Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52259Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia — Bab 5Syaukat JayadiningratRenward Brandstetter
BAB V

HUKUM BUNJI JANG TERPENTING DALAM
BAHASA² INDONESIA DIURAIKAN DENGAN
TJARA MENDALAM.

Kata pendahuluan.

119. Empat hukum bunji jang terpenting dalam bahasa² Indonésia ialah hukum bunji pepet, hukum RGH, hukum hamza dan hukum bunjiletus bersuara.

120. Penjelidikan dilakukan dengan tjara seperti berikut : Mengenai hukum, bunji pepet akan kami tjari réfléks bunji pepet dalam bahasa Indonésia purba dalam ber-bagai² bahasa Indonésia sekarang.

II. Begitu djuga halnja tentang penjelidikan mengenai hukum-r; perlu diselidiki bunji² apakah dalam bahasa² Indonésia sekarang jang menggantikan bunji r (r2) dalam bahasa Indonésia purba (dibunjikan pada anaktekak). Hukum itu dinamai djuga ,,hukum pertama van der Tuuk tentang bunji", oléh sebab van der Tuuklah jang per-tama² mendapatnja. Kami memakai nama jang lebih tepat, jaitu ,,hukum- RGH", oléh sebab r2 dalam bahasa Indonésia purba dalam banjak bahasa Indonésia sekarang mendjadi g atau h.

III. Tentang hukum-hamza harus diselidiki dari bunji² apakah atau dari proses bahasa apakah hamza itu terdjadi ? Dalam hal itu djalan jang kami tempuh dalam penjelidikan berlainan dengan djalan penjelidikan tentang hukum-bunji pepet dan hukum-RGH. Kami bertolak dari hal-banjak dalam bahasa Indonésia purba untuk mentjapai satu hasil dalam bahasa² Indonésia sekarang, jaitu hamza. Hamza itu bunji jang kurang penting dalam bahasa² Indonésia sekarang, oléh sebab itu tak dapat kami bertolak dari bunji hamza dalam bahasa Indo- nésia purba. Hukumn-hamza menarik perhatian karena hal² jang berikut : Dalam bahasa² Indonésia bunji hamza itu luas tersebar, sedang dalam bahasa Indogerman djarang dikenal; djadi gedjala- hamza merupakan perbédaan jang penting antara bahasa² Indonésia dengan bahasa² Indogerman.

IV. Hukum tentang bunji letus bersuara (média). Dalam beberapa bahasa Indonésia kadang² dalam satu kata itu djuga terdapat bunji letus bersuara (média) kadang² lagi bunji kwantitét (Dauerlaut). Dalam bahasa Bugis misalnja ,,memotong" kadang² ialah bětta dan kadang² lagi wetta. Tentang gedjala sematjam itu rupanja tak terdapat hal-sedjadjar (paralél) dalam bahasa Indonésia purba; djadi dalam bal itu kita tak dapat berbalik pada bahasa Indonésia purba, tetapi harus memperhatikan ketiga hukum bunji itu.

Hukum tentang bunji pepet.

121. Bahasa Indonésia purba mempunjai bunji ě, jang dinamai bunji pepet.

122. Bunji pepet itu masih terdapat dalam beberapa bahasa Indonésia, misalnja dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Karo, bahasa Bugis, dsb. Bahasa Djawa kuno mempunjai bunji pepet asli, sedang menurut hukum-RGH bunji itu berubah.

123. Bunji pepet dapat berubah mendjadi vokal lain, jaitu : a, i, u, e, o. Kata těkěn dalam bahasa Indonésia purba mendjadi takaŋ dalam bahasa Makasar, teken dalam bahasa Dajak, tikin dalam bahasa Tagalog. Kata ěněm (ěnam) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi onom dalam bahasa Toba dan unum dalam dialék² bahasa Formosa.

124. Bunji pepet dalam bahasa Indonésia purba itu dengan berbagai² ,tjara berubah dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang.

I. Hal tekanan membawa pengaruh jang menentukan. Dalam bahasa Howa è mendjadi e dalam suku kata jang ditekankan bunjinja dan mendjadi i dalam suku kata jang tak ditekankan bunjinja. Kata ěněm dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ènina dalam bahasa Howa. Dengan tjara begitu djuga bunji pepet itu dalam bahasa Kolo mendjadi o atau u. Kata éněm jang dimaksudkan tadi mendjadi onu dalam bahasa Kolo. Hal sedjadjar (paralél) antara bunji e dalam bahasa Howa dan bunji o dalam bahasa Kolo jang bersuara tegas dengan bunji i dalam bahasa Howa dan bunji u dalam bahasa Kolo jang bersuara kurang tegas menarik perhatian.

II. Konsonan jang mengikuti bunji pepet mempunjai pengaruh jang menentukan. Dalam bahasa Pabian-Lampung bunji è mendjadi a djika mendahului r dan mendjadi u djika mendahului m, dsb. Djadi kata sěmbah (tanda hormat) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi sumbah dalam bahasa Pabian-Lampung.

III. Faktor² jang mempengaruhi benar tjara berubahnja bunji pepet, tak dapat ditentukan. Dalam bahasa Bima misalnja bunji pepet itu dapat diganti oléh segala vokal jang lain. 125. Dalam bahasa Djawa kuno bunji pepet karena bunji r2 hilang dapat mendahului vokal dan dalam hal itu berubah mendjadi w dan merupakan diftong dengan vokal itu, seperti dalam kata bwat (= běr2at dalam bahasa Indonésia purba). Dalam pertumbuhan selandjutnja diftong itu mendjadi satu vokal, seperti dalam kata abot dalam bahasa Djawa sekarang (= bwat dalam bahasa Djawa kuno)

126. Dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang bunji pepet itu tak bersuara.

I. Bunji pepet itu dalam beberapa bahasa Indonésia hilang djika mendahului suku kata jang ditekankan dan terdapat antara konsonan tak bersuara dengan bunji-lebur (liquida), misalnja dalam kata bli (= běli dalam bahasa Indonésia purba), tetapi diutjapkan djuga sebagai běli dalam bahasa Gayo. Dalam bahasa Tagalog hal itu hanjalah terdjadi djika bunji pepet terdesak oléh awalan, sehingga kata itu tetap terdiri atas dua suku kata, meskipun bunji pepet-nja hilang. Kata tělur dalam bahasa Indonésia purba mendjadi itlog dalam bahasa Tagalog.

II. Dalam beberapa bahasa Indonésia bunji pepet hilang djika mengikuti suku kata jang ditekankan dan terdapat antara setengah- vokal dengan konsonan. Kata dawěn (daun) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi dawen dalam bahasa Dajak, (lihat keterangan di-bawah nomor 123); bukan mendjadi dawan, tetapi daun (terdiri atas dua suku kata) dalam bahasa Melaju.

III. Dalam ber-bagai tulisan dalam bahasa Djawa kuno atjapkali bunji pepet itu tidak ditulis. Dalam surat piagam jang ditulis dalam bahasa Kawi, II, 10 terdapat kalimat : dmakan iŋmacan (akan diterkam oléh harimau). Oleh sebab dalam hal itu dalam bahasa Djawa sekarang bunji pepet tetap terdapat (misalnja dalam kata děmaq (menerkam), maka kami tak dapat menerangkan, sebab apakah bunji pepet itu tak dipakai dalam bahasa Djawa kuno.

127. Keadaan bunji pepet atjapkali sama dalam bahasa² jang erat saling bertali, tetapi hal itu terdapat djuga dalam bahasa² di- daérah² jang djauh letaknja antara sesamanja; dalam bahasa Toba dan bahasa Bisaja misalnja bunji ě itu mendjadi e misalnja dalam kata tolu dalam bahasa Toba dan dalam kata tolò (= tělu dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Bisaja. Achirnja dalam idiom² jang erat saling bertali keadaan bunji pepet itu kadang² djuga ber-lain²an; dalam dialék jang terpenting dari bahasa Minangkabau réfléks bunji pepet itu ber-lain²an dan perbedaan jang terpenting, jaitu dalam dialék Agam bunji pepet itu mendjadi a, djadi kata běr2as dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bareh dalam dialék Agam; dalam dialék Tanah Datar bunji pepet mendjadi o, misalnja dalam kata boreh (= běr2as dalam bahasa Indonésia purba.

128. Bunji pepet dengan sjair. Dalam beberapa bahasa Indonésia vokal lain menggantikan bunji pepet, djika tekanan sjair djatuh di- atasnja. Dalam bahasa Tontémboa dalam hal itu e menggantikan bunji pepet. Tuhan dalam bahasa Tontémboa ialah empuŋ, kawan ialah rěŋan dan kawan ialah rěja-rěŋan, tetapi dalam sjair menurut téks Schwarz (hal. 139) terdapat kata²: ja empuy rejena-renan e (0, Tuhan, o, kawan²). Dalam bahasa Talaud è mendjadi a, tetapi bunji a itu atas tekanan sjair diganti oléh vokal lain, jaitu oléh e atau o; djadi dalam téks Steller hal. 66 kata sasabban mendjadi susabbaŋ (tampil) dan kata allo (matahari) mendjadi elo.

Tjatatan Tentang gedjala² lain jang mengenai bunji pepet, lihat keterangan dibawah nomor 5 dan nomor 148.

Hukum-RGH.

129. Bahasa Indonésia purba mempunjai dua matjam bunji r: r (= r 1) jang dibunjikan dengan gerak lidah dan r (= r 2) (dasar utjapan anaktekak).

130. Bunji r1 dan r2 dalam bahasa Indonésia purba itu hanja dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang sadjalah tak berubah, misalnja dalam bahasa Běsěmah dalam kata² r1ibu (seribu), r1acon (ratjun) dan surlon (menjorong) jang sama bunjinja dengan kata² r1ibu, r1acon dan sur1u dalam bahasa Indonésia purba dan dalam bahasa Běsémah itu terdapat kata² dar2at, jar2om (djarum) dan niur2 (njiur); dalam kata² itu r2 dibunjikan sebagai r2 dalam kata² dar2at, jar2um dan niur2 dalam bahasa Indonésia purba.

131. Dalam beberapa bahasa Indonésia r1 dan r2 itu sama bunjinja; r dalam kata soron sama bunjinja dengan r1 dalam kata surluŋ dalam bahasa Indonésia purba dan r dalam kata jharum sama bunjihja dengan r2 dalam kata jar2um dalam bahasa Indonésia purba, jaitu seperti bunji kakuminal.

132. Bunji r1 dalam bahasa Indonésia purba mendjadi l dalam banjak bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata libo dalam bahasa Tagalog jang sama artinja dengan r1ibu dalam bahasa Indonésia purba, dalam bahasa² Indonésia lain rl itu mendjadi d dan dalam bahasa Indonésia lain mendjadi bunji lain (lihat keterangan dibawah nomor 99). Gedjala² tentang bunji r1 itu ditundjukkan dengan hukum RLD ialah sedjadjar (paralel) dengan hukum RGH.

133. Bunji r2 dalam bahasa Indonésia purba jaitu r menurut hukum RGH, dalam satu bahasa Indonésia sekarang mendjadi r, tetapi tak selalu merupakan bunji anaktekak (uvula); dalam banjak bahasa Indonésia lain bunji r2 itu mendjadi g atau h, dalam bahasa Indonésia lain lagi mendjadi y atau q misalnja kata ur2at dalam bahasa Indonésia purba ialah urat dalam bahasa Melaju, ugat dalam bahasa Tagalog uhat dalam bahasa Dajak, ulàt dalam bahasa Pangsin, uyak dalam bahasa Lampung, ogat dalam bahasa Tontémboa. (lihat djuga keterangan dibawah nomor 135 dan 139).

134. Dari keterangan jang telah diberikan itu ternjatalah bahwa perubahan tentang r1 dan r2 ialah sebagian sama, misalnja l dapat menggantikan baik r1 maupun r2.. Tetapi perubahan jang sama itu tak pernah terdjadi dalam satu bahasa itu djuga. Dalam bahasa Tagalog misalnja r1 mendjadi seperti dalam kata libo (= r1ibu dalam bahasa Indonésia purba), tetapi r2 mendjadi g, seperti dalam kata ugat ( ur2at dalam bahasa Indonésia purba).

135. Dalam beberapa bahasa Indonésia bunji r2 dalam bahasa Indonésia purba itu menundjukkan hal² jang sama.

I. Tempat bunji r2 dalam kata mempunjai pengaruh jang mienen- tukan. Dalam bahasa Talaud r mendjadi k djika terdapat pada achir kata: djadi kata bar2at dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bàrata dalam bahasa Talaud, tetapi kata niur2 dalam bahasa Indonésia purba mendjadi niuka.

II. Bunji jang mendahului mempunjai pengaruh jang menentukan. Dalam bahasa Sangir r2 mendjadi h, tetapi djika mengikuti o (= é) r2 itu mendjadi y; djadi kata r2atus dalam bahasa Indonésia purba mendjadi hasuq dalam bahasa Sangir, tetapi kata ber2as dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bòyasěq.

III. Faktor jang mempengaruhi perubahan tentang r2 itu tak dapat ditentukan. Dalam bahasa Howa r2 itu mendjadi r seperti dalam kata awàratra (= bār2at dalam bahasa Indonésia purba) tetapi kadang² mendjadi s, seperti dalam kata wèsatra (= ber2at dalam bahasa Indonésia purba), kadang lagi r2 itu mendjadi z seperti dalam kata zutu (= r2atus dalam bahasa Indonésia purba). Kadang² djuga bunji r2 itu hilang seperti dalam kata wau (bar2u dalam bahasa Indonésia purba).

136. Bilamana r2 dalam bahasa Indonésia purba berubah mendjadi y, maka dapat terdjadi pertumbuhan selandjutnja. Setengah-vokal y dapat merupakan diftong dengan vokal jang mendahuluinja seperti dalam kata ikuy (ékor) dalam bahasa Lampung jang sama artinja dengan kata ikur2 dalam bahasa Indonésia purba. Diftong sematjan itu dengan melalui prosés-bunji jang lebih landjut dapat mendjadi vokal bersahadja, seperti dalam kata iki dalam bahasa Pampanga jang sama artinja dengan ikur2 dalam bahasa Indonésia purba.

137. Dalam beberapa bahasa Indonésia bunji r2 tak bersuara terutama dalam bahasa Djawa kuno seperti dalam kata dyus (mandi) jang sama artinja dengan kata dir2us dalam bahasa Indonésia purba. Djika r2 dalam bahasa Indonésia purba terdapat pada achir kata, maka dalam bahasa Djawa kuno vokal jang mendahului r2 jang hilang itu berbunji pandjang seperti dalam kata iku ( ikur2 dalam bahasa Indonésia purba).

138. Tak dapat ditentukan bunji apakah mula² jang menggantikan r2 jang hilang itu. Dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Dajak mula² bunji h menggantikan r2; bunji h itu masih terdapat dalam kata wahu (= baru dalam bahasa Indonésia purba). Dalam idiom" lain mula² hamzalah jang menggantikan r2 jang hilang. Dalam bahasa Tontémboa mula² bunji q menggantikan r2, tetapi dalam beberapa hal bunji q itupun hilang. Kata ular2 dalam bahasa Indonésia purba ialah ulaq dalam bahasa Tontémboa, dan kata² timur2 dalam bahasa Indonésia purba ialah timu.

139. Dalam bahasa² jang erat saling bertali r2 itu berubah dengan tjara jang sama. Tetapi hal itu terdjadi djuga dalam beberapa bahasa jang pertalian kekeluargaannja kurang erat; baik dalam bahasa Lampung maupun dalam bahasa Pampanga misalnja bunji r2 itu mendjadi y. Achirnja r2 itu berubah dengan tjara jang ber-lain²an dalam bahasa² jang erat saling bertali: perubahan dengan tjara jang ber-lain an itulah jang menarik perhatian dalam beberapa dialék bahasa Talaud kata niur2 dalam bahasa Indonésia purba mendjadi niuka dengan vokal-penjangga a, atau mendjadi niuca, niuha dan niuta.

Hukum-hamza.

140. Dalam bahasa² Indonésia sekarang hamza terdapat pada permulaan kata mendahului vokal, diantara dua vokal, diantara vokal dengan konsonan atau pada achir kata mengikuti vokal; dalam bahasa Atjéh misalnją terdapat kata qancò (tjair), dalam bahasa Madura terdapat kata leqer (léhér), dalam bahasa Bugis biriqia (berita), dalam bahasa Makasar anaq (anak). Perubahan dengan tjara lain djarang terdjadi; hal itu terdjadi dalam kata allqo (penumbuk) dalam bahasa Bontok, dalam kata ělaqb (obor) dalam bahasa Tontémboa dan kata² itu menimbulkan kesukaran dilapangan étimologi.

141. Hamza terdapat pada permulaan, di-tengah² dan pada achir kata dasar; dalam hal itu bunji hamza tidak menggantikan bunji lain.

142. Dalam banjak bahasa Indonésia pada kata² jang mempunjai vokal pada permulaannja, vokal itu didahului oléh hamza; hal itu berlaku bagi bahasa Atjéh, bahasa Tontémboa, dsb. Dalam bentuk bahasa tulisan masih terdapat transkripsi Hamza berdasarkan ilmu pengetahuan; djadi orang menulis kata anak, tetapi sebenarnja diutjapkan sebagai ganak dengan memakai hamza pada permulaan kata.

143. Dalam beberapa bahasa Indonésia hamza terdapat antara dua vokal pada kata dasar djika tak ada konsonan lain. Menurut ber-bagai² kamus hal itu atjapkali terdjadi dalam bahasa Nias, tetapi kadang² hamza itu terdjadi dari q seperti dalam kata ataqu (takut) (= takut dalam bahasa Indonésia purba), djadi harus dibitjarakan dibawah nomor 147. Dalam bahasa Madura hamza itu terdapat pada kata², jang dalam bahasa² lain mengandung h atau w, seperti dalam kata poqon (= pohon dalam bahasa Melaju dan pòñ dalam bahasa Bugis) dan soqon (= dibawa diatas kepala) jang sama artinja dengan kata suwun dalam bahasa Djawa.

144. Dalam banjak bahasa Indonésia hamza terdapat pada achir kata mengikuti vokal jang terachir.

I. Pada banjak kataseru (interjéksi) misalnja dalam bahasa Bugis, Tontémboa, dsb. seperti dalam kataseru ceq dalam bahasa Makasar, caq dalam bahasa Bugis, siq dalam bahasa Sangir. Hal itu bertali dengan tjara mengutjapkannja.

II. Hamza terdapat pada kata² jang menjatakan pertalian keke- luargaan dalam modus vokatif. Kata ama (ajah) dalam bahasa Indonésia purba ialah aman dalam bahasa Tontémboa, tetapi modus vokatifnja ialah amaq.

III. Hamza terdapat pada kata² jang menjatakan pertalian kekeluargaan umumnja, seperti dalam apoq (nénék) dalam bahasa Tontémboa, jang sama artinja dengan kata pu dalam bahasa Indonésia purba dan dalam bahasa bhibbiq dalam bahasa Madura (= bi dalam bahasa Djawa kuno dan bibi dalam bahasa Djawa sekarang). Kata² jang mengandung q itu mula² merupakan modus vokatif.

IV. Hamza terdapat pada kata bilangan. Dalam bahasa Madura pada kata bilangan jang dalam bahasa Indonésia purba berachir dengan vokal, terdapat q pada achirnja, djika kata bilangan itu terdapat tersendiri; kata tělu dalam bahasa Indonésia purba misalnja mendjadi tělloq dalam bahasa Madura, tetapi dalam bahasa itu terdapat kata těllo ratos. Hamza itu terdjadi menurut analogi seperti dalam kata ěmpaq (empat pat dalam bahasa Indonésia purba) atau bertali dengan tjara mengutjapkannja.

V. Hamza atjapkali terdapat pada kata² jang menjatakan sangkalan seperti dalam kata ajaq (= aja dalam bahasa Indonésia purba dan bahasa Djawa kuno) dalam bahasa Bugis dan dalam kata tiada dan tidaq dalam bahasa Melaju.

IV. Hamza terdapat pada kata² lain dalam bahasa² Indonésia. Dalam bahasa Busang pada vokal jang terdapat pada achir kata di- tambahkan hamza, bunji i dalam bahasa Inlonésia purba mendjadi eq dan bunji u mendjadi oq dalam bahasa Busang, djadi kata běli dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bělèg dan kata batu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi batoq.

145. Dalam beberapa bahasa Indonésia kataseru (interjéksi) umumnja berachir dengan q, dan dalam beberapa bahasa Indonésia lain berachir dengan h. (misalnja dalam bahasa Madura)

146. Kalau dalam modus vokatif dan pada kata² jang menjatakan sangkalan terdapat q pada achirnja, maka dalam beberapa bahasa jang tertentu ditambahkan a, misalnja dalam modus vokatif aŋgiù zu aŋgi (adik laki²) dalam bahasa Toba dan dalam kata dia jang menjatakan sangkalan dalam bahasa Dajak, disamping kata di dalam bahasa Tagalog.

147. Menurut hukum bunji, hamza terdjadi dari bunji² lain dalam bahasa Indonésia purba.

I. Hamza dalam beberapa bahasa Indonésia terdjadi dari bunji k dalam bahasa Indonésia purba, misalnja dalam kata iaqu (=kata- sandang i + aqu) dalam bahasa Talaud jang sama atrinja dengan uku dalam bahasa Indonésia purba.

II. Hamza terdjadi dari bunji r2 dalam bahasa Indonésia purba, misalnja dalam kata raqum (= jar2um dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Makelak. Tentang hamza jang terdjadi dari bunji h lihatlah keterangan dibawah nomor 116.

148. Dalam beberapa bahasa Indonésia konsonan jang mengikuti bunji pepet jang ditekankan, diduakalikan, dalam beberapa bahasa Indonésia lain terdapat hamza antara bunji pepet dengan Konsonan jang mengikuti. Dalam bahasa Makasar bunji pepet mendjadi a tetapi hamza tetap ada; djadi kata kěděm (menutup mata) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi kaqdañ dalam bahasa Makasar.

149. Hamza dalam beberapa bahasa Indonésia terdjadi menurut hukum chusus tentang bunji sisipan (lihat keterangan dibawah nomor 198), antara lain dalam bahasa Tontémboa; kata pukpuk (memukul hantjur) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi puqpuk dalam bahasa Tontémboa.

150. Hamza dalam banjak bahasa Indonésia terdjadi menurut hukum tentang bunji pada achir kata.

I. Dalam banjak bahasa Indonésia bunji k jang terdapat pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi q misalnja dalam kata anaq (= anak dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Melaju.

II. Segala bunji letus pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi q dalam bahasa Minangkabau, misalnja dalam kata atoq (= atèp dalam bahasa Indonésia purba).

III. Dalam bahasa Bugis q terdjadi dari segala konsonan pada achir kata terutama dari bunjisengau dan h, misalnja dalam kata nipiq (tipis) jang sama artinja dengan kata nipis dalam bahasa Indonésia purba.

151. Dalam banjak bahasa Indonésia pada konsohan jang terdapat pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba, ditambahkan vokal-penjangga, misalnja dalam bahasa Howa seperti dalam kata anaka (= anak dalam bahasa Indonésia purba; dalam beberapa idiom lain, misalnja dalam bahasa Makasar, seperti dalam kata nipsiq (= nipis dalam bahasa Indonésia purba) dipergunakan vokal-penjangga + hamza.

152. Hamza terdjadi dengan menjingkatkan kata² jang kurang tegas bunjinja. Djadi katadepan (préposisi) su dalam bahasa Sangir diutjapkan sebagai q. Dalam "Kinderspielen" jang dimuat dalam "Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde voor Nederlandsch-Indië" hal 520, 1894 terdapat kata² dala q ulune (disana dipedalaman); bukan dala su udune. 153. Hamza pada achir kata dengan tjara teratur atau dengan tjara serampangan hilang. Kata ane (kesini) dalam bahasa Tontémboa menurut keterangan dibawah nomor 142 diutjapkan sebagai qane, tetapi dalam téks Schwarz "Weweleten" hal. 309 terdapat kalimat : mai cuman aye (makanan itu bawalah kemari), dalam kalimat itu hilanglah bunji q. Dalam sjair Boq Uyah Batang, hal. 285 dalam bahasa Busang terdapat kata²: umaq Lay Děhaq (rumah Lang Děhaq), tetapi pada halaman 284 terdapat: uma Lay Děhaq.

Hukum tentang bunji letus bersuara (média).

154. Hukum tentang bunji letus bersuara (média) terutama terdapat di Sulawesi dan pulau² sekitarnja: dalam bahasa Sangir, bahasa Talaud, bahasa Tontémboa; ketiga bahasa itu erat saling bertali. Hukum itu berlaku djuga dalam bahasa Cenrana, bahasa Bugis dan diluar Sulawesi dalam bahasa Ibanag, bahasa Nias, bahasa Mentawai dan bahasa Howa.

155. Hukum-bunji letus bersuara (média) jang berlaku dalam bahasa Sangir. Dalam bahasa Sangir bunji letus bersuara mengikuti konsonan; bunji letus bersuara g mendjadi konsonan géséran y, bunjiletus bersuara d mendjadi bunji-lebur (liquida) r, bunjiletus bersuara b mendjadi setengah-vokal w. Bunjiletus bersuara tetap terdapat sebagai bunji permulaan pada kata jang berdiri tersendiri atau pada permulaan kalimat. Oleh sebab itu dalam bahasa Sangir terdapat kata bera (berbitjara); měqbera ialah bentuk futurum aktifnja dan iwera bentuk futurum pasifnja. Dalam tjerita jang dimuat dalam "Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië", 1893 hal. 354 terdapat kalimat iaq měqbio n baha (Saja ingin hendak membitjarakan tentang kera), tetapi pada halaman lain terdapat kata² : aŋkùy i waha (Kera berbitjara).

II. Hukum dalam bahasa Talaud sesuai dengan hukum dalam bahasa Sangir. Dalam bahasa Talaud terdapat kata bale (rumah) seperti dalam bahasa Sangir dan kata biŋgi (sisi, tepi), tetapi dalam tjerita tentang Parere menurut téks Steller, hal. 89 terdapat kata² : su wiŋgi n sáluka (ditepi sungai).

III. Hukum tentang bunjiletus bersuara dalam bahasa Tontémboa. Bunjiletus bersuara (média) g dalam segala hal mendjadi konsonan géséran (spirant) y. Seperti dalam bahasa Sangir d dan b mendjadi r dan w, tetapi berlainan dengan bahasa Sangir pada permulaan kata jang berdiri tersendiri atau pada permulaan kalimat terdapat bunjikwantitét (Dauerlaut). Kata bale dalam bahasa Sangir dan wale dalam bahasa Tontémboa menggantikan kata balay (rumah) dalam bahasa Indonésia purba; ,,diam dirumah" ialah maqmbale dalam bahasa Tontémboa. Dalam kalimat lengkap hukum itu hanja berlaku dalam beberapa hal jang tertentu sadja. Dalam tjerita tentang orang jang baru kawin menurut téks Schwarz, hal. 82 terdapat kata² : am bale = an wale (dirumah), tetapi dalam bagian lain terdapat kata² luqan wiwin (tetapi karang), w dalam kata² itu tak berubah.

IV. Hukum tentang bunjiletus bersuara dalam bahasa Cenrana. Bunjiletus bersuara (média) d dan b mendjadi r dan w djika mengikuti vokal; ,,tetapi dalam bahasa itu ialah dami, tetapi ,,satu kali sadja" ialah mesa rami.

V. Hukum tentang bunjiletus bersuara dalam bahasa Ibanag Bunji d mendjadi r djika mengikuti a. Oleh sebab itu terdapat kata dekay (hal jang djahat), tetapi djahat" ialah marakay.

VI. Hukum bunjiletus bersuara dalam bahasa Bugis. Dalam bahasa Bugis w mendjadi b dan r mendjadi d djika mengikuti awalan, entah awalan itu merupakan vokal entah konsonan. Djadi dari kata wěnni (malam hari) dibentuk kata maqběnni (menginap) dan paběnni (menjuruh menginap) dan dari kata rěmme (halus) dibentuk kata maqděmme (menghaluskan) dan paděme (menjuruh menghaluskan). Tetapi aturan itu tidak dilakukan dengan konsekwen; dari kata wětta (memotong) bentuk kata maqbětta (memotongkan), tetapi dibentuk djuga pawetta-wètla (pengajau).

VII. Hukum tentang bunjiletus bersuara (média), dalam bahasa Nias. Djika pada permulaan sebuah kata dasar terdapat bunji d atau b dan bunji itu didahului oleh sebuah awalan, maka b itu mendjadi w dan d mendjadi r; dalam hal itu djugar mendjadi g, djadi bunji kwantitét (Daurlaut) mendjadi bunjiletus bersuara. Djadi disamping kata bua (buah) terdapat kata mowua (berbuah); disamping kata dua terdapat kata darua (berdua); disamping kata dasar xaru (menggali) terdapat kata kerdja mogaru. Dalam bahasa Niaspun hukum itu tidak berlaku dengan konsekwén.

VIII. Hukum tentang bunjiletus bersuara dalam bahasa Mentawai. Bunjiletus bersuara b tidak berubah mendjadi w. Bunjiletus bersuara g selalu terdapat pada permulaan kata; sebagai bunji sisipan (ditengah kata) g itu dengan tjara kurang teratur kadang² mendjadi y. Dalam téks²: Morris jang telah diselidiki ,,pisang" empat kali ditulis sebagai bago dan dua kali sebagai bayo. ,.Bunjiletus bersuara d biasanja menggantikan r (Morris).

IX. Hukum bunjiletus bersuara dalam bahasa Howa. Dalam bahasa Howa bunji g dalam bahasa Indonésia purba jang terdapat pada permulaan kata, mendjadi h, misalnja dalam kata hántuna (= gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba, dan dalam kata hiruna (giduŋ dalam bahasa Indonésia purba). Tetapi bunji k dalam bahasa Indonésia purba djuga mendjadi h seperti dalam kata hùdrita (- kulit dalam bahasa Indonésia purba). Djika (= k) mengikuti awalan ma + bunji sengau, maka hilanglah h itu (lihat keterangan dibawah nomor 16) seperti dalam kata manùdrita (mengemis). Tetapi djika awalan itu mendahului bunji h (jang menggantikan g), maka tampaklah lagi g itu seperti dalam kata maygùruna (menggulung); tetapi dalam hal itupun terdapat hal² jang menjimpang; dari kata hántuna bukan terdjadi kata mangántuna, tetapi manáninna.

Dari kata hùdina (= gulin dalam bahasa Indonésia purba) bukan terdjadi katakerdja manùdina, tetapi katabenda saŋgùdina (gasing).

Perbandingan dengan bahasa² Indogerman.

156. Tentang empat hukum-bunji jang terpenting itu dalam bahasa Indonésia tidak banjak terdapat hal² jang sedjadjar (paralél) dalam bahasa² Indogerman.

I. Seperti dari bunji ĕ dalam bahasa Indonésia purba terdjadi i, a atau vokal lain, maka dalam bahasa² Indogerman bunji jang tak bersuara dalam bahasa Indogerman mendjadi i atau a, tetapi tak dapat kami menjamakan bunji jang tak bersuara itu dalam bahasa² Indogerman dengan bunji pepet.

II. Berlainan dengan bunji r dalam bahasa Indonésia, bunji r dalam bahasa² Indogerman adalah tentu benar sifatnja.

III. Bunji hamza kurang penting peranannja dalam bahasa² Indogerman. Seperti dalam bahasa² Indonésia banjak kataseru (interjéksi) berachir dengan hamza, maka dalam bahasa Luzäärnertüüt dalam beberapa hal jang tertentu kata ,,ja bukanlah yo tetapi yoq.

IV. Kata seperti donna dan la ronna dalam beberapa dialék bahasa Italia dapat dibandingkan dengan hukum bunjiletus bersuara.