Lompat ke isi

Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB II

ICHTISAR DAN URAIAN TENTANG BUNJI
DALAM BAHASA² INDONESIA.

Sistim bunji dalam bahasa Indonésia purba.

39. Dalam bahasa Indonésia purba terdapat bunji seperti berikut :
Harakat (vokal) : a, i, u, e, o, é,
Setengah harakat; (half-vokalen) : y. w.
Bunji-lebur. (liquida) : rl, r2, I.
Konsonan pangkal-tenggorok (laringal) : q.
Konsonan Iangit² lembut (vélar) : k, g, ŋ.
Konsonan langit² (palatal) : c, j, ñ.
Konsonan gigi (déntal) : t, d, n.
Konsonan bibir (labial) : p, b, m.
Konsonan géséran (sibilant) : s.
Konsonan pangkal tenggorok (aspirate) : h.

40. Tjatatan tentang bunji² itu.
I. Dalam monografi saja dulu telah diterangkan bahwa kata bela (kawan) dan sor (bawah) jang mengandung harakat (vokal) e dan o terdapat dalam bahasa Indonésia purba.
II. Bunji rl diutjapkan dengan lidah dan bunji r2 dengan anak lidah.
III. Bunji laringal q, jang dinamai djuga hamza, kurang penting dalam bahasa² Indonésia. Hanja dalam satu hal sadja (lihat keterang­an dibawah nomor 181) mungkin sekali bunji itu terdapat dalam bahasa Indonésia purba.
IV. Sebagian kaum penjelidik bahasa berpendapat, bahwa kon­sonan langit² (palatal) terdjadi dari konsonan gigi (déntal). Tentang pendapat itu tidak, dikemukakannja alasan² jang kuat dan dalam monografi saja jang dulu saja telah mengemukakan pendapat lain.
V. Begitu djuga halnja tentang bunji letus bersuara (media) dan konsonan bibir (labial). Sebagian kaum penjelidik bahasa Indonésia purba tentang hal itupun berlainan pendapatnja. VI. Perlu diakui, bahwa gambaran kita tentang bunji dalam bahasa Indonésia purba sekarang masih kasar. Belum tentu misalnja apakah bahasa Indonésia purba mempunjai ber-bagai² konsonan gigi (déntal), apakah huruf² itu bersifat postdéntal atau supradéntal, dsb. Tentang hal itu kami belum dapat memberikan keterangan.

VII. Hal menundjukkan huruf pepet dengan huruf ě ialah kurang tepat dan dapat menjesatkan, tetapi umum berlaku. Hal menundjuk- kan hamza dengan apostrof sama sekali gagal, jang harus diperguna- kan untuk maksud lain, misalnja dalam hal menghilangkan huruf.

Bahwa hamza itu kurang tepat dipergunakan, hal itu ternjata dari nama² karangan seperti "De Bar'e-sprekende Toradjo's"; apostrof jang pertama dalam nama karangan itu berarti hamza dan apostrof jang kedua memetjahkan bentuk djamak. Saja memakai tanda q sebagai pengganti hamza.

Sistim bunji dalam bahasa jang sekarang berlaku dibandingkan
dengan sistim bunji dalam bahasa Indonésia purba.

41. Dibandingkan dengan bahasa Indonésia purba bahasa Indonésia jang sekarang berlaku mengandung hal² jang chusus seperti berikut :

I. Beberapa bunji jang terdapat dalam bahasa Indonésia purba tak terdapat lagi dalam banjak idiom sekarang. Bahasa Djawa kuno tak mempunjai huruf r2. Dalam bahasa Roti sekarang tak terdapat huruf pepet, konsonan langit² (palatal) dan huruf r; huruf y dan w hanja terdapat pada kataseru (interjéksi) sadja.

II. Banjak idiom sekarang memperoléh huruf² baru. Bahasa Howa misalnja mempunjai konsonan géséran (spirant) f dan z sekarang.

III. Huruf² jang tertentu jang terdapat dalam bahasa Indonésia purba telah hilang dalam banjak idiom sekarang, tetapi huruf² itu dibentuk lagi dari huruf² lain. Huruf h dalam bahasa Indonésia purba misalnja tak dibunjikan dalam bahasa Howa, oléh sebab itu terdapat kata fulu dalam bahasa itu jang sama artinja dengan puluh dalam bahasa Indonésia purba, tetapi huruf h muntjul kembali dari huruf k, misalnja dalam kata hazu jang sama artinja dengan kata kayu dalam bahasa Indonésia purba. IV. Huruf jang terdapat dalam bahasa Indonésia jang sekarang berlaku tetapi tak terdapat dalam bahasa Indonésia purba ialah:
Umlaut ä. Ö. Ü.
harakat (vokal) sengau.
Huruf cerebral
konsonan géséran (spirant) x, v, s, z, f.

42. Banjak bahasa Indonésia jang sekarang berlaku mempunjai beberapa huruf jang ber-lain²an bunjinja. Bahasa Nias misalnja mem- punjai dua matjam o (lihat keterangan dibawah nomor 5), bahasa Talaud dua matjam l (lihat keterangan dibawah nomor 5), bahasa Indonésia purba mempunjai dua matjam r (lihat keterangan dibawah nomor 129).

43. Huruf jang dibunjikan dengan tjara luar biasa djarang terdapat dalam bahasa² Indonésia. Dalam bahasa Busang misalnja konsonan bibir gigi (labiodéntal) b diutjapkan dengan menekankan bibir bawah pada gigi atas dan dalam bahasa Buli terdapat huruf h jang dibunjikan dengan bernapas melalui hidung.

Tjara mengutjapkan bunji jang tentu dan jang tak tentu.

44. Dalam sebagian bahasa² Indonésia bunji diutjapkan dengan tjara jang tentu dalam sebagian lagi dengan tjara jang tak tentu. Dalam bahasa jang berlaku di Philipina ,,bunji i tak dapat dibedakan dengan bunji "e (Scheerer). Dalam bahasa Dajak "o dibunjikan antara o dengan u dan seorang orang Dajak itu djuga kadang² membunjikan-nja hampir seperti o kadang² lagi hampir seperti u." (Hardeland). Bangsa Bontok mengutjapkan beberapa huruf sekehendaknja sadja. Menurut Kolling dalam téks Seidenadel hal. 555 dan selandjutnja kata esaed (lalu) kadang² diutjapkannja isaed.

45. Hal mengutjapkan bunji dengan tjara jang tak tentu itu dapat merupakan taraf pertama dari pertumbuhan gedjala bunji. Bahasa Dajak bertali erat dengan bahasa Howa, tetapi dalam bahasa Howa huruf o tidak dibunjikan antara o dengan u; bunji o telah mendjadi satu dengan huruf u, sehingga bahasa Howa tidak mempunjai huruf o lagi.

46. Hal mengutjapkan bunji dengan tjara jang tak tentu itu terdapat dalam beberapa bahasa Indogerman jang tertentu. Finck dalam karangannja ,,Lehrbuch des Dialekts der deutschen Zegeuner" menundjukkan bahwa huruf w atjapkali diutjapkan sebagai b dan sebaliknja.
Hal mengutjapkan bunji
sepenuhnja atau sebagian sadja.

47. Dalam banjak bahasa Indonésia beberapa huruf jang tertentu tidak seluruhnja diutjapkan tetapi hanja sebagian sadja. Dalam bahasa Bontok ,,bunji g, d, b, pada achir kata hampir tidak terdengar bunji-nja" (Seidenadel). Dalam bahasa Gayo ,,dalam kata² jang mengandung ng, nj, nd, mb bunjiletus bersuara (média) hampir tak terdengar, sehingga atjapkali tak dapat diketahui tentang ada tidaknja média itu". (Hazeu). Dalam bahasa Howa ,,harakat (vokal) pada achir kata hampir hilang". (Rousselot).

48. Hal mengutjapkan bunji dengan tjara lemah terutama menge- nai harakat (vokal), seperti huruf a dalam kata pûluàh (sama dengan kata puluh dalam bahasa Indonésia purba); harakat (vokal) jang me- nurut keterangan dibawah nomor 232 terdjadi karena bunji diulangi seperti y dalam kata ari gyaga (ari + gaga) dalam bahasa Howa, (ari gyaga = dan heran); bunji-perantara dan bunji jang memisahkan seperti dalam kata wanuwa (negeri) dalam bahasa Bugis, jang sama artinja dengan wanuwa dalam beberapa bahasa Indonésia lain. Hal mengutjapkan bunji-perantara dan bunji jang memisahkan dengan tjara jang kurang tegas itu mempengaruhi djuga bentuk bahasa tulisan. Dalam bentuk bahasa-tulisan bunji itu kadang² dipakai, kadang² lagi hilang. Dalam tjerita Bugis ,,Paupau Rikadòŋ" kata riyanaq (ri + anaq ,,kepada anak") ditulis rianaq.

49. Hal mengutjapkan, bunji dengan tjara lemah menundjukkan bahwa bunji itu akan hilang sama sekali. Bunji letusan bersuara (média) jang dalam bahasa Gayo diutjapkan dengan tjara lemah, tak terdapat lagi dalam beberapa idiom lain, misalnja dalam kata tana dalam bahasa Roti jang sama artinja dengan tanda dalam bahasa Indonésia purba.

50. Hal mengutjapkan bunji dengan tjara kurang tegas itu terdapat djuga dalam bahasa² Indogerman, misalnja dalam kata mensa dalam bahasa Latin bunji n jang mendahului s kurang tegas diutjapkan. (lihat karangan Sommer "Handbuch der lateinischen Laut-und Formenlehre"). Dalam hal itupun hal mengutjapkan bunji dengan tjara kurang tegas itu menundjukkan bahwa bunji itu akan hilang sama sekali, oléh sebab itu terdapat kata mesa dalam bahasa² Romein.
Uraian lebih landjut tentang bunji dalam bahasa Indonésia.

51. Dibawah ini saja membuat uraian selandjutnja tentang bunji dalam bahasa² Indonésia jang kiranja sesuai dengan maksud dan tudjuan monografi saja ini.

52. Harakat (vokal) akan digambarkan dalam bab jang berikut dengan tjara jang mendalam menurut kwantitét dan kwalitétnja. Dalam bab ini hanja huruf pepet sadjalah jang akan dibitjarakan.

53. I. Huruf pepet jang sebenarnja. Huruf pepet dalam bahasa Djawa tak tentu bunjinja, djika tidak dibunjikan dengan gerak mulut jang tertentu seperti dalam hal membunjikan huruf hidup a, l, dsb. jang tentu bunjinja". (Roorda). Dalam mengutjapkan huruf pepet dalam bahasa Madura, rongga mulut seperti kalau orang bernapas. (Kiliaan)

II. Huruf pepet jang dibunjikan dengan tjara jang agak berlainan dengan tjara mengutjapkan huruf pepet jang sebenarnja. Dalam hal itu bunji pepet itu menghampiri bunji a-, i- atau u-. ,,Dalam bahasa Bugis bunji pepet è ialah agak seperti bunji a". (Matthes). Dalam bahasa Djawa kuno bunji pepet menghampiri bunji u dan mendjadi w djika sesudah suatu konsonan lenjap, mendahului suatu harakat (vokal); oléh sebab itu terdapat kata bwat dalam bahasa Djawa kuno jang menggantikan kata běat (= běrat dalam bahasa Indonésia purba).

Bunji a-, i-, dan u- ialah bunji-peralihan dari a, i dan u. Dalam bahasa Bugis huruf pepet itu berbunji seperti a dan dalam bahasa Makassar jang erat bertali dengan bahasa Bugis sama benar bunjinja dengan a.

III. Huruf-lebur pepet (liquid). Dalam sebagian bahasa Indonésia huruf pepet itu seperti harakat (vokal) lain sifatnja, péndék atau pandjang bunjinja, ditekankan atau tidak ditekankan. Dalam sebagian bahasa² lagi, seperti dalam bahasa Tontémboa hanja péndék sadja bunjinja, atau tidak ditekankan seperti dalam bahasa Gayo; oléh sebab itu terdapat kata tùluk (memeriksa) dan tělúk (teluk) dalam bahasa itu.

Ber-bagai² gedjala bunji dalam bahasa² Indonésia bertali dengan bunji-lebur (liquid) itu. Pada hémat saja dalam semua bahasa Indonésia huruf pepet itu tidak dibunjikan sebagai diftong. Dalam bahasa Djawa kuno huruf u jang mendahului vokal berbunji seperti konsonan: oléh sebab itu bentuk tjara andai (konjunktif) dari těmu ialah atěmwa; huruf u jang mendahului huruf pepet tetap ada dengan tak dipandjang-kan bunjinja; bentuk gerundium dari těmu ialah těmun (temu + ěn).

54. Umlaut dibitjarakan dibawah nomor 251 dan selandjutnja dalam hubungan dengan soal lain.

55. Huruf jang berbunji sengau tak banjak terdapat dalam bahasa² Indonésia. Bunji sengau mempengaruhi huruf jang mendahului atau mengikutinja.

I. Bunji sengau jang mendahului huruf jang tak berbunji sengau. ,,Dalam bahasa Atjéh harakat (vokal) jang mengikuti huruf jang berbunji sengau, mendjadi berbunji sengau djuga". (Snouck Hurgronje).

II. Bunji sengau jang mengikuti huruf jang tak berbunji sengau. ,,Dalam bahasa Howa seperti dalam bahasa Perantjis, harakat (vokal) jang mendahului huruf jang berbunji sengau, berbunji sengau djuga". (Rousselot) ,,Dalam bahasa Sakalavi misalnja huruf a jang pertama dalam kata mandea (pergi) berbunji sengau, oléh sebab mendahului bunji n" (Fahrner) 56. Setengah-harakat (vokal) (half-vokal) y dan w Huruf y dalam bahasa Djawa ialah setengah-harakat (vokal) seperti y dalam kata il y a dalam bahasa Perantjis", (Roorda). ,,Huruf y dalam bahasa Dajak diutjapkan seperti y dalam kata you dalam bahasa Inggeris". (Hardeland) ,,Huruf w dalam bahasa Bontok ialah u jang bersifat konsonan" (Seidenadel). Huruf w dalam bahasa Makasar berbunji seperti ou dalam kata ouate dalam bahasa Perantjis" (Matthes).

Ber-bagai² gedjala bunji dalam bahasa Indonésia bertali dengan bunji kedua setengah-harakat (vokal) itu. ,,Djika seorang orang Dajak berbitjara dengan per-lahan², maka huruf y diutjapkan seperti hurup i péndék, djadi yaku diutjapkannja sebagai iaku jang terdiri atas tiga suku kata" (Hardeland). Dalam beberapa bahasa Indonésia huruf w pada permulaan kata dibunjikan hampir seperti u; kata walu dalam bahasa Indonésia purba diutjapkan sebagai walu dan uwalu dalam bahasa Tontémboa.

Dalam bahasa² Indonésia, setengah-harakat (vokal) itu diutjapkan djuga dengan tjara lain. ,,Dalam bahasa Bunku huruf w ialah konsonan bibirgigi (déntilabial)" (Adriani). Djika dalam bahasa Roti w diutjap-kan sebagai f misalnja dalam kata falu jang sama artinja dengan kata walu (delapan) dalam bahasa Indonésia purba dan dalam bahasa Howa y diutjapkan sebagai z misalnja dalam kata hazu jang sama artinja dengan kata kayu dalam bahasa Indonésia purba, maka hal itu dapat dipandang sebagai taraf peralihan.

57. Huruf liquid r dan l.

I. Huruf liquid r. ,,Huruf r dalam bahasa Melaju disatu daérah diutjapkan dengan menggerakkan lidah pada gigi, didaérah lain dengan menggerakkan lidah pada langit² atau dengan menggerakkan anak lidah". (Ophuijsen) ,,Huruf r dalam bahasa Melaju disemenandjung Malaya sebelah utara ialah huruf anak-tekak (uvula) (diutjapkan dengan menggerakkan anak lidah") (Winstedt). ,,Dalam bahasa Madura huruf r ialah huruf koronal kakuminal" (Kiliaan) ,,Dialék di Sangir sebelah utara mempunjai bunji r jang diutjapkan sebagai konsonan bibir (labial)". (Talens).

Beberapa bahasa Indonésia mengutjapkan r dengan dua tjara. Dalam bahasa Běsěmah huruf r dibunjikan dengan menggerakkan lidah atau anak lidah. Begitu djuga halnja tentang bunji r dalam bahasa Indonésia purba (lihat keterangan dibawah nomor 40).

II. Huruf liquid l. ,,Dalam bahasa Gayo huruf l diutjapkan dengan menggerakkan udjung lidah pada akar gigi atas" (Hazeu). ,,Dalam bahasa Madura huruf l dibunjikan dengan menggerakkan sisi udjung lidah pada langit dan udjung lidah dilengkungkan kebelakang" (Kili-aan). Bahasa Bada mempunjai huruf prépalatal disamping huruf l supradéntal l" (Adriani).

59. Konsonan langit² lembut (vélar). Tentang hal itu tak perlu kongan,, (Adriani). ,,Dalam bahasa Ampana hamza umumnja dibunji-kan kurang tegas". (Adriani).

59. Konsonan langit² lembut (vélar. Tentang hal itu tak perlu diberikan keterangan lebih landjut.

60. Huruf konsonan langit² (palatal). „Dalam bahasa Madura konsonan langit² (palatal) itu dibunjikan dengan menggerakkan lidah, terutama bagian tengahnja, pada langit" (Kiliaan). ,,Dalam bahasa Djawa huruf c ialah huruf letusan supradéntal, dalam bahasa Melaju huruf palatal, tetapi tidak meletus benar, seperti dalam bahasa Tontémboa" (Adriani). ,,Dalam bahasa Bontok huruf c dan j dibunjikan sebagai t dan d (Seidenadel menulisnja sebagai tj dan dj), atjapkali berbunji seperti ts dan ds" (Seidenadel).

61. Uraian tentang konsonan langit² (palatal) itu menundjukkan, bahwa huruf itu dalam ber-bagai² bahasa dibunjikan dengan tjara jang ber-lain²an sekali, sehingga tak dapat dinamai bunji palatal lagi, terutama oléh sebab dalam beberapa bahasa tak bersifat éksplosif. Dalam hal itu bunji palatal itu tidak merupakan satu konsonan, tetapi dua konsonan. Berdasarkan keadaan itu ber-bagai² gedjala bahasa dapat diterangkan :

I. Kata² dalam bahasa Indonésia tak dapat berachir dengan beberapa konsonan, begitu djuga bunji palatal, tidak terdapat pada achir kata.

II. Dalam bahasa Dajak dua konsonan (tweevoudig konsonant) membuat harakat (vokal) jang mendahuluinja mendjadi péndék, seperti dalam kata sānda (djaminan); satu bunji letusan bersuara (média) mendjadikannja pandjang seperti dalam kata lādin (pisau), tetapi djika konsonan itu mendahului bunji konsonan langit² meletus dan bersuara (palatal-média), maka harakat (vokal) itu mendjadi péndék seperti dalam kata màja (mengundjungi). Konsonan langit2 (palatal) itu membuat j djuga berbunji seperti dua konsonan.

III. Dalam bahasa Sunda suku kata jang terachir ditekankan, djika suku kata jang mendahului suku kata jang terachir merupakan bunji pepet, misalnja dalam kata tělùk; tetapi djika huruf pepet di- ikuti dua konsonan seperti dalam kata děnki, atau djika diikuti konsonan langit² (palatal) seperti dalam kata sěja (rentjana), maka ě tetap ditekankan.

Tjatatan. Dari keterangan dibawah nomor 60 ternjatalah bahwa dalam abdjad bumi putra konsonan langit² (palatal) kadang² ditulis sebagai konsonan langit² (palatal) sengau, kadang² lagi sebagai kon- sonan gigi (déntal) sengau, djadi kadang² orang menulis tuŋjun kadang² lagi tuŋjuŋ (bunga teratai).

62. Huruf² cerebral atau kakuminal. ,,Dalam bahasa Madura huruf kakuminal diutjapkan dengan menggerakkan udjung lidah pada bagian depan langit² dan udjung lidah itu dilengkungkan kebelakang." (Kiliaan).

63. Konsonan gigi (déntal). ,,Dalam bahasa Atjéh huruf d dibunji-kan dengan menggerakkan udjung-lidah pada langit² dekat akar gigi atas" (Snouck Hurgronje). ,,Dalam bahasa Melaju huruf d dan t ialah huruf supradéntal" (Fokker) ,,Dalam bahasa Lebon huruf d dan t ialah supradéntal" (Adriani).

64. Konsonan bibir (labial). Tentang huruf² itu tak perlu diberi-kan keterangan lebih landjut. 65. Konsonan gérésan (spirant). Dalam bahasa Dajak buruf s dibunjikan dengan tegas seperti dalam bahasa Djerman" (Hardeland). ,,Dalam bahasa Tontémboa huruf s ialah huruf supradéntal" (Adriani). ,,Dalam bahasa Gayo huruf s dibunjikan di-sela² gigi" (Hazeu).

,,Dalam bahasa Nias huruf x dibunjikan seperti ch dalam kata wachen dalam bahasa Djerman" (Sundermann). ,,Bahasa Tontémboa tidak mempunjai konsonan langit² lembut letus bersuara (média vélar) sebagai penggantinja terdapat konsonan géséran (spirant) jang diutjapkan pada bagian belakang langit²". (Adraini). ,,Dalam bahasa Bontok huruf s dibunjikan seperti sh dalam kata shield dalam bahasa Inggeris" (Seidenadel), dan huruf f seperti huruf f dalam kata fine dalam bahasa Inggeris. ,,Dalam bahasa Bufu huruf f ialah konsonan bibir (bilabial)" (Adraini).

66. Konsonan pangkaltenggorok h. ,,Dalam bahasa Gayo seperti dalam bahasa Belanda huruf h dibunjikan dengan tegas, djuga pada achir suku kata. (Hazeu)" Dalam bahasa Djawa huruf h pada per-mulaan kata tak dibunjikan dan pada achir kata kurang tegas dibunji-kan. Begitu djuga halnja djika terdapat antara dua harakat (vokal) jang ber-lain²an dan antara harakat (vokal) jang sama, seperti dalam bahasa Belanda". (De Hollander).