Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52257Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia — Bab 3Syaukat JayadiningratRenward Brandstetter

BAB III

KWANTITET DAN KWALITET;
HAL MENDUAKALIKAN KONSONAN.

Hal² umum tentang kwantitét.

67. Sebagian besar bahasa² Indonésia menurut kwantitétnja mem-punjai dua harakat (vokal): vokal pandjang dan vokal péndék. ,,Dalam bahasa Bontok vokal pandjang tak djauh lebih pandjang dari pada vokal péndék". (Seidenadel) ,,Djika vokal a dalam bahasa Djerman ditundjukkan dengan angka 2, maka vokal a dalam bahasa Melaju harus ditundjukkan dengan ½" (Fokker). Bahasa Sangir mempunjai tiga matjam vokal menurut kwantitétnja, oléh sebab vokal jang terdjadi dengan djalan kontraksi lebih pandjang daripada vokal² lain. Bahasa Madura tak mempunjai ber-matjam² vokal menurut kwantitétnja. Kwantitét suku kata jang ditekankan dari kata² jang terdiri atas beberapa suku kata.

68. Dalam banjak bahasa Indonésia berlaku hukum tentang kwantitét jang berbunji seperti berikut :

I. Hukum tentang vokal pandjang: vokal ialah pandjang, djika hanja diikuti oléh satu konsonan sadja, misalnja dalam kata wālu (delapan).

II. Hukum tentang vokal péndék: vokal ialah péndék, djika di- ikuti oléh beberapa konsonan, misalnja dalam gàntuŋ.

69. Dalam beberapa bahasa Indonésia hukum tentang kwantitét ditjampuri oléh suatu hukum chusus, misalnja :

I. Dalam bahasa Dajak hukum tentang vokal pandjang mendjadi kurang kuat, oléh sebab vokal jang mendahului bunji jang tidak ber-suara, ialah péndék, misalnja bunji a dalam kata àso (andjing); vokal jang mendahului konsonan langit² (palatal) jang tidak bersuara, ialah djuga péndék. (lihat keterangan dibawah nomor 61).

II. Dalam bahasa Djawa sekarang, hukum tentang vokal péndék mendjadi kurang kuat, oléh sebab vokal jang mendahului bunji sengau + bunji letusan homorgan, umumnja ialah pandjang, misalnja dalam kata dintên. (hari).

III. Seidenadel dalam karangannja "Grammatik des Bontokischen" tidak mengemukakan téori tentang kwantitét, tetapi djika téks jang diumumkannja dibatja dengan seksama, maka tampaklah hal jang berikut Hukum tentang vokal péndék hampir tak ada ketjualinja: kata ākyu (matahari) (téks Lumawig 69) bertentangan dengan hukum itu diutjapkannja. Hukum tentang vokal pandjang lebih banjak me-ngandung ketjualian, terutama: vokal jang mendahului bunji sengau ialah péndék; dalam téks Lumawig I misalnja terdapat kata ának dan tánub (alang²), dalam téks Kolling terdapat kata wánis (sengka-jan); vokal jang mendahului f dibunjikan sesuai dengan hukum tentang vokal pandjang (tukfifi = bintang).

70. Tetapi dalam beberapa bahasa Indonésia tampak suatu hukum jang menjimpang benar dari hukum tentang kwantitét vokal, misal- nja dalam bahasa Dairi. Dalam bahasa itu vokal dari tiap² suku kata jang ditekankan bunjinja ialah pandjang, misalnja dalam kata pòstěp (mulai).

71. Djika tekanan atas suku kata jang mendahului suku kata jang terachir pindah kesuku kata jang terachir itu, hal itu terdjadi pada kontraksi kata² dan pada kata seru dalam banjak bahasa Indonésia, maka timbullah dua kemungkinan :

I. Vokal pandjang bunjinja. Hal itu terdjadi pada kontraksi kata, dalam bahasa Djawa kuno dan ditandai dalam menulisnja. Dalam tjerita Ramayana VIII, 40, 2 misalnja terdapat kalimat: tumamā rin abhyantara (menjelami djiwanja) tumamā = tumama + tanda tjara andai (konjunktif) a; kata dasarnja ialah tama. Tentang bentuk kata-seru dalam bahasa Gorontalo, Breukink mengatakan: ,,Suku achir itu boléh menjadi panjaŋ, jikalaw kata itu ditilik sapěrti kata sěruhan ataw suruhan".

II. Vokal péndék: Menurut Ferrand, dalam bahasa Howa pada kontraksi kata², vokal péndék bunjinja. Misalnja dalam kata milazà (tjeritakanlah) jang berbentuk tjara perintah (imperatif). (Bentuk tjara berita (indikatif) milàza + tanda bentuk tjara perintah (imperatif) a huruf hidup pada achir kata péndék bunjinja).

72. Gedjala² kwantitét dalam bahasa² Indonésia dan dalam bahasa² Indogerman memperlihatkan banjak hal jang sama. Hukum tentang kwantitét vokal dalam bahasa² Indonésia sesuai dengan hukum tentang kwantitét vokal dalam bahasa Djerman. (lihat karangan Siebs "Deutsche Bühnenaussprache" Bab. "Vokale"). Dalam bahasa Madura seperti dalam bahasa Romén tidak terdapat perbédaan² kwantitét. (lihat karangan Tiktin ,,Rumänisches Elementarbuch").

Kwantitét vokal dalam kata² jang terdiri atas satu suku kata.

Kata² lengkap, jang terdiri atas satu suku kata dalam sebagi-an bahasa² Indonésia pandjang bunjinja. Dalam bahasa Karo terdapat djuga kata pět (mentjari) (e jang sebenarnja merupakan ě-pepet, di-bunjikan pandjang). Dalam sebagian bahasa² Indonésia jang lain, seperti dalam kata (kata jang menjatakan sangkalan) dalam bahasa Howa vokal a péndék bunjinja.

74. Kata² a atau o jang menjatakan pengakuan dan terdiri atas satu suku kata dalam sebagian besar bahasa² Indonésia pandjang bunjinja; terutama tjara menulisnja dalam ber-bagai² téks menundjuk- kan hal itu. Dalam suatu tjerita dalam bahasa Kamberi jang diumum-kan oléh Kreisel (BDG 1913, hal. 83 Z. 28) misalnja terdapat kalimat : āã hiwada (,,Ja, ja," kata meréka).

75. Kata-bentuk (Formwörter) jang terdiri atas satu suku kata umuinnja péndék bunjinja, meskipun kurang tegas dibunjikannja dalam hubungan kalimat. Kadang² kata² itu pandjang bunjinja seperti menurut Meerwaldt kata (tiap²) dan (bahkan) dalam bahasa Toba. Djika dari kata² bentuk (Formwörter) jang péndék bunjinja itu dibentuk kata lengkap, maka kadang² kata-bentuk itu mendjadi pandjang bunjinja. Dalam tjerita tentang ,,Kera dan babi" dalam bahasa Baréqé terdapat kata : maŋkae toraa (menggali ubi) (Karang-an Adrianus Schreiburg "Bareqe Leesboek", hal. 15, Z. 4) Torà (ubi) dengan ditekankan a-nja, sebenarnja berarti: barang didalam (tanah) = (dalam).

Kwantitét suku kata jang tidak ditekankan.

76. Suku kata jang mendahului suku kata jang ditekankan bunji-nja ialah hampir selalu péndék. Dalam bahasa Bugis suku kata jang mendahului suku kata jang ditekankan bunjinja ialah pandjang, tetapi dalam kamus tentang bahasa itu hanja terdapat kira² setengah losin hal jang menurut ilmu étimologi tak dapat diatur, misalnja kata měŋcàna (dangkal).

77. Suku kata jang mengikuti suku kata jang ditekankan bunjinja atjapkali pandjang bunjinja, terutama kalau suku kata itu berachir dengan vokal. Dalam bahasa Dajak vokal pada achir kata selalu pandjang bunjinja; dalam kata humā (rumah) misalnja kedua vokal pandjang bunjinja dan suku kata jang pertama ditekankan bunjinja. Dalam beberapa hal jang tertentu dalam bahasa Bugis suku kata jang terachir, pandjang bunjinja, djuga djika kata itu berachir dengan konsonan. (misalnja dalam kata diměŋ (menghendaki).

78. Gedjala, bahwa suku kata jang mendahului suku kata jang ditekankan bunjinja umumnja péndék dan suku kata jang mengikuti suku kata jang ditekankan bunjinja atjapkali pandjang bunjinja, adalah sedjadjar dengan kenjataan, bahwa suku kata jang mendahului suku kata jang ditekankan bunjinja hampir tak pernah mengandung diftong, sedang suku kata jang mengikuti suku kata jang ditekankan bunjinja atjapkali bersifat diftong. (lihat keterangan dibawah nomor 171).

79. Dalam bahasa Bugis tekanan pada suku kata jang terachir dapat dipindahkan kalau dari kata itu disusun kata lain; djika suku kata jang terachir pandjang bunjinja, maka karena kontraksi bunji pandjang itu mendjadi péndék. Dari kata dasar tàppa dibentuk kata tappàŋ (bangunan, tjontoh) tappa + aŋ) dengan ditekankan suku katanja jang terachir, dalam susunan tàppāŋ-matuwa kata jang mendahului suku kata jang terachir dan vokal pada suku kata jang terachir itu mendjadi péndék bunjinja.

Kwantitét vokal dalam bahasa Djawa kuno.

80. Dalam tulisan bahasa Djawa kuno vokal jang pandjang bunji-nja ditandai. Tetapi tanda tentang vokal jang pandjang bunjinja itu djarang tampak. Menurut kwantitét vokal dalam bahasa Djawa se- karang, tanda itu semestinja djauh lebih banjak tampak. Dalam tjerita Ramayana tanda tentang vokal jang pandjang bunjinja itu ketjuali dalam kata² jang diambil dari bahasa lain hanja terdapat pada kata-seru (interjéksi), pada kata² lengkap jang tertentu dan terdiri atas suku kata, misalnja pada kata kūŋ (rindu), tetapi tanda itu tidak tampak pada kata sih (belas kasihan), pada kata mati (membiarkan mati) jang terdjadi dari mati + i dengan djalan kontraksi, dan pada kata ikū (ékor = ikur² dalam bahasa Indonésia purba). Dengan begitu terdapat sjair jang tidak memakai tanda tentang vokal pandjang, misalnja dalam tjerita Ramayana V, 68, 2 terdapat kalimat : sira juga tuŋga-tuŋgal anusup tamatar matakut. (Lalu dengan tak takut pergi-lah ia). Adakah barangkali dalam bahasa Djawa kuno tiga tingkat kwantitét seperti dalam bahasa Sangir (lihat keterangan dibawah nomor 67) dan vokal jang amat pandjang sadjakah jang ditandai dalam bahasa Djawa kuno ?

Kwantitét vokal dalam bahasa Indonésia purba.

81. Meskipun terdapat hukum tentang vokal pandjang, tetapi oleh sebab hukum itu dilemahkan oleh ber-bagai² hukum chusus, hal kwantitét dalam bahasa Djawa menimbulkan kesukaran dan achirnja oléh sebab tentang hal itu hanja terdapat keterangan jang kurang memuaskan tentang banjak bahasa Indonésia, maka belumlah kami memperoléh gambaran jang tentu tentang kwantitét vokal pandjang dalam bahasa Indonésia purba.

Kwalitét vokal.

82. Tentang kwalitét vokal terdapat dua kemungkinan :

I. Kwalitét itu bergantung pada kwantitét. Vokal jang pandjang bunjinja ialah tertutup dan vokal jang péndék bunjinja ialah terbuka. Hukum itu berlaku bagi beberapa bahasa Indonésia. Dalam bahasa Minangkabau e jang ditekankan bunjinja dan mendahului s seperti dalam kata leseq (radjin) adalah terbuka, tetapi tertutup djika men- dahului r seperti dalam kata lereŋ (tandjakan).

Hal menduakalikan (verdubbelen) konsonan.

83. Konsonan jang diduakalikan mengandung ber-bagai² nilai bunji. (lihat keterangan Sievers dalam karangannja "Phonetik", Bab. "Silbentrennung"). Tentang hal menduakalikan konsonan dalam bahasa Indonésia définisi² jang berikut memberikan pegangan. ,,djika dalam bahasa² di Philipina konsonan diduakalikan maka kedua huruf itu diutjapkan dengan tjara tegas" (Conant). ,,Dalam bahasa Bugis kon-sonan jang diduakalikan diutjapkan dengan tjara demikian, sehingga konsonan itu menutup suku kata jang mendahuluinja dan membuka suku kata jang mengikutinja". (Mathes). ,,Konsonan jang diduakali-kan merupakan batas tekanan". (Kaliaan). Dalam bahasa Bontok kadang² konsonan jang diduakalikan di-pisahkan oléh hamza. Oléh sebab itu dalam „tjerita tentang pengajau” (téks Seidenadel) terdapat kata: nan amamqma (orang tua²).

84. Bunji h dan q djarang sekali diduakalikan. Hal itu terdapat dalam kata ěhham (daging babi) dan leqqer (léhér).

85. Biasanja vokallah jang diduakalikan, konsonan djarang didua- kalikan. Kata lommra (telah diam) dalam bahasa Madura adalah ketjualian dari kebiasaan itu, menurut hukum jang telah dikemukakan dibawah nomor 86.

86. Hal menduakalikan bunji dalam bahasa² Indonésia jang sekarang berlaku berdasarkan beberapa faktor seperti berikut :

I. Djika akar kata dimulai dan berachir dengan konsonan itu djuga, maka akar kata itu diduakalikan, ialah satu tjara untuk membentuk kata dasar, misalnja dalam kata tottot (djinak) dalam bahasa Kangea. Keadaan itu terdapat djuga dalam bahasa anak², misalnja dalam bahasa anak² Atjéh: mammam (kuwé).

II. Membentuk kata² dari kata dasar. Dalam hal itu atjapkali dengan tjara bersahadja diadakan tambahan, seperti dalam bahasa Toba (awalan) mar + kata dasar rara mendjadi kata sifat marrara (mérah), atau dalam bahasa Madura menurut hukum bunji tentang kata jang mendahului: dari ŋator + (achiran) aghi terdjadi kata ŋatorraghi (menawarkan).

III. Ber-bagai² hukum bunji. Dalam bahasa Madura tiap konsonan jang mendahului r dan l diduakalikan ketjuali n, ŋ, w. oléh sebab itu terdapat kata lommra jang telah disebut tadi disamping kata lumrah jang terdapat dalam bahasa lain. Dalam bahasa Talaud r jang mengikuti vokal jang ditekankan bunjinja, diduakalikan. Tentang hal menduakalikan menurut bunji pepet, lihatlah keterang- an dibawah nomor 5.

IV. Asimilasi. Dalam bentuk bahasa Toba-lisan djika bunji sengau dihubungkan dengan konsonan letus takbersuara (ténuis), maka ter-djadi asimilasi bunji sengau itu dengan bunjiletus takbersuara (ténuis); oléh sebab itu kata gantuŋ jang terdapat dalam bentuk bahasa Toba-tulisan dan bahasa Indonésia purba mendjadi gattuŋ dalam bentuk bahasa Toba-lisan. Dan dalam "Bataksch Lessboak" van der Tuuk terdapat kalimat : marrara do dibahen lamun-na (mérah karena telah matang); kata dibahen lamun-a diutjapkan sebagai dibahel lamun-na dalam bahasa Toba. V. Haplologi terdapat djika misalnja dalam bahasa Ilokan kata apò-apò mendjadi appò (nénék).

VI. Gedjala-Sandhi jang tak berdasarkan asimilasi. Hal itu ter- dapat misalnja dalam bahasa Timor, seperti ternjata dari téks "Atonjes Nok" (Bijdragen tot de Taal-. Land en Volkenkunde van Nederland- sch-Indië 1904, hal. 271). Dalam téks itu terdapat kalimat: sao bifel- 1-es (kawin dengan perempuan itu), jang terdjadi dari: sao - bifel + es.

VII. Berpindah menurut analogi. Dalam bahasa Makasar n pada achir kata jang mendahului kataganti empunja (posésif) na ber-asimilasi; maka terdapatlah kita karaeŋna (radjanja) (karaènna); nna itu terdapat djuga pada kata² jang berachir dengan vokal, oléh sebab itu terdapat kata : matànna (matanja) dari mata.

VIII. Beberapa kataseru (interjéksi), seperti kata awwa dalam bahasa Madura.

87. Hal menduakalikan konsonan dibawah I-lah jang dapat di- tentukan terdapat djuga dalam bahasa Indonésia purba.

88. Tentang gedjala² bunji dalam hal menduakalikan konsonan terdapat banjak hal² sedjadjar dalam bahasa Indogerman. Bunji konsonan jang pandjang dalam bahasa Djerman-Barat misalnja dapat dibandingkan dengan hal menduakalikan konsonan dalam bahasa Madura jang dimaksudkan dalam III. (Karangan Kluge "Urger-manische"). Menurut Brugmann ("Kurze vergleichende Grammatik der indogermanischen Sprachen") tak dapat hal² jang sama antara hal memperduakan kataganti (pronomén) dalam bahasa² Indogerman dengan hal menduakalikan konsonan dalam bahasa² Indonésia.