Bumiku Yang Subur/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

8. Maka Sang Macan terperangkaplah!

Hari sudah lewat pukul empat sore. Kami sudah bersiap-siap akan pulang dari ladang. Mak sedang mengemasi cerek, tempat nasi dan alat-alat lainnya. Papa sedang berdiri dibawah dengan memegang sebilah sabit. Di bibirnya terselip sebatang rokok.

Tiba-tiba dengan mendadak kami lihat beberapa orang laki-laki berlarian menuju kedalam rimba. Apakah yang terjadi? Kami bertanya kepada mereka. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab. Mungkin karena kami jauh dan pertanyaan kami tidak didengarnya.

Kemudian kelihatan seorang laki-laki lagi. Ia tidak berlari-lari hanya berjalan gontai saja. Kami bertanya lagi. Tidak jelas semua jawabannya tetapi dalam kata-katanya dapat kami tangkap: "Harimau!"

Karena setelah mendengar apa yang diributkan orang-orang itu kami dengan segera berlompatan ke atas gubuk dan melihat lewat pintu dengan tubuh gementar. Mak berlari pula ke pintu dan menengok kebawah. Papa berdiri juga disamping pondok dengan sabitnya.

Dalam pikiran kami orang-orang itu melihat harimau dan berlarian pontang-panting. Jangan-jangan sebentar lagi sang macan akan muncul di ladang kami. Aduh, bisa barabe tamu berkumis panjang yang sanggup menelan anak-anak itu muncul di ladang kami. Kami semua gementar sebagai demam malaria.

Dalam pemikiran kami: Kalau ada harimau masakan orang akan berlarian kedalam hutan. Harusnya sebaliknya. Sebab menuju hutan berarti menuju sarangnya binatang-binatang buas itu.

Kemudian barulah kami dapat berita yang pasti. Seekor anak kerbau milik pak Jakhtar diterkam harimau. Wah, bukan main sang macan ini. Berani menangkap mangsanya di siang bolong begini. Biasanya harimau menangkap mangsanya malam hari. Namun kami bergegas juga pulang ke desa. Bukan main takutnya kami. Rasa-rasa akan menongol saja binatang buas itu di jalan kami akan pulang. Sebab jalan setapak itu melewati semak belukar yang rapat. Juga padang ilalang yang tebal dan rapat. Tempat serupa itu sangat digemari oleh harimau.

Di desa kami pada umumnya ternak seperti lembu dan kerbau dilepaskan begitu saja kedalam rimba. Mereka bisa mencari makan sendiri dalam rimba itu. Memang disana banyak rumput-rumput muda yang merupakan santapan nikmat bagi para hewan itu. Dan nanti setelah sore mereka pulang sendiri ke desa. Biasanya pemilik atau gembalanya menuruti ke rimba.

Karena itulah papa membuat pagar kawat berduri mengitari ladang kami. Anak kopi yang baru ditanam nanti bisa lumat oleh injakan telapak kaki sang hewan itu.

Nah, salah seekor kerbau yang dilepaskan itulah yang sudah jadi korban harimau. Seekor anak kerbau gemuk yang baru berumur kira-kira satu tahun. Tetapi anak kerbau itu tidak sampai dapat di santap sang macan. Bahunya terkelupas kena cakar harimau dan masih meneteskan darah segar. Di beberapa bagian tubuhnya yang lain terdapat juga luka-luka yang tidak begitu parah.

Tetapi herannya besok pagi kami mendengar berita bahwa anak kerbau yang dilukai harimau itu sudah almarhum. Sudah mati. Tak lantas pada angan bahwa luka-lukanya yang kelihatan tak berarti itu akan membawa mautnya. Anak kerbau yang malang itu tak sanggup bertahan satu malam saja. Kata orang: - gigitan harimau itu berbisa. Sehingga bisa taring harimau itulah yang membunuh anak kerbau itu.

Pada satu kali seorang kampung kami diterkam harimau di Manggilang dekat Pangkalan Kota Baru. Namanya si Sukar.

Ia hanya luka-luka saja dan kelihatannya tidak begitu parah. Sukar dibawa ke Rumah Sakit Umum di Bukit Tinggi. Setelah diobati dokter luka-lukanya mulai sembuh. Tetapi mendadak luka-lukanya kambuh lagi. Dan besoknya Sukar meninggal dunia. Bisa taring harimau itulah yang menewaskan Sukar yang malang itu.

Demikian pula terjadi pada anak kerbau itu. Mau disembelih kemarinnya anak kerbau itu masih terlampau kecil, masih anyir,- kata orang. Jadi terpaksa dikuburkan saja. Yang dikuburkan hanya kepalanya saja. Kenapa? Inilah kisahnya!

Harimau memang ada dalam hutan rimba Mangkisi itu. Masakan tidak, sebab hutan rimba ialah tempat bermukim binatang-binatang itu. Orang-orang yang pergi ke hutan sering berjumpa dengan harimau. Tetapi mereka jarang mendatangkan kerugian kepada manusia. Jarang binatang-binatang itu memangsa ternak apalagi manusia. Manusia yang jadi korban di daerah kami jarang sekali. Mungkin hanya terjadi sekali dalam sepuluh tahun atau lebih. Pendeknya jarang sekali kalau dikatakan tak pernah.

Bukan tak pernah orang berpapasan dengan harimau. Baik di hutan pada siang hari atau di desa pada malam hari.

Papa pernah berpapasan dengan harimau ketika pulang ke Lurah Bukit dari Balai Panjang. Hari ketika itu baru jam tujuh malam. Papa harus melewati jalan yang lengang. Beliau ada membawa senter. Setiba disebuah pesawangan papa melihat ada cahaya senter di tengah sawah berjarak kira-kira 20 meter dari jalan. Papa mengira mulanya ada orang bersenter. Tetapi ketika papa menyenter pula senter yang kelihatan itu menjadi dua. Oh, rupanya bukan sinar senter yang nampak oleh papa. Melainkan dua mata harimau. Papa tidak lari. Ia berjalan ber sisurut kebelakang.

Harimaupun gemar dengan durian. Tidak jarang terjadi manusia dengan harimau sama-sama menunggu durian jatuh malam hari.

Bila ada durian jatuh lalu saling rebutan dengan harimau.

Ini terjadi bila durian mulai 'langkeh'. Langkeh maksudnya buah durian itu tak berapa lagi tinggal di dahan-dahannya.

Maka menurut kepercayaan orang kalau seekor harimau sudah berutang ia harus membayarnya. Kini ia sudah berutang. Anak kerbau gemuk milik pak Jakhtar sudah diterkamnya. Walau tidak sempat dimakannya tetapi anak kerbau itu mati. Sebab itu sang macan sudah berutang. Berapa rupiah? Tentu saja sang harimau tidak kenal dengan mata uang. Ia tak pernah membayar harga ternak-ternak yang pernah dijadikannya mangsanya. Tetapi kalau ia sudah bersalah, misalnya menangkap seekor kambing, atau kerbau, sang macan harus membayar utangnya. Tunai! Tidak boleh pakai bon segala. Dan bagaimana caranya?

Jika ada binatang ternak menjadi mangsa harimau orang akan mendatangi pawang harimau. Di desa kami masih ada seorang pawang harimau itu. Namanya Marah. Lengkapnya Marah Kincir, sebab ia tinggal di kincir. Itu hanya untuk membedakannya saja. Sebab ada orang bernama Marah yang lain.

Pawang Marah ini sudah terkenal bahkan sampai keluar daerah kami. Sebagai sudah dikisahkan diatas bahwa di Padang Mengatas ada sebuah peternakan yang besar. Disana dipelihara lembu banyak sekali. Lembu itu dilepaskan begitu saja di padang-padang yang luas di lereng gunung Sago itu. Sebelah keatas padang rumput itu ialah hutan rimba belantara.

Untuk menjaga supaya lembu itu jangan diganggu binatang buas terutama harimau dibuat pagar kawat berduri sepanjang tepi padang rumput itu. Cukup rapat dan cukup tinggi. Hampir lima meter tingginya.

Tetapi akhirnya lembu itu hilang juga. Seekor demi seekor. Rupanya diterkam harimau pada siang bolong. Orang takjub memikirkannya. Bagaimana harimau sanggup melompati pagar kawat berduri setinggi itu. Dan kemudian meloncat kembali dengan menggonggong mangsanya seekor lembu yang puluhan kilo beratnya. Tetapi itu memang terjadi.

Satu kali, dua kali, dan sudah banyak lembu yang menjadi korban harimau. Akhirnya atas nasehat orang kampung dipanggil pawang harimau ialah Mak Marah.

Dengan petunjuknya dibuatlah sebuah perangkap harimau. Banyak orang tidak percaya bahwa harimau akan mau masuk kedalam perangkap itu. Pintunya amat kecil tak mungkin seekor harimau akan masuk kedalamnya. Lebih-lebih dari kalangan pemuda. Mereka tak percaya sedikit juga. Malah mencemeehkan.

Tetapi pada suatu hari kelihatan pintu penjara tertutup. Beberapa orang pemuda yang tak percaya itu datang mendekati. Mereka mencoba mengintip lewat celah-celah pagar penjara itu. Tiba-tiba: "Auuuuum," dengan sebuah raungan yang dahsyat pemuda itu disambut dari dalam perangkap. Seorang sampai pingsan dan yang dua menjadi lumpuh tak bisa lari. Itulah tuahnya sang harimau itu.

Yang masuk perangkap ialah seekor harimau yang amat besar. Ia sudah membayar utangnya. Tunai tanpa tunggakan. Semenjak itu amanlah Padang Mengatas. Dan orang percaya dengan keampuhan ilmu Mak Marah pawang harimau itu.

Dan itu pulalah yang terjadi di desa kami. Apalagi Mak Marah pawang itu tinggalnya di desa kami. Ia sudah tua, bertubuh kecil tetapi amat ditakuti oleh harimau.

Mak Marah menasehatkan supaya bangkai anak kerbau itu jangan semua dikuburkan. Yang dikuburkan hanya kepalanya saja dan badannya akan dijadikan umpan harimau.

Kemudian ia pula yang menentukan dimana lokasi akan dibangun perangkap harimau itu. Tidak berapa jauh desa. Di pinggir jalan orang akan ke rimba.

Tidak pula berapa jauh dari rumah Kepala Jorong. Barangkali tidak sampai seratus meter.

Pada hari membuat perangkap itu semua laki-laki dalam kampung ikut ber gotong royong. Mereka membawa alat perkakasnya seperti parang, dan kapak. Lalu pergilah mereka kedalam rimba tempat lokasi perangkap itu. Rimba itu namanya 'Si Gamai-gamai'. Ke rimba itu jarang orang mencari kayu. Di daerah itulah orang sering terkejut oleh harimau.

Mereka mencari kayu untuk membuat perangkap. Kayunya tidak boleh sembarang kayu. Terbanyak dipergunakan ialah kayu kandung dan kayu kangkung. Kedua kayu itu amat dibenci harimau.

Kayu kangkung itu seluruh batangnya berbintil-bintil sebagai badan kangkung (katak). Manusiapun benci melihatnya. Sebab itu orang tak pernah mempergunakan kedua jenis kayu itu untuk membuat ramuan. Biar membuat pondok sekalipun. Sebab dengan menggunakan kedua jenis kayu itu akan dapat mengundang kedatangan sang harimau ke rumah kita. Tetamu yang kurang menyenangkan dan tak diharapkan kedatangannya.

Luasnya perangkap itu panjangnya kira-kira dua meter, dan lebarnya lebih sedikit satu meter. Jadi sempit sekali. Kayu dindingnya itu ditancapkan dalam-dalam masuk tanah. Hampir satu meter. Lubangnya digalikan lebih dahulu.

Dindingnya itu dibuat ber lapis-lapis. Kita hampir-hampir tak bisa mengintip kedalamnya. Sebelah atasnya diberi pula tutupnya dari kayu bulat-bulat. Diberati pula dengan batu-batu besar. Sehingga harimau yang paling besar dalam hutan itu takkan mampu menerobos perangkap itu bila ia tertangkap.

Setelah dinding-dindingnya selesai dan dianggap cukup kuat barulah dipasang pintunya. Pintu itu sebuah papan balok yang amat berat, tebal dan besar. Jika ia dijatuhkan dari atas akan jatuh tertancap kedalam tanah sedalam kira-kira satu meter. Harimau yang terbesar diatas dunia ini takkan sanggup mengungkitnya.

Pada pintu itu dibuat pesawatnya yang terbuat dari tali ijuk. Tak boleh dibuat dari tali plastik atau tali nylon. Mengambil ijuk untuk membuat tali pesawat ini harus pula dengan petunjuk dari sang pawang. Kelebihan ijuknya tak boleh digunakan untuk yang lain. Tentu ada pula mantera-manteranya. Lalu dipasanglah tali rahasia pintu perangkap itu. Sebelumnya anak kerbau sisa ayapannya sudah diletakkan dalam perangkap itu. Jadi kalau harimau memasuki perangkap itu dan tersentuh tali pesawatnya, pintu akan jatuh dan... terperangkaplah sang harimau.

Bila ia tahu tentu ia akan berputar-putar, melonjak-lonjak, mengekas-ngekas dan segala usaha untuk melepaskan diri. Tetapi semuanya amat kuat tak bisa dirusakkannya.

Pada puncak pintu yang sudah terangkat keatas itu dipasang sebuah bendera. Bukan bendera putih, bukan Sang Saka, tetapi asal bendera saja yang gampang dilihat dari jauh. Bendera itu hanya menjadi tanda. Kalau perangkap mengena atau dikatakan orang 'bingkas' daun pintunya akan jatuh kebawah. Bendera yang terpasang itu akan turun. Jadi dilihat dari jauh saja orang sudah mengetahui bahwa perangkap sudah mengena.

Bila semua sudah selesai semua orang-orang pulang. Hati semuanya berdebar-debar, membuat tanda tanya: - Apakah harimau itu akan membayar utang dan masuk kedalam perangkap?-

Tetapi tugas pawang belum selesai. Setiap senja dengan beberapa orang temannya ia datang ke perangkap itu. Dibacanya mantera-mantera. Dan dipanggilnya sang harimau yang bersalah supaya datang ke dalam istana itu. Santapan nikmat,- sisanya sendiri,- sudah tersedia.

Dengan seorang temannya yang di ibaratkan harimau sang harimau di tunjukkannya jalan dari hutan menuju pintu perangkap.

Bila malam itu harimau belum datang senja besok diulangi lagi panggilan gaib itu. Maka menurut kisahnya harimau yang bersalah akan didesak oleh kawan-kawannya supaya membayar utang. Ia akan digiring oleh teman-temannya menuju penjara dan mempersilakan masuk kedalamnya. Malahan sebelum masuk kedalam perangkap ia mampir sebentar kerumah pawang. Diluar ia mendengus-dengus dan mengekas-ngekas sebagai melapor bahwa ia akan pergi ke penjara.

Pawang sudah maklum siapa tamunya yang muncul itu. Ia akan berseru: "Hayo, bayarlah utang panglima!" Dan dengan patuh harimau menuju perangkap dan masuk kedalamnya. Bila sudah masuk tali rahasia akan tersentuh dan pintu akan jatuh dengan suara dahsyat dan benderapun turunlah.....

Sudah agak lama Mak Marah pernah juga membuat perangkap harimau dekat desa juga. Ada seekor harimau bersalah menerkam seekor jawi (lembu). Dengan kekuatan hikmat dan tenaga gaib pawang harimau itu membayar utangnya. Ia masuk kedalam perangkap. Hampir seluruh penduduk Seberang Air dan desa-desa sekitarnya datang melihat harimau itu. Harimau ini tidak dibunuh, tetapi dibawa ke Bukit Tinggi. Lalu dimasukkan ke Kebun Binatang. Harimau itu amat besarnya. Ada tanda harimau itu, cuping telinganya robek sedikit. Tetapi apakah sekarang harimau itu masih ada, entahlah!

Malam-malam yang berlalu sesudah perangkap dipasang agak menyeramkan. Lewat waktu magrib desa sudah sunyi sepi. Orang takut keluar, semua dicengkam ketakutan. Sebab bayangkan!

Semua harimau dalam hutan akan mengadakan musyawarah, mencari siapa kawannya yang bersalah menerkam anak kerbau pak Jakhtar. Kemudian yang bersalah digiring beramai-ramai ke rumah Mak Marah. Lalu melapor disana. Kemudian berarak pula ramai-ramai menuju perangkap yang sudah tersedia. Harimau yang bersalah disuruh masuk kedalam perangkap. Pintu penjara akan bingkas dan kawanan harimau lainnya akan mengucapkan salam perpisahan kepada temannya:

"Selamat tinggal kawan, bayarlah utangmu!"

Bayangkan kalau sempat berpapasan dengan pawai harimau dari rimba Mangkisi itu! Kentut akan berletusan karena lari, akan tidak tampak, dan sebagainya, dan sebagainya. Atau mungkin akan lemah tak berdaya terjerembab tidak sanggup lagi melangkahkan kaki, lumpuh lunglai. Kena 'pegaring' harimau kata orang.

Berapa ekor harimau yang akan ikut berarak-arak itu Lis tidak tahu. Sebab dalam rimba Mangkisi itu belum pernah diadakan sensus harimau. Tidak seperti di Ujung Kulon, cagar alam di ujung barat pulau Jawa. Konon kabarnya disana hanya tinggal lima ekor harimau saja lagi.

Demikianlah penduduk desa menunggu. Apakah mantera gaib Mak Marah masih manjur dan mempunyai tenaga gaib yang kuat untuk memanggil sang harimau yang bersalah itu. Kita tunggu saja hari mainnya.


.//.