Lompat ke isi

Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB IV

ICHTISAR TENTANG HUKUM MENGENAI
BUNJI JANG DJELAS.

Keterangan pendahuluan.

89. Kami telah memberikan gambaran tentang hukum² mengenai bunji jang hingga sampai sekarang dapat diketahui tentang bahasa² Indonésia. Dari gambaran itu dibawah ini kami mengemukakan gedjala² jang terpenting dengan berpegang pada satu pihak pada ke-pentingan bahasa² Indonésia dan pada pihak lain pada penjelidikan tentang bahasa² Indogerman.

90. Perubahan² bunji terdjadi dengan bersjarat atau tidak dengan bersjarat. (lihat keterangan dibawah nomor 10). Dalam hal jang per-tama akan saja kemukakan sjarat²nja. Tetapi kadang² sjarat itu terdiri atas ber-bagai² faktor, sehingga akan terlampau pandjang mengurai-kannja, disamping hal² jang berlaku menurut hukum ada banjak djuga hal jang menjimpang dari padanja; atau bahan jang ada pada saja tidak tjukup dalam hal sematjam itu pendirian saja dapat di- rumuskan dengan tjara nétral; ,,Perubahan bunji terdjadi dalam hal² jang tertentu".

Hukum tentang vokal.

91. I. Bunji a dalam bahasa Indonésia purba dalam sebagian besar bahasa² Indonésia jang sekarang berlaku, tak berubah. Kata anak dalam bahasa Indonésia purba tetap anak dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Dajak, dll. Dalam bahasa Bugis, dll. ialah anaq.

II. Bunji a dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi o; dalam bahasa Tontémboa a jang mendahului w mendjadi o, misalnja kata awak (badan) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi owak; dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang bunji a itu mendjadi e; dalam bahasa Sumba misalnja kata tesi menggantikan kata tasik (danau) dalam bahasa Indonésia purba. Dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang bunji a itu mendjadi i; kata lima dalam bahasa Indonésia purba mendjadi limi dalam bahasa Taimuruna dengan djalan asimilasi; bunji a dalam beberapa hal dalam bahasa Gayo mendjadi ö, kata ina (ibu) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi inö dalam bahasa Gayo; bunji a mendjadi ě dalam bahasa Běsemah, djika terdapat pada achir kata, misalnja kata mata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi matě (mata). Bunji a mendjadi aw dalam bahasa Sěraway djika terdapat pada achir kata, misalnja kata mata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi mataw.

III. Bunji a dalam bahasa Indonésia purba djarang hilang dalam bahasa² Indonésia sekarang. Hal itu terdjadi dalam bahasa Howa dalam beberapa hal jang tertentu, misalnja djika dalam bahasa Indonésia purba,bunji a itu mendahului bunji y: djadi, kata layar, dalam bahasa Indonésia purba mendjadi lay (berlajar).

92. I. Bunji i dalam bahasa Indonésia purba dalam sebagian besar bahasa² Indonésia jang sekarang berlaku tak berubah. Kata lintah dalam bahasa Indonésia purba tetap lintah dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Djawa sekarang, bahasa Melaju, dll. Dalam bahasa Howa, dll. mendjadi dinta.

II. Bunji i dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa hal jang tertentu dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi e; misalnja lintah dalam bahasa Indonésia purba mendjadi lenta dalam bahasa Madura. Bunji i dalam beberapa bahasa Indonésia lain sekarang mendjadi ey djika terdapat pada achir kata, misalnja kata tali dalam bahasa Indonésia purba mendjadi taley dalam bahasa Tiruray. Dalam beberapa hal dalam bahasa Atjéh bunji i mendjadi oy djika terdapat pada achir kata, misalnja kata běli dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bloy dalam bahasa Atjéh.

III. Bunji i dalam bahasa Indonésia purba djarang hilang dalam sebagian besar bahasa² Indonésia jang sekarang berlaku. Hal itu ter-djadi dalam bahasa Tontémboa atas tekanan irama. Misalnja dalam njanjian Martina Rompas 13, téks Schwarz, hal. 371 terdapat kata² : cua-mu (ber-hati²lah kamu). Bahwa dalam kata cua (icua = awalan i + kata dasar kua) bunji i hilang, hal itu ternjata dari huruf c jang hanja dapat mengikuti huruf i (lihat keterangan dibawah nomor 103).

93. Bunji u dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam sebagian besar bahasa² Indonésia jang sekarang berlaku tak berubah. Kata tunu (membakar) tetap berbunji tunu dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Howa, dll. 37 II. Bunji u dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi o. Kata putih dalam bahasa Indonésia purba misalnja dalam bahasa Madura mendjadi pote; dalam bahasa Bontok u mendjadi ü, misalnja dalam kata fafüy jang terdjadi dari kata babuy (babi) dalam bahasa Indonésia purba. Bunji u dalam bahasa Indonésia purba itu mendjadi i dalam bahasa Loindang dengan djalan asimilasi, misalnja dalam kata kilit jang terdjadi dari kata kulit dalam bahasa Indonésia purba. Dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang jang lain lagi, bunji u itu mendjadi ew djika terdapat pada achir kata, misalnja kata pitu (tudjuh) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi fitèw dalam bahasa Tiruray. Bunji u dalam beberapa hal dalam bahasa Atjéh mendjadi ee djika terdapat pada achir kata, djadi kata palu dalam bahasa Indonésia purbá mendjadi palèe (memukul) dalam bahasa Atjeh.

III. Bunji u dalam bahasa Indonésia purba djarang hilang dalam bahasa Indonésia sekarang. Hal itu terdjadi dalam bahasa Kupang. Dalam bahasa itu mengambil air" (scheppen) ialah sulu. Tetapi dalam karangan Dummling dalam "Bijdrage tot de Taal- Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië" 1904, hal. 259 terdapat kata² : ti sul le doan. (mengambil air untuk dituangkan).

94. Vokal e. Dibawah nomor 40 telah dikemukakan, bahwa kata bela (kawan) ialah satu²nja kata jang asli bunji e nja. Tentang kata² lain jang mengandung e hal itu tak dapat saja menentukan. Kata bela itu tak berubah dalam bahasa Gayo, bahasa Bima, dll. Tetapi dalam bahasa Atjéh terdapat kata bila jang sama artinja.

95. Huruf hidup o. Dibawah nomor 40 telah dikemukakan, bahwa kata sor (bawah) ialah satu²nja kata jang dapat ditentukan, bahwa o jang terdapat pada kata itu sama dengan bunji o dalam bahasa Indonésia purba. Bunji o itu di-mana² tak berubah, misalnja dalam kata sor dalam bahasa Djawa kuno, dalam kata sosor dalam bahasa Tontémboa, dsb.

96. Tentang vokal ě lihatlah keterangan dibawah nomor 121 dan selandjutnja.

Hukum tentang setengah-vokal (halfvokaal).

97. Bunji y dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam banjak bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata layar dalam bahasa Indonésia purba tak berubah dalam bahasa Melaju, bahasa Sunda, dll. Dalam bahasa Tagalog kata itu mendjadi layag.

II. Bunji y dalam bahasa Indonésia purba mendjadi j dalam be-berapa bahasa Indonésia sekarang misalnja dalam bahasa Bugis, djika terdapat antara huruf a, o, u, dengan vokal jang mengikutinja. Djadi kata layar, dalam bahasa Indonésia purba mendjadi lajaq dalam bahasa Bugis kuno. Dalam beberapa hal dalam bahasa Howa bunji y itu mendjadi z, misalnja kata kayu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi hazu dalam bahasa Howa. Dalam bahasa Sangir y itu mendjadi l djika terdapat antara vokal², misalnja kata kayu mendjadi kalu dalam bahasa Sangir.

III. Bunji y dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia jang sekarang berlaku. Kata kayu misalnja mendjadi hau dalam bahasa Toba.

98. I. Bunji w dalam bahasa Indonésia purba. Bunji itu dalam banjak bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata walu (delapan) dalam bahasa Indonésia purba tetap walu dalam bahasa Tettum dan mendjadi waluh dalam bahasa Gayo, dsb.

II. Bunji w dalam bahasa Indonésia purba itu mendjadi u dalam bahasa Toba djika terdapat pada permulaan kata. Djadi kata walu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ualu, jang terdiri atas tiga suku kata, diutjapkan djuga sebagai uwalu. Bunji w itu mendjadi b dalam bahasa Mentaway, misalnja dalam kata balu (delapan); mendjadi f dalam bahasa Roti seperti dalam kata falu (delapan); mendjadi ww dalam bahasa Djawa kuno, misalnja dalam kata wwara (ada) jang menggantikan kata wara dalam bahasa Indonésia purba; mendjadi gu dalam bahasa Inibalo misalnja dalam kata gualo (delapan); mendjadi h dalam bahasa Manuju misalnja dalam kata taha (tertawa) jang menggantikan kata tawa dalam bahasa Indonésia purba.

III. Bunji w dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam bahasa Djawa sekarang djika terdapat antara vokal dengan konsonan. Djadi dalam bahasa Djawa sekarang terdapat kata lir (tjara), jang menggantikan kata lwir dalam bahasa Djawa kuno.

Hukum tentang bunji-lebur (liquida).

99. Bunji rl dalam bahasa Indonésia purba jang dibunjikan dengan gerak lidah.

I. Bunji itu terdapat djuga dalam banjak bahasa Indonésia sekarang, tetapi diutjapkan dengan tjara jang ber-lain²an sedikit. Kata pira (berapa) terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Kamberi, dll.; dalam bahasa Howa kata pira itu mendjadi firi.

II. Bunji rl dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi l., misalnja dalam kata pila (berapa) dalam bahasa Bisaja, dalam beberapa bahasa Indonésia jang lain bunji rl itu mendjadi d, misalnja dalam beberapa hal dalam bahasa Bali, seperti dalam kata pidan (berapa); bunji itu djarang mendjadi g, hal itu dalam beberapa hal jang tertentu terdjadi dalam bahasa Toba, djadi kata iriuŋ dalam bahasa Indonésia purba mendjadi iguŋ dalam bahasa Toba; bunji rl mendjadi x dalam bahasa Nias, misalnja dalam kata ixu (hidung).

III. Bunji rl dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang hilang, djika terdapat pada' achir kata, seperti dalam kata wutsi jang sama artinja dengan kata butir dalam bahasa Indonésia umum.

100. Bunji r2 dalam bahasa Indonésia purba. Tentang bunji itu lihatlah keterangan dibawah nomor 129 dan selandjutnja.

101. Bunji l dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam sebagian besar bahasa² Indonésia sekarang tak berubah. Kata laŋit dalam bahasa Indonésia purba tetap berbunji laŋit dalam bahasa Djawa kuno dan lanitra dalam bahasa Howa dll.

II. Bunji l dalam bahasa Indonésia purba mendjadi r dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang; antara lain dalam bahasa Toba karena asimilasi djika kata itu mengandung r, misalnja dalam kata rapur (= lapar dalam bahasa Indonésia purba); dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang jang lain l itu mendjadi y, antara lain dalam bahasa Baréqé, djika itu terdapat antara dua vokal, misalnja dalam kata joya (= djalan dalam bahasa Indonésia purba); antara lain dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Tagalog l itu mendjadi w, misanja dalam kata powo (= puluh dalam bahasa Indonésia purba); dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Timor bunji l itu mendjadi n, misalnja dalam kata hani jang sama artinja dengan kata kali (menggali) dalam bahasa Indonésia purba; l dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi d, misalnja dalam bahasa Howa djika mendahului i asli (jang tidak terdjadi dari bunji ě), djadi kata lima dalam bahasa Indonésia purba mendjadi dimi dalam bahasa Howa; antara lain dalam bahasa Batan dalam beberapa hal jang tertentu l itu mendjadi g, misalnja dalam kata ogo (= ulu dalam bahasa Indonésia purba); dalam beberapa dialék di Formosa dalam beberapa hal jang tertentu l itu mendjadi h, misalnja dalam kata uho (= ulu dalam bahasa Indonésia purba).

III. Bunji l dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata bae dalam bahasa Boano, jang sama artinja dengan kata balay (rumah) dalam bahasa Indonésia purba.

Hukum tentang konsonan pangkal tenggorok (laringal) q

102. Tentang hukum mengenai laringal q lihat konsonan dibawah nomor 140.

Hukum tentang konsonan langit lembut (vélar).

103. Bunji k dalam bahasa Indonésia purba.

I. Dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang bunji k itu tak berubah. Kata kuraŋ dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Makasar, dll. Dalam bahasa Tarakan terdapat kata koraŋ jang sama artinja dengan kuraŋ.

II. Dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang bunji k itu mendjadi g, hal itu terdjadi antara lain dalam bahasa Tirurai, djika bunji itu terdapat antara dua vokal, misalnja dalam kata lagey (= laki² dalam bahasa Indonésia purba); antara lain dalam bahasa Howa k itu mendjadi h djika terdapat pada permulaan kata atau antara dua vokal, misalnja dalam kata huhu (= kuku dalam bahasa Indonésia purba); dalam bahasa Bugis, dll. bunji k itu mendjadi q djika terdapat pada achir kata, misalnja dalam kata amaq (= anak dalam bahasa Indonésia purba); bunji k mendjadi c dalam bahasa Tontémboa djika didahului oléh bunji i, misalnja dalam kata tagasic (= tasik dalam bahasa Indonésia purba); k mendjadi t dalam bahasa Howa djika mendahului s, misalnja (menurut téks Hainteny, hal 264, 2-4) dalam kata zanat surùhitra (anak burung "Leeuwerik"); zanat = zánaka (muda) + surühitra "Leeuwerik"); dalam bahasa Kawankoqan-Tontémboa dalam kata² jang dalam bahasa Tontémboa biasa mengandung c (= k), bunji k itu mendjadi s, misalnja dalam kata tagasis (= taqasic dalam bahasa Tontémboa biasa).

III. Bunji k dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang; antara lain dalam beberapa hal dalam bahasa Bugis, misalnja dalam kata uliq (= kulit dalam bahasa Indonésia purba). 104. Bunji g dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji g itu dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata gantuŋ' dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Sunda, dll. Dalam bahasa Bugis dsb. kata gantuŋ itu mendjádi gattuŋ).

II. Bunji g itu dalam bahasa Bugis mendjadi k djika mengikuti ŋ, misalnja dalam kata tuŋke (= tunggal (sendiri) dalam bahasa Indonésia purba); bunji g mendjadi gh dalam bahasa Madura misalnja dalam kata ghantoŋ (= gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba); bunji g mendjadi konsonan langit² lembut géséran (vélar spirant) dalam bahasa Tontémboa (lihat keterangan dibawah nomor 65); bunji g mendjadi h dalam bahasa Howa djika terdapat pada permulaan kata, misalnja dalam kata hantuna (= gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba).

III. Bunji g itu djarang hilang dalam bahasa² Indonésia sekarang, g hilang dalam bahasa Roti djika mengikuti ŋ. Kata gengo dalam bahasa Makasar, dsb. mendjadi ŋgeŋo (berajun) dalam bahasa Roti.

105. Bunji n dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji ŋ itu dalam sebagian besar bahasa Indonésia tak berubah. Kata aŋin dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Malaya, dsb. Dalam bahasa Tagalog dsb. kata aŋin itu mendjadi haŋin.

II. Bunji ŋ itu mendjadi n dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, antara lain dalam bahasa Howa djika tak mendahului konsonan langit² lembut (vélar), misalnja dalam kata ànin. (= aŋin). Bunji ŋ mendjadi ñ dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, antara lain dalam beberapa dialék di Tontémboa djika mengikuti i, djadi kata liŋa (mendengar) dalam bahasa Indonésia purba dan bahasa Tontémboa umum mendjadi liña dalam dialék Tontémboa; bunji ŋ mendjadi k dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang dengan djalan asimilasi. Kata baŋkay dalam bahasa Indonésia purba misalnja men- djadi bakke dalam bentuk bahasa Toba lisan (= baŋke dalam bentuk bahasa Toba tulisan).

III. Bunji ŋ dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang djika terdapat pada achir kata, misalnja kata arěŋ (arang) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi axo dalam bahasa Nias.
Hukum tentang konsonan langit² (palatal).

106. Bunji c dalam bahasa Indonésia purba.

I. Dalam bahasa² Indonésia sekarang bunji itu masih terdapat. Kata rlacun dalam bahasa Indonésia purba ialah racun dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Malaya, racu dalam bahasa Bima, dsb.

II. Bunji c dalam bahasa Indonésia purba mendjadi s dalam banjak bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata lason (= rlacun) dalam bahasa Tagalog.

107. Bunji j dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam beberapa bah. Indonésia sekarang tak berubah. Kata jalan dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Bontok, Běsěmah, dan mendjadi jaya dalam bahasa Baréqé, dsb.

II. Bunji j itu mendjadi c dalam bahasa Bugis djika mengikuti ñ, djadi kata jañji dalam bahasa Indonésia purba mendjadi jañci dalam bahasa Bugis, j mendjadi jh dalam bahasa Madura seperti dalam kata jhalan (= djalan); j mendjadi d dalam beberapa bahasa Indonésia, antara lain dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Djawa kuno seperti dalam kata dalan (= djalan); j mendjadi z dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Howa, djadi kata tuju dalam bahasa Indonésia purba mendjadi tuzu (= djurusan) dalam bahasa Howa; j mendjadi s dalam bahasa Lalaki, seperti dalam kata sala (= djalan).

108. Bunji ñ dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata péñu (= kura²) terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno. Dalam bahasa Madura kata peñu itu mendjadi pěñño dengan didua-kalikan ñ-nja (lihat keterangan dibawah nomor 5, dsb,).

II. Bunji ñ dalam bahasa Indonésia purba itu dalam banjak bahasa Indonésia sekarang mendjadi n, misalnja dalam kata ponu (= kura²) dalam bahasa Toba.

Hukum tentang konsonan gigi (déntal).

109. Bunji t dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji t itu dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata tali dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Djawa sekarang dan mendjadi talin dalam bahasa Tettum, dsb.

II. Bunji t dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang mendjadi d, misalnja dalam kata mada (= mata dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Sawu; t mendjadi ts dalam bahasa Howa djika men-dahului i, misalnja dalam kata tsídika (= tilik, (memandang) dalam bahasa Indonésia purba); t mendjadi k dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, menurut Aymonier dan Cabatan antara lain dalam bahasa Cam djika mendahului l, misalnja dalam kata klaw (= tiga) jang sama artinja dengan kata tělu dalam bahasa Indonésia purba, t mendjadi x dalam beberapa hal dalam dialék bahasa Formosa, misal-nja dalam kata xe (= tai (lumpur) dalam bahasa Indonésia purba); t mendjadi h dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata pihu (= pitu (tudjuh dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Kamberi; bunji t mendjadi bunji cerebral dalam beberapa bahasa Indonésia, misalnja dalam beberapa hal dalam bahasa Madura; t mendjadi s dalam bahasa Bolaang-Mongondou djika ber-hubungan dengan i, misalnja dalam kata kulis (= kulit dalam bahasa Indonésia purba).

III. Bunji t dalam bahasa Indonésia purba tak dibunjikan dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata uli (= kulit dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Nias.

110. Bunji d dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam banjak bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata dagaŋ (orang asing) dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Toba, dsb. dan mendjadi daga dalam bahasa Bima, dsb.

II. Bunji d mendjadi pada achir kata dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata hañut dalam bahasa Malaya (= añut (arus) dalam bahasa Indonésia purba); bunji d mendjadi dh dalam beberapa hal dalam bahasa Madura, djadi kata damar dalam bahasa Indonésia purba mendjadi dhamar dalam bahasa Madura; d mendjadi bunji cerebral dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang; d mendjadi r dalam beberapa bahasa Indonésia, sekarang misalnja dalam bahasa Bugis djika mengikuti n, djadi kata linduŋ (naung) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi linruŋ dalam bahasa Bugis.

III. Bunji d dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang. Kata tanduk dalam bahasa Indonésia purba misalnja mendjadi tonu dalam bahasa Kulawi.

111. Bunji n dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu masih terdapat dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang. Kata anak dalam bahasa Indonésia purba misalnja terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, dsb. dan mendjadi ono, dalam bahasa Nias, dsb.

II. Bunji n itu dalam beberapa bahasa Indonésia mendjadi ŋ djika terdapat pada achir kata misalnja dalam kata aŋiŋ (= aŋin dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Bugis; bunji n mendjadi l dalam beberapa bahasa Indonésia, misalnja dalam beberapa hal dalam dialék² bahasa Formosa seperti dalam kata alat (= anak); bunji n mendjadi t dengan djalan asimilasi: kata gantuŋ dalam bahasa Indonésia purba mendjadi gattuŋ dalam bentuk bahasa lisan Toba.

III. Bunji n itu dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang tak berbunji, misalnja dalam kata lita (= lintah dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Nias.

Hukum tentang konsonan bibir (labial).

112. Bunji p dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam sebagian bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata pitu (= tudjuh) dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Masareti dsb. dan mendjadi opitu dalam bahasa Gorontalo, dsb.

II. Bunji p itu mendjadi b dalam bahasa Atjéh djika terdapat pada achir kata, djadi kata idup dalam bahasa Indonésia purba mendjadi udeb dalam bahasa Atjéh dengan berubah vokalnja; p mendjadi f dalam banjak bahasa Indonésia sekarang, antara lain dalam bahasa Howa djika terdapat pada permulaan kata dan antara dua vokal, misalnja dalam kata fitu (tudjuh); p mendjadi w dalam bahasa Nias misalnja dalam kata faxe (= pariay (nasi) dalam bahasa Indonésia purba), tetapi dalam Tanahymus ("Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië" 1905. hal 12 Z 4) terdapat kata u sixi waxe (saja menampi beras); p mendjadi k; ,,bunji p bagi beberapa marga di Toba sebelah timur sukar diutjapkannja, oléh sebab itu diutjapkan sebagai k, misalnja dalam kata kiso (= piso dalam bahasa Toba umum") (van der Tuuk); p mendjadi h dalam bahasa Roti misalnja dalam kata hitu (tudjuh).

III. Bunji p dalam bahasa Indonésia purba hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang djadi kata pira (berapa) dalam bahasa Indonésia purba mendjadi ira dalam bahasa Kisar.

113. Bunji b dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji itu dalam banjak bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata baŋaw (bango) dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Melaju di Malaya, bahasa Dajak, dsb. dan mendjadi baŋo dalam bahasa Djawa kuno, dsb.

II. Bunji b itu dalam beberapa hal dalam bahasa Madura menjadi bh, djadi kata buru dalam bahasa Indonésia purba mendjadi bhuru dalam bahasa Madura; bunji b mendjadi p dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Bali, misalnja dalam kata plu (= bulu dalam bahasa Indonésia purba); b mendjadi w dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, antara lain dalam bahasa Howa djika terdapat pada permulaan kata dan antara dua vokal seperti dalam kata wanu (bango); b mendjadi f dalam bahasa Roti seperti dalam kata lifu (= rlibu dalam bahasa Indonésia purba); b mendjadi h dalam beberapa hal jang tertentu dalam dialék Silajar dari bahasa Makasar, seperti dalam kata halli (= beli dalam bahasa Indonésia purba dan balli dalam bahasa Makasar).

III. Bunji b itu hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam bahasa Gayo dalam beberapa hal jang tertentu djika terdapat pada permulaan kata, djadi kata batu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi atu dalam bahasa Gayo.

114. Bunji m dalam bahasa Indonésia purba.

Bunji itu dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata mata dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Bagobo, dsb. dan mendjadi matan dalam bahasa Tettum, dsb.

II. Bunji m itu mendjadi n dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam bahasa Howa djika terdapat pada achir kata seperti dalam kata inuma (minum ratjun) (= inum (minum) dalam bahasa Indonésia purba); m mendjadi ŋ dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang djika terdapat pada achir kata, misalnja dalam kata inuŋ dalam bahasa Bugis; m mendjadi p dengan djalan asimilasi, misalnja dalam kata luppat (= lumpat dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Toba.

III. Bunji m dalam bahasa Indonésia purba dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang tak bersuara djika terdapat pada achir kata, misalnja dalam kata inu (minum) dalam bahasa Baréqé.

Hukum tentang konsonan géséran (spirant) s.

115. Bunji s dalam bahasa Indonésia purba.

1. Bunji s itu terdapat djuga dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang. Kata susu misalnja terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Melaju, dsb.

II. Dalam beberapa bahasa Indonésia.bunji s itu mendjadi s, misalnja dalam bahasa Mentawai pada permulaan kata, seperti dalam kata siba (= siwa (sembilan) dalam bahasa Indonésia purba; bunji s mendjadi h dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata hiwa (sembilan) dalam bahasa Kamberi; bunji s mendjadi dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata ti (= si (kata sandang, artikal) dalam bahasa Indonésia purba).

III. Bunji s hilang dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam beberapa hal dalam bahasa Howa, seperti dalam kata wi (= besi dalam bahasa Indonésia purba).

Hukum tentang konsonan aspirate h

116. Bunji h dalam bahasa Indonésia purba.

I. Bunji h itu dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang tak berubah. Kata pěnuh dalam bahasa Indonésia purba terdapat djuga dalam bahasa Djawa kuno dan mendjadi panuh dalam bahasa Tarakan, dsb.

II. Bunji h mendjadi q dalam beberapa bahasa Indonésia sekarang, antara lain dalam beberapa hal dalam bahasa Tontémboa, djadi kata lintah dalam bahasa Indonésia purba mendjadi lintaq dalam bahasa Tontémboa.

III. Bunji h hilang dalam sebagian besar bahasa Indonésia sekarang, misalnja dalam kata pěnno (= penuh dalam bahasa Indonésia purba) dalam bahasa Bugis. Dalam bahasa Bugis itu bunji u jang mendahului It mendjadi o dan bunji i jang mendahului h mendjadi e misalnja dalam kata pěnno jang dimaksudkan tadi dan dalam kata ile (memilih) jang sama artinja dengan kata ilih dalam bahasa Indo- nésia purba, sedang bunji u dan i pada achir kata dalam bahasa Indonésia purba tak berubah dalam bahasa Bugis, misalnja kata tunu (membakar) dan kali (menggali) dalam bahasa Indonésia purba begitu djuga bunjinja dalam bahasa Bugis.

Hukum tentang bunji² jang bersahadja dalam bahasa²

Indogerman dan bahasa² Indonésia.

117. Sebagian besar perubahan bunji dalam bahasa² Indonésia terdapat djuga dalam bahasa² Indogerman, sebagian berdasarkan atas sjarat² jang sama dan sebagian lagi berdasarkan atas sjarat² jang berlain²an. Dibawah ini kami mengemukakan beberapa hal jang sedjadjar (paralél) dalam bahasa² Indonésia dan bahasa Indogerman : Dalam bahasa India kuno dan bahasa Tabo: s + s = ts, misalnja dalam kata vatsyâmi (akan berdiam; vas = syâmi) dalam bahasa India kuno; dalam bahasa Toba terdapat kata latsoada (belum; las + soada).

Dalam bahasa Pérsia kuno dan bahasa Kamberi bunji s mendjadi h. Dalam bahasa Pérsia kuno misalnja terdapat kata hainā disamping kata senā dalam bahasa India kuno (= tuan) (lihat "Grammaire du vieux Perse" oléh A, Meillet) dan dalam bahasa Kamberi terdapat kata hiwa (sembilan) jang sama artinja dengan kata siwa dalam bahasa Indonésia purba.

Dalam bahasa Arménia dan Roti bunji p mendjadi h, misalnja dalam kata hing (lima) dalam bahasa Arménia disamping kata pānca dalam bahasa India kuno dan kata pente dalam bahasa Junani. Dalam bahasa Roti terdapat kata hitu (tudjuh) jang sama artinja dengan kata pitu dalam bahasa Indonésia purba.

Dalam bahasa Junani dan bahasa Djawa sekarang bunji w hilang Dalam bahasa Junani misalnja terdapat kata oikos disamping kata veça dalam bahasa India kuno dan dalam bahasa Djawa sekarang terdapat kata lir (tjara) jang sama artinja dengan kata lwir dalam bahasa Djawa kuno.

Dalam bahasa Latin dan bahasa Toba vokal sisipan y hilang. misalnja dalam kata tres (= treyes) dalam bahasa Latin; dan dalam bahasa Toba dalam kata hau (= kayu dalam bahasa Indonésia purba)

Dalam bahasa Bulgaria kuno dan bahasa Makasar semua diftong asli mendjadi vokal jang bersahadja (lihat "Grammatik der Altbul- garischen Sprache" oléh Leskien).

Dalam bahasa Prusia kuno dan bahasa Cam tl mendjadi kl, misalnja dalam kata stacle (= statle = penjangga) ("Die altpreussischer Sprachdenmäler" oléh Trautmann) dan dalam kata klaw (= tlu = tělu dalam bahasa Indonésia purba).

Dalam bahasa German dan Howa k mendjadi h, misalnja dalam kata hilan (menjembunjikan) dalam bahasa Gotis disamping kata celare dalam bahasa Latin dan dalam kata hazu dalam bahasa Howa (= kayu dalam bahasa Indonésia purba).

Dalam bahasa Irlandia kuno dan dalam bahasa Roti w mendjadi f, misalnja dalam kata fer (orang laki²) dalam bahasa Irlandia kuno disamping kata vir dalam bahasa Latin dan dalam kata falu (delapan) dalam bahasa Roti jang sama artinja dengan kata walu dalam bahasa Indonésia purba.

Dalam dialék² bahasa Sisilia dan bahasa Bugis bunjiletus bersuara (média) jang mengikuti bunjisengau, mendjadi bunjiletus tak bersuara, misalnja dalam kata ancilu (bidadari) dalam bahasa Sisilia disamping kata angelus dalam bahasa Latin dan dalam kata janci (berdjandji) dalam bahasa Bugis jang sama artinja dengan kata janji dalam bahasa Indonésia purba.

Dalam dialék bahasa Djerman, bahasa Luzäärnertüiit dan bahasa Mori nt mendjadi nd, misalnja dalam kata Määndig (hari Senén) dalam bahasa Luzäänertüiiit disamping kata montasu dalam bahasa Petasia.

118. Tentang dua hukum bunji dalam bahasa Indonésia kami tak dapat menundjukkan hal² jang sedjadjar (paralél) dalam bahasa² Indogerman. Hukum itu tampak dalam bahasa Atjéh dalam kata thee (tiga = tělu dalam bahasa Indonésia purba): těl pada permulaan kata dalam bahasa Indonésia purba mendjadi lh dalam bahasa Atjéh dan u pada achir kata dalan: bahasa Indonésia purba mendjadi ee dalam bahasa Atjéh. (lihat djuga bagian terachir Bab V)