Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52261Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia — Bab 6Syaukat JayadiningratRenward Brandstetter
BAB VI

DUA HUBUNGAN-BUNJI (GELUIDSVERBINDINGEN) DAN
HUKUM TENTANG HAL ITU.

Kata pendahuluan.

157. Kedua hubungan-bunji jang menarik perhatian dalam bahasa² Indonésia ialah hubungan sebuah vokal dengan sebuah setengah-vokal dan hubungan sebuah bunji-letus (éksplosif) dengan bunji aspirate h Sebuah vokal jang dihubungkan dengan sebuah setengah-vokal dinamai diftong dan sebuah bunji letus (éksplosif) jang dihubungkan dengan bunji h dinamai bunji aspirate. Pada diftong, setengah-vokal dapat mendahului vokal seperti dalam kata yaku (saja) dalam bahasa Dajak, atau mengikuti vokal seperti dalam kata patày (membunuh) dalam bahasa Tagalog.

158. Dalam banjak bentuk bahasa Indonésia tulisan ―― sajanglah djuga dalam monografi saja dulu ―― setengah-vokal dalam diftong itu tak tampak dengan djelas. Dalam buku² peladjaran tentang bahasa Melaju misalnja terdapat kata bau dan rantau (pantai), kedua kata itu berachir dengan u, tetapi dalam kata rantau bunji terachir itu ialah diftong, sedang dalam kata bau bunji a dan u masuk dua suku kata jang ber-lain²an; saja menulis bau dan rantaw.

159. Dalam bentuk bahasa Madura tulisan bunji aspiraté tidak ditundjukkan. Djadi orang Madura menulis ghuluŋ (menggulung) seperti guluŋ (makanan).

Diftong dan hukumnja.

160. Diftong dalam bahasa² Indonésia umumnja ialah hubungan vokal dengan setengah-vokal y dan w. Kemungkinan lain djarang terdapat. Bunji i pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi diftong oy dalam beberapa dialék bahasa Atjéh, misalnja dalam kata bloy (= beli dalam bahasa Indonésia purba), tetapi dalam dialék jang terpenting orang mengutjapkan bloy sebagai bloe dengan setengah-vokal e.

161. Dalam bahasa² Indonésia diftong djarang sekali terdapat pada suku kata dasar jang ditekankan. Hal itu adalah berlainan benar dengan bahasa² Indogerman, djika kita ingat misalnja akan kata kairios (saat jang baik) dalam bahasa Junani, kata skaidan (berpisah) dalam bahasa Gotis dsb. Dalam bahasa Howa dalam beberapa hal jang tertentu diftong itu terdapat djuga pada suku kata dasar jang ditekankan, seperti dalam kata tawlana (tulang) kontraksi menimbulkan diftong-sebab disamping tawlana terdapat kata tahulan dalam bahasa Djawa kuno. Hal itu terdapat djuga dalam bahasa Mentawai, misalnja dalam kata räwru (menghilir), umumnja dalam kata² jang keadaan étimologisnja gelap.

162. Biasanja diftong itu terdapat pada suku kata jang terachir, pada achir kata. Suku kata itu tak ditekankan, tetapi diutjapkan djuga dengan djelas (lihat keterangan dibawah nomor 329).

163. Dalam bahasa² Indonésia biasanja terdapat diftong aw, ay dan uy; diftong² itu terdapat djuga dalam bahasa Indonésia purba. Kata² paraw (parau), baŋaw (bango), patay (membunuh) balay (rumah), apuy (api), babuy (babi), jang terdapat dalam banjak bahasa Indonésia, harus dipandang sebagai kata bahasa Indonésia umum djuga. Hanja kata paraw adalah par2aw dalam bahasa Indonésia umum.

164. Diftong aw, ay, dan uy dalam bahasa Indonésia purba mengalami beberapa perubahan dalam bahasa² Indonésia sekarang.

165. Dalam banjak bahasa Indonésia diftong² jang dimaksudkan dibawah nomor 163, tak berubah. Bahasa Hokan misalnja mempunjai kata² pátay, apuy dsb.

166. Bunji a dari diftong ay dan u dari diftong uy bisa memperoleh umlaut karena y. Dalam bahasa Dajak terdapat kata atüy (hati) = atay dalam bahasa Indonésia purba; dalam bahasa Bontok terdapat kata fafüy (= babuy (babi) dalam bahasa Indonésia purba.

167. Komponen diftong mendjadi vokal lain; dalam beberapa dialék di Kalimantan misalnja ay tetap ada atau mendjadi uy atau oy, djadi terdapat baik kata patoy maupun baboy. Djika kata padöy dalam bahasa Bontok menggantikan patoy dalam bahasa Indonésia purba, maka kata patoy harus dipandang sebagai kata jang ada di-tengah² kedua kata tadi.

168. Diftong mendjadi ,,monoftong".

I. Komponén jang pertama dari diftong hilang, seperti dalam kata api (= apuy dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Melaju. II. Komponén jang kedua dari diftong hilang seperti dalam kata afu (= apuy dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa, Howa.

III. Kedua bagian diftong bersatu mendjadi vokal biasa, jang berbunji antara kedua komponén itu, seperti dalam kata pate (= patay dalam bahasa Indonésia purba) dan dalam kata poro (= paraw dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Toba.

169. Dua vokal, jaitu au dan ai jang masuk suku² kata jang ber-lain²an dalam bahasa Indonésia purba, seperti dalam kata tau (manusia) dan lain, mendjadi o dan e dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang (dengan djalan kontraksi). Dengan begitu dalam bahasa Djawa kuno terdapat kata len (lain). Kata taw dan layn ada di-tengah² kata dalam bahasa Indonésia purba dengan kata² seperti jang terdapat dalam bahasa Djawa kuno itu.

170. Kontraksi itu terdjadi:

I. Dengan tak ada ketjualinja dalam beberapa bahasa Indonésia.

II. Dalam bahasa Karo kontraksi itu terdjadi djika berhubungan dengan énklitika. "Air" dalam bahasa Karo ialah lau dan „airnja” ialah lo-na; "djauh" ialah dauh dan mendjauhi ialah doh-na.

171. Dalam beberapa bahasa Indonésia terdapat diftong² baru, jang bukan merupakan réfléks dari diftong jang terdapat dalam bahasa Indonésia purba.

I. Dalara beberapa bahasa Indonésia bunji i dan pada suku kata jang terachir dalam kata dasar bahasa Indonésia purba, mendjadi diftong ey dan ew, misalnja dalam bahasa Tirurai dalam kata taley ( tali dalam bahasa Indonésia purba) dan fitew (= pitu dalam bahasa Indonésia purba).

II. Dalam bahasa Indonésia lain i mendjadi diftong ay atau oy dan u mendjadi diftong iw atau aw. Dengan begitu kata běli dalam bahasa Indonésia purba mendjadi blay dalam bahasa Daya-Atjéh dan mendjadi bloy dalam bahasa Tunong-Atjéh; kata batu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi batiw dalam bahasa Lamna-Atjéh dan mendjadi bataw di Miri (Kalimantan).

III. Bunji a dalam bahasa Indonésia purba mendjadi diftong aw dalam bahasa Sěraway; djadi kata mata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi mataw dalam bahasa Sěraway.

172. Dalam nomor² jang mendahului nomor ini diftong itu terdjadi djika vokal jang mendjadi diftong itu, terdapat pada achir kata. Gedjala itu sesuai dengan kenjataan, bahwa diftong aw, ay dan uy dalam bahasa Indonésia purba terdapat pada achir kata djuga. Hanja dalam beberapa idiom jang tertentu di Kalimantan vokal jang didahului dan diikuti oléh konsonan djuga mendjadi diftong, misalnja di Dali dan Long Kiput. Djadi laŋit dalam bahasa Indonésia purba mendjadi laŋait di Dali dan pulut (perekat) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi pulaut di Long Kiput.

173. Diftong itu dapat djua terdjadi sebagai hasil ber-bagai² prosés tentang bunji. Prosés sematjam itu adalah :

I. Konsonan mendjadi vokal seperti dalam kata ikuy (ikur2 dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Lampung.

II. Vokai² jang mula² masuk dua buah kata jang ber-lain²an berubah, misalnja dalam kata saybu (seribu; sa + ebu).

III. Diftong mendjadi kurang djelas sesudah vokalnja hilang; par2i dalam bahasa Indonésia purba mendjadi fay dalam bahasa Howa.

174. Djika vokal biasa mendjadi diftong seperti dalam kata taley dalam bahasa Tiruraj (taley = tali dalam bahasa Indonésia purba), maka sebelum diftong itu terdjadi, vokal jang mendjadi diftong itu pandjang bunjinja; dari keterangan dibawah nomor 77 ternjatalah, bahwa vokal pada achir kata atjapkali pandjang bunjinja.

175. Menurut keterangan dibawah nomor 76 suku kata jang mendahului suku kata jang ditekankan bunjinja djaranglah pandjang banjinja; dalam suku kata itu terdapat diftong tersendiri; dalam bahasa Lampung dalam beberapa kata jang diambil dari bahasa India kuno dan dimulai dengan bunji s, terdapat diftong ay misalnja dalam kata sayagara (laut), jang sama artinja dengan sagara dalam bahasa India kuno.

176. Tak diketahui apakah bunji pepet dapat mendjadi diftong; menurut keterangan dibawah nomor 40.

I. Bunji e atau o dalam bahasa Indonésia purba tak dapat men- djadi diftong.

Bunji aspirate dan hukumaja.

177. Oléh sebab dalam sebagian besar bahasa² Indonésia djarang terdapat hubungan konsonan² antara sesamanja (biasanja hanja terdapat hubungan bunji sengau + bunji letus (éksplosiva) homorgan), maka bunji aspirate kurang luas tersebar dalam bahasa Indonésia.

178. Asal bunji aspirate dalam bahasa Indonésia sekarang adalah seperti berikut : I. Bunji aspirate terdapat dalam kata dasar, jang terdjadi dari akar kata jang diduakalikan, dimulai dengan bunji h dan berachir dengan bunji letus (éksplosiva), misalnja dalam kata hathat (chawatir) dalam bahasa Djawa kuno dan dalam kata haghag (tenunan) dalam bahasa Bisaja. Hal itu banjak terdapat.

II. Dalam beberapa bahasa Indonésia terdapat hubungan sebagian besar konsonan2 dengan bunji h jang mengikutinja. Dalam bahasa Tagalog misalnja terdapat kata bugháw (biru) dan kata panhik (memandjat).

III. Menurut hukum bunji dalam bahasa Madura terdapat bunji aspirate dalam hal dalam bahasa Indonésia purba bunji letus bersuara (média) mendjadi bunji letus bersuara aspirate (aspirated média); djadi kata gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ghantoŋ, kata jalan dalam bahasa Indonésia purba mendjadi jhalan, kata dagaŋ dalam bahasa Indonésia purba mendjadi dhaghaŋ, kata kĕmbaŋ dalam bahasa indonésia purba mendjadi kĕmbhaŋ.

IV. Dengan menghilangkan vokal terdjadi bunji aspirate dalam beberapa bahasa Indonésia, misalnja dalam bahasa Cam dan bahasa Atjéh. Kata pohon dalam bahasa Indonésia purba mendjadi phun dalam bahasa Cam dan kata tahun dalam bahasa Indonésia purba mendjadi thee dalam bahasa Atjéh.

V. Bunji aspirate terdapat dalam kata² jang diambil dari bahasa India kuno, seperti dalam kata katha (budi) dalam bahasa Tagalog.

VI. Dalam bahasa Atjéh bunji ph menggantikan f dalam bahasa Arab, seperti dalam kata kaphè (kafir).

179. Hanja bunji aspirate jang dimaksudkan dibawah I dan djarang terdapat, dapat dipandang sebagai bunji aspirate bahasa Indonésia purba. Djadi terdapat perbedaan besar antara keadaan bunji aspirate dalam bahasa Indonésia purba dengan keadaan bunji itu dalam bahasa Indogerman purba.