Lompat ke isi

Bumiku Yang Subur/Bab 9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Bumiku Yang Subur oleh A. Damhoeri
Bab 9: Tunas muda dan tunas hijau, serta ia yang menyerah

9. Tunas muda dan tunas hijau, serta ia yang menyerah.

Uda Men tidak tinggal di dangau lagi. Uda berulang kesekolah dan tinggal di rumah seorang saudara kami satu bapak. Uni May biasa kami panggilkan. Uni bersaudara lima orang. Diatas uni ada seorang lagi saudara kami. Papa mempunyai anak sebanyak 10 orang. Banyak, yaaaa?

Yang paling tua bernama Darmanajah kini tinggal di Kalimantan Barat, di Mempawan. Adik Uni May yang paling kecil Uni Rafia namanya. Tinggal di Kalimantan Barat pula. Ketika Lis membuat tulisan ini sudah setahun yang lewat papa dan Uda Men berkunjung ke Kalimantan Barat. Menemui Uda Darman dan Uni Rafia. Kesan-kesan perjalanannya itu disusunnya dalam sebuah buku yang bernama: 'Berlibur di daerah Kapuas'. Semoga buku itu bisa juga terbit.

Sekolah tiga kilo meter jauhnya dari tempat tinggal Uda Men. Jadi dua kali jarak sekian yang harus ditempuh uda setiap hari untuk pergi sekolah. Ya, kalau kita ingin maju kita harus tabah menderita bukan?

Nama sekolah Uda Men ialah S.M.P. No. II Payakumbuh, Tetapi anehnya letaknya 12 km dari kota Payakumbuh, di Pakan Rabaa.

Jadi: Saya Lis, Uda Men dan Uni Des, adalah tiga buah tunas muda yang sedang berkembang akan menjadi sekar mekar dikemudian hari. Kami bertiga adalah sekelumit dari ratusan tunas-tunas muda lainnya yang sedang menuntut pelajaran di berbagai sekolah dalam daerah ini. Dan itu adalah sekelumit keciiil pula dari jutaan tunas-tunas muda yang tersebar di seluruh Indonesia ini. Kami adalah Generasi Penerus dari bangsa Indonesia dibelakang hari.

Dari berjuta-juta tunas muda yang berserakan diatas ribuan pulau-pulau negara Republik Indonesia tercinta itu, akan tumbuh nanti menggantikan Angkatan sebelumnya. Ada yang akan menjadi petani, nelayan, peternak,- ada yang akan menjadi pak wali negari, menjadi pak camat, pak bupati, pak Gubernur dan bahkan akan menjadi Presiden. Ada yang akan menjadi guru, menjadi sopir, importir, sarjana hukum, pilot pesawat terbang, tentara, ya beribu-ribu macamnya. Namun mungkin ada pula yang akan menjadi penjahat, penodong, pencopet, penyeludup dan yang buruk-buruk lainnya, walau ini tidak diharapkan. Sebab untuk pendidikan mereka akan menentukan kedudukan mereka kelak. Watak dan bakat mereka akan memegang peranan penting pula dalam kelanjutan umur tunas-tunas muda itu.

Tetapi usahlah kita mencita-citakan sesuatu yang buruk, dan merugikan masyarakat dan bangsa. Kita harus punya rencana dan cita-cita yang muluk dan baik.

'Gantungkanlah cita-citamu di bintang!' kata pemeo orang.

Dan kemampuan orang tua melanjutkan pendidikan anak-anaknya memegang peranan penting pula. Si anak encer otaknya keras kemauannya belajar, tetapi orang tuanya kurang mampu. Dapat ditebak bagaimana hasilnya. Hanya untunglah Pemerintah kita sudah menyediakan dana dan bea siswa bagi anak-anak yang cerdas tetapi kurang mampu orang tuanya.

Hah, orang tua kaya tetapi 'kincir-kincir' anaknya tidak berputar hasilnya dapat pula diterka. Si anak akan menjadi jahat, manja dan menjadi muusuh bagi masyarakat.

Dan kini: Nun disana, ya disana di Rimba Mangkisi akan tumbuh tunas-tunas hijau yang menyegarkan. Antara tunas muda dan tunas hijau itu ada hubungannya yang rapat. Saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Papa Lis menyadarinya. Ia sudah tua dan orang pensiunan. Sedang kami masih kecil-kecil. Kalau janjian datang dan papa dipanggil oleh Tuhan, bagaimanakah nasib kami dibelakang hari? Padahal kami sedang membutuhkan sandang dan pangan dan memerlukan biaya-biaya untuk melanjutkan sekolah. Semua tentu akan berantakan. Biaya itu tidak mungkin diharapkan dari bantuan famili atau saudara-saudara Lis.

Sebab itulah papa membuat sesuatu. Sesuatu yang dapat membantu kami adik beradik dibelakang hari. Sesuatu yang dapat menjadi 'Harapan tempat bergantung'. Memang ada usaha lain dari papa dan mak. Usaha itu sudah di kisahkan Udan Men dalam salah satu buku karangan papa yang berjudul: "Deru di desa". Buku ini sudah dipesan oleh Pemerintah dengan pesanan Inpres no. 4 - 1982. Jadi teman-teman belum mengetahuinya. Sesuatu yang menarik juga sebenarnya. *)

Dan sesuatu yang diusahakan papa dan mak itu amat menarik untuk kita ketahui bersama. Sebab itulah timbul hasrat Lis untuk mengisahkannya kepada teman-teman semua. Agar dapat menjadi contoh teladan bagi kita semua. Karena hal itu amat penting untuk kelanjutan kesuburan, perkembangan dan mutu tunas-tunas muda itu di kemudian hari.

Marilah kita lanjutkan kisahnya:

Ketika Lis dan saudara-saudara Lis pergi ke ladang pada hari-hari berikutnya orang sedang membuat lubang. Tetapi Lis tidak tahu. Apakah papa membuatnya dengan berdasarkan sebuah buku petunjuk, atau berdasarkan dari pengalaman orang lain.

_____________________________________

  • ). Inpres No. 145/C/Kep/R 80 9 September 1980 Lampiran I No. 469

Atau dari seorang petugas Jawatan Pertanian. Petugas itu ada ditempatkan pada setiap kenegarian.

Untuk bertanam kopi tanahnya tidak perlu di cangkul lebih dahulu. Kalau bertanam tembakau tanahnya harus di cangkul. Jadi pengolahan tanah bergantung kepada apa yang ditanam.

Lubang itu kira-kira 30x30 cm dan dalamnya kira-kira sekian pula. Jarak antara dua lubang dan barisannya 2½ meter. Supaya deretannya lurus di rentang dengan tali. Target harus mencapai 2.000 lubang setiap hektarnya.

Sekarang tenaga goro hampir tak ada lagi. Semua harus di upahkan. Papa termasuk manusia yang baik juga. Sore-sore bila pekerja-pekerja itu sudah selesai dengan tugasnya upahnya dibayar. Bukankah dalam salah satu hadis Nabi Muhammad s.a.w. ada disebutkan yang maksudnya kira-kira: - Bayarlah upah buruh itu sebelum keringatnya kering.-

Mereka mengharapkan upahnya pada hari itu juga. Barangkali ia perlu membeli beras untuk makanan anak dan isterinya. Tidaklah selayaknya upahnya ditahan-tahan melunasinya.

Di daerah kami sekarang sudah ada pula beberapa ladang kopi yang lain. Kabarnya layanan terhadap pekerja-pekerjanya kurang baik. Setelah mereka bekerja beberapa hari bila mereka minta upahnya lalu dibayarkan untuk satu hari saja. Atau kalau dibayarkan dengan bahan pangan harganya jauh lebih tinggi dari harga di pasaran. Hal itu kurang pantas. Mengecewakan. Mungkin akan menimbulkan gejala-gejala yang kurang baik.

Jadi kini pengeluaran uang sudah banyak ragamnya. Membayar upah pekerja, membeli pupuk, baik pupuk kandang atau pupuk kompos. Membeli pagar kawat berduri, alat-alat pertanian dan beberapa keperluan lainnya.

Dari manakah papa dan mak mendapatkan biaya? Lis harusnya angkat topi kepada kedua orang tua Lis yang bijaksana itu.

Sebab mereka dapat mengusahakan biaya dari bermacam sumber-sumbernya. Dari uang pensiun, hasil gilingan padi, hasil kedai dan dari honor karangan-karangan papa.

Ada juga papa mencoba meminjam ke bank untuk pembiayaan membuat ladang ini. Tetapi pihak Bank tidak mengabulkannya. Entah apa sebabnya.

Lalu kedalam lubang-lubang yang sudah dibuat ini dimasukkan pupuk kandang. Pupuk ini dibeli dengan harga lima puluh rupiah satu ketiding. Membawanya ke ladang menelan biaya pula. Pupuk yang sudah dimasukkan kedalam lubang-lubang itu dibiarkan dulu selama beberapa hari. Maksudnya supaya dingin.

Aduh, bagaimanakah akhirnya 'tunas-tunas hijau' yang mulai disemaikan ini? Dapatkah ia tumbuh subur sebagai yang diharapkan? Ataukah nanti akan rusak binasa oleh ternak atau babi? Atau terkena hama penyakit? Namun manusia harus berusaha dengan sepenuh kepintarannya dan tenaganya. Tidak boleh pasrah dan menyerah saja.

Dalam rumah Gilingan padi Lis melihat beberapa rol kawat berduri. Sebagai sudah dikisahkan dahulu papa sudah membeli kawat berduri. Banyak pula penduduk yang bertanya-tanya tentang kawat berduri itu. Berapa harganya, berapa panjangnya dan bagaimana memasangnya Rupanya penduduk jarang mempergunakan kawat berduri. Mereka biasanya mempergunakan pagar bambu. Sehingga kawat berduri itu dipandang mereka sebagai suatu benda yang ajaib pula.

Ketika pagar itu dipasang terjadilah kesibukan. Mula-mula dicari tiang-tiangnya. Tempat mencarinya mudah saja. Dalam daerah ladang yang belum di rambah masih banyak kayu-kayu yang baik. Juga sekitar perladangan itu. Kayu itu ditebang dan dikumpulkan. Kemudian di runcing. Lalu dibuatkan lubangnya dengan tembilang besi. Supaya pagarnya lurus direntang tali. Jarak antara tiang-tiangnya kira-kira tiga meter.

Ketika memasangnya terjadi sedikit kericuhan. Semua pekerja belum mempunyai pengalaman memasang pagar kawat berduri itu. Bagaimana menegangkannya sehingga pagar itu tegang dan tidak kendur. Beberapa orang yang ikut menyaksikannya memberikan saran-saran. Saran yang satu berbeda dengan saran yang lain. Dan anehnya semua mereka belum mempunyai pengalaman memasang pagar kawat berduri.

Akhirnya didapat juga suatu cara yang sederhana. Baik hasilnya dan cepat kerjanya. Kawat itu ditegangkan dengan 'kuku kambing' dilandaskan pada tiang. Seorang yang lain memakunya kuat-kuat pada tiangnya.

Setelah pagar selesai dipasang hati kami mulai merasa lega. Ternak-ternak yang dilepaskan di sebelah menyebelan ladang tidak dapat memasuki ladang kami dengan seenaknya. Pernah juga lembu-lembu itu mencoba menerobos kawat berduri itu. Ia mencium-cium dan mendekatkan moncongnya ke pagar itu. Ia seakan-akan berkata: "Hah apa pula ini? Kenapa aku tak bisa melewatinya? Ha, baik juga ku coba menyeruduk pagar aneh ini, di sebelah rumputnya kelihatan muda-muda....."

Si lembu berusaha memasukkan kepalanya ke sela-sela pagar itu. Dan "Sreeeet,..." hidungnya tercocok oleh duri pagar itu. Barangkali berdarah. Dengan meringis lembu itu menarikkan kepalanya kembali dengan hati-hati dan dalam hatinya ia seakan-akan berkata: "Persetan! Pagar apa pula ini yang bisa mencopot hidungku?" Ya, sedang penduduk belum kenal dengan pagar kawat berduri apalagi si lembu.

Maka jeralah lembu-lembu itu berusaha untuk memasuki ladang kami. Tetapi babi lebih pintar dari lembu. Malam-malam mereka bisa memasuki ladang dan berkeliaran seenaknya dalam ladang. Yang dikerjakannya ialah menyungkur-nyungkur tanah tertimbun rupanya mencari cacing. Kalau dekat anak kopi rusaklah anak kopi itu.

Namun pisang yang ditanam sebagai pohon pelindung tidak aman oleh serangan si kerbau pendek ini. Mulai dari daun sampai batang dan batangnya hancur luluh disungkur dan dimamah. Sialan juga bahaya babi ini.

Dan bahaya lain yang bisa merusak juga ialah kawanan kera. Binatang ini datang melompat-lompat dari pohon ke pohon. Tetapi entah apa yang di incer-incernya di ladang kami. Sampai waktu itu belum ada yang dirusakkannya. Kabarnya monyet-monyet ini mencari buah-buahan yang dapat dimakannya. Kalau ada buah labu dan mulai berbuah, ada harapan buah labu itu akan tinggal kulitnya saja. Sebab itu jika bertanam labu dan ada buahnya sebaiknya buah labu itu di timbun dengan tanah.

"Penjara mengena,..... penjara mengena...."

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan orang. Kami yang sedang asyik membantu mak menanam kopi menjadi tertegun. Oh, rupanya panggilan pawang Mak Marah sudah dipenuhi oleh sang macan Penjara sudah bingkas.

Karena hari sudah sore kami bergegas pulang ke desa. Kami ingin pula hendak menyaksikan harimau yang kena perangkap itu.

Kami dapati orang sudah ramai sekitar perangkap itu. Benderanya sudah turun berarti pintunya sudah tertutup dan didalam perangkap sudah ada sesuatu yang tertangkap. Dan tentu saja seekor harimau.

Sungguh ramai benar disana. Cepat benar tersiar berita bahwa perangkap mengena. Orang-orang yang berdatangan dari semua jorong di Seberang Air. Malahan dari desa yang jauhnya beberapa kilo meter dari situ. Gadis-gadis datang dengan berpakaian bagus-bagus seakan-akan disana ada pesta.

Lis datang mendekat ke dinding penjara itu. Tentu saja tidak satupun yang kelihatan. Karena dinding perangkat itu amat rapat. Beberapa orang mencoba mengintip kedalam. Sebab dalamnya agak gelap agak sulit juga melihat makhluk bagaimana yang ada didalamnya.

Rupanya dari sebelah muka ada sebuah celahan. Sesudah dengan susah payah barulah kelihatan binatang yang terperangkap itu. Bukan seekor harimau yang panjangnya dua meter atau sebesar kuda. Tetapi hanya seekor binatang yang mirip kambing dengan kulitnya bewarna kuning tua. Atau kira-kira seperti seekor kucing besar.

Semua penonton yang puluhan orang itu agaknya merasa kecewa. Menurut taksiran orang binatang itu sebangsa macan tutul atau macan loreng. Memang wajar. Besar kemungkinan memang jenis harimau kecil inilah yang mencoba menerkam anak kerbau pak Jakhtar. Karena itulah ia tak sanggup membunuhnya apalagi menyeretnya kedalam hutan. Macannya jauh lebih kecil dari kerbaunya. Namun karena cakar dan taringnya berbisa anak kerbau itu mati juga kesudahannya.

Tetapi apakah memang harimau kecil ini yang sudah bersalah sesuai dengan panggilan gaib yang dikerjakan oleh pawang Marah Tuhan sajalah yang Maha Mengetahuinya.

Namun para 'penonton' sudah merasa kecewa karena yang masuk dalam perangkap bukanlah seekor harimau dalam ukuran 'gede' tetapi hanya ukuran 'mini'. Tetapi kemeriahannya tidak kurang. Para pengunjung semakin ramai. Semuanya berusaha untuk mengintip kedalam perangkap lewat dinding kayu bulat itu.

Dan begitulah alat 'komunikasi' di desa. Seorang tahu dan dalam tempoh yang amat singkat sudah tersiar keseluruh pelosok.

Banyak orang menyarankan supaya binatang itu ditangkap hidup-hidup dan dibawa ke Kebun Binatang di Bukit Tinggi.

Tetapi kemudian kami dapat kabar. Seorang-orang yang usil mencoba menjerat binatang itu dengan tali plastik yang dilurkan dari atas. Kebetulan tepat kena lehernya sehingga binatang itu tercekik. Matilah binatang itu.

Sungguh sayang, orang usil itu bertindak sendiri. Padahal seluruh penduduk kampung sudah berjerih payah memasang perangkap itu. Kemudian makhluk itu dikeluarkan. Memang benar rupanya seekor harimau tutul. Masih kecil tetapi kalau bertempur dengan manusia dewasa belum tentu kemenangan akan berada di pihak manusia. Kecuali kalau manusianya seorang Tarzan. Taring dan cakar binatang itu amat tajam.

Bangkai harimau tutul itu dibawa oleh bapak bansek yang kebetulan datang juga melihat. Entah akan diapakannya bangkai binatang itu. Untuk dimakan tentu saja tidak. Kabarnya untuk diawetkan.

. / / .