,,Anak ini" ialah dalam bahasa Junani tuto to teknon dan dalam bahasa Djawa kuno: ika ŋ anak. Artikal jang mendjadi tambahan itu atjapkali djuga terdapat dalam bahasa² Indogerman, misalnja dalam bahasa Perantjis dalam kata lierre (tanaman jang merambat).
210. Djika karena hukum tentang bunji achiran bunji achir itu berubah dan ditambahkan achiran padanja, maka tampaklah gedjala² seperti berikut :
I. Bunji achiran jang terdapat dalam bahasa Indonésia purba tampak lagi. Djika dari kata nipiq (= nipis dalam bahasa Indonésia purba) dibentuk katakerdja, maka katakerdja itu bukanlah nipiqi, tetapi nipisi dengan memakai achiran i. Lebih tepat dikatakan bentuk nipisi itu terdapat dari djaman ketika orang masih memakai kata nipis.
II. Tjara menurunkan kata² menundjukkan keadaan bunji achiran sekarang. Kata baŋun (bangun) dalam bahasa Indonésia purba ialah baŋun dalam bahasa Makasar dan dari kata itu diturunkan katakerdja banuŋan (mendirikan). Bentuk kata itu berasal dari djaman ketika orang memakai ŋ sebagai ganti n. III. Hal menurunkan kata² menundjukkan keadaan bunji achiran antara bahasa Indonésia purba dengan bahasa Indonésia sekarang. Seperti telah diterangkan dalam monografi saja dulu kata sělsěl (menjesal) dalam bahasa Indinésia purba mendjadi sèsseěr dalam bahasa Bugis purba dan dari kata itu terdjadi kata sessěq dalam bahasa Bugis sekarang. Kata-turunan ,,menegor" ialah pasesserrěn dalam bahasa Bugis sekarang dan berasal dari djaman waktu orang tidak memakai kata sělsěl lagi tetapi belum memakai kata sessěq.
IV. Hal, menurunkan kata² menundjukkan djuga keadaan asli dan keadaan sekarang tentang bunji achiran. Kata lěpas dalam bahasa Indonésia purba ialah lapeh dalam bahasa Minangkabau. Kata kerdja jang diturunkan dari padanja ialah baik malapasi maupun malapehi. Dalam bahasa Howa terdapat hal jang sedjadjar (paralél) benar. Kata Išpas dalam bahasa Indonésia purba ialah leja dalam bahasa Howa. Bentuk perintah pasif (pasif imperatif) dari kata itu ialah baik alefasu maupun alefau.
V. Hal menurunkan kata tidak membawa bentuk kata² jang diduga, oleh sebab dilapangan itu orang atjapkali salah menulis. Kata épat (empat) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ěppak dalam bahasa Bugis purba dan ěppaq dalam bahasa Bugis sekarang, tetapi dari kata itu diturunkan kata éppàri (dibagi empat); ialah sematjan pembentukan kata² seperti appari (meluaskan) dari kata appaq: menurut hukum bunji dalam kata appari itu terdapat bunji r, sebab dalam bahasa Melaju dan bahasa² Indonésia lain terdapat kata hampar jang sama artinja dengan appàri.
211. Keadaan vokal-penjangga dalam hal menurunkan kata² dan pada énklitik.
I. Djika dipakai achiran, maka hilanglah vokal-penjangga. Dalam bahasa Makasar dari kata sàssalaq (= sělsel dalam bahasa Indonésia purba) diturunkan katakerdja sassàli (menolak).
II. Djika diikuti énklitik maka vokal-penjangga itu hilang atau tetap ada. Dalam roman Jayankara (hal. 72) dalam bahasa Makasar terdapat kata²: tu-Màserek-a (bangsa Mesir itu; Masareq Mesir); dalam hal itu vokal-penjangga tetap ada depan artikal énklitis dan hamza mendjadi k. Dalam tjerita Rahidy, V, hal. 3 dalam bahasa Howa terdapat kata: nuwunùini (dibunuhnja) jang dibentuk dari nuwunùina + ni. Vokal-penjangga hilang dan kedua bunjiletus n mendjadi satu n. 212. Dalam bahasa Roti terdapat gedjala² chusus tentang bunji achir, jang menarik perhatian.
213. Dalam bahasa Roti satu diantara tiga konsonan k, n dan s bisa terdapat pada achir kata seperti dalam kata aok (= awak dalam bahasa Indonésia purba), udan (= uran dalam bahasa Indonésia purba), niis (= nipis dalam bahasa Indonésia purba), belak (= běrat dalam bahasa Indonésia purba), loak (= ruan dalam bahasa Melaju).
214. Untuk menerangkan gedjala² itu orang dapat berpegang pada pengertian tentang unifikasi (nomor 204).
215. Tetapi suatu kenjataan melarang kami mempergunakan pengertian tentang unifikasi dalam hal itu: atjapkali terdapat bunji lain dari pada jang diduga menurut asas² ilmu pengetahuan bahasa dan kebiasaan dalam bahasa Indonésia. Misalnja kata jalan dalam bahasa Indonésia purba mendjadi dalak dalam bahasa Roti, kata ratus mendjadi natun, kata matay (mati) mendjadi mates, kata lidi mendjadi lidek. Disamping kata niis jang telah disebut tadi (= nipis dalam bahasa Indonésia purba) terdapat kata niik.
216. Orang dapat mengemukakan, bahwa bunji pada achir kata itu tertukar (verruilan) seperti dalam hal jang telah diterangkan dibawah nomor 208, tetapi gedjala jang dimaksudkan dibawah nomor² jang mendahului nomor ini atjapkali benar timbul dalam bahasa Roti, sedang dalam idiom² lain hal itu djarang sekali terdjadi.
217. Djadi gedjala² itu harus diterangkan dengan tjara lain :
I. Dengan tjara négatif. Dalam hal jang dimaksudkan itu tidak berlaku bunji hukum. Ketiga konsonan pada achir kata, jaitu k, n dan s bukanlah réfléks bunji achir dalam bahasa Indonésia purba bunji n dalam kata udan bukanlah landjutan dari n dalam kata uran dalam bahasa Indonésia purba.
II. Dengan tjara positif. Bahasa Roti pada taraf pertumbuhannja pada djaman jang lampau tidak mempunjai suatu konsonan apadjuapun pada achir kata. Djadi pada waktu itu terdapat kata² seperti dala (= jalan dalam bahasa Indonésia purba), uda (= uran (hudjan) dalam bahasa Indonésia purba), nii (= nipis (tipis) dalam bahasa Indonésia purba). Keadaan sematjam itu terdapat djuga dalam bahasa Bima jang erat bertali dengan bahasa Roti. Dalam bahasa Bima sekarangpun terdapat kata ura (hudjan), nipi (tipis), dsb. Bunji achir dalam bahasa Roti sekarang ialah artikal jang mendjadi kurang tegas dan tumbuh mendjadi satu dengan kata² itu. (lihat keterangan di bawah nomor 209).
218. Artikal dan kataganti penundjuk (demostrativa) jang dimulai dengan bunji k, s dan n atjapkali terdapat dalam bahasa² Indonésia. Begitu djuga halnja tentang kata²-bentuk (formword) jang tak mengandung vokal. ,,Zaakartikel" dalam bahasa Djawa kuno ialah aŋ atau ŋ. Personenartikel si dalam bahasa Bontok atjapkali disingkatkan mendjadi s, begitu djuga halnja tentang personenartikal si dalam bahasa Inibalo. Dalam téks Scheerer tentang ,,Kalinas" (hal. 149) dalam dialék bahasa Nabalo misalnja terdapat kalimat: inaspol ko s kapitan (Saja bertemu dengan kaptén).
219. Dalam banjak bahasa Indonésia, terutama dalam bahasa² jang erat bertali dengan bahasa Roti, misalnja dalam bahasa Sawu artikal terdapat belakang kata². Dalam tjerita Pepeka dalam bahasa Sawu ("Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederland- sch-Indië", 1904 hai. 283) terdapat kata² : la roa ne (dalam lobang itu). Dalam bahasa Roti sekarang artikal a djuga ditempatkan belakang kata².
220. Bahwa dalam bahasa Roti terdapat empat artikal, jaitu k, n, s dan a, hal itu tidak menimbulkan kesukaran; dalam bahasa Bugis terdapat lebih banjak artikal lagi seperti telah ditundjukkan dalam monografi saja dulu.
221. Djadi kami berpendapat, bahwa bahasa Roti pada taraf pertumbuhannja pada djaman jang lampau hanja mempunjai vokal pada achir kata dan sekarang sebagian besar vokal itu berubah mendjadi konsonan dengan tambahan artikal jang tak mengandung vokal. Perubahan semnatjam itu dalam pertumbuhan bahasa tidak mustahil. Seperti telah dikemukakan diatas tadi, dalam bahasa Bima hanja terdapat vokal pada achir kata, tetapi bahasa itu masih memakai beberapa kataganti énklitis (pronomina énklitis) djuga jang tak mengandung vokal. Dalam bahasa Bima terdapat kata anà (= anak dalam bahasa Indonésia purba) dan anà-ku atau anà-k (anak saja). Bentuk sematjam itu terdapat djuga pada achir kalimat. Sebuah kalimat dalam téks Jonkers tentang Mpama Sayaji Ali (hal. 55) berachir dengan kata² : labo rumà-t (pada radja kami). Dalam bahasa Bima kataganti sematjam itu tidak mendjadi satu dengan kata jang bersangkutan mendjadi kata dasar baru seperti dalam bahasa Roti.
222. Bahwa kesimpulan itu benar, hal itu dapat dibuktikan dengan tjara seperti berikut : Djika bunji achir k, s dan n merupakan artikal jang mendjadi kurang tegas dan bersatu dengan kata jang bersang- kutan, maka bunji itu tak akan terdapat pada katakerdja, kataseru (vokatif), dsb. Mémáng begitulah halnja. Bentuk kata, seru (vokatif) dari pada kata taek (pemuda) ialah tae.,,,Hudjan” (= uran dalam bahasa Indonésia purba ialah udan dalam bahasa Roti dengan melalui pertumbuhan seperti berikut :
Dalam bahasa Indonésia purba : | urian |
Dalam bahasa Roti lama : | uda |
Katakerdjanja dalam bahasa Roti sekarang : | uda |
Katabendanja dalam bahasa Roti sekarang : | udan |
223. Gedjala² seperti jang terdapat dalam bahasa Roti itu, terdapat djuga dalam bahasa² lain dipulau dilaut itu djuga, seperti dalam bahasa Timor,
Perbandingan dengan bahasa² Indogerman.
224. Tentang gedjala² mengenai bunji awalan, sisipan dan achiran dalam bahasa² Indonésia terdapat banjak hal jang sedjadjar (paralél) dalam bahasa² Indogerman. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa hal :
I. Dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Buli: bunji i menggantikan bunji awalan-vokal, misalnja dalam kata yaṭaf (= atěp dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Buli. Tentang bahasa Slavia kuno lihatlah karangan Leskien "Grammatik der altbulgarischeb Sprache".
II. Dalam bahasa Junani dan Madura: Antara bunji sisipan m dengan r tampak bunji-perantara b, seperti dalam kata ambri (= amrih) dalam bahasa Madura dan dalam kata mesembria (soré) dalam bahasa Junani disamping kata hémera (hari).
III. Dalam dialék bahasa Portugis di Alta Beira dan bahasa Talaud vokal-penjangga tetap terdapat pada konsonan achiran, seperti dalam kata deuze (Tuhan) dalam dialék Alta Beira dan dalam kata inuma (= inum dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Talaud.