Lompat ke isi

108 Pendekar Gunung Liang San/Seri 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
108 Pendekar Gunung Liang San oleh Shi Nai'an, diterjemahkan oleh Dhyana
Seri 5

Pendekar Gunung Liang San Seri V (page 1 crop)

SERI V

108 Pendekar
Gunung Liang San

Atau

( Tjui ho Thwan )

Kisah Kepahlawanan
Dari 108 Pendekar NIO SWA BO

Oleh

Dhiyana
Dibantu
Oleh

Yue Hwa

Ulat sutera musim semi tak pernah lelah,
Tetap memintal harapannja siang dan malam
musnahnja mereka tidak mendjadi soal apa²,
Karena bukankah tjinta tak pernah lenjap ?

 <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
  1. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]] <td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
  2. CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]( Njanjian rakjat Tiongkok Selatan )


KUPERSEMBAHKAN :

Untuk Ajah, Ibu jang kuhormati.
Kekasihku Kirana jang kutjintai.
dan teman² Corps Kesenian GEBUD





YO TJIE DIKOTA PING KING KEHABISAN
UANG DAN MENDJUAL PEDANG
— — — PUSAKANJA — — —

· · · · · · · · · · · · · · · · · · · · · · · · ·



Aku menikmati
pegunungen lebat musim saldju
dengan kesan jang mendalam
kulihat bunga² dan dedaunan
terkulai saju
se-akan² menangis terharu
menjaksikan kekedjaman
ketidak adilan didjaman Song Ini.

Tjha Tjin dengan tenang menulis seputjuk surat, se-akan² ia tidak mendengarkan keluhan Liem Tjiong. Selesai menulis ia berkata :

— „Liem Kauw Thauw, memang bintangmu selalu gelap, tetapi sebenarnja. nasib kehidupan manusia itu terletak digenggaman tangannja sendiri-sendiri. Adakah tumbuh2an jang tumbuh itu karena disuruh tumbuh oleh orang lain ? tidak ! Mereka tumbuh karena mau tumbuh sendiri. Adakah matahari terbit karena diperintah oleh Dewa² dikahjangan? tidak ! Matahari terbit karena memang saatnja terbit.

Adakah negeri Song kita ini memang sudah takdirnja mendjadi permainan bangsa² asing, misalnja seperti bangsa : Uigur, Mongol, Boanijiu Losat [Rusia], Koe [Korea] dll Tidak tidak, !

Runtuh dan djajanja negeri Song terletak ditangan kita ini, bila kita bersatu padu mengobarkan semangat djoang dan bersama sama rakjat SAIJEK SAEKA PRAJA, HATJANIJUT TALI WANDA. untuk mengangkat sendjata dan menangkis serangan² bangsa asing itu, dengan sembojan : Rawe² rantas Malang-malang putung. Kami pertjaja keutuhan dan kedjajaan bangsa kita akan dapat kita pertahankan.”

Liem Tjiong tergugah semangatnja, ia merasa agak malu sebab baru sadja
楊志
青面獸

Yo Tjie menawarkan pedang pusakanja

luh dan bingung mentjari tempat untuk berlindung. Maka lama ia menundukkan kepala dan merenung dalam². . . . . .

Melihat sikap Liem Tjiong ini, Tjha Tjin memaklumi, ia jalu menghirup tehnja, kemudian memegang tangan Liem Tjiong dan berkata ;

— „ Liem Kauw Thauw, engkau menggunakan surat saja, atas namaku engkau pergi kegunung Liang San. Ketua Liang San Po itu adalah saudara Ong Lun, kau boleh menerimakan suratku ini, dia pasti memberikan perlindungan akan dirimu. Ketahuilah Liem Kauw Thauw, bahwa Hoohan²[orang orang gagah] di Liang San itu ber-tjita² untuk mempersatukan semua Ksatria² gagah untuk mengusir kaum pendjadiah, maka kedatanganmu, merupakan suatu keuntungan jang sangat besar bagi perkumpulan patriot-patriot di Liang San”

Liem Tjiong menengadahkan mukanja, matanja jang tadjam menatap pada Tjha Tjin sesaat baru ia mengeiuarkan isi hatinja ;

— ,, Bagaimana bisa terdjadi Tjha Siauwtee? Bukankah Aku seorang hukuman, dan lagi bahkan aku seorang pembunuh ?"

Liem Tjiong se-olah² putus harapan dan mengeluarkan kata² jang negatip.

Mendengar kata² ini Tjha Tjin tersenjum ia dengan sikap jang tenang dan wadjar mendjelaskan pada Liem Tjiong :

— ,, Liang San Po Hoohan ( Perkumpulan orang² gagah gunung Liang San) djustru orang² bersalah, mereka buron dan berkumpul di Liang San untuk menjusun suatu kekuatan jang nantinja, tujuannja adalah membasmi kelaliman, ketdak adilan dan mengusir bangsa asing sebagi kaum pendjadjah.”

— „Oh,...... bila demikian aku harus segera berangkat kesana Siauwiee, dengan sebatang tubuhku, dengan satu njawa, satu roch aku akam mendarma baktikan pengabdianku pada ksatria² Liang San jang ber tjita² luhur dan mulia, hanja dengan tjara bagaimana aku bisa menjediakan diri dan pergi ke Liang San?”

Liem Tjiong dengan bersemangat menjediakan diri untuk berdjoang sebagai Kumbo karno (Senapati keradjaun Alengka jang gugur setjara Ksatria, rela berkorban dengan tulus ichlas) nja Liang San Po Hoodan.

Tjha Tjin jang muda belia tetapi luas hubungannja itu tertawa bangga mendenear pengutaraan isi hati Liem Titong si kepala matjan tutul jang gagah dan berbugee tinggi ini katanja ;

„Dipagi hari ini aku akan mengadakan perburuan, hal ini sudah mendjadi kegemaranku, dan para pedianatpun mengetahui betul. Biasanja kalau aku berburu itu ditkuti oleh anak buahku yang berdjumiah puluhan orang nan, berangksh Liem Kauw Phauw telah mengetatui akan maksudku.“ Tjha Tjin bertanja pada Liem Tjiong :

-- „Djadi aku harus menjamar sebagai pem pemburu jang mendjadi anak buahmu ?" Liem Tjiong menegaskan

— „Itulah jg kumaksud Liem Kauw Thauw” Tjha Tin berkata sambil tertawa, lala menjambung Kata²nja lagi:

— „ Nanti Liem Kauw Thauw boleh kupindjamkan seperangkat pakaian berburu, wadjahmu pasti sukar dikenali, Karena setiap pemburu selalu mengenakan topi besar jang mengerudungi kepala dan mukanja. Nah, hajo kita bersiap dengan segera, mumpung hari masih belum ramai !”

Tjha Tjin lalu mengadjauk Liem Tjiong untuk segera bersiap siap dan berangkat. Dengan djalan penjamaran ini Tjha Tjin pertjaja usaha untuk menolong Liem Tjiong keluar dari kota Tjhung Tjhu Too akan berhasil Dalam hal ini ia menanggung resiko jang berat dan berhubungan dengan keselamatan djiwanja sendiri. Namun sudah watak Tjha Tjin sebagai pedjoang jang menjadari betul² akan arti dan makna dari perdjoangan . . . . . . . Memang sedjak ketjil Tjha Tjin telah menundjukkan banjak keistimewaan diantara saudara²nya, Ketjerdasan, kenakalan, keras kepala, tetapi djuga dalam gerak gerik telah memperlihatken tjita²nja jang luhur dan tinggi. Tentang kegagahan dan ketjakapannja dialah nomor satu untuk anak² sekotanja. Sifatnja selalu merendah dan penuh kesederhanaan, tetapi bila telah mempunjai Keinginan, maka siapapun tak akan dapat menahannja, hatinya aken menjdadi keras sebagai badja, itulah sifat dan watak djagoan muda Tjha Tjin.

Kali inipun ia telah bertekad bulat untuk menolong Liem Tjiong keluar dari kota Tjhung Tjhiu Too, ia tidak memikirkan lagi akan keselamatan djiwa dan keluarganya, demi menolong seorang kesatria, ia rela berkoroan apapun Tjha Thin pertjaja bahwa tiada korban jang akan hilang terbuang, tiada koroan jang ter-sia2, maka ia mantep dan jakin, bahwa dengan pengorbanan jang sekarang ini, maka hari kemudian akan mendjadi lebih bertjahaja lebih berseri, lebih ber-kilau2 lagi dari pada segenap kebesaran hari2 jang silam ....

Ia mengenakan pakaian2 perburuan pada Liem Tjiong, sambil membantu mengenakan pakaian untuk menjamar, Tjha Tjin berkata dengan suara jang gagah :

„Liem Kauw Thauw setelah nanti kau dapat lolos dan keluar dari kota Tjhung Tjhiu Too ini, segeraiah kau menudju kegunung Liang San. Aku telah menulis surat pada kawan2 di Liang San, sehingga dalam perdjalanan nanti, mungkin telan ada orang2 dari Liang San jang menjongsong kedatanganmu. Dengan makin banjaknja djumiah kawan2 kita, maka akan lebih kuatlah persatuan kita nanti, haha .... hahaa........


Liem Kauw Thauw tidak lama lagi fadjar kebesaran akan menjingsing, ja, fadjar kemuliaan hari depan jang gemilang bagi kita itu akan terbit. Lihailah, angkasa makin lama makin terang, apapun jang meng-halangi2, akan mentjair bagaikan saldju tertimpa teriknja matahari, Perdjuangan kita pasti menang, sebab kita berdjalan digaris Kebenaran jang diridhoi oleh Thian Jang Mana Pengasih. ...... Hajo, tabahkan hatimu djangan ada terselib kebimbangan sedikitpun djuga !”

Lalu ia berpaling kearah belakang dan berseru lantang. :

„Hei, sudahkah semuanja siap? Dijangan lupa bawa perbekalan dan air setjukupnja ! Kita segera akan berangkat !”

Dari halaman belakang segera_terdengar suara banjak orang menuntun puluhan ekor kuda, suara pakaian kuda jang tergesek dengan tabung tempat anak2 pamah bergemerintjing, djuga derap langkah kaki para pem buru anak buah Tjha Tjin itu terdengar dengan tegas. Hal ini benar2 menggugah semangat Liem Tjiong, ia berdiri dengan tegap dan melangkahkan kakinja keluar, mengikuti rombongan pemburu2 itu

Tjha Tjin ikut keluar dan sekali lagi ia bertanja pada pimpinan anak buahnja :

„ Sudahkah semua kuda dipakaikan pelananja ?”

Salah seorang madju kedepan dan mendjawab ;

— „Semuanja sudah siap Tjiangkun, apakah kita berangkat sekarang?"

— ,, Oi, ! Betul. hajo kita berangkat sekarang Liem Kauw. Thauw kau naiklah kuda jang merah itu, kuda itu dahulu bekas tunggangan Ang Kauw Su, hahahaaa......"

Tjba Tjian jalu mentjemplak kudanja diri jang warna bulunja hitam mulus, kuda itu sangat ramping dan pandiang kaki²nja, sekali lihat orang akan mengetahui itulah seekor kuda Tjhian Li Ma (Seekor kuda jang bila lari dapat menempuh ribuan Km tap harinja).

Rombongan Tjha Tjhin dan anak buahnja jang berdjumlah + 20 orang itu kesemuanja mengendarai kuda mulai berangkat, kuda kuda mereka berderap menudju kepintu selatan. Dipagi hari ita masih sedikit orang² jang berlalu-lalang, maka rombongan itu masih dapat melarikan kudanja dengan tjepat dan leluasa, kuda² mereka lari seperti terbang lajaknja.

Belum ada satu djam, rombongan Tjha Tjin telah sampai dipos pendjagaan pintu batas kota Lam Mui [Pintu Bagian selatan]. Segera terdengar teguran dari pendjaga pos dengan suara parau dan serak²;

-- „Pagi hari ini pintu tidak boleh sembarangan membukanja, harap kalian membatalkan perburnanmu. Kalian tahu Fee Kwan jang mulia telah memerintahkan antuk mendjaga dengan ketat setiap pintu kota, sebab malam tadi telah terdjadi suatu pembunuhan, sekaligus tiga kepala manusia telah dipotong setjara sadis.

Kami tidak berani membukakan pintu untuk mu, karena pembunuh itu adalah orang hukuman dari kota Tongking, dan ia disini masih djuga berani melakukan pembunuhan terhadap orang2nja Ko Tjiangkun, maka sebaiknja kalian pulang kembali, djangan sampai terdjadi banjak urusan !"

Pendjaga pos itu dari a'as menara tempat ia berdjuga melongok kebawah. Tjha Tjin membuka topi lebarnja. ia menengadahkan mukanja keatas dan mandjawab dengan suara keras :

„Hei, Lauwke! Aku setiap hari pergi berburu, kegemaranku berburu ini sudah tahunan, Tee Kwan sendiri mengetahui dengan djelas dan telah memberikan surat idjin kebebasan berburu padaku. Soal ada pembunuhan dan orang buruan jang lari akupun mendengarnja, nah, untuk tidak sampai terdjadi hal² jang tak diinginkan, mari Lauw Ko turunlah !Kau boleh periksa anak buahku satu persatu dengan djelas!"

Tjha Tjin menantang pendiaga pos keamanan pintu kota selatan itu untuk memeriksanja. Hal ini memang disengadja oleh Tjha Tjin un tuk mengelabuhi pendjaga itu, sebab setiap orang tahu bahwa Tjha Tjin adalah komandan keamanan kota, djadi merupakan putjuk pimpinan jang tertinggi, maka mana mungkin ke rutjuk2 berani main pila padanja. Ramalan ini sebagai tipu gertak sambal telab berhasil dengan baik. Si pendjaga di pos menara itu mendengar suara pimpinannja mendiadi terkedjut, ia kenal betul akan suara Tjha Tjin maka tjepat2 meminta maaf:

"Maafkan aku jang rendah Tjiangkun! Aku kira bukan rombongan Tjiangkun, sehingga menahannja.

Lalu terdengar derak rantai pengikat pintu² besi sesaat terpentanglah pintu besi jang tebal dan berat itu.

Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Tjha Tjin, segera ia mendahului mengeprak kudanja jang dilarikan paling depan sebagai pelopor, jang lain2 pnn segera mentjambuk kudanja dan melewati pintu kota itu.

Sampai diluar pintu, Tjha Tjin menoleh kearah sipendjaga dan berseru :

"Lauwko, pulangnja nanti akupun akan melalui pintu ini, harap kau tidak berchawatir, nanti akan kubawakan ajam2 hutan untuk kau dan kawan2. Nah aku berangkat dan terima kasih atas kebaikanmu.

Sekali lagi pesanku padamu, ber-hati2lah djaga dengan ketat pintu kota ini. aku pertjaja pembunuh itu pasti masih berada didalam kota, mana bisa dia lolos dari kota Tjhung Tjhiu Too ini, ketjuali ia bersajap dan bisa terbang, atau mempunjai ilmu menghilang hahahassa. . . . . . . . . . hahaaa. . . . . . . . ." Tjha Tjin lalu mentjambuk kudanja jang segera melesat lari bagaikan anak panah lepas dari busurnja. Anak buahnia segera memetjut kuda2 mereka, puluhan ekor itu berderap suarania gaduh dan memuisingkan, mereka berlari se akan? patjuan kuda, satu sama lain saling adu tepat, dahulu mendahului Kurang lebih satu diam, rombongan Tihia Tin telah meninggalkan kota Tjhung Tjniu Too sedjauh hampir 40 km. merekareka telah berada diluar lingkungan kekuasaan pedjabar2 Tjhung Tjihu Too. Tjha Tjin merasa lega hatinia, terlebih Liem Tjiong merasa seakan ia telah hidup didunia jang baru . . . . . . . . . . . .

Tjha Tiin menghentikan !ari kudanja, dan kawan2njapun segera mengekang tali les kuda masing²

„Liem Kauw Thauw djiwamu telah selamat dan kini kau hidup bebas seperti sediakala, mari, mari lepaskanlah pakaian penjamaranmu dan bukalah topimu!"

Tjha Tjin dengan tertawa turun dari pelana kudanja ia menghampiri Liem Tjiong. Liem Tjiong tiepat2 lontiat turun dari punggung kudanja dan meloloskan pakain penjamarannja, wadjahnja nampak ber-seri² dan sangat bersjukur, bahwa apa jang dikira tidak mungkin ternjata kini terbukti, ia telah dapat lolos dan bebas dari hukuman.

„Tak terhingga rasa terima kasihku kepadamu Tjha Siauwte, djuga kepada kawan2 sekalian jang telah tidak memikirkan keselamatan djiwa sandiri, telah mati2an membela dan membantuku, sehingga aku dapat lolos dari Tjhung Tjhiu Too"

Dengan nada jang mengharukan Liem Tjiong mengutjapkan terima kasihnja kepada Tjha Tjin dan anak buahnja.

„Liem Kauw Thauw rumput dipegunungan selalu menghidiau, air bengawan selalu mengalir, tidak usah kau banjak peradatan. Tjepat2lah kau melarikan kudamu kearah timur lurus, kira2 4 - 5 hari engkau telah akan sampai didaerah Liang Sun. Nah, semoga kau selamat diperdjalanan, dan sampai ketemu lagi, sampai ketemu lagi!”

Tjha Tjin ingin Liem Tjiong tjepat2 sampai di Liawg San, maka ia memakai kata2 kaun Kangouw ( Rimba persilatan ) jang artinja untuk mereka segera berpisah sebab dalam saat ini amat berbahaja bila membuang buang waktu, antjaman se-waktu2 bisa tiba, maka lebih tjepat mendjauhkan diri adalah jang lebih selamat, toh, kelak mereka dapat bertemu lagi, sebagai mana kata pepatah „Bila ada sumur diladang, boleh kita menumpang mandi, bila ada umur jang pandjang pasti kelak bertemu lagi.

Liem Tjiongpun mengetahui maksud baik dari Inkong ( tuan penolong ) mia, maka tepat² ia berkiongtjhiu ( menghormat dengan merangkap dua tangan, dan sekali menggendjot tubuhnja ia telah berada kembali diatas pelana kudanja ia menole sekali lagi dengan wadjah penuh kebaruan dan rasa terima kasih jang tak terbatas, lalu menguatkan hatinja dan tangannja diajunkan untuk mentjambuk kudanja dan melarikan dengan tjepat........


Tjha Tjin dan anak buahnja memandangi bajang² Liem Tjong sampai udak kelihatan, barulah mengadjak anak buahnja membelokkan kan kuda² mereka kedjurusan barat.

Petang hari barulah Tjha Tjin dan rombongannja kembali ke Tjhung Tjatu Too, ditengah perdjalanan Tjha Tjin telah mampir kedalam pasar dan membeli beberapa ekor ajam, ajam ajam inilah jang kini akan diberikan kepada pendjaga pos pintu kota selatan itu.

― „ Lauwko, sudah tidurkah kau ?"tanja Tjha Tjin dengan keras.

― „ Oh, kiranja Tjha Tjiangkun telah kembali dari perburuannja, haahaa. . . .haaahaa. . . . . Apakah hari ini banjak binatang jang diperoleh ? Pendjaga pos itu sambil mengerek turun pintu kota bertanja tentang hasil buruan pada Tjba Tjin.

― „ Wah, hari ini agak sial, hanja beberapa ekor ajam sadja jang dapat kami tangkap, ini terimalah Lauwko untuk kau dan kawan2mu." - Tjna Tjin lalu melemparkan beberapa ekor ajam² itu keatas.

Tjha Tjin dan anak buahnja segera mengeprak kuda2 mereka memasuki kota Tjhung Tjbiu Too. Didalam perdjalanan pulang itu, sepandjang djalan dapat menangkap pembitjaraan chalajak ramai jang membitjarakan bahwa Liem Tjiong pendjahat besar dan pembunuh jang sadis itu sampai malam ini belum djuga dapat dibekuk. Maka dimana-mana masih nampak puluhan serdadu keradjaan jang melakukan penggeledahan dan pemeriksaan terhadap rumah rumah penduduk jang mereka tjurigai.

Kembali pada diri Liem Tjiong jang sedang melarikan kudanja menudju kegunnug Liang San.

Malam hari itu langit nampak bersih dan terang, sebab bintang² memantjarkan sinarnja jang tjemerlang, bertebaran memenuhi angkasa raja. Sang putri malampun tidak malu² melemparkan senjumnja, sehingga sinar kuning keemasan itupun menambah keindahan panorama kala malam itu.

Liem Tjiong sekilaspun tidak memikirkan akan segala keindahan ini, ia sibuk memilih djalan² jang baik untuk mengemudikan kudanja, supaja kaki² kuda itu tidak terperosok oleh kubangan atau tersandung batu. Setelah berlari kira² 5 6 djam, terasa ia amat pajah dan perutnja berkerujuk karena lapar, untunglah saat itu dihadapannja telah nampak deretan rumah² penduduk, berarti telah sampai pada sebuah pedusunan jang letaknja ratusan Km djauhnja dari kota Tjhung Tjhiu Yoo.

Liem Tjiong merasa sangat lega, ia lalu menengok kanan kiri untuk mentjari warung makan guna tangsel perutnja

Kudanja diperlambat larinja, dan beberapa langkah lagi sampailah ia didepan sebuah rumah makan Tjepat² Liem Tjiong menarik tali les kudanja kewarung itu

Baru Liem Tjiong menambat kudanja di batang sebuah pohon Yang Liu. pelajan warung itu telah datang membantu dan bertanja:

— „ Tuan datang dari mana ? Nampaknja tuan sangat ter-gesa².“

„ Aku dari Tongking, tolong sediakan makanan dan arak “

Liem Tjiong memesan dan mengambil pauwhoknja untuk segera masuk dan mengambil tempat duduk didekat djendela

Hidangan disadjikan, Liem Tjiong makan se-kenjang²nja, lalu ia meraih tjawan arak itu dan menengguknja sampai berturut — turut 5 tjawan.

— „Loheng [ Saudara ], dari sini menudju ke Liang San masih djaubkah?“ Liem Tjiong bertanja kepada pemilik warung itu

— „Dari dusun sini pergi ke Liang San kira² momakan waktu 3 - 4 hari lagi baru tiba disebuah Bengawan, dari- bengawan itu dengan mengendarai perahu sehari penuh baru bisa sampai dikaki gunung Liang San.

Dan untuk mendaki kepuntjaknja kira² memakan waktu 2-3 hari lagi, sebab puntjak gunung itu amat tinggi dan perdjalanannya sangat sukar . . . . . . . . “, Setelah berhenti sedjenak dan menelan ludah, pemilik warung itu lalu menjambung kata²nja lagi :

―„Tetapi saat sekarang ini perdjalanan untuk menudiu kesana akan amat sulit sebab di-mana² telah disebarkan ratusan polisi rahasia dari pusat untuk menangkap seorang pendjahat besar bernama Liem Tjiong, maka harap Toaye [tuan] menunda sadja perdjalanan iang berbahaja ini“

Demikian pemilik warung itu: memberikan pendjelasan dan menasehati Liem Tiong.

— „Terima kasi aku hanjaa sekedar bertanja sadja. Niaiku kesana sebenarnja hanjalah ingin melihat keindahan sadja aku tidak tahu kalau ada kedjadian jang demikian hebat sehingga pemerintah mendjaga dengan ketat djalan jang menudju ke Liang San.”

Liem Tjong pura² terkedjut akan peristiwa jang terdjadi, se-akan² ia baru mendengar berita baru.

―„Tetapi Loheng, mengapa djalan jang menudju kegunung itu jang didjaga dengan keras ? Apakah pendjahat itu lari menudju kesana ?“ - demikian pemilik warung itu ditanjai lagi oleh Liem Tjiong.

―„Oh, Toaya barangkali belum mengetahui djelas, Gunung Liang San itu adalah tempat berkumpulnja para pelarian jang dikedjar-kedjar oleh pemerintah, setiap ada pendjahat jang lolos pasti lari kesana.“

―„Oh, kalau begitu mengapa pemerintah tidak menggempur tempat itu ?“

Liem Tjiong ingin mengerti keadaan di Liang San, maka ia mengadjukan pertanjaan ini.

Pemilik warung itu berubah wadjahnja, ia dengan jepat meng-gojang²kan tangannja, katanja :

―„Mana mungkin, Toaya sampai saat ini pun tentara pemerintan belum berani menjerang kesana, sebab tempat itu letaknja sangat strategis, pusat para djagoan itu dipuntjak gunung, dan disekitar gunung itu dihingkari olen telaga besar jang airnja dalam, di sekitar caran itu baik petani, pedagang, pǝngusaha warung makan, penginapan dlsb, semuanja adalah anak buah dari Liang San Po, pemerintah sukar untuk mengenalinja, maka setiap ada penjelidikan kesana, selalu sadja utusan jang datang itu selalu lenjap tanpa bekas, mereka telah mendjadi mangsa djago² gunung Liang San itu. ... itulah sebabnja pemerintah belum berani sembarangan menjerang kesana, sebab tidak dapat mengetahui dengan djelas. berapa kekuatan anak buahnja, bagaimana perlengkapan alat² sendjatanja, bagaimana susunan perbentengannja, bagaimana keadaan daerahnja dsb“.

Pemilik warung itu dengan pandjang lebar memberikan keterangan jang sangat berharga kepada Liem Tjiong.

Liem, Tjiong lalu menjelesaikan pembajarannja, lalu berpamit :

― „Terima kasih Loheng atas segala keterangan dan nasehatmu, nah, aku akan kembali sadja ke Tongking.“

― „Ja, lebih baik Toaya pulang kembali sadja, untuk apa menempuh djalan penuh bahaja, bukankah akan mentjari penjakit sendiri ?“

„Betul, betul, omongan Loheng memang beralasan.“

Liem Tjiong lalu melepaskan tambatan kudanja, ia menjemplak kuda itu dan dilarikan ke Timur. Didalam mengendarai kudanja itu ia berpikir . . . . . . . . ..

Kalau aku melandjutkan perdjalananku dengan naik kuda, pasti polisi² rahasia pusat itu akan mudah mengetahui dan menangkapku. Lebih baik aku djual kuda ini sadja. kalau malam aku meneruskan perdjalanan, dan bila terang tanah aku sembunji dihutan hutan kukira djalan ini adalah jang paling baik aih. . . .. . sampai didusun jang djauh 140 Km sadja orang telah mengetahui nama Liem Tjiong sebagai pendjabat besar jang ditjari tjari oleh pemerintah, aku pertjaja gambar gambar jang ditempelkan ditembok tembok dan pepohonan itu pasti gambarku...Demikian Liem Tjiong berdjalan sambil berpikir, achir²nja diambillah suatu keputusan. ia mentjari pedagang kuda didusun itu dan mendjual kudanja.

Kalau malam bari Liem Tjiong melandjutkan perdjalanan ke Liang San, dengan berdjalan kaki dan bila siang hari a masuk kedalam hutan jang lebat untuk menjembunjikan diri dan melepas lelah.

Dua malam sudah Liem Tjiong berdjalan tiap² malam harinja kira² sudah melalui djarak 120 Km. Ia berpikir mungkin Gunung Liang San sudah tidak djauh lagi.

Siang hari ini aku akan tidur setjukupnja, supaja malam besok bisa sampai dikaki gunung Liang San.

Pada malam ketiganja Liem Tjiong melandjutkan perdjalanannja lagi dengan penuh semangat, tatkala itu langit djernih, maklumlah tepat tanggal 15 bulan 8 (Pek gwee tiap go) dalam penanggalan Imlik, maka bulan purnama nampak bulat penuh, seolah² wadjah seorang putri kraton jang tjantik djelita, pantjaran sinarnja jang kuning ke-emas²an itu membuat pantulan tjahaja disetiap benda jang tertimpanja mendjadi lebih indah dan berkilauan

Malam makin larut, sehingga djalan ketjil itu tambab sunji, sepandjang djalan hanjalah ditemani oleh suara burung malam, tjengkerik dirumput liar, dan sesekali aum srigala dikedjauhan.

Tiba² langkah Liem Tjiong terhenti, sebab di depannja kira² djarak 5-6 meter. nampak sesosok tubuh manusia jang sedang berdjalan dengan arah berlawanan, ditangannja membawa sebatang obor ketjil.

Liem Tjiong tjepat² membuang dirinia dan bergulingan ketengah semak belukar, ia mendekam dan menahan napas.

Tjelaka, djangan² aku telah masuk kedalam kepungan tentara negeri, tamala sudah riwajatku, demikian Liem Tjiong menduga duga. Langkah orang itu makin dekat, dan uba² berhenti di-semak² dimana Liem Tiong menjembunjikan diri dan mengadjukan penjataan :

„Adakah disitu Liem Kauw Thauw?“

„Bu... buk . . . .bukan! Aku adalah she Tio, namaku Tio Tjiong.“

Liem jong mendjawab dengan ber-gagap², karena terkedjut.

„Hahaaa, ahaaaaa. . . . djangan chawatir Liem Kauw Thauw, aku adalah utusan salah seorang kesatria dari gunung Liang San, aku mendapatkan perintah dari Pangiju untuk menjongsongmu “orang iang mengaku bernama Tju Kui itu lalu mendekatkan obornja kediri Liem Tjong dan tertawa pula:

“Hahaaa.. hahaa... untung malam ini kita dapat bertemu. Kemarin Pang tju telah menerima saputjuk surat dari Tjha Tjim di nung Tjhiu Too, bahwa akan datang di Liang San seorang bekas Komandan keamanan kota Tongking jang telah dihukum buang di Tihung Thiu Too, namanja Liem Tjong. Aku dapat segera mengenalimu, karena dalam surat itupun dengan djelas dilukiskan bagaimana bentuk tubuh dan potongan wadjahmu, maka aku segera dapat memastikan engkaulah orangnja.”

Liem Tjiong merasa lega, ia berdiri dan membersihkan pakaiannja dari lekatan lumpur dan tanah jang menempel, ia lalu madju dan Kiong tjhiu serta menanjakan siapakah sebenarnja orang itu.

“Liem Kauw Thauw, kau tidak usah bersangsi atas diriku, aku adalah orang Liang San, namaku Tju Kui Hajolan kita segera berangkat, bila malam ini kita berdjalan terus, maka esok hari kita akan tiba dikaki gunung Liang San”

Liem Tiong berbesar hati, maka tjepat² ia mengambil pauwhoknja dan mengikuti Tju Kui melandjutkan perdjalanannja

Benarlah apa jang diterangkan oleh Tju Kui, tatkala fadjar mulai menjingsing, sampailah Liem Tjiong dan Tje Kui dikaki gunung Liang San Sekarang barulah Liem Tjiong bisa dengan masa kepalanja sendiri melihat keadaan gunung Liang San. Tinggi gunung itu 2 kali gunung Lawu, sehingga bila orang ingin kepuntjak harus makan wakiu kira² satu hari penuh disekeliling gunung itu dilingkari oleh air telaga Nio Swa Bo jang airnja tenang, dalam dan banjak ikannja

Tanah dipegunungan itu penuh ditumbuhi oleh pohon jang besar serta rumput² liar jang sangat lebat, maka bila kita tidak dapat memperhatikan benar² akan teramat sukar untuk mentjari djalan ketjil dipegunungan itu. Memang tempat ini sangat strategis, sehingga tentara kerajaan tidak bisa menghantjurkan Hoohan² gunung Liang San ini. Mereka selalu gagal dan sampai kini belum berani lagi untuk menggempur Liang San. . . . . . . . .

Setelah ter-mangu² sesaat, Liem Tjiong lalu minta Tju Kui untuk segera naik kepuntjak.

— „Saudara Tju Kui, tjepatlah antarkan aku kepuntjak, aku ingin segera mendjumpai Pangtju [pemimpin] dan menanjakan apa tugasku selandjutnja.“

Tju Kui tersenjum, ia lalu mengambil sebatang anak panah dari punggungnja, dengan gendewa itu direntangkan dan ditudjukan kepuntjak, maka begitu djari2nja dilepas, segera meluntjurlah batang anak panah Tju Ku itu kepuntjak gunung Liang San.

Liem Tjiong tidak mengerti apa maksud Tju Kui melepas anak panah, ia segera mengadjukan pertanjaan pula,

— “Saudara Tju Kui, apakah maksudmu dengan melepas anak panah kepuntjak itu ? Apakah suatu kode bahwa kau telah datang?”

Kembali Tju Kui tertawa dan memberikan djawabnja :

—„Liem Kauw Thauw, dugaanmu sedikit ada benarnja, memang aku memberi kabar bahwa aku telah datang, dan lebih dari apa jang kau perkirakan, aku melepaskan sebatang anak panah itu dengan lurus keatas, berarti aku minta didjemput dengan sebuah perahu untuk kemudian diseberangkan Siapapun jang datang kemari, mereka tidak akan dapat mendaki kepuntjak, sebab para nelajan dan tukang² perahu semuanja adalah anak buah Liang San Pek Hooban, hahaa . . hahaaa. . . . . . . .“

Mendengar keterangan ini amatlah kagum hati Liem Tjiong. Sungguh organisasi Liang San Pek Hoohan ini teratur demikian rapi dan sempurna, maka logis bila tentara kerajaan tidak mudah untuk membasminja.

Belum habis rasa kekaguman Liem Tjiong, dari semak² jang lebat segera meluntjur sebuah perahu ketjil dan ramping, pendajungnja itu menjerupai seorang petani tjara mendajungnja sangat gesit dan bersemangat, perahu itu meluntjur se-akan² terbang lajaknja.

Begitu perahu itu sampai ditepian. Tju-Kui lalu mendahului Liem Tjiong lontjat dengan gaja jang sangat indah. Itulah technik lontjatan dari persilatan jang disebut Yan Tju Tiwan Tnian atau burung walet menembus angkasa, sepasang kakinja menekuk dan sepasang tangannja mengibas, setelah berdjumpalitan dua tiga kali diudara, lalu sepasang kaki Tju Kui itu meluntjur dengan kalemnja tepat di-tengah perahu itu

Liem Tjiong berdiri dengan ter-longong² ia amat terkesima dan kagum, didalam batinnja ia memikir, oh, sungguh para anggotaLiang San itu terdiri dari orang jang gagah, tjerdik tjendekiawan dan orang² Lihay jang tidak boleh dibuat permainan. Belum sempat ia melandjutkan lamunannja, dari perahu itu terdengar Tju Kui berkaok, memanggilnja :

— „Hajo Liem Kauw Thauw, lontjatlah keperahu ini, segera kita menghadap Pangtjuya !“

Tangannja menggapai. Liem Tjiong tanpa ajal lagi, lalu menggendjot tubuhnja jang disebut Tjwan In Hok Tju atau Burung banngau putih menembus awan. gerakannja ini amat tjepat dan tidak banjak variasi [Kembangan ],

Melihat ini, Tju Kui pun merasa sangat kagum akan kelihayan Liem Tjiong.

Setelah kedua orang telah berada didalam perahu, lalu menjeberang sampai ditepian. Tju Kui lalu mengadjak Liem Tjiong memasuki semak² jang lebat itu, dan itulan djalan ketjil jang menudju kepuntjak.

Dari pagi sampai pagi hari lagi barulah kedua orang itu sampai dipuntjak. mulailah nampak beberapa rumah penduduk. sawah² dan kebun² buah2an. Di-tengah² ratusan rumah penduduk itu kelihatan sebuah bangunan jang paling besar, itulah pesanggrahan atau markas besar dari para kesatria dari gunung Liang Saa.

Tju Kui lalu mengadjak Liem Tjiong memasuki markas besar itu, diruang tengah nampaktiga orang jang sedang duduk dan ber-tjakap² Tju Kui lalu madju kedepan dan memberi hormat Orang jang ditengah tengah itu jang badannja tinggi agak gemuk lalu bertanja :

„Diakah Liem Tjiong?“ Dan meminta supaja ia segera masuk. Liem Tjiong melangkah madju merangkapkan kedua tangannja untuk berkiongtjhiu.

Ketiga orang itu memandangi Liem Tjiong dari udjung kaki sampai keatas kepala, baru setelah agak lama, jang ditengah tengah itu ber kata „Aku telah membatja surat dari Tjha Tjin, aku mengetahui akan penderitaan dan kesulitanmu, sehingga kau dikirim kemari Tetapi walaupun Nio Swa Bo tempatnja luas dan banjak hasil buminja namun kupikir, Aku kira kau kurang lajac tinggal disini, maka lebih baik. . . .“ belum habis Ong Lun (ketua para hoohan gunung Liang San) me landjutkan kata²nja, Tju Kui memotong.

— „Pangiju, (ketua ) kita harus menolong, bagaimanapun djuga kita akan kurang enak hati, bila menolak permintaan Tjha Tjin.“

Kata? Tju Kui ini memang sangat beralasan, maka ketiga orang itu tidak dapat segera memberikan djawaban, mereka duduk saling berpandangan.

Memang sediania ketiga orang itu jakni, Ong Lun (ketua 1, Song Ban dan Tauw Tjhian akan menolak Liem Tjong. sebab mereka telah mengetahui dengan djelas, bahwa Liem Tjiong adalah seorang kosen jang Lihay, mereka berpikir bila Liem Tjiong lebih unggul dari mereka, terang kursi ketua akan diduduki oleh Liem Tjiong, ini sudah mendjadi suatu peraturan di Liang San, siapa jang lebih pandai dan lihay, dialah jang patut mendjadi Pangtjanja. Maka dari pada kedudukanja terguling, adalah lebih baik mengusir Liem Tjong.

Namun Tju Kui orangnja djudjur dan bersih. ia tidak menjetudjui pikiran sang Pangtju, maka sebelum habis kata² pangtjunja, ia segera memotong dan mendukung Liem Tjiong untuk diterima sebagai anggota ksatria gunung Liang San.

Liem Tjiong kelihatannja sangat berchawatir, wadjabnja berkeringat pintanja ;

— „Pangtjuya aku adalah orang pelarian, di-mana tiada tempat lagi bagiku maka mohon pertolongan Pangtjuya untuk memberikan tempat perlindungan untukku.“

Tju Kui menimbrung kata² Liem Tjiong ini :

— „Benarlah Ong Pangtju, Liem Kauw Thauw harus kita berikan perlindungan, bukankah tjita para Hoohan adalah membela orang² jang mendapat tekanan dan perlakuan tidak lajak dari pemerintah, untuk nantinja kita ber-sama² menggalang suatu persatuan jang kompak untuk menumbangkan pemerintahan Tirani jang lalim dan Butoo (Tidak mengenal keadilan dan kebenaran) itu. Pangtju, hendaknja kita bisa me-milah² antara kepentingan pribadi dan kepentingan kita bersama.....“

Dengan penuh semangat Tju Kui mengutarakan isi hatinja, se-akan² dadanja a-lkan meledak mendengar penolakan Ong Lun-, Song Ban dan Tauw Tjbain terhadap diri pribadi Liem Tjiong.

Maka ia njerotjos mengeluarkan seluruh peng-unek² jang ada didalam hatinja.

Ong Lun atau sang Pangtju merasa amat malu mendengar pidato bawahannja jang masih muda dan berangasan ini, ia lalu berdiri dan berkata dengan wadjah merah padam :

„Tju Hiatee, baiklah usulmu kuterima, dan saudara Liem Tjong mari kita bersama-sama ke Lian Bu Thia (ruang untuk berlatih silat) untuk mengudji kepandaianmu, dalam hal ini djangan kaget, memang sudah mendjadi suatu keharusan siapapun jang masuk mendjadi anggota ksatria gunung Liang San, harus diudji terlebih dahulu kepandaiannja.

Nah, hajo kita kebelakang! Harap persoalan jang sudah berlalu tidak kita singgung singgung lagi...“

Ong Lun mengachiri kata²nja dengan agak mendongkol

Segera mereka be-ramai² menudju ke Lian Bu Thia, dalam ruangan itu nampak deretan alat sendjata komplit jang ladim didalam persilatan disebut Tjap Pek Paw Bagee atau 18 matjam ilmu sendjata, antara lain Rujung, tombak, pedang, golok, rantai, pen ung, tongkat, pikulan (Tan), Sam Trat Kun pentung berlipat tiga ), Gan (sematjam rujung tetapi lurus) Poan Koan Pi [sendjata jang bentuknja sematjam alat tulis [longwa ] Sam Tjhay [sematjam garu bergigi tiga ], Tnie Pie [Trisula]. Teng Thui [tongkat paadjang ]. Pok Too [belati] dll.

Liem Tjong terlebih dahulu memberi hormatkepada Ong Lun, ber-turut kepada Song Ban,Tauw Tihian dan diuga Tju Kui, kemudian iamasuk ketengah-tengah ruang Lian Bu Thia itu untuk memainkan alat² sendjata, satu persatu ia mainkan dengan gapah dan gesit, sehingga mau tidak mau pentolan² gunung Liang San itu merasa sangat kagum dan memudji dalam hati.

Sang Pangtju melihat ketangkasan Liem Tjiong ini makin berchawatir, ia berpendapat bila Liem Tjiong memiliki bugee jang demikian tingginja, kami bertiga ini tidak akan ungkulan bila akan melawannja Ah, sungguh tjelaka. kedudukanku ini pasti akan tergeser. Maka diam² ia berbisik kepada Song Ban, jang kata²nja demikian :

“Song Hiatee, kita harus mempersukar masuknja Liem Tjiong ke Liang San ini walaupun dalam udjian mempermainkan alat sendjata dia lulus, tetapi kita harus memberikan sjarat lain jang harus dilakukannja, bila dia tidak dapat mendjalankan terpaksa kita tidak berani menerimanja, bagaiman pendapatmu tentang ini?”

Song Ban dengan berkedip kedip. sebab ia tak lepas² memperhatikan gerak gerik Liem Tjiong; „Bila Ong heng berpendapat demikian Siauwtee setudju² sadja“ Song Ban tidak berani menentang pendapat pangtjunja, maka ia setjara apatis mengiakan sadja.

Ong Lun kembali membisikan ketelinga nja: “Suruh dia dalam tiga hari memotong kepala manusia, bila dalam tiga hari ia tidak berhasil, maka kita terpaksa harus mengusirnja, bagaimana?”

“Hal itu aku serahkan kebidjaksanaan Ong Hong, memang rasanja sjarat ini akan terlalu sukar, sebab mana ada manusia jang berkeliaran disekitar gunung Liang San ini?”

Song Ban memberikan hati kepada pendapat sang ketua ini, sehingga mendapat dukungan ini, Ong Lun berseri2 karena girangnja. Selesai Liem Tjiong meletakkan alat sendjata terachir jang ia mainkan, Ong Lun iala berdiri dan berkata kepadanja;

“Saudara Liem Tjiong, memang permainan silatmu tidak tertjela. dalam hal ini: kau telah lulus dengan nilai jang tinggi tetapi masih ada lagi sebuah sjarat jang harus kau djalankan....” belum habis kata2 sang Panguju ini, Liem Tjong jepat2 bertanja :

”Apakah sjarat jang terachir itu pangiju.“

”Hem. . . sjaratnja jakni kau harus dapat membawa kepala manusia kemari didalam waktu hanja tiga hari.

Bila kau gagal, maka dengan terpaksa kami tidak akan dapat menerimamu sebagai anggota Kesatria gunung Liang San.

Ketahuilah bahwa sjarat terachir ini adalah suatu sumpah dari semua kesatria gunung Liang San, jang harus ia lakukan, djuga untuk membuktikan djiwa kedjantanannja.

Maka mulai besok, akan kami hitung sebagai hari jang pertama untuk kau melakukan sjarat tersebut” Ong Lun dengan kata² jang penuh wibawa mendjelaskan kepada Liem Tjiong.

Terpaksa Liem Tjiong mentaati peraturan ini, dengan penuh kesungguhan hati ia berdjandji dihadapan para pentolan kesatria gunung Liang San itu :

— „Baik Pangtju, aku berdjandji dengan sepenuh mati, bahwa aku harus dapat melakukan tugas itu dalam tiga hari.“

— „Ja, dan sore hari ini marilah kita mengaso, Tju Kui perintahkan pada orang2 didapur untuk menjediakan santapan malam.“

Tju Kui mengangguk dan berlalu, kemudian Jug Lun mengadjak Liem Tjiong dan kedua bawahannja masuk keruang tengah untuk menantikan hidangan.

Selesai bersantap Liem Tjiong mendapatkan sebuah kamar untuk beristirahat, tanpa menantikau perintah jang kedua kalinja, Liem Tjiong segera membawa pauwhokuja dan masuk kedalam jang telan disediakan untuk mengaso

Malam ini bagi Liem Tjiong merupakan malam pandjang, ia benar² sangat gelisah dan tak dapat segera tidur. Sebab ia selalu memikirkan untuk esok harinja mentjari kepala manusia sebagai anggota gunung Liang San.

Keesokkan harinja pagi² benar Liem Tjiong sudah turun gunung untuk menghadang orang orang jang mungkin lewat dikaki pegunungan Liang San itu. Liem Tjiong merasakan seluruh tubuhnja kaku dan penat, sudah sekian lama ia berdiri dan kadang² mendekam di semak² rerumputan jang liar itu untuk menanti mangsanja.

Achirnja petangpun mendatang, dan Liem Tjiong dengan lesu kembali mendaki puntjak Liang San untuk memberikan laporannja.

“Pangtjuya, sungguh malang tak ada seorangpun jang lewat dikaki pegunungan Liang San, sehingga besok siauwtee akan bangun le bih pagi untuk menghadang dikaki gunung.” Liem Tjong menghadap Ong Lun dan memberikan laporannja dengan suara lemah.

“Hahaa... hahaaa.... sehari telah lewat, baiklah masih ada dua hari lagi, aku harap kau bisa melaksanakan djandjimu itu. Bersantaplah dan kau boleh mengaso !”

Ong Lun dengan girang memerintahkan Liem Tjiong untuk makan malam dan beristirahat. Hari pertama Liem Tjiong telah gagal memenuhi persjaratan untuk mendjadi anggota ksatria gunung Liang San, bagi Ong Lun hal ini merupakan keuntungan besar, sebab memang ia ber-harap² supaja Liem Tjiong gagal untuk mendjadi anggota Liang San Pek Hoohan. Ja chawatir akan kedudukannja.

Sebab bila Liem Tjong berhasil berarti akan gojahlah kekuasaannja, ia tak mungkin dapat lagi mendjabat sebagai ketua kesatria gunung Liang San Tidak heranlah bila ia ter tawa girang melibat kegagalan Liem Tjong hari ini.

Keesokan harinja adalah hari kedua bagi Liem Tjiong untuk menjari manusia jang lewat dikaki pegunungan Liang San, kali ini ia turun gunung sebelum matahari terbit, djadi suasana dipegunungan itu masih diliputi dengan kegelapan karena penuh bertebaran halimun jang tebal. Hawa udara dipegununganpun sangat kekes dan menggigilkan. Tetapi Liem Tjiong dengan semangat jang tak kenal dingin tak kenal penderitaan tetap dengan langkah tegap, madju terus pantang menjerah!

Ia mentjari tempat persembunjian jang terlindung oleh semak², sehingga bila ada orang jang berlalu, baik dari arah kiri maupun kanan, pasti tidak dapat melihatnja, disitulah pagi hari itu Liem Tjiong mendekam untuk menantikan mangsanja.

Hari makin lama makin terang, karena sinar mentari mulai merambat naik dan menerangi seluruh permukaan bumi, semua jang tadinja remang² dan gelap, kini tampak terang dan berijah ja. Kegelapan itu lari demi muntjulnja sang terang, semuanja luluh dan punah bagikan saldju jang luluh dan mentjair bila tertimpa sinar terang jang hangat dari mentari. Hal ini sebenarnja sudah mendjadi Suatu “KEBENARAN” didalam dunia, mendjadi suatu petundjuk iang positip bagi manusia untuk memilih djalan hidup jang benar.

Pilihlah djalan jang terang, sehingga apapun akan njata, bertjahaja, gemilang dan berkilauan. kalau kalian memilih djalan jang gelap, maka akan kau temui kesuraman, ketidak njataan, beku dan seram. Se-waktu² nanti akan sesat di djalan jang gelap itu sebab tak dapat memulih arah jang tepat, sehingga sudah tergelintjir kelembah nista, atau kedjurang kehandjuran jang memusnakan......! Maka, berhati hatilah, wahai umat manusia. didunia ini sebenarnja hanja ada dua djalan, ja, dua djalan hanja KEBENARAN dan KESESATAN !

sebagai apa jang kita sering libat adanja GELAP dan TERANG Jang selalu berputar dan berkedjaran. Tetapi berbahagialah bagi mereka jang telah menemukan kesadaran dan mengenal WATAK SEDJATINJA, sebab mereka akan dapat mengarahkan langkah kakinja kedjalan jang BENAR, djalan jang penuh tjahaja dan terang, suatu djalan jang diridhoi oleh TUHAN.

Apapun dan bagaimanapun KEBENARAN itu tetap djaja dan abadi, sebagaimana kata2 mutiara jang berbunji:

One generation comes
one generation go away
but the TRUTH standed forever!

Generasi silih berganti, satu generasi lahir, generasi jang lain punah, te api sepandjang pergantian ini, akan terdirilah dengan kokoh dan teguh, itulah KEBENARAN jang tetap djaja dan abadi !

Sinar terang dari mentari pagi hari itu. Liem Tjiong mulai merasakan adanja kehangatan didalam tubuhnja, ia tidak menggigil lagi, sinar matanja jang mentjoroug bagaikan sorot itu dengan tadjam memandang kekanan kekiri, telinganja dipasang benar², sebentar sebentar ia melongok, kemudian mendekam dan tak bergerak.

Tetapi walaupun hari telah makin tinggi. tidak djuga ada seorangpun jang lalu dikaki pegunungan Liang San itu.

Ah, sungguh kesal hati Liem Tjiong tak terkirakan. sudah sekian lana ia menanti dan menanti, tetapi belum djuga berhasil usahanja.....

Pada achirnja, kembali sendja mendatang, dan mentari kembali silam dibalik gunung. semuanja jang terang dan berkilauan,kini kembali mendiadi remang².

Dengan lesu Liem Tjiong meninggalkan tempat persembunjiannja, ia kembali mendaki kepuntjak, langsung menudju markas dan memberikan laporan:

— „Ong Pangtju, kali inipun siauwtee telah gagal memenuhi sjarat untuk diterima. mendjadi anggota kesatria gunung Liang San.Telah dua hari penuh Siauwiee ber-djaga² dikaki gunung, tetapi tidak seorangpun lalu-dikaki pegunungan itu.“

Demikianlah dengan suara lemah dan nada jang mengharukan Liem Tjiong memberikan laporannja kepada Ong Lun. ketua gunung Liang San itu, Terdengar diruangan markas besar itu, suara tawa jang meledak terbahak² dari Ong Lun, ia merasa sangat girang, sebab hanja tinggal sehari kesempatan bagi Liem Tjiong untuk mendjalankan tugas memenuhi sjaratnja.

Ja, kesempatan jang terachir, dan menentukan. Akan dapat tetap tinggal di Liang San atau akan terusir lagi, hanjalah hari esok, hari ketiga jang akan memberikan keputusan. Tetapi Ong Lun jakin dan pasti bahwa Liem Tjiong akan gagal dan tidak dapat memenuhi sjarat, maka ia tertawa ter-bahak 2 mendengar laporan Liem Tjong ini.

Liem Tjiong sangat berprihatin mendengar suara tawa jang menusuk hati itu, tidak ia hiraukan dan pikirkan dalam². Dengan suara jang bersemangat ia berdjandji dihadapan ketua kesatria gunung Liang San itu ;

“Esok masih ada kesempatan bagi Siauwtee untuk mendjalankan kewadiiban mentjari kepala manusia maka monon diri untuk beristirahat. Bita besok Siauwied gagal apa boleh buat terpaksa Siauwtee akan hidup didalam alam jang tidak tenang, sebab kemanapun tentara kerajaan selalu mengincjar dan akan membekuk diriku, semoga Pangiju suka memberikan kelonggaran berilah restu.” Liem Tjiong berdiri dan meninggalkan ruang markas itu. Terdengar suara Ong Lun dengan ter-batuk2 menanggapi kata2 Liem Tjiong, „Ingatlah! bahwa besok adalah hari jang terachir bagimu, maka djangan sampai gagal. Bila kau gagal kami tidak akan dapat memberikan tempat untukmu lagi“ Liem Tjiong terus menudju kedapur dan mentjari santapan, selesai makan minum, ia langsung menudju kekamarnja dan tidur.

Pada hari ketiga atau hari terachir bagi Liem Tjiong untuk mentjari mangsanja, seperti halnja pada pagi hari jang kedua, ia turun pada saat hari belum terang. djadi sekitar pe gunungan itu masih penuh diliputi oleh kabut dan halimun jang gelap tebal, dengan membawa Pok Too nja Liem Tjiong turun sambil berlari-lari, sebab dengan berlari akan dapat menghilangkan rasa dingin.....

Liem Tjiong kembali menudju ketempat persembunjiannja dan tak berani bergerak siap siaga menantikan mangsa jang mungkin lewat dihadapannja Daun² pohon jang bergesekan ditiup baju, membuat hati Liem Tjiong bertjekat dan gugup. Bila sampai nihil tanpa hasil lagi, wah, sungguh tjelaka tiga belas, ia akan hidup didalam ketidak tenangan, hidup didalam kedjaran dari tentara²negeri jang bengis dan se-wenang².

Matahari makin tinggi, panas dan penat sudah tidak dirasakan lagi oleh Liem Tjiong, jang terpikir olehnja banjalah kepala manusia, ja, kepala manusia! Dengan memenggal kepala manusia barulah ia bisa setjara sjah diterima sebagai anggota kesatria gunung Liang San, tetapi apabila gagal ?.........Ah, akan hidup sebagai pelarian jang tidak aman lagi . Merambatnja sang waktu, membuat ketjemasan hati Liem Tjong mendjadi², keringat mulai ber-ketes² membasahi muka dan seluruh tubuhnja.

Tusukan duri dan gigitan semut² liar tidak ia hiraukan, matanja tak lepas² memandang kearah djalan ketjil dikaki pegunungan itu, untuk menanti, ja, menanti....... manusia jang lewat.

Kira² djam 3, siang, dimana Liem Tjiong sudah kepajahan mendekam di semak²,sebab kaki dan punggungnja kesemutan dan kaku. Pada saat itulah tiba² dari arah depan ia mendengar suara langkah kaki seseorang jang mendatangi, orang itu berdjalan sambil bernjanji.

Hati Liem Tjiong bertjekat, semangatnja berkobar bagaikan minjak menjala jang tersiram air, matanja beringas dan tangan kanannja siap meraba ke pedang pendeknja.

Orang itu makin lama makin mendekat, tubuhnja tinggi besar, lebih gemuk dibandingkan Liem Tjiong, mengenakan pakaian kemiliteran dan memakai ikat kepala warna merah, berdjalan hendak melalui dimana Liem Tjiong menjembunjikan diri. Dipundak orang itu memikul sebuah pikulan jang agak berat, sehingga djalannja kurang leluasa dan sempojongan. Liem Tjiong merasa sangat girang, hari ini aku telah memperoleh kepala manusia, tinggal sadja mengulurkan tangan dan menabasnja

Liem Tjiong menanti sampai orang itu sudah tiba dihadapannja, setjepat kilat ia melontjat keluar dari semak2 dan mengatjungkan Pok Toonja. Orang itu terkedjut dan membuang pikulannja dengan segera serta marah2 ;

“Djahanam, berani benar engkau disiang bolong merampok Toajamu Hahaa............memang sudah nasib sialmu, hari ini kau berdjumpa dengan Tjbing Bian so. maka supaja tidak mendjadi kotorannja dunia, njawamu akan kutjabut.” Segera dari pinggangnja orang itu menghunus goloknja dan melawan Liem Tjiong.

Pertempuran segera terdjadi dengan seru dan sengit, masing2 mengeluarkan keachliannja dan kemampuannja. Kedua duanja sama kuat dan sama lihaynja, sehingga pertarungan dikaki gunung Liang San ini, kalau kita bisa menjaksikan dengan mata kepala sendiri, seperti LiongHauw Tauw [Pertarungan antara maga dan harimau, sebagai kata2 simbolis untuk pendekar2 silat jang tangguh ]. Liem Tjiong merangsek terus, sebab ia memikirkan kepala manasia un tuk memenuhi sjarat mendjadi anggota Liang San, sedangkan Tjhing Bian So (Sibinatang buas bermuka hidjau) jang sedang tertimpa kemalangan, kini mendapat gangguan, kontan amarahnja meledak dan tertumpahkan kepada Liem Tjiong, maka mereka bertempur seru dengan mati²an dan tak mau memberi hati masing² tidak mau mengalah dan melaatjarkan serangan² maut jang mematikan......

Kepal kiri Liem Tjiong diajun dengan pu pukulan Thay San Ap Ting atau gunung Thay San rubuh menindih, jang lazim dikenal dengan pukulan Kong Kepalnja tepat diarahkan ubun² lawannja. Tangan kanannja dengan Pok Toonja lurus ditusukkan keulu hati. Serangan-serangan ini disebut Kim Tjoa To Sim atau ular mas mengintjar hati.

Serangan ini dilantjarkan dengan tjepa dan hebat, akan tetapi lawan Liem Tjiong bukanlah orang sembarangan, ia adalah si binatang buas bermuka nidjau atau Tjhing Bian So namanja Yo Tjie. Mengalami serangan² jang maut dari Liem Tjiong, Yo Ijie mendekam dengan tipu silat Hauw Lok Swa atau matjan turun gunung, sepasang kakinja mendek ditekuk, kedua tangannja berada dibagian dada dan perut, inilah suatu kesiap siagaan jang lazim didalam persilatan disebut Hu Tju Siang Swie atau ajah dan anak saling mengawasi dan melindungi, ia senantiasa berjaga² akan serangan beruntun jang mungkin dilantjarkan oleh Liem Tjiong.

Liem Tjiong mengetahui serangannja gagal, tjepat menarik Pok Toonja dan dibatjok kan dengan ilmu pukulan Kwan Kong Boa atau Kwan Kong membelab [Seorang djenderal jang, termasjur pada dinasti Han ]. mata pedang pendeknja tepat mengarah ke - ubun², kemudian ditarik dan langsung ditusukkan ke leher lawan. Karuan Yo Tjie mendjadi kelabakan, ia meledjit dan lontjat tinggi keudara, inilah ilmu silat jang disebut Lie Hie Ta Ting atau ikan gabus meletik, ia berdjumpalitan beberapa kali, setelah menantjapkan sepasang kakinja ditanah, Yo Tjie lalu meninggalkan Liem Tjiong sambil mengumbar suara katanja

― „Tunggu sampai besok, hari ini Toajamu belum makan, sehingga dengan perut kosong tak dapat melawanmu, tetapi besok aku akan kembali dan menempurmu.

Djangan kira aku takut hei! Nah, sampai besok, aku akan mentjari makan dulu.“

Yo-Tjie lalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan tubuhna, sekedjap lenjaplah bajangannja Liem Tjong berdiri mendjublak, ia tertegun dan sesaat kabur ingatannja. Setelah agak lama, barulan ia sadar, buru² ia membungkukkan badan untuk mengambil pikulan jang ditinggalkan oleh lawannja tadi Ia membawa pikulan itu naik kepuntjak untuk didjadikan alasan. Ja. dengan pikulan ini pasti Pangtju masih dapat memberikan kesempatan bagiku, bukankah pemilik pikulan ini berdiandji bahwa esok akan kembali lagi? Haha... dengan demikian besok aku dapat menempurnja lagi dan mengambil kepalanja.

Liem Tjiong pertjaja akan kebidjaksanaan ketua kesatria gunung Liang San, sehingga mendaki dengan bersemangat, walaupun baru sadja ia bertempur mati²an sampai kurang lebih 3 djam lamanja.

Tiba dimarkas Liem Tjiong meletakkan pikulan itu dihadapan medja Ong Lun, kemudian ia memberi hormat dan memberikan laporannja :

“Ong Pangtju, hari ini Siauwtee masih belum bernasil memenuhi sjarat jang ditetapkan akan tetapi Pangtju dapat melibat pikulan ini Pikulan ini milik seorang dari kola radja ia bertubuh tinggi besar dan wadjannja hidjau seperti penuh dengan toh [tanda2 Indjau jang sering kita lihat pada bagian pantat anak ketjil, djuga sering terdapat dipunggung dll ] Ia menjebut dirinja Tjhing Bian So atau sibinatang buas bermuka hidjau, Siauwtee telah menempurnja hampir 2-3 dan akan tetapi belum berhasil memenggal batang lehernja, besok orang itu akan kembali lagi kekaki pegunungan untuk menempur sampai ada salah satu jang kalah. Maka dengan hal inilah Siauwtee mohon kebidjaksanaan Pangtju untuk memberikan kelonggaran.

Biarlah Siauwtee menumpang semalam lagi, dan besok bisa Pangtju saksikan sendiri pertempuran kami, kalau Siauwtee kalah, nah, biarl”ah Siauwtee berlalu meninggalkan gunung Liang San ini.”

Ong Lun, Song Ban dan Tauw Tjhian serta Tju Kui agak terperandjat mendengar laporannja Liem Tjiong petang hari ini, Tjhing Bian So, si binatang buas bermuka hidjau adalah seorang komandan angkatan last dari kota radja, mereka tahu betul bahwa Yo Tjie berbugee tinggi dan kuat, dengan Liem Tjiong belum dapat diketahui siapa jang akan lebih unggul Maka Ong Lun lalu berunding dengan stafnja:

― „Bagaimana pertimbanganmu Song Heng dan tjuwei hiatee sekalian atas diri Liem Tjiong ini ? Akan kita tolakkah atau kita berikan waktu sehari lagi sampai besok ?“

Tiu Kui langsung mendjawab pertanjaan sang Pangtju :

―„Menurut pendapat Siauwtee adalah lebih baik memberikan kelonggaran-kelonggaran kepada Liem Tjiong, bukankah orang itu akan kembali lagi? Dengan demikian kita bisa menjaksikan pertempuran dan menilai kemampuan Liem Tjiong.

Kalau kita menolak. sungguh kita akan merasa malu terhadap Tjha Tjin jang telah banjak memberi bantuan kepada kita, djasa² Tja Tjin adalah besar dan tak terhingga, maka apakah salahnja kalau kita meluluskan permintaannja untuk memberikan tempat bagi Liem Tjiong ”

Tauw Tjnian dan Song Ban pun sependapat dengan Tju Kui, maka mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda setudju Ong Lun melinat ketiga stafnja mendukung Liem Tjiong, ia tidak dapat berbuat apa² lagi, ketjuali harus menjetudjai djuga. Maka Ong Lun lalu memandang kearah Liem Tjiong dan berkata:

“Baiklah, malam ini kau masih mendapatkan suatu kesempatan lagi, dan besok itu adalah hari jang terachir, harap kau bisa menepati dan tidak mengulur ulur waktu lagi.”

Terima kasih Pangiju, terima kasih....”Liem Tjiong lalu mengundurkan diri.

Malam hari ini Liem Tjiong bergulak gulik dan tidak dapat memeajamkan matanja, pikirannja katjau memikirkan hari esok.

Dapatkah ia mengalahkan orang jang berdjuluk sibinatang buas bermuka hidjau itu, atau ia sendiri jang harus minggir dan enjah dari gunung Liang San? ..... ia dengan perut kosong sidja dapat bertahan 2-3 djam, kalau kondisi badannja tjukup baik pasti kekuatan dan kelihayannja makin hebat. . ... tetapi bagaimanapun djuga besok aku harus mati² - an menempurnja sampai salah satu ada jang kalah, aib, semoga kekuatanku tidak mendjadi lemah, dan semangatku tetap berkobar kobar...............Suara kentongan dikedjaunan şajup2 sampai djuga ketelinga Liem Tjiong, bunji kentongan itu menjusuri lembab di pegunungan, sehingga suaranja berombak dan menggema. Hari sudah larut malam kira2 djam 2. Liem Tjiong lalu menjelimuti seluruh tubuhnja dengan kamli, ia berusaha untuk tidur dan ngempos semangat, sebab esok hari ada hari penentuan baginja.

Tatkala ajam2 djantan dan bekisar (ajam hutan) mulai ramai berkokok saling bersabutan Liem 1jong lontjat bangun dari balai2nja, ia meringkaskan pakaian dan membawa Pok Too ja lari menuruni gunung. Belum ia sampai dikaki pegunungan itu, dari bawah telah ter dengar suara orang ber-kaok2:

“Kembalikan pikulanku, hei, awas bila ada barang2ku jang hilang, kini loayamu datang untuk meinta kembali barang2nja.”

Djelas jang ber-kaok2 itu adalah binatang buas bermuka hidjau, maka Liem Tjiong lalu mempertjepat larinja.

Segera djuga mereka saling berhadapan kembali dengan gaja stan jang mengagumkan, Liem Tjiong berdiri dengan dua tangan terbuka, satu diatas satu dibawah kaki kiri agak ditekuk sedikit, inilah kesiap siagaan jang disebut Say Tju Gui Diui atau singa membuka mulut. Yo Tjie merambat madju dengan memutar mengelilingi Liem Tjiong. ia menggunakan lakuk Tjoa Hwat atau ilmu silat ular.

Dari mulutnja terdengar kembali otjehannia : "Djangan kira kau bisa mengalahkan aku, kemarin dengan perut kosong toayamu menempurmu 2-3 djam, kini walaupun 3 hari 3 malam akan kulajani, hahaaa....hahaa...“

Liem Tjiong tidak banjak tjakap, ia menanti sampai musuh datang dekat, dengan sebat ia mengubah gerakan dari pendjagaan diri mendjadi serangan, Kakinja menendang keulu hati, kedua tangannja menusuk saling menusuk saling susul. itulah ilmu serangan jang disebut Bie Lie Tjau Kia atau wanita tjantik jang berhias. Yo Tjie dengan Tjoa Hwainja meledjit dan menggeliat menghindarkan serangan LiemTjiong, kemudian ia balas menjerang dengan Siang Tjoa Kun Hoo atau sepasang nlar bermain ditelaga, tububnja meledji dan berputar seperti gangsingan, dan setjara mendadak balas melanijarkan serangan, Pek Tjoa Pa Bwee atau ular putih menggojangkan ekornja, kaki kirinja mendupak dan menendang saling susul kearah dada, lambung dan selangkangan Liem Tjiong.

Liem Tjiong mengegos atau siam, djari² tangannja siap mentjakar kedada lawan dengan ilmu serangan dari Eng Tjhun atau silat garuda, tububnja digeser kesamping kanan. Ye Tjie tidak mau berada dibawah angin, kembali dengan Kim Tjoa Tjhat Tjhut Tong atau ular mas keluar dari liangnja, tubuhnja dengan gesit menerobos kebawah perut Liem Tjiong, siap memukul kebahagian vital dari tubuh Liem Tjiong

Liem Tjiong mendjadi kelabakan, tjepat² ia menarik serangannja jang gagal, dan untuk menghindarkan dari desakan jang berbahaja ini, ia mengapung keudara dengan lipu Tay Beng Tiang Sit atau garuda raksasa menentang sajap. Kembali terdengar gelak tawa dan oyehan dari Tjhing Bian So sibinatang buas bermuka hidjau :

― „Haaahaaha.....hahaha ... baru tiga djurus sadja kau telah kelabakan tidak karuan djangen2 baru 10 djurus kau sudah mendeprok dihadapanku, haha..,haha.“

Liem Tjiong tetap tenang mendengar edjekan olok² dari Yo Tjie, Ia mulai lagi dengan melantjarkan serangan Tjhit Pauw Lian Kie atau 7 serangan maut, tangannja metuntjur setjara beruntun dan bergelombang, menusuk, membatjok, mentjengkeram, menjodok, mendorong, memotong, semua serangan ini dilantjarkan dengan tenaga penuh, sehingga angin pukulan itu berkesiur. Yo Tjie mendengar berkesiurnja angin, ia buru2 memasang kuda² Pang Be Long dengan kuat2, sepasang tangannja berputar putar dengan luar biasa tjepat, inilah ilmu tangkisan dari Tjoa Hwat jang sangat tersonor Ban Tjo. Kun Poo atau puluhan ribu ular bermain gelombang, semua serangan Liem Tjiong dapat dipunankan, bahkan sesekali tangan mereka saling bentrok dan keduanja terbujung mundur beberapa undak Kalau dilibat sampai disini, sebenarnja kekuatan kedua djagoan itu adalah sangat seimbang, sehingga siapa jang lebih unggul sukar diketahui.

Pertempuran dilandjutkan lagi makin seru.

Tidak terasa ratusan djurus telah berlalu, tapi walaupun kedua-duanja sudah mandi keringat dan amat pajah, tetapi masing² tidak mau mundur dan menjerah kalah, mereka berkotet dengan sengitnja. Makin lama pukulan² jang dilantjarkan makin dahsjat dan berbahaja . . . . . . didalam saat masing² sudah kepajahan dan hampir kehabisan napas itu, tiba² dari atas berlarianlah 4 orang, mereka adalah Ong Lun, Song Ban, Tauw Tjhian dan Tju Kui.

Berempat menjaksikan pertempuran jang hebat dan dahsjat seperti pertarungan Mohhamad Ali dan Joe Frazier diarena gelanggang tindju Internasional, diam² mereka sangat mengagumi dan memudji.

Ong Lun dengan wadjah riang berpendapat kalau sadja Tjhing Biang So ini mau tinggal di Liang San, dia akan mendjadi pengawal pribadiku, sehingga kalau Liem Tjiong mau berontak masih ada jang diandalkan untuk melawannja, maka ia lalu mengambil suatu keputusan untuk menghentikan pertempuran itu:

„Tjukup, tjukup, kalian harus segera berhenti untuk mengachiri pertempuran ini . . . . . . kalau tidak salah adakah Hoohan jang bernama Yo Tjie?“

Menoleh kearah Tjhing Bian So dan mengadjukan pertanjaan ini.

Yo Tjie dengan napas sengal2 mengangguk dan memberikan djawabannja: “Benar, tjayhe bernama Yo Tjie.” matanja dengan sorot jang tadjam memandang kearah 4 orang jang baru sadja tiba dikaki pegunungan itu, ia chawatir kalau2 mereka datang mengkrubut setjara berbareng, sedangkan ia sendirian sudah kepajahan. Pandangan Yo Tjie jang penuh ketjurigaan ini, membuat keempat orang itu tertawa tergelak gelak, Ong Lun menerangkan ;

“Saudara Yo Tjie, telah lama kami mengagumi namamu jang besar, sungguh keberutungan bagi kami telah mendapatkan kundjunganmu. maka sudilah kau mampi rdan ber-omong2, mari, mari. mari kita naik kepuntjak! Disana boleh Saudara Yo Tjie, beristirahat dan pikulan serta barang²mu ada kusimpan dimarkas dengan baik², Djangan bersangsi dan bertjuriga kepada kami. Ketahuilah bahwa jang bertempat padamu itu adalah saudara Liem Tjiong ia baru 4 hari ini tiba digunung Liang San., mari²!“

Yo Tjie beralih pandangannja ia mengamat Liem Tjiong dengan sorot mata jang sangat tadjam, kemudian ia mengikuti rombongan itu naik kepuntjak. Dimana didalam markas besar itu telah dihidangkan sate kambing dan buah2an jang segar2 hasil panenan dari Liang San.

Yo Tjie ber-sama2 Ong Lun dan kawan2nja serta Liem Tjiong lalu makan minum dan bertjakap tjakap. Dalam pertjakapan itulah Yo Tjie mentjeritakan riwajat dan pengalamannja demikian: “Kenapa aku bisa sampai dipegunungan Liang San ini, pasti tjuwei ( saudara² sekalian ingin mengetahui, bukan? Setengah bulan jang lalu aku menerima perintah dari Ko Tjiang Kun (Djenderal Ko Kiu ) untuk membawa batu² kali dari sungai besar diselatan Liang San ini.

Dalam pentjarian batu² itu kami semua berdjumjah ratusan orang. jang terdiri dari 10 buah kapal. Aku sendiri adalah rombongan kapal nomor 9, dan anak buahku kurang lebih 7 orang. Setelah masing kapal termuat penuh dengan batu² kali, maka kesemuanja berangkat kembali kekota radja. Batu² kali ini sangat dibutuhkan, karena pemerintah akan membangun benteng² jang kuat, untuk menghadapi serangan² bangsa Mongol. Dalam pelajaran kembali itu sungguh malang nasib kapal No. 9, lantai kapal itu telah mendjadi tiris karena berlobang, pada hal air sungai pasang dan gelombangnja amat besar.

Sedangkan muatan kami penuh dan berat.

Aku sebagai komandan berteriak teriak untuk mengempos semangat dan berusaha membawa kapal ketepi, supaja djangan tenggelam, tetapi malang, badai amat keras, tiba² karena semuanja panik dan bingung, kapalku itu telah menumbuk batu karang, suara tumbukkan itu amat dahsjat dan memekakkan telinga, segera kapal itu petjah dan air membandjir menggenangi kapal itu, melihat keadaan jang sudah tidak memungkinkan untuk menjelamatkan kapalku lagi, aku lalu menjerukan untuk anakbuahku segera menjelamatkan diri masing². Tetapi mereka terlalu takut pada atasan, sehingga semuanja mati terbenam kedasar sungai ber-sama² kapal dan batu2 kali jang maksiat itu. Aku sendiri tatkala air sudah sampai keleher. terus sadja lontjat dan berenang ketepian, jang masih sempat kubawa adalah ini, ”Yo Tjie menundjuk kepikulannja” beberapa uang dan pakaian2 anakbuahku, sebagai bukti didalam laporanku kepada ko Tjiang Kun........
Ong Lun dan saudara²nja mengikuti tjerita Yo Tjie ini dengan penuh perhatian. Setelah Yo Tjie mengachiri kisahnja Ong Lun lalu dengan kata2 merendah meminta Yo Tjie tinggal sadja digunung Liang San:
— „ Adalah lebih aman bila Yo Tee tinggal ber-sama2 kami disini, kekuatan kita akan lebih besar dan kuat.“
Tetapi Yo Tjie meng-geleng2kan kepala,

— „ Tidak mungkin, tidak mungkin, aku disana masih mempunjai kewadjiban jang berat, jakni melindungi anak istriku dan orang tuaku. Maka nasehat Ong Heng tidak dapat aku djalani, hanja..... bila kelak keadaan memang sangat memaksa, aku pasti mendaki gunung Liang San ini untuk menundjang perdjuangan Tjuwei sekalian.”

Dengan rasa berat terpaksa Ong Lun melepas Yo Tjie untuk berangkat kekota radja, ia memberikan bantuannja 50 tail perak dan ber-sama2 mengantar Yo Tjie turun gunung.

Sampai dikaki gunung Yo Tjie lalu mengangkat tangan untuk menghaturkan terima kasih dan minta diri.

— „ Sampai ketemu lagi, ..... sampai ketemu lagi....“ Oug Lun me-lambai2kan tangannja kepada Yo Tjie.

Dengan adanja peristiwa ini achirnja Liem Tjiong diterima sebagai anggota kesatria gunung Liang San.

Sembahjangan besar segera diatur untuk menjumpah Liem Tjiong, kemudian Ong Lun membajakan beberapa sjarat dan kewadjiban serta pedoman2 jang harus ditaati, achir kata ketua Ong Lun memberikan pengangkatan jakni Lien Tjiong berhak menduduki kursi ke 4.

Liem Tjiong berlutut dihadapan medja sembahjang ia amat terharu dan bersjukur kepada Thian Jang Maha Besar, bahwa achirnja ia dapat diterima sebagai kesatria gunung Liang San dan tidak di - kedjar² lagi oleh tentara² negeri. Ia mengutjapkan kata2 sumpahnja rela mengorbankan djiwa raganja dengan penuh ichlas dan ketulusan hati, senantiasa berdjoang tak kenal menjerah demi kedjajaan Liang San Pek Hoohan dan kebahagiaan rakjat jang menderita.

Sedjak hari itulah Liem Tjiong adalah kesatria Liang San jang ke IV.


“Kita hanja mempunjai kesempatan untuk sekali mati, maka bila kita tidak dapat mati setjara baik, kita akan kehilangan suatu ketika jang tak mungkin akan kita peroleh lagi.”"

(J. S. 1870)



Yo Tjie setelah berdjalan melalui hutan hutan dan dusun2 ketjil, selama 9 hari, sampailah ia dikota radja Tongking.

Terlebih dahulu mampir kerumah untuk menengok keluarganja. Orang tua serta anak istri Yo Tjie sangat gembira atas kedatangan Yo Tjie, sebab mereka mengira bahwa Yo Tjie mungkin ikut tenggelam didasar sungai. Disamping rasa kegembiraan dari keluarga Yo Tjie, merekapun kini merasa berchawatir atas nasib Yo Tjie selandjutnja. Sebab kapalnja telah hantjur bersama anak buahnja kesalahan ini pasti oleh pemerintah dipertang gung djawabkan pada diri Yo Tjie sebagai komandan jang masih bisa bidup.

― „Yo Koko ( kakak Yo ) lebih baik kalau kau segera menghadap Ko Tjiangkun dan mohon keringanan atas segala kesalahan jang tidak tersengadja ini. Aku rasa sebagai manusia pasti iapun bisa memberikan pertimbangan setjara bidjaksana. Maka sehabis makan minum, segeralah engkau kemarkas Pek Ho Tong untuk menghadap Ko Tay Djin.“

Isteri Yo Tjie jang sangat berchawatir atas apa ang dialami suaminja, memberikan saran Yo Tjie untuk segera menemui Ko Ku dan minta keringanan, bila perkara ini ditanggungkan semuanja atas diri Yo Tie. Yo Tjie menggumam dengan suara dalam, tangannja menggah jangkir dan minun dengan sepuas puasnja, kemudian ia mendjawab kata2 isterinja: „Akan kutjoba saranmu ini, tetapi untuk menghadap pada Ko Trangkan, kita harus membawa bingkisan2 jang beriharga, supaja beliau merasa senang dan perkara ini dapat diputus sel ara ringan. Bila kita datang tidak membawa apa2. wah, dampratan dan makian jang bukan kita terima.....maka kesulitan ini lah jang memberatkan hatiku,“

Kembali Yo Tjie meraih makanan dan mengunjahnja dengan lai ap. maklum sudah ber hari² ia kurang makan dan kurang tidur. Istrinja lalu masuk kedalam kamar terdengar sang istri membuka akati, kemudian kembali keluar dan mengatjungkan sebuah bungkusan pada Yo Tjie :

“Yo Koko. perhiasan warisan ajah ibuku ini boleh kau berikan sebagai bingkisan. dengan djalan ini kita mengharap supaja urusanmu itu bisa segera beres, kita bisa hidup tenang dan tenteram, ini terimalah! “

Barang itu disodorkan kepada Yo Tjie. Yo Tjie tertegun dan tak dapat berkata apa2, tangannjapun tidak dapat segera digerakkan untuk menjambuti barang itu. Betapa istrinja sangat mentjintainja, sehingga rela berkorban demi keutuhan keluarganja. ........

Kembali isterinja mendesak dan menjodorkan barang itu pada Yo Tjie:

“ Yo Koko, barang2 warisan orang tuaku ini djangan kau anggap demikian keramatnja, demi keselamatan keluarga kita, kita harus bertindak setjara tjepat, djangan terlalu memikirkan urusan ketjil, sehingga menelantarkan urusan jang besar Nah, bawalah barang ini dan menghadaplah pada Ko tay Djin segera, dengan demikian kurasa hukumanmu akan mendapatkan keringanan ! “

Yo Tjie lalu meringkaskan pakaiannja, ia membawa perhiasan isinja untuk d bawa kemarkas Pek Hoo Tong sebagi bingkisan ke pada atasannja.

Sebelum Yo Tjie meninggalkan keluarganja ia berpaling kearah istrinja dengan pandangan saju jang nerawankan katanja dengan lirih:

— „Hadjin, (istriku) semoga pengorbananmu tidak sia². Nah, aku berangkat sekarang, semoga urusan ini segera dapat dibereskan.“

Kaki2 Yo Tjie mulai melangkah meuudju kemarkas Pek Hoo Tong.

Pada waktu Yo Tjie menghadap Djenderal Ko Kiu, bukannja senjum dan kata2 manis jang diberikan, tetapi tendangan dan makian jang melampaui batas Bingkisan jung diberikan tidak dipandang sebelah mata, karena nilainja tidak begitu tinggi. Keputusan telah didjatuhkan Yo fjie dipetjat dari pangkatnja sebagai komandan angkatan Laut, dan diberikan waktu hanja satu bulan untuk menggati kapal dan isinja, serta membajar tanggungan bagi keluarga anak buahnja jang telah keram bersama kapalnja. Bila tidak dapat memenuhi, maka pantjung kepala akan didjalankan.

Dengan badan penuh darah dan matang biru, Yo Tjie meninggalkan markas Pek Hoo Tong dengan hati jang pedih perih, hantjur luluh seperti tjairan lilin Tiba dirumah istrinjapun ikut meneteskan air mata, mereka tak dapat berbuat apa2 lagi, selain bungkam dan merenungi nasibnja...

Ketika malam agak larut datanglah kerumah Yo jie para tetangga dan handai taulan serta beberapa familinja, mereka berunding tjara bagaimana untuk bisa memberikan per o ongan pada Yo Tje Di-hitung2 bahwa djanlah jang harus diganti oleh Yo Te meliputi ratusan ribu tail, maka achirnja semua kerabatnja itu banja bisa menasehatkan untuk Yo Tjie melarikan diri sadja Dengan melarikan diri urusan akan beres, sebab ini adalah satu2nja djalan, djalan lain tidak ada lagi.

Ber-hari2 Yo Tjie mengeram dirinja didalam rumah, atjapkali nampak ia duduk di serambi muka rumahnja dengan masgul dan bertopang dagu.

Orang tuanja dan anak isterinjapun ikut berprihatin atas apa jang telah diderita Yo Ijie. Akan tetapi dengan djalan demikian terus menerus tidak akan ada perubahannja, bahkan hari2 terus berlalu dan djarak batas waktu jang hanja sebulan itu kian dekat Yo je merasa dadanja sesak dan akan meledak memikirkan nasi nja ini.

Pada suatu lari ia mem-buka2 almarinja dan mengeluarkan pedang pusaka dari leluhrnja, ia amat memjuntai pedang pusaka ini karena di samping ini warisan dari leluhur, pedang ini tadjamnja tak ada bandingannja

Ia menimang-nimang pedang itu, dan achinja mengambil suatu keputusan untuk didjualnja. barangkali sadja hasil pendjualan pedang ini bisa untuk menutup ganti rugi sebagai tuntut an dari Ko Kiu atas dirinja. Ja, siapa tahu pedang ini dapat laku dengan harga jang tinggi. Maka ia lalu membawa pedang na keluar untuk menemui is tinja dan berunding:

“Hudjin, pedang warisan lelulurku ni be ok akan kudjual, barangkali adja hasil pendjualannja bisa untuk menutup beaja tuntutan pengadilan, bagaimana pendapatmu? Yo Tjie agak takut² mengeluarkan kata² ini pada sang istri, maka kata² jang keluar dari mulutnja agak kaku dan penuh keraguan.

Istri Yo Tjie terkesiap dan sesaat tak dapat ber-kata, ia sangat menghormati suamiaja dan mendjundjung tinggi leluhur suaminja, kini pusaka warisan leluhur itu akan didjual dan akan pindah kelain tangan, bagaimana berat perasaan jang ditanggungnja..........

Yo Tjie dengan gugup menjambung kata²nja:

„Aku mengerti batwa benda ini warisan leluhur jang harus kita hormati dan djundjung tinggi, bahkan kita harus dapat melindunginja dengan benar2. Tetapi Hudjin, bila njawa kita teranjam dan rumah tangga kita bakal morat marit, apakah kita tetap akan berpegang pendirian setjara mutlak? Bila kita mendapat tjelaka. mana dapat kita melindungi pusaka leluhur ini? Maka usulku ini kiranja kau dapat menjetudjui, kelak dengan berusaha sungguh² kita tebus lagi pusaka ini, bagaimana.......?“

Istri Yo Tjie berlinang air mata, ia memandang kepada Yo Tjie dengan tadjam, terlihat bibirnja ber-gerak tetapi tak sepatah katapun melun jur keluar dari mulutnja.

Kembali terdengar suara Yo Tjie jang meminta persetudjuan dari istrinja : “Kita dalam keadaan terpaksa HuDjin, bukannja kita tidak menghormati kepada leluhur kita lagi, tetapi demi keutuhan rumah tangga kita, bagaimana? Dapatah kau menerima usulku ini? Ho djin semoga didalam hal ini kau bisa ada pengertian terhadapku! Aku berhari hari memikirkan persoalan ini, sampai² akan petiah rasanja kepalaku, kutjari djalan supaja kita bisa lolos dari penderitaan ini, namun kemana pun djalan itu buntu .... . maka idjinkan aku untuk mendjualnja, mungkin kita bisa terhindar dari mala petaka ini! ”

Isteri Yo Tjie tak tahan lagi membendung perasaan hatinja, ia lalu menangis sedjadi²nja dalam tangisnja itu ia mendjawab kata² Yo Tjie : " Koko ..... Ko... .. jah.. me ...... mang .... ki .. ki ... kita ....... tak .... da .. da ... pat ..... ber ... da .. da .. ja . la ... gi ... ngk ... ngk . ngk .. ngk .. aku .... a ... mat .... be ... be .. rat ..... pu ... sa ... sa ... ka ....... tu ... ngk ...ngk.., peninggal... lan ... ba ... gai ... ma .. na ... ki .. ta...a. kan... men... dju.. al... nja? ngk . .. ngk ... ngk ... ngk

Yo Tjie mendekati istrinia dan membelai rambut serta me-ngelus² punggungnja, katanja dengan suara jang dalam penuh keharuan:

“Dalam hal ini kau harus bisa memikirkan setjara bidjaksana, Hudjin mana jang lebih penting antara pusaka dan kehantjuran rumahtangga? Kalau kita dalam keadaan bahagia dan djaja tidak kekurangan suatu apapun lalu men sia-siakan peninegalun teluhur, sembarangan mendjual, itu adalah murtad, durhaka dan tidak menghormati warisan leluhur.

Tetapi kalau Kita da-am keadaan sematjam sekarang ini, satu2nja benda jang lajak didjual itu, menurut pendapatku ini adalah lajak, leluhur kitapun pasti akan meluluskan dan memperkenan. Pertjajalah, dalam hal ini kau terlalu dogmatis dan tidak berpikir setjara orsinil. Yo Tji membudjuk istrinja dengan mesra sekali. Dan lama istri Yo Tje sesenggukan, achir²nja ia mengangguk tanda setudju. Betapa besar rasa hati Yo Tjie takterkirakan, se-akan² ia sudah terbang berada dilangit sap ketudjuh.

“Terima kasih Hudjin, terima kasih. achirnja kaupun ada pengertian dalam hal ini Besok bangunkan aku pagi² benar, aku akan membawa pedang pusaka ini kekota Pengking. Disana banjak tinggal para bangsawan dan saudagar2 kaja, penawarannnja pasti berani tinggi. Nah beristirahatlah Akupun akan membungkus pedang pusaka ini dahulu.” Yo Tjie lalu masuk kedalam kamar dan membungkus pedangnja dengan kain sutera warna merah.

Keesokan harinja Yo Tjie pagi² benar telah berangkat kekota Peng King untuk mendjual pedang pusakanja.

Seharian penuh ia mondar mandir dan ber kaok² menawarkan pedangnja tetapi belum ada seorangpun jang menjampari dan memberikan tawaran Bahkan para pedagang dan orang² jang berlalu lalang d kota itu, sama sekali tidak ambil perhatian dan tak mengatjuhkan kepada Yo Ijie Hal ini dapat dimaklumi sebab pedang jang di awarkan oleh Yo Tjie itu harganja melampaui batas, Yo Ijie menawarkan pedang itu dengan karga 3000 tail maka tidak seorangpun jang menghampiri, bahkan semua orang menganggap bahwa Yo Tjie adalah seorang gila, paling tidak orang jang kurang waras ingatannja

Matahari sudah mulai mendojong ke Barat, hari telah djam 4. sore, hati Yo Tjie makin gugup dan berchawatir. Tjelaka! sudah sekian lama ia berkaok kaok sampai suaranja hampir habis akan tetapi pedangnja belum ada jang menawar, pedangnja belum laku djuga. Yo Tjie lalu menudju ketengah tengah pasar, dimana padat sekali para pedagang jang berdjual beli dan orang2 pelantjongan dari daeran² lain.

Didalam pasar ini pun Yo Tjie membuka mulutnja untuk mempropagandakan pedangnja :

“Pedang bagus, pedang bagus pusaka jang tak ada bandingnja, ketadjamannja dapat untuk membelah besi, keistimewaannja dapat memotong rambut jang ditiupkan kemata pedang, tanpa digojangkan. Jang lebih hebat menabas kepala manusia, darahnja tidak menempel! Maka selamanja pedang ini mengkilap tanpa diasahpun Hajo, I ajo! Siapa ingin beli, harganja 3000 rad tidak kurang tidak lebih 3 000 tail. dapat ditukarkan dengan pedang pusaka jang tidak ada duanja dikolong langit ini !! Demikian Yo Tjie ber-teriak²”

Kurang lebih setengah djam. Tiba² ia mendengar suara bentakan dari seorang penunggang kuda jang melarikan kudanja itu memasuki pasar

„“Hajo minggir, minggir ! beri djalan pada Siauwyamu [tuan ketjil ], minggir, minggir beri djalan, beri djalan ! Hush..... hush....... husha.....

Orang2 jang berada dipintu pasar itu segera sadja bubar seperti semut kepanasan, mereka lari serabuten untuk menjelamatkan diri.

Teriakan2 anak2 ketjil jang lari djatuh bangun karena takut te indjak kuda, djuga para pedagang jang ribut menjelamatkan dagangannja. Pasar mendjadi gaduh dan bising sekali.

Yo Tjiepun menghentikan propagandanja iapun ikut minggir dan berlindung dibawah sebatang pohon Siong. Matanja mengawasi penunggang kuda itu Siapakah penunggang kuda jang bengal dan ompak2an itu ? Tidak lain ia adalah Khiu Djie, anak seorang bangsawan jang bernama Khiu Wan Gwee. Karena ia adalah anak seorang hartawan jang kaja raja dan satu nja, maka tingkah pelannja sangat tjongkak dan ugal an.

Setiap hari ia melarikan kudanja kentjang-kentjang atau ngebut Istilah djaman sekarang, kuda itu dikendarai didalam kota bahkan pasar, sehingga membikin katjau dan tidak tenteramnja para pedagang maupun anak-anak. Khiu Djie sendiri melihat ketakutan dan bersimpang siurnja orang2 jang takut terindjak kudanja itu, bahkan tertawa terbahak-bahak karena senangnja, ini memang hobinja jang ia praktekkan setiap hari, dan sepandjang perbuatannja itu tidak ada seorang pun jang berani menegur, apa lagi melarangnja Orang2 sama takut pada ajahnja Wan Gwee kaja raja jang banjak dekingnja. Siapa berani bermain gila padanja, tahu sendiri apa akibatnja dan apa jang akan mereka alami. Maka perbuatan Khiu Djie jang sadis dan eksentrik itu makin men jadi2.

Hari inipun Khiu Djie jang ugal²an itu sedang beraksi, melarikan kudanja dengan tjepat dan memasuki pasar kota Pengking itu. Tiba² mata Khiu Djie mengawasi kearah bawah pohon Siong, dimana Yo jie sedang berlidung sambil membawa pedangnja Melihat hal ini Kiu Djie lalu turun dari kudanja, ia menghampiri Yo Tje bermaksud untuk mempermainkan

Yo Tjie sendiri tidak tahu siapa pemuda bergadjul ini, wadjahnja mendjadi ber-seri², sebab mengira pemuda kaja raja ini pasti suka pada pedangnja dan ingin membelinja

„Hei, bapak apakan engkau akan mendjual pedangmu itu?“

Tanjanja dengan senjum mengulum dibibirnja.

„Benar, benar, karena Loheng (orang tua) kehabisan modal, maka pedang pusaka ini akan kudjual untuk berusaha lagi.”

Yo Tjie menerangkan kepada pemuda itu dengan penuh harap.

„Berapakah kau akan djual pedang itu?”

Kembali Khiu Djie mendekati dan melihat-lihat pedang itu berlagak akan membelinja,

„Karena pedang ini adalah pedang pusaka peninggalan dari leluh rku, lebih dari itu pedang ini mempunjai keistimewaan jang luar biasa, mungkin dikolong langit ini tidak ada lagi pedang jang sehebat ini. Maaf Loheng bukan membual tetapi boleh dibuktikan“ Yo Tjie berkata dengan merendah.

„Apakah kehebatannja pedangmu itu? Tjoba aku ingin tahu, sebutkanlah !“

Pinta Khiu Djie dengan mengeringkan matanja dan tawanja melebar.

Orang² jang berada didalam pasar, sangat memperhatikan gerak-gerik pemuda ugal²an, pasti pemuda ini akan mempermainkan dan mentjelakakan pendjual padang itu Maka mereka berdujun dan ber-bondong mengelilingi untuk menjaksikan apa jang bakat terdjadi.

Terdengar Yo je menerangkan akan keistimewaan dan keluar biasaan dari pedangnja itu :

„Tuan. pedangku ini mempunjai 3 keistimewaan pertama dapat memotong logam jang bagai manapun tebalnja, tanpa gempal dan mengurangi ketadjamanja, Kedua, bila seutas rambut ditiupkan kearah mata pedang, maka rambut itu akan putus mendjadi dua. Ketiga, untuk memenggal kepala manusia darah dari leher jang terpenggal itu tidak akan menempel sedikitpun kemata pedang in Maka tanpa diasah selamanja pedang ini mengkilap dan tak bisa tumpul dan karatan.“

Nah, bila tuan ingin mentjobanja, silahkan, silahkan!

Yo Tjie mempersilahkan Khiu Djie uptuk mentjoba dan membuktikan akan kelihayan pedang pusakanja.

Khiu Djie lalu mentjabut rambutnja sendiri dan ditiupkan kearah mata pedang jang dipegang Yo Tjie. Betapa tadjam pedang itu, sebab begitu rambut itu membentur kontan putus mendjadi dua. Orang2 jang menjaksikan sangat kagum dan terkesima, mata mereka seperti mata2 kutjing jang sedang mengintjar tikus, bahna takdjub dan herannja, mereka tertjengang dan tak berkesip

Kembali Khiu Djie berak, ia tidak mau djatuh. nama dimata orang panjak, segera ia mengambil bungkusan uang logamnja dan disusun diatas sebuah medja jang kebetulan ada didalam pasar itu.

Susunan uang logam Khiu Djie itu tingginja kira2 hampir setengah meter. selesai menjusun ia lalu berpaling kearah Yo Tjie dan meminta untuk membukukan kelihayan pedangnja :

„Nah. aku ingin melihat bukti jang kedua, tjobalah belah uang logamku ini, apakah betul pedangmu mampu memotong logam.“

Yo Tjie tanpa ragu² lagi mengajunkan pedang pusaka kearah tumpukan uang logam itu, Tjraaaat !!!! Braaaakk !!! stara tabasan pedangnja jang kontan membelah mata uang logam itu. tumpukan mata uang logam mendjadi dua dan sebagian menggelinding oujar ketanah. Orang² jang menjaksikan ini saking tak dapat menahan perasaan sama mendjerit dan mengeluarkan kata² pudjian

“Sungguh hebat!”

Sungguh tadjamnja bukan buatan!

Pedang nomor satu dikolong langit!

Pedang lihay!........

Yo Tjie lalu menjarungkan pedangnja itu ke dalam kerangkanja itu dan bertanja pada Khiu Djie:

“Bagaimana tuan pendapatmu? Sukakah kau akan pedangku ini?” Khiu Djie dengan wadjah mengkal bertanja pada Yo Tjie:

“Berapa kau akan djual pedangmu ini?”

“Heheh... hehehehhh. . . .karena pedang ini adalah pedang pusaka maka aku akan mendjualnja dengan harga 3000 tail.”

“Haah?! 3000 tail. biasanja pedang2 itu, hanja berharga 30 sampai 40 tail, jang benar sadja kata²mu.” Khiu Djie ngeledek dan mulai akan mempermainkan Yo Tjie

“Benar tuan, pedang ini akan kudjual dengan harga 3000 tail.” Yo Tjie mendjawab dengan pasti.

“Oh, aku belum membuktikan akan keistimewaan jang ketiga, tjobalah kau potong kepala manusia, aku akan melihat dengan mata kepalaku sendiri, benarkah darah orang jang terpenggal itu sedikitpun tidak menempel dipedangmu.” Khiu Djie Khiu Djie memulai aksi untuk mempermainkan mangsanja Memang in suatu sifatnja jang selalu suka mempermainkan kehidupan rakjat, baginja adalah suatu hobi. Yo Tjie mundur selangkah dan mendjawab dengan gelagapan :

“Tuan muda, mana mungkin aku harus memenggal kepala orang, apalagi disiang bolong ini. Bila aku djalankan berarti aku melakukan pembunuhan, orang2 jang berada didalam pasar akan menangkapku, dan aku akan didjatuhi hukuman oleh pemerintah. Lebih baik aku tangkap seekor andjing dan memenggal, lehernja untuk membuktikan kebenaran pedangku ini.” Yo Tjie lalu mendekati seekor andjing jang kebetulan lari didepannja. Tetapi Khiu Djie tidak mau mengerti ia berkaok kaok memanggil Yo Tjie, katanja:

“Itu tidak boleh kau djalankan, bukankah keistimewaannja jang ketiga adalah bila untuk memotong kepala manusia! darahnja tidak akan menempel dipedangnu, nah, manusia adalah lain dengan andjing aku ingin bukti jang sebenarnja. Djadi kau harus memotong kepala manusia.”

Khiu Djie berdiri sambil berlagak, ia sangat senang kalau jang dipermainkan men djadi terkena dan kebingungan seperti kera kena djepretan. Tetapi Yo Tjie membantah :

“Dimana aku mentjari kepala manusia jang sudi untuk kupenggal?”

“Hahaaa. . . .hahaahh.. . . .hahaaaa. . .” Khiu Djie tertawa ter-bahak2 Sambungnja, “Ini kepalaku. penggallah seba gai bukti benarkah darah manusia tidak bisa menempel dipedangmu.”

Kepala Khiu Djie itu disodorkan kemata pedang Yo Tjie, karena Yo Tjie sama sekali tidak menjangka akan hal ini, sehingga Ia tetap memegang pedangnja dan sedikitpun tidak berkesempatan untuk menariknja.

Kontan kepala Khiu Djie segera menggelinding terpisah dari tubuhnja. Darah memantjur keluar seperti pantjuran sadja. Para orang² jang berada didalam pasar dan menjaksikan kedjadian itu mendjadi berteriak ngeri,

Yo Tjie sendiri mendjadi kebingungan, ia berteriak ber-ulang² minta pedang dan orang² jang menonton kedjadian itu, mau membantunja sebagai saksi dalam pengadilan

„Pengyu (sahabat ) sekalian, kau telah melibat sendiri kedjadian jang sebearnja aku bukannja membunuh. Tetapi dia sandiri jang menjorongkan kepalanja sehingga putus, harap Pengyu sekalian sudi membantuku dalam pengadilan. Tolong beberapa Tjuwei ikut bersamaku lapor ke kantor Tie Hu (pedjabat peradilan kota) !“

Yo Tjie lalu memasukkan pedangnja kedalam kerangkanja, dan disertai beberapa orang jang kasihan terhadap nja. Bersama²mereka berdjalan menudju kekantor Tie Hu. Sungguh malang dan kasihan nasib Yo Tjie.

bukannja ia mendapatkan uang untuk menjelesaikan urusannja, akan tetapi mendapat kesukaran jang lebih memedihkan. Memang biasanja penderitaan Itu datangnja bergelombang saling susul, jang satu belum teratasi jang lain telah menimpa maka bagi orang2 jang kurang kuat dan teguh imannja mudah lab terhanjut kedjurang jang membinasakan.

Orang2 jang mengikut Yo Tjie itu karena tergerak rasa kemanusiaan dan terketuk hati nuraninja jang sedjati, mereka tahu bahwa Yo Tjie tidak bersalah dalam hal ini, maka mereka menghadap kepengadilan sebagai saksi. Karena puluhan saksi membenarkan Yo Tjie, maka Tie Hu, pun memberikan keputusan dengan segera :

  1. Yo Tjie dihukum rangket 20 kali ditubuhnja.
  2. Dibuang kedusun Tay Ping Hu kota Peiping.
  3. Mukanja ditjatjah dengan udjung pedang sebagai bukti seorang hukuman jang dibuang.
  4. Dilarang mengindjak kota Tongking selama 5 tahun.

Orang tua Khiu Djiepun tidak berdaja, sebab saksi² Yo Tjie sangat Kuat, maka dengan hati sedih menerima segala keputusan peradilan ini.

Keluarga Yo Tjie ter-lebih² rasa dukanja atas apa jang telah menimpa diri Yo Tjie. Sebab keputusan ini tak dapat ditunda-tunda, maka keesokan harinja berangkatlah Yo Tjie jang dikawal oleh dua orang polisi masing² bernama Tio Hauw dan Tio Liong untuk menudju ketempat buangannja, dusun Tay Ping Hu kota Peiping, bagian Tiongkok Utara. Istri serta anak²nja bersama keluarga dan sanak familinja ber-dujun² menghantar-sambil ber-tangis²an Para saksi jang kemarinnja ikut bersidang hari inipun djuga berdatangan sambil membawakan makanan dan bekal untuk Yo Tjie, mereka merasa Yo Tjie dipihak jang benar, sehingga rasa persaudaraan timbul, dan memberikan bantuan serta pertolongannja. Setelah puas mereka ber-tangis²an dan saling memberi pesan, berangkatlah Yo Tjie dengan tangan dibelenggu lehernja dikalungi papan pesakitan Mereka berangkat menudju keutara. langsung ketempat tudjuan . . . . . . .

Demikianlah kembali kita dapat mengikuti kisah seorang Hoohan jang mengalami nasib jang malang, seperti halnja Liem Tjiong.

―oOo―

“Setiap langkah untuk pergerakan jang sebenarnja adalah lebih penting adalah lebih penting dari selusin atjara.” (kata² mutiara)

“Sendi kokoh setiap pekerdjaan ada tiga matjam:

- Mengingat Tuhan dalam setiap perbuatan jang dilakukan.

- Menginsjafi nilai diri kita sendiri

- Membantu setiap kesusahan umat manusia !


SAUW TJIAUW BERTEMPUR MELAWAN YO TJIE
GUBERNUR NIO TIONG SIU MENGUTUS
YO TJIE SEBAGAI PENGAWAL
BINGKISAN ULANG TAHUN
MERIUANJA KEKOTA

— - - - - - - - TONGKING - - - - - - - —

    Sedjuk angin dimusim gugur
    djernih bulan diangkasa raja
    daun² persik gugur dan beterbangan
    dari ranting² pohon persik melajang gagak²
    kedinginan.

    dimana engkau kekasihku........ ?
    aduh pilu hatiku dimalam sjahdu nan -
    Kelabu ini.
    Dapatkah lagi aku melihatmu ?
    aku berkelana dan merana seorang diri

      Didalam perdjalanan menudju kepembuangan itu Yo Tjie berdjalan sambil melamun tak habis²nja ..............

      Sungguh saja ini seorang sengsara jang penuh kemalangan, djaman telah menghudjam panah beratjunnja kedada saja, saja telah merasakan akan Kehinaan, kelaparan, kemiskinan dan tekanan batin jang amat hebat !... ! Tiba² langit mendjadi gelap karena awan hitam berketel ketel, sesaat guruh menderu dan dentum halilintar memetjah angkasa. Setelah angin ribut tenang dan daun² dipepohonan berhenti bergojang turunlah air hudjan jang amat deras bagaikan ditjurahkan dari langit

      ........

      Yo Tjie dan dua pengawalnja Tio Liong seria Tio Hauw lari terbirit birit mentjari tempat berteduh Mereka lalu menjelusup kesebuah kuil tua jang tak berpenghuni. Disinipun Yo Tjie sambil me-ngibas²kan pakaiannja jang tertimpa air hudjan, lagi² ia melandjutkan lamunannja .....

      “Oh langit, langit ..... mungkinkah engkau ikut menangis adakah ini air mata awan? benarkah hatimu berdebar dengan kilatan tjahaja itu? Seolah engkaupun ikut memekik dengan gemuruhnja guntur, merasakankah engkau akan Keadaan djaman sekarang ini ? ? ? ? bumi merintih dan ombak Samodera bergelombang tak tenang seperti keadaanku sekarang ini... Kita adalah anak alam, marilah kita menjesuaikan diri dalam kesedihan, tangisan dan rintihan jang menggelegak dikalbu! ! ! Oh, aku melamun, ja, melamun, lama² akan bisa gila kalau kuteruskan lamunanku . . .

      ....pedih pedih pedih! inilah sakit karena ingatan dan perasaan jang tertekan sakit angan² jang membawa kelembah air mata Busjet!

      ( Bersambung)







      Bagaimana nasib Yo Tjie sebagai pengawal jang melindungi 1000 butir mas, berlian seharga ± 100.000 tail mas ?

      Siapakah jang lebih unggul dalam pertarungan antara Yo Tjie dan Sauw Tjiauw ?

      Batjalah seri selandjutnja ! !

      Terbit tiap 10 hari sekali !