Bumiku Yang Subur/Bab 7
7. Laut api, bukit api.
Memang benar apa yang dikatakan mak. Masih amat banyak yang harus dikerjakan sebelum bibit kopi itu ditanam apalagi menjadi besar. Kami tetap mengikuti dan memperamati setiap perubahannya dan setiap tahap pekerjaannya. Papa dan mak hampir setiap hari pergi ke ladang. Kami hanya pada hari-hari besar atau hari Minggu saja.
Sesudah dua minggu kemudian baru kami dapat pula pergi ke ladang. Hamparan hijau semak belukar tempoh hari sekarang sudah berubah warna menjadi dataran yang bewarna kuning ke coklatan karena daun-daun semak belukar yang di tebang dan dirambah itu sudah mersik. Batang-batang pohon yang di tebang bergelimpangan disana sini. Tunggul-tunggul bertonjolan di sepenuh daerah peladangan itu.
Itulah tahap pekerjaan sekarang. Pohon-pohon yang saling tindih bertindih itu disisik dan dikumpulkan. Pohon-pohon yang besar disisik dahan-dahan dan ranting-rantingnya. Kayu itu dikumpulkan dan disandarkan di sebatang batang baru yang besar. Dibawah pokok baru itu terdapat bekas pondok mengempa gambir Tu' Layau masa dahulu.
Diperumahan bekas pondok gambir itu sudah didirikan sebuah pondok. Sebuah pondok sederhana yang besarnya kira-kira 3 x 4 m. Tetapi atapnya seng, lantainya papan dan dindingnya tadir.
Dan ketika gubuk itu siap sudah merupakan berita hangat bagi penduduk desa. Rupanya atap gubuk itu terlihat dari jauh, apa lagi ketika hari panas. Penduduk jorong Kubang dapat melihatnya dengan jelas. Semua orang bertanya-tanya: pondok apa yang terletak di tengah-tengah daerah perbukitan itu.
Gubuknya ditaksir orang,- dipandang dari jauh saja.- menekan atap satu setengah kodi atau 30 helai. Padahal atapnya hanya 12 lembar saja. Memang pandangan dari jauh bisa mengelirukan. Dan luas ladang kami itu menurut berita orang kampung mencapai lima hektar. Padahal tak sampai dua hektar. Begitulah mulut usil.
Tetapi ada akibatnya yang lain. Dalam desa, di kedai-kedai kopi tersebar omong-omongan orang:
"Lihat pak Adam itu.-" nama panggilan papa Lis.- "sudah pensiun dan sudah tua tetapi semangatnya masih kuat. Masih mau ber ladang kopi. Sedang kita yang memang orang petani hanya menghabiskan tempoh dengan ber bual-bual di kedai kopi,..."
"Ya," sela yang lain, "nanti kita akan meneguk air liur saja melihat pak Adam membawa kopinya ber karung-karung ke kota sedang kita mengapa?"
"Sebuah contoh yang baik," menyela yang lain.
Dan akibatnya kemudian beberapa orang mulai pula merambah tanah ulayatnya untuk membuat ladang kopi. Pak Rainin, Sarani, Ican, Apid, dan yang lain-lain mulai mengangsur-angsur merambah tanah ulayatnya menuruti jejak papa. Begitulah kalau kita memberikan teladan yang baik kepada orang kampung.
* * *
Sungguh nikmat berada dalam gubuk di ladang kopi ini: Temasa dari sinipun alangkah indah! Pikiran menjadi tenang, otak menjadi jernih dan perasaan tubuh nyaman.
Dari lembah terdengar nyanyian batang Mangkisi ibarat senandung alam yang tak berubah-ubah. Nun, jauh di daerah perbukitan terdengar sorak siamang berbalas-balasan dengan suara yang kadang meninggi, kadang merendah dan saling bersahut-sahutan.
Dan temasa alam tidak kepalang pula indahnya. Kalau kita layangkan pemandangan arah ke utara melewati celah bukit Cermin dan bukit Tembilang, alam seolah-olah terbuka dan terkuak. Antara kuakan itu terbentang sebuah temasa alam yang permai. Jauh,... jauh pada tatapan mata kelihatan desa-desa Air Tabit, Situjuh, dan lebih jauh lagi Kecamatan Suliki/Gunung Mas dengan bukit-bukitnya yang lapis berlapis.
Tetapi kalau mata ditukikkan nampaklah aliran batang Sinamar dengan desa-desa Kubang dan sawah-sawah yang berhamparan sepanjang hiliran tepi sungai itu. Laksana sebuah pigura maha raksasa!
Kata papa dari atas sebuah ngalau kecil dari sebelah atas gubuk itu temasa itu semakin bertambah indahnya. Kata papa: ia akan membuat sebuah 'kupel' nanti di puncak ngalau kecil itu.
Pada suatu kali papa menerima tamu seorang bangsa asing. Dia datang dari Australia sebuah benua yang amat jauh letaknya di belahan bumi sebelah selatan. Maksud kedatangan tamu itu ialah untuk mengadakan wawancara dengan papa tentang hasil-hasil karya papa selama ini terutama selama di Medan. Tujuannya untuk dijadikannya bahan-bahan membuat 'skripsi' untuk mencapai gelar doktor dalam bidang bahasa Indonesia. Nama tamu itu Robert Peter Boag. Dipanggilkan Tuan Bob saja.
Dia amat ramah dan pintar berbahasa Indonesia. Menurut keterangannya dia sudah lama belajar bahasa Indonesia dan sekarang sudah fasih benar. Dan memang ia menjadi guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah Menengah di Canberra ibu kota Australia itu.
Bukan main senangnya melihat daerah hutan rimba yang membiru itu. Dia minta kepada papa supaya dapat berjalan-jalan ke daerah rimba itu. Tetapi karena papa amat sibuk dan dia akan lekas berangkat tidak jadi. Wah, bagaimana senangnya jika sudah ada pondok di ladang seperti sekarang.
Sesudah mata dan panca indera lainnya terbiasa dengan kesibukan lalu lintas yang amat ramai, gedung-gedung bertingkat, di kota-kota di negerinya sungguh amat sejuk dengan pergantian temasa itu. Tuan Bob akan merasa lega melihat daerah bukit barisan di Seberang Air ini. Katanya lebih indah dan menarik dari pegunungan Brindabella yang ada di negerinya.
Pada suatu hari mak pergi pula ke ladang. Lis dan adik ikut, ada juga teman-teman Lis yang lain. Kami membawa perbekalan juga sedikit. Nikmat nanti dimakan dalam pondok. Sepanjang jalan kami tidak berjalan terus saja. Tetapi berbelok menerobos semak-semak untuk mencari buah keremunting yang sedang bermasakan.
Daerah yang sudah dirambah itu sudah luas. Arah di belakang gubuk sudah sampai ke dekat ngalau kecil yang dikatakan papa itu. Yang dari bawah sampai dekat gubuk daun-daun dan ranting-ranting yang bertebaran sepenuh tanah perladangan itu sudah mersik benar.
Kami sedang asyik makan buah keremunting dalam gubuk ketika tiba-tiba mak berseru:
"Hai, hayo kalian turun semua!"
Kami terheran-heran, apa pula maksud mak ini? Ah, barangkali mak akan minta tolong kepada kami untuk mengumpulkan kayu-kayu yang masih berserak-serak itu. Padahal di pangkal batang baru itu sudah bersusun kayu yang sangat banyaknya.
Dibawah pangkal baru itu ada sebuah lubang besar. Bekas lubang kampaan pada masa Tu' Layau.
"Kalian masuk kedalam sana, yaaa???!" kata mak lagi. Aduh, apa maksud mak ini? Apakah kami mau dikubur hidup-hidup? Di tangannya mak memegang sebuah obor yang terbuat dari botol bir. Obor itu sudah dipasangnya. Kami mulai mengerti. Rupanya mak mau menyulut semak-semak yang sudah kering itu.
Mak menumpuk-numpuk semak-semak itu dan membakarnya. Api mulai hidup mula-mula kecil saja. Kian lama kian besar dan merambat ke kiri kanannya. Asap mendulang ke udara dan apinya tambah membesar. Suara gemertak dan gemertup yang juga semakin keras dan menakutkan mulai membahana.
Kami berdempetan dalam lubang dan melihat ke arah api membakar daerah perladangan itu. Maklum belukar yang sudah kering mersik dalam sebentar saja api sudah merambat sepenuh ladang itu. Asapnya bergumpal-gumpal keudara dan kobaran api menjalar-jalar melalap apa yang ditemuinya dalam perladangan itu. Angin pun datang bertiup sehingga puncak-puncak api meliuk-liuk kesana kemari. Bagus tapi menakutkan. Pucuk-pucuk kayu yang masih tinggal mendayuk-dayuk di lambai-lambai api yang ber meter-meter tingginya. Kini daerah itu sudah merupakan lautan api kecil....
Seorang tua kelihatan duduk diatas batu hampar dibawah sana rupanya dia ikut menonton kobaran api itu. Atau membantu dengan doa-doanya supaya api jangan merambat ketempat lain. Sebab kadang-kadang memang terjadi api merambat keluar dari daerah ladang yang sedang dibakar. Dan bahaya besar mengancam. Daerah hutan itu akan musnah terbakar habis, tidak selembar lalangpun yang akan tinggal.
Tapi untunglah! Api tidak merambat ketempat yang lain. Rupanya sebelumnya antara daerah ladang dengan daerah disampingnya sudah dipisahkan dengan cara membersihkan perbatasannya.
Sesudah api padam tinggal bara-baranya lagi. Dan setumpak tanah yang bewarna hitam. Disana sini ada juga berkelompok dahan-dahan kayu yang tinggi letaknya atau sebab-sebab lain sehingga tidak dimakan api.
Sudah dapatkah tanah itu ditanami kopi? Oh, belum. Perjalanan masih jauh, kerjanya masih banyak. Tanahnya belum bersih. Disana sini puluhan banyaknya berancungan besar kecil, panjang pendek tunggul-tunggul kayu. Kemudian sisa-sisa pohon yang terbakar hitam legam bergelimpangan sebagai raksasa yang roboh terbaring. Semuanya itu mesti dibersihkan sehingga dapat membuat lubang untuk menanam kopi.
Begitu pula pagarnya belum ada. Kalau tidak dipagar ternak penduduk akan leluasa berkeliaran kedalamnya dan binatang-binatang itu akan menginjak-injak bibit kopi yang baru ditanamkan. Usaha akan terbuang percuma saja.
Tetapi papa memang sudah merencanakan dan menyediakan apa-apa yang diperlukan. Pada suatu hari datanglah sebuah 'cigak beruk' (sejenis pedati kecil) membawa beberapa buah rol kawat berduri. Ada 12 rol semuanya. Panjang setiap rol 100 meter. Harganya satu rol: Rp 5.000.-
Bahagian yang akan dipagar, sebelah bawah yang panjangnya kira-kira 75 meter. Kemudian kiri kanan ladang mendaki ke atas dengan panjang kira-kira 100 meter. Pada beberapa bahagian tidak perlu dipagar sebab disampingnya terdapat jurang yang terjal ternak takkan sanggup juga mendakinya dan masuk kedalam ladang. Panjang yang tak perlu dipagar itu kira-kira seratus meter pula.
Nah, teman-teman silakan putar otak sedikit. Beberapa ha. kah luas ladang kami itu?
Sebuah persoalan lagi : Pagar kawat berduri itu dibuat tiga lapis. Cukupkah persediaan kawat berduri itu? Jika kurang berapakah kekurangannya? Berapa uang yang harus disediakan papa untuk menambahnya?
Nah, ini sebuah pertanyaan lagi.
Lubang-lubang yang akan dibuat untuk menanam kopi itu jaraknya 2½ meter. Berapa batang bibit kopikah yang diperlukan? Sehingga semua ladang itu rata ditanami? Ingat: ditengah ladang ada gubuk dengan luas pekarangannya kira-kira 6x5 meter.
Bagi teman-teman yang tepat terkaannya akan Lis undang datang ke ladang. Akan kami beri makan sekenyang-kenyang perut. Dijamu dengan buah keremunting satu keranjang. Agaknya bersantap di gubuk ini jauh lebih enak dari makan disebuah restoran di kota. Apalagi kalau sebelum makan mencucurkan keringat lebih dahulu. Tubuh letih, dikipasi angin bukit barisan, perut lapar dan barulah tahu dengan enaknya makan di rimba. Sambalnya tak perlu yang mewah-mewah.
Cukup dengan sambal lada yang ditumbuk dalam sayak (tempurung) diberi terubuk, lalu rebusan sayur-sayur yang ada di ladang atau ulam daun 'riang' yang rasanya asam-asam segar. Kemudian ikan panggang. Dalam suasana begitu waaaah, tak kelihatan pak guru lewat dibelakang lumbung,... ha,...ha...ha,.... Apalagi jika jengkol di ladang itu sedang berbuah dan dijadikan ulam.
Jengkol, petai banyak juga dalam rimba Mangkisi ini. Dalam daerah ladang Lis ini terdapat beberapa batang patai. Bila datang musimnya ratusan kilo keluar hasilnya dan dibawa ke kota.
Demikian pula musim durian. Maka buah yang selangit baunya ini akan bertimbun-timbun keluar dari daerah rimba ini. Dengan uang seratus rupiah sudah dapat dua biji durian yang besar. Kata Uda Men ketika dia ke Jakarta dulu harga durian di Jalan Gunung Sahari sampai Rp 2.000 sebiji. Disini,... di Mangkisi ini kalau mau menungguinya tak perlu merogo kantong.
* * *
Kini sampailah tahap pekerjaan kepada membersihkan perladangan itu sehingga dapat diberi lubang dan kemudian ditanami. Sisa-sisa kayu, daun-daunan apa saja yang masih ketinggalan dikumpulkan, ditimbun dan dibakar lagi. Pekerjaan ini namanya: ' m e m a r u n '.
Pada suatu hari Minggu kami be ramai-ramai pula pergi keladang. Papa dan mak sedang 'memarun'. Mula-mula kayu-kayu yang agak besar di potong-potong dan di longgokkan. Kemudian kayu-kayu dan ranting-ranting yang lebih kecil. Onggokan itu makin lama makin besar dan tinggi.
Tempat sekitarnya sudah bersih. Rumpur-rumput dan belukar yang masih ada dibersihkan dan dimasukkan kedalam parunan. Sehingga timbunan kayu, ranting, daun dan rerumputan itu sudah merupakan sebuah gundukan yang tinggi. Membuat parunan itu harus pula dijaga jangan dekat pohon yang bermanfaat misalnya dekat batang petai atau jengkol sebab ......
Diam-diam kami melihat ada dua perlumbaan yang memang tidak diumumkan. Disebelah bawah mak membuat sebuah parunan. Sebelah keatas papa membuat pula sebuah parunan. Gundukan papa cepat menjadi tinggi dan besar. Parunan mak lebih kecil. Maklum deh, mak seorang wanita dan papa lelaki, dan memang wajar seorang laki-laki lebih kuat dari seorang wanita.
Walau papa seorang pensiunan dan sudah tua tetapi ia masih kuat. Pohon-pohon yang agak besar di potong-potongnya dengan kapak. Kemudian disandang dan ditimbunnya. Seluruh tubuhnya berlepotan arang dan abu sehingga lucu benar tampang papa. Gaya seorang pelawak. Sebab kayu-kayu itu bekas terbakar dan masih ada arangnya.
Kemudian mak mulai membakar parunannya. Api membakar dibawah gundukan parunan itu mula-mula kecil dan merambat kedalam onggokan kayu, ranting dan daun itu. Asap mengepul kelangit sampai tinggi,.... tinggiii sekali. Dan kobaran api melonjak-lonjak dengan hebatnya meliuk-liuk. Biasanya anginpun datang sehingga apinya bertambah besar. Suara berderak-derak, dan gemertak gemertuk dan ngaungan api sedang berkobar sangat hebat. Seakan-akan sebuah naraka mini.
Semua yang ada dalam gundukan itu musnah dimakan api yang amat besar itu. Barangkali kalau Lis dilemparkan kedalam api dalam tempoh beberapa menit akan tinggal segumpal abu saja lagi. Kayu-kayu hiduppun musnah dilalapnya tanpa ampun.
Papa mulai pula membakar parunannya. Asap kelihatan mengepul dalam parunan tetapi hilang kembali. Papa mencari-cari daun-daun yang sudah mersik ditimbunkannya kedalam parunannya lalu dicakarnya kembali. Api berkobar sebentar menghabiskan umpan itu tetapi kemudian padam kembali. Emoh membakar gundukan parunan papa. Terdengar papa mengomel-ngomel.
Sedang mak sibuk melempar-lemparkan potongan-potongan kayu, sampah dan ranting kedalam api yang melonjak setinggi langit itu.
Entah apa sang api emoh menghanguskan parunan papa. Yah, barangkali karena papa belum ada mempunyai pengalaman untuk pekerjaan semacam itu. Maklum papa bekas pegawai kantor dan bukannya pekerja di ladang.
Papa dengan sikap mendongkol pergi ke gubuk. Ketika kembali dibawanya sebotol minyak tanah. Minyak tanah itu dituangkannya kedalam parunan kemudian dibakarnya. Asap berkepul, api berkobar dan terdengar suara gemertak gemertuk api makan dalam parunan dan kemudian hilang kembali. Lis mengira akan melihat nyala api setinggi mesjid kami di Lurah Bukit melihat besar dan tingginya parunan papa. Tetapi itu tidak terjadi. Yang ada hanyalah sumpah dan carut maki papa karena jengkel. Mungkin karena kalah dalam perlumbaan yang tidak diumumkan itu. Mak datang mendekati papa dengan tertawa.
"Tidak mau?" tanya mak.
"Api celaka," kata papa. "tak mau membakar unggunku. Sudah habis minyak setengah botol..."
"Bukannya api yang celaka," kata mak, "tetapi orangnya yang tak pandai membuat parunan... Harus begini,.... begitu,... ini,... itu,...." Mak memberi intruksi kepada papa. Papa terpaksa mengubah teknik parunannya.
Jadi dalam setiap pekerjaan harus diketahui lebih dahulu rahasianya atau cara dan tekniknya supaya pekerjaan itu berhasil. Dan pengalaman sangat penting dan berharga dalam sebuah pekerjaan. Papa belum punya pengalaman serupa itu. Kapan beliau seumur hidupnya melakukan pekerjaan semacam itu? Sehingga menemui kegagalan.
Mak memperhatikan onggokan parunan papa dan mengetahui dimana kesalahannya. Timbunannya kurang rapi. Onggokan ranting sebelah bawah jarang sehingga api sukar membakarnya.
"Onggokan ini harus diperbaiki," ujar mak, "kalau tidak, satu belekpun habis minyak takkan mau hidup....."
Papa kedengaran merengut. Ia terpaksa memeras keringat kembali memperbaiki kesalahannya supaya berhasil. Ternyata dalam soal parun memarun ini mak lebih pintar. Kini mak memberi petunjuk-petunjuk kepada papa. Onggokan yang salah tadi harus diulangi kembali dengan onggokan yang benar.
Mula-mula disusun ranting-ranting yang agak kecil dan kering disebelah bawah. Sebelah atasnya baru disusun potongan-potongan kayu yang lebih besar. Ini dinamakan 'alas'nya. Diatas itu barulah disusun ranting-ranting, kayu-kayu, sampah atau apa saja yang akan dibakar. Berapa saja tingginya. Setinggi bukitpun kalau kita sanggup.
Kemudian mak menguakkan onggokan ranting-ranting tadi dan memasukkan daun-daun kering. "Sekarang bakarlah!" perintah mak. Papa menggoreskan sebatang anak korek api dan membakar daun-daun kering tadi. Api makan daun-daun kering tadi, kemudian memindah kepada onggokan ranting-ranting tadi dan apinya makin membesar. Kobaran api mulai menjilat kesana kemari dengan kepulan asap yang besar. Sorotan api yang besar menjulang keatas dan membakar apa saja yang ada dalam timbunan itu. Panasnyapun tidak terkira-kira sehingga tak bisa mendekat dalam jarak beberapa meter.
Mak tertawa dan papa tersenyum pencong. Kali ini mak yang menang...
Api parunan itu amat tinggi dengan suara yang menakutkan. Meliuk-liuk sebagai setan merah yang menari-nari dan pohon-pohon dekatnya ikut bergoyang-goyang. Karena baru saja api membesar anginpun datang menambah besarnya gejolak api. Tambah hebat dan besar kobaran api menghanguskan unggun setinggi bukit kecil itu yang sekarang sudah menjelma menjadi bukit api....
Apa sebabnya asal api membesar anginpun datang? Dapatkah teman-teman menerangkannya?
Akhirnya papa jadi menagih membuat parunan. Tetapi dalam satu hari paling banyak hanya tidak buah dapat membuat parunan. Tetapi sekian meter bujur sangkar tempat itu sudah bersih. Yang tinggal kemudian hanya onggokan abu dan puntung-puntung .....
Tidak kurang menelan tempoh sampai satu bulan pula sehingga seluruh ladang itu menjadi bersih. Tinggal tunggul-tunggul saja yang bila akar-akarnya sudah lapuk dengan mudah dibongkar.....
. // .