Lompat ke isi

108 Pendekar Gunung Liang San/Seri 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
108 Pendekar Gunung Liang San oleh Shi Nai'an, diterjemahkan oleh Dhyana
Seri 4

108 pendekar
Gn, LIANG SAN
KE IV

SERI IV

108 Pendekar
Gunung Liang San

Atau

( Tjui ho Thwan )

Kisah Kepahlawanan
Dari 108 Pendekar NIO SWA BO

Oleh

Dhiyana
Dibantu
Oleh

Yue Hwa

Ulat sutera musim semi tak pernah lelah
Tetap memintal harapannja siang dan malam
musnahnja mereka tidak mendjadi soal apa²,
Karena bukankah tjinta tak pernah lenjap ?

(Njanjian rakjat Tiongkok Selatan)


KUPERSEMBAHKAN :

Untuk Ajah, Ibu jang kuhormati.
Kekasihku Kirana jang kutjintai.
dan teman² Corps Kesenian GEBUD



Lo Tie Djim jang tinggal dikelenteng Tay Siang Kok Sie, mendengar kabar tentang dibuangnja saudaranja Liem Tjiong kekota Tjhung Tjhiu Too, mendjadi terkedjut.

Apakah salahnja, mengapa harus didjatuhi hukuman jang demikian berat. Sungguh tidak adil penguasa itu, bertindak semaunja sadja, mereka se-wenang2 terhadap rakjat ketjil jang lemah dan tak berdaja.

Lo Tie Djim memprotes dan tidak terima putusan peradilan jang tak halal ini.

Maka ia mengchawatirkan keselamatan diri Liem Tjiong, Lo Tie Djim menemui Tiangloo Tay Siang Kok Sie dan berpamit.

— „Suhu, aku bukannja tidak betah tinggal dikelenteng ini. Tetapi karena mengetahui bahwa adik angkatku telah semena-mena didjatuhi hukuman buang kekota Tjhung Thjiu Too. Maka aku akan menguntitnja, siapa tahu penguasa jang memfitnah itu akan berbuat djahat atas diri Liem Tjiong.“

Tiangloo Tay Siang Kok Sie itu menggelah napas pandjang:

„Hehh sebenarnja engkau amat djudjur Lo Tie Djim. Aku menjajangkan perpisahan ini, kau telah berdjasa mengatasi kesukaran kami. lebih dari itu kau telah membantu menjadarkan orang2 jang sesat. Aku bergirang melihat para pantjalongok, pendjudi dan perusak kebun sajur majurku itu, kini telah mendjadi orang baik2, dan kembali hidup setjara baik didalam masjarakat......

Tetapi kepergianmu kali ini, memang seharusnja. Engkau harus mengawasi Liem Tjiong, sajang kalau dihai sampai binasa ditengah djalan. Akupun mengerti, bahwa penguasa telah memfitnahnja. Karena apa ?

Karena anak Ko Kiu itu telah ter-gila² akan istri Liem Tjiong jang muda belia dan aju itu. Aku pudjikan kau selamat diperdjalanan, semoga Thian melindungi dan mengajomi mu.”

Lo Tie Djim berlutut menghaturkan terima kasih, ia lalu memanggul pauwhoknja dan mengikuti djedjak iring²an Liem Tjiong kekota Tjhung Tjhiu Too...........

Walaupun terpautnja sehari, namun Lo Tie Djim lebih tjepat dan lebih leluasa djalannja Maka tatkala Siek Pa dan Tang Kiauw akan melaksanakan perbuatan djahatnja, kebetulan Lo Tie Djim tiba dihutan itu pula dan menghalangi pembunuhan itu.

“Sing Tju Tjay Thian, Bo Su Tjay Djin” Manusia berdaja upaja, penentuan ditangan Tuhan. Memang belum saatnja Liem Tjiong menemui kematiannja, pada saat jang berbahaja itu, datanglah sang bintang penolong, jakni kakak angkatnja Hwa Hwee Sio Lo Tie-Djim.

Lo Tie Djim menghampiri Siek Pa dan Tang Kiauw. kedua buah tangannja bergerak dengan jepat, menggunakan tipu pukulan Tay Bing Tiang Sit atau Garuda besar mementang sajap, tidak ampun lagi kedua opas jang sial itu terdjerembab dan ngrusuk ke tanah.

Belum mereka bisa bangun, lagi² Lo-Tie Djim dengan murkanja mengirimkan
来江
呼保義

}}

SONG KANG
Ketua Utama 108 Pendekar Gunung liang San

tendangan berantai Lian Hwan Twee kembali mereka menggelinding kedalam semak². Mu-ka dan tubuh mereka penuh tanah dan berdarah,badju² mereka kojak² karena terkait oleh duri² rumput² liar.

Tang Kiauw aku merintih minta ampun;

Ampunilah aku, Hwee Sio ! Ampunilah aku . . .u. .

Kalau aku binasa. siapa jang memberi makan anak istriku.”

Tang Kiauw merangkak dan berlutut dihadapan Lo Tie Djim tetapi Hoonan kita ini memang berdarah panas. Ia tidak perdulikan permohonan Tang Kiauw, malahan mentjabut golok dan akan menabas bayang lehernja. Untunglah Liem Tjiong buru² mentjegah, dengan ter-hujung mendekati Lo Tie Djim:

„Loheng, ampunilah mereka, mereka berlaku terhadap diriku demikian karena terpaksa. Bila kita akan membunuh, haruslah membunuh biang keladinja, jakni djahanam Ko Kiu Orang² ini biarlah tahu rasa, dan kelak bisa merubah hidupnja. Bebaskan Loheng, djangan bunuh mereka.“

Demikian Liem Tjiong jang berhati penuh welas asih terhadap sesamanja, ia telah melupakan siksaan2 jang diperbuat mereka sebab dalam pengertiannja, jang bersalah adalah biang keladinja, mereka2 itu hanjalah mendjalankan titah. Dalam bahasa Djawa, sak derma titah Maka dibela oleh Liem Tjiong dengan gigih. Lo Tie Djim terpaksa menjarungkan goloknja kembali, ia niendelik dan mengantjam pada kedua opas itu

„Baik, kali ini Toayamu memberi ampun kepadamu, tetapi lain kali bila kau masih berbuat jang keterlaluan terhadap orang2 jang tertindas, awas ! Aku akan selalu bersedia mengantarkan rochmu kelangit sap tudjuh untuk menemui Giam Loo Ong.“

“Bangunlah Siek Pa dan Tang Kiauw, hajo kawal aku untuk melandjutkan perdjalanan kekota Tjhung Tjhiu Too. Dan Loheng engkau akan kemana ? Siauwtee menghaturkan beribu terima kasih; atas pernatianmu terhadapku. Bila tak lekas kau menjusulku, mungkin. aku telah mendjadi korban setjara sia².“

Liem Tjiong dengan lesu bertanja papa Lo Tie Djim, sedangkan kedua opas itu, merangkak bangun dan dan memungut sendjata² mereka serta memanggul pauwhoknja untuk melandjutkan perdjalanan.

”Liem Lauwtee, aku akan ikut bersamamu kekota Tjhung Tjhiu Too. Setelah me ngetahui hal ichwalmu, aku minta idjin pada Tiangloo Tay Siag Kok Sie untuk menjertai perdjalananmu Aku chawatirkan kau akan mendapatkan tjelaka diperdjalanan. Ternjata segala dugaanku benar Kini biarlah aku mengawalmu ber-sama² ke Tjhung Tjhiu Too, barangkali disana ada pekerdjaan jang lebih baik untukku. Hei, bajo djalan duluan! “Lo Tie Djim membentak pada kedua opas itu. Mereka tjepat² angkat kaki, karena mereka nar² takut pada Lo Tie Djim jang gagah dan berdarah panas.

Tetapi belum mereka bertindak sepuluh langkah, Lo Tie Djim telah berteriak untuk mereka kembali lagi :

“Hei, kembali ! Aku belum makan Hajo kita kembali kewarung dulu untuk tengsel perut. "Lo Tie Djim memapah Liem Tjiong balik keluar hutan lagi, terpaksa Siek Pa dan Tang Kiauw mengikuti dari belakang. Tiba diluar hutan hari telah djam 3— siang, hawa udara sedung panas²nja.

Lo Tie Djim memilih warung makan jang terbesar, dan memesan arak serta beberapa matjam masakan. Sambil makan minum Liem Tjiong dan Lo Tie Djim asjik ber - tjakap².

„Kita berangkat besok hari sadja, hari telah hampir sore, sedang didalam hutan itu tidak ada seoramgpun jang tinggal. Maka amatlah sukar untuk kita mentjari tempat bermalam. Disamping itu banjak sekali babi² hutan jang liar mengganas, atjapkali mereka menjerbu orang² jang sedang berdjalan dan membunuhnja. Oleh hal inilah maka hutan di sini disedut Ya Tie Liem artinja Hutan Tjeleng.”

Lo Tie Djim memberi keterangan pada Liem Tjiong. Tiba² dirasanja perut Le Tie Djim mual, karena terlalu banjak makan tjepat² ia berdiri dan lari kebelakang.

Liem Tjiong tertawa melihat tingkah laku kakak angkatnja jang lolos ini. Melihat Lo Tie Djim kebelakang, barulah Siek Pa dan Tang Kiauw berani mendekati Liem Tjiong, dan mengadjukan pertanjaan2:

„Liem Kanw Thao siapakah Hwee Sio itu ? Darimana dia datang?“

Liem Tjiong sambil tertawa mendjawab pertanjaan Siek Pa:

„Dia adalah kakak angkatku, bernama Lo Tie Djim. Belum lama ia Tinggal dikelenteng lay Siang Kok Sie kota longkhia, sebagai pendjaga kebun sajur-majur.“

Tang Kiauw menjeletuk :

„Oh diakah jang dikabarkan telah merubuhkan ratusan panyjalongok itu?.“

„Ja, bahkan ia kuat mentjabut sebatang pohon Yangliu jang sebesar pohon kelapa.

Pohon Yangliu itu ditjabut sampai ke-akar2nja, ratusan pantjalongok jang sering mentjuri sajur2an di Tay Siang Kok Sie itu mendjadi jiut njalinja.

Sedjak itulah kebun sajur majur itu mendjadi aman.“

Mendengar tjerita Liem Tjiong tentang kehebatan Lo Tie Djim ini, Siek Pa dan Tang Kiauw mendjadi djerih. Mereka sangat menghormati Liem Tjiong dan mematuhi perintah-perintah Lo Tie Djim.

Malam itu kembali mereka bermalam dihotel TAY SONG. Lo Tie Djim menjewa 2 buah kamar Sebuah untuk Siek Pa dan Tang Kiauw, sedangkan jang sebuah lagi untuk ia dan Liem Tjiong.

Lo Tie Djim membelikan bubuk obat untuk menjembuhkan luka² jang diderita Liem Tjiong. Setelah diobati Liem Tjiong dapat tidur dengan njenjaknja, sampai² dengkurnja amat keras bagaikan matjan mengaum. Demikianlah malam itu dilewatkan dengan tenang dan tenteram.

Keesokkan harinja, sebelum terang tanah berangkatlah rombongan Lo Tie Djim, Liem Tjiong dan kedua opas itu untuk melandjutkan perdjalanan kekota Tjhung Tjhiu Too.

Berempat mereka menerobos hutan, sepandjang djalan Lo Tie Djim mengajunkan goloknja untuk menabas rumput² liar dan duri-duri jang menghalang

Bila malam tiba mereka mentjari gua atau dibawah pohon jang besar untuk bermalam. Berempat bergilir untuk mendjaga keselamatan, mereka ber-djaga² kalau ada serangan babi² hutan jang liar. Bila fadjar menjingsing mulailah mereka berdialan lagi untuk melandjutkan perdjalanannji

Demikianlah selama kurang lebih 5 hari, hutan jang lebat itu telah dapat dilalui tanpa menemui halangan apapun.

Sampailah mereka dibatas pintu kota Tjhung Tjhiu Too jang megah dan indah itu. Pintu batas kota itu dibangun dari batu bata merah jang amat kuat Diatas tembok itu dibangun sebuah panggung menara ketjil untuk pendjaga pintu. Siapa jang keluar masuk kota Tjhung Tjhiu Too harus menundjukkan surat² keterangan jang komplit bila tidak, maka mereka akan ditahan, sampai dapat memberikan keterangan akan asal usulnja setjara djelas.

Orang² jang berlalu lalang se-akan² seperti iring²an semut, menundjukkan bahwa kota ini adalah sebuah kota jang aman, tentram dan sedjahtera.

Diwadjah-wadjah mereka nampak kegembiraan dan semangat hidup jang me-njala².......

Melihat kesemuanja ini, hati Liem Tjiong mendjadi agak terhibur.

Pikirnja, kalau aku dapat kemerdekaanku dan hidup setjara bebas kembali, aku akan membojong istri dan orang tuaku kekota Tjhung Tjhiu Too ini.........

Tiba² lamunan Liem Tjiong itu disentakkan oleh Lo Tie Djim jang setjara tiba² berpamit:

“Liem Lauwtee, kau teruskan djalanmj untuk masuk terlebih dahulu kekota Tjhung Tjhiu Too. Aku akan mengundjungi seorang kenalan dekat perbatasan kota ini. Harap Lauwtee waspada dan ber-hati². Nah, selamat djalan sampai bertemu lagi !“

Liem Tjiong menoleh pada 2 pengawalnja dan berpesan pula :

“Kau telah mengantarkan dengan selamat sampai kekota Tjhung Tjniu Too. tolong bila nanti kalian kembali ke Tongkaia, long sampaikan salamku pada istri dan orang tuaku . . . . ." dan menoleh kedjurusan Lo Tie Djim jang ber-siap2 mengangkat pauwhoknja.

„Loheng, aku sangat berterima kasih atas perhatianmu, sehingga aku dapat melihat kota Tjhung Tjhiu Too ini. Bila Loheng nanti telah selesai dengan urusan itu, aku harap kan untuk kita bisa bertemu lagi dikota Tjhung Tjhiu Too. Selamat djalan, dan sampai bertemu lagi . . . . . . .

Tang Kiauw dan Siek Pa lalu mengantarkan Liem Tjiong untuk menemui pendjaga pos pintu batas kota;

„Kami mengantarkan seorang persakitan untuk mendjalani hukuman buangaja dikota ini Namanja Liem Tjiong, lama hukuman nja 5 tahun. Kepada siapakah kami harus lapor setelah kami mendaftarkan disini ?"

Pendjaga pos pintu selesai mentjatat nama-nama dan keterangan asal-usul Liem Tjiong, lalu menundjukkan kantor mana jang harus mereka kundjungi untuk melapor lebih landjut.

Bertiga mereka meneruskan berdjalan, tetapi letak kantor itu agak djauh. Tiba disebuah rumah makan mereka masuk dan mengambil tempat duduk jang dekat djendela. Para pelajan kelihatan sangat sibuk, Liem Tjiong lalu pesan:

― „Sediakan bakmi kuah tiga, dan tiga tjawan arak !" Pelajan warung itu hanja menoleh sebentar dan melandjutkan pekerdjaan mereka. Lama mereka bertiga menanti, tetapi tidak muntjul2 pelajan itu. Saking djengkelnja Liem Tjiong berteriak;

― „Hei! Pelajan, apakah kau tuli ? Me ngapa pesanan kami tidak dilajani ? Kami toh sama2 membajar, mengapa kau tak hirau kan kami ?"

Pelajan jang satunja lagi, jang sedang menjapu menghampiri dan membungkukkan badan untuk memberi hormat :

„Maafkan toaya, maafkan kami! Bukannja kami tidak menghiraukan tuan, tetapi karena disini ada sebuah peraturan jang harus kami taati. Maka tidak berani kami sembarangan untuk melajani tamu2 jang asing bagi kami" Tang Kauw dan Siek Pa heran, segera mengadjukan pertanjaan :

„Peraturan apakah itu ? Tolong berikan keterangan!" Pelajan itu tetap berdiri ditempatnja, dan mulailah memberikan keterangan! :

„Dikota kami ini ada seorang jang berdjiwa mulia jang bernama Tjha Tjin. Beliau suka memberikan pertolongan2 kepada siapa sadja jang sedang menderita. Setiap ada orang hukuman jang dibuang kemari, melaporkan pada Tjha Siauwya, setelah lapor kesana, barulah kami boleh melajani. Maka sebaiknja tuan2 sekalian mengundjungi kerumah beliau. Bila belum ada keterangan dari beliau warung kami ini tidak berani memberikan perlajanan, sebab tjukong kami banjak berhutang budi pada beliau itu. Nah, tuan² boleh segera ke sana terlebih dahulu ! " dengan ramah pelajan itu mempersilahkan. Liem Tjiong bertiga lapor pada Tjha Tjin. Sambil berdjalan Liem Tjiong berpikir . . . . . . Tjha Tjin. . . . . . . orang ini rasa2nja aku kenal, orangnja masih muda sekali dan gagah, benarkah Tjha Tjin jang terkenal dikota Tong khia atau bukan ? . . . . . . . . . Belum habis Liem. Tjiong melamun, tiba sudahlah kesebuah bangunan mewah, sebuah gedung jang sekitarnja penuh dengan kebun² bunga Liem Tjiong bertiga lalu memasuki dan mengetuk pintu. Dari dalam segera keluar seorang pelajan jang membukakan pintu dan mempersilahkan masuk:

"Silahkan tjuwei masuk dan duduk dahulu, Siauwya sedang berburu, sebentar pasti ia pulang."

Pelajan itu masuk, dan tak lama keluar kembali untuk menghidangkan beberapa buah²an dan minuman. Benar djuga kata pelajan ini, belum begitu lama terdengarlah derap kaki kuda dan suara beberapa orang jang bertjakap². Liem Tjiang melongok dari djendela, benar jang datang adalah Tjha Tjin bersama para pengawalnja jang sedang pulang dari perburuannja Tjha Tjin turun dari atas pelana kudanja dan masuk keruang tamu, ia amat heran melihat ada tetamu jang menunggu dirumah nja :

“Siapakah tjuwei, datang dari mana dan ada maksud apakah datang kerumahku ini?” tanja Tjha Tjin sambil memberikan hormatnja. Liem Tjiong bertiga buru² berdiri dan membalas memberikan hormatnja.

“Aku bernama Liem Tjiong, dan 2 saudara ini adalah opas jang mengawalku untuk mendjalani hukuman buang dikota Tjhung Tjhiu Too ini ”

Tjha Tjin madju menghampiri Liem Tjiong dan memberikan hormatnja sekali lagi. Kemudian ia duduk dan mentjeritakan asal usulnja :

“Aku dahulu pernah djuga tinggal dikota ongking, pada waktu itu bukankan Liem Kauw hauw mendjabat sebagai komandan keamanan kota itu ? Aku kenal nama Liem Kauw Thauw, tetapi baru sekarang dapat mengetahui orangnja. Sungguh kebahagiaan bagi saja. Sebelum Liem Kauw Thauw menghadap pada Tee Kwan kota ini, baik beberapa hari tinggal dirumah kami ini, untuk sekedar melepaskan lelah dan mempererat persaudaraan kami.”

Liem Tjiong tidak berkeberatan, ia merasa sangat beruntung, didalam pembuangannja inipun telah menemukan seorang sahabat jang baik:

“Aku sangat girang atas perhatian Siauwtee, dan tidak ada kata² lain, ketjuali aku harus mengutjapkan terima kasih atas budi kebaikanmu ini. ”

Tjha Tjin tertawa sadja, kemudian ia memanggil pelajannja :

“Sediakan 3 buah kamar untuk tamu² kita ini, dan bila masakan telah tersedia atur lah diruang tengah. “

“ Baik Siauwya. “ Pelajan itu dengan gesit masuk kedalam.

Mereka berempat lalu melandjutkan ber-tjakap² pula, Sedang mereka dengan asjiknja beromong², tiba² datanglah seorang tinggi besar jang berwadjah merah. Melhat kedatangan orang ini Tjha Tjin tjepat² berdiri dan memberikan hormatnja, kemudian ia memperkenalkan :

” Tnilah Suhuku Ang Kauw Su, harap tjuwei berkenalan. “

Liem Tjiong, Tang Kiauw dan Siek Pa tjepat² berdiri dan memberikan hormat. Tetapi diluar dugaan, Guru Silat she Ang itu sangat angkuh ia sedikitpun atjuh tak atjuh, sikapnja sangat Gwa Bo ( menghina/ memandang rendah ).

Ia tidak membalas hormat langsung mengambil tempat duduk dan berdiam sadja. Diwadjahnja kelihatan kurang senang atas kedatangan Liem Tjiong dan 2 opas ini.

Tjha Tjin sebagai tuan rumah amat malu atas peristiwa ini ia benar merasa tidak enak pada Liem Tjiong dan 2 pengawal jang bertamu ini. —„Liem Kauw Thao, harap Tjuwei tidak memasukkan kedalam hati. Guruku ini orang baru pula, baru beberapa bulan memberikan peladjaran padaku, jah, memang sifat guruku ini demikian.“

Liem Tjiong tertawa sadja, dan diwadjahnja tidak nampak perubahan apa2. Ang Kauw Su bukannja beruban sikapnja, tetapi makin sombong, ia menghampiri Liem Tjiong dan mengadjukan tantangan :

—„Aku dengar kau adalah bekas komandan keamanan kota Tong King, seorang komandan pasu memiliki bugee ang unggi, maka aku sebagai Kauw Su (Guru silat), disini, dapat bertemu, denganmu, tidak bisa tidak, kita harus mengadakan suatu Piebu ( periangan untuk men-tjoba2 siapa Jang unggul)

Harap kau tidak berkeberatan, mari, mari !“

Adjaknja dan kontan mendahului pergi kehalaman belakang, suatu tempat untuk berlatih silat.

Liem Tjiong merasa serba salah, ia adalah seorang buangan, baru bertamu ditantang berkelahi, bagaimana perasaannja, sungguh memusingkan.

Tjha Tjin achirnja merasa Keekhi (djengkel) dan panas hatinja. Ia menghormati gurunja sebagai orang tuanja sendiri, tetapi melihat sikap gurunja jang amat temberang ini, darah mudanjapun mendjadi meluap, katanja dengan sengit kepada Liem Tjiong :

— „Liem Kauw Thao, harap kau melajaninja, djangan sungkan², sebah hal itu adalah permintaanja sendiri. Kalau dia djatuh biarlah tahu rasa, dan merupakan peladjaran baginja. Nah, hajo kita sama² kebelakang !”

Tjha Tjin jang sebenarnja saogat menghormati gurunja, tetapi melihat ketjongkakan jang keterlalun itu, berubahlah perasaannja. Bahkan ia mendorong Liem Tjiong supaja mendjatuhkan gurunja jang sombong itu.

Berempat mereka menjusul kehalaman belakang, tempat Liankun (berlatih silat), disana tampak beberapa alat² untuk melatih Kanghu seperti : Tjiokso, Swapauw, Tjhiankindjin, gotji pasir, untuk melatih Tjha, bambu untuk Siangkhatat, dan beberapa matjam alat sendjata. ada tombak, pedang, golok, Thiepie, rujung, toja, piauw dll.

Guru silat she Ang itu, begitu nampak Liem Tjiong datang segera membuka badju luarnja. Tangannja diletakkan dipinggang, sikapnja sangat angkuh dan merasa bahwa dirinja tidak ada jang dapat merubuhkan :

— ,.Hajo, Liem Kauw Thao, sudah siapkah kau ?” tanjanja dengan nada menghina dan memandang enteng.

Liem Tjiongpun melepaskan badju luarnja, ia tidak dibelenggu lagi setelah tiba di kota pembuangannja ini, belum selesai Liem Tjiong membuka badju luarnja, setjepat kilat Ang Kauw Su melantjarkan serangan setjara litjik. Tangan kirinja gau (menggait),tangan kanannja menghantam lambung dengan tenaga penuh. Inilah tipu serangan jang didalam persilatan disebut Thui Djwan Bong Gwat atau mendorong djendela melihat rembulan. Liem Tjiong tidak mendjadi gentar,

ia tetap tenang dan tabah dibokong setiara litjik ini. Kaki kirinja bergeser sedikit kesamping kanan lawan atau Siam. sepasang tangannja bergerak naik turun dengan tjepat untuk menghindarkan serangan, inilah pendjagaan diri dengan kuntji Ling Long Tjhiu atau kitiran tangan jang berputar tjepat.

Melihat serangan jang pertama gagal dengan mudah, makin meluaplah hati Ang Kauw Su, ia melandjutkan dengan serangan jang lebih kedji, dengan pukulan² Ngo Yauw Koay atau kepalan 5 setan, semua serangan ini amat buas dan kedji, selalu jang diarah adalah tempat² kematian, ubun², uluhati, mata, kemaluan dan Tantian atau pusar. Liem Tjiong dengan menggunakan ilmu pembelaan diri Pek Hoo Tjhong Thian Bangau Putih menembus angkasa, berlontjat tinggi dengan gaja jang mengagumkan.

Melihat djurus² jang hebat ini, Tjha, Tjin, Tang Kiauw dan Siek Pa mengeluarkan suara pudjian jang tertahan :

“Sungguh bagus. sungguh bagus.....” Ang Kauw Su makin panas, mendengar pudjian² jang keluar dari muridnja ini membat ia djadi mata gelap. Ia mengerahkan semua tenaga untuk tjepat² merubuhkan Liem Tjiong. Berulang kali Liem Tjiong hanjalah menghindarkan diri sadja, sebab ia memang tidak mau membikin malu guru silat she Ang ini.

Tetapi karena jang diberi hati malahan tidak tahu diri, maka mulailah Liem Tjiong mengadakan balasan serangan. Pada waktu itu Kauw Su sedang menjerang dengan ilmu pukulan Pek Tjoa Tjhut long atau ular berbisa keluar dari liangnja, djari² tangannja lurus menudju keulu hati, Liem Tjiong menantikan sampai serangan ini hampir tiba didadanja.

Dengan tjepat ia memiringkan badannja sedikit, sepasang tangannja dengan tjepat membalas dengan ilmu serangan Kim Kauw Bo-Thoo atau Kera mas membopong buah. Tangan kirinnja menarik tubuh Ang Kauw Su jang besar berbareng tangan kanannja menjentil kemaluan siguru silat temberang itu Kontan. Ang Kauw Su ngrusuk kedepan dan tubuhnja terbanting sangat keras, sedangkan ia merasakan bagian jang terpenting dari tubuhnja panas dan njeri Kalau Liem Tjiong mau, dengan mudah ia dapat dimatikan, tetapi balasan Liem Tjiong ini hanjalah memberi kesadaran sadja. Bahwasanja manusia itu tidak boleh terlalu temberang dan menjombongkan dirinja kelewat batas' ingat kata² purba Ko Ko Tjay Siang artinja jang tinggi masih ada jang melebihi. Demikian maksud serangan balasan dari Liem Tjiong.

Tetapi guru silat she Ang itu, tidak mau mengerti Ia bangun dengan wadjah bengis jang menjeramkan Bukannja ia memeberi hormat dan mengakui kekalahannja, tetapi lagi² ia menubruk dengan tipu pukulan Beng Hauw Kun Yo, atau matjan ganas menubruk kambing. Liem Tjiong jang mengira perkelahian telah selesai, ditubruk setjara tiba² ini agak kaget.

Maka pundak dan tangan kanannja dapat ditjengkeram dengan hebat oleh Ang Kauw Su. Sebelum tangan Liem Tjiong dapat dipatahkan, tjepat² Liem Tjiong mengerahkan seluruh tenaganja untuk melepaskan, dengan ilmunja:

Yo Sin Tjunka atau Gadjah menggojangkan badan dan gadingnja diserudukkan. Kembali Ang Kauw Su terdjerembab dan djatuh terkapar, Kali ini tenaga Liem Tjiong dikerahkan sepenuhnja. maka lama guru silat she Ang itu terkapar dan tak bisa segera bangun.

Melihat ini Tjha Tjin lalu mendekati Ang Kauw Su dan membangunkannja, katanja dengan senang

— „Suhu, kiranja tidak ungkulan untuk melawan Liem Kauw Thao Suhu, baik beristirahat dan djangan terlalu mengumbar nafsu.”

Alangkah malunja guru silat she Ang itu, ia bangun dan tjepat² masuk kedalam kamarnja untuk bebenah. Tak lama ia keluar sambil menenteng pauwhoknja. Tjha Tjin nampak guru silatnja akan meninggalkan rumahnja buru² ia menghampiri dan bertanja;

— „Suhu, apakah suhu tidak mengadjar lagi padaku ?” — „Djangan terlalu menghinaku Tjha Tjin aku sudah tidak ada muka lagi tinggal dikota ini sebab aku telah rubuh oleh seorang buangan.”

Tjha Tjin tersenjum dan menjambung kata²nja :

— „Kesemuanja ini bisa terdjadi karena tindakan Suhu sendiri, bila Suhu mau bersahabat dan tidak keras kepala, kukira tidak bakalan Suhu mendapat malu. Ja, aku tidak bisa menahan kemauan Suhu.

Tetapi tunggulah sebentar untuk aku sekedar memberikan beaja untuk Suhu dalam perdjalanan.”

Tjha Tjin lalu masuk kekamarnja, ia mengambil 100 tail jang dibungkus rapi dan diberikan pada bekas gurunja :

” Terimalah ini Suhu, semoga Suhu selamat diperdjalanan, sampai ketemu lagi, sampai ketemu lagi........”

Dengan muka merah karena malunja, Ang Kauw Su tjepat² mengangkat kaki, katanja dengan nada sengit :

” Tunggu aku 3 tahun lagi, pasti aku dapat merubuhkannja, lalu tanpa menoleh lagi ia mengambil langkah seribu.

Sepeninggal Ang Kauw Su, guru silat jang sombong dan kepala besar itu. Tjha Tjin lalu mengadakan pesta untuk mendjamu Liem Tjiong dan 2 pengawal dari kota Tongknia itu. Sambil makan minum Tjha Tjin memohon pada Liem Tjiong

” Lim Kauw Thao, setelah guruku dapat kau rubuhkan, aku ingin berguru padamu. Nanti bila Tee Kwan telah memberi tempat dan tugas padamu, sukalah Liem Kauw-Thao sering datang kemari untuk memberi peladjaran padaku.

Liem Tjiong tertawa :

“ Kepandaianku tidak seberapa, aku beladjar sedjak ketjil, walau demikian kepandaianku hanjalah tjenopauw sadja (satu dua djurus jang tak berarti ).“

Tjha Tjin makin kagum akan pribadi Liem-Tjong, walaupun memiliki ilmu jang tinggi, tetapi tidak. angkuh dan sombong, seperti bekas gurunja.

Demikianlah, selesai makan minum. Tjha Tjin lalu mempersilahkan untuk Liem Tjiong dan 2 pengawal beristirahat kekamar masing² jang telah disediakan.

Keesokkan harinja, Liem Tjiong mengutjapkan terima kasih atas kebaikan Tjha Tjin ia berpamit untuk menjelesaikan prihal dirinja:

— „Saudara Tjha Tjin. aku mengutjapkan terima kasih atas kebaikan jang telah kami terima Hari ini aku akan menghadap pada Tee Kwan, biar segera beres urusanku ini. Bila nanti aku telah mengerti dimana aku harus bekerdja dan bertempat, tinggal, aku pasti akan sering datang kemari untuk mempererat persaudaraan.”

Tjha Tjin lalu memberi sebungkus uang jang djumlahnja 100 tail untuk Liem Tjiong, Liem Tjiong menerima bungkusan itu dan menghaturkan terima kasih.

— „Terimalah pemberianku jang tak berarti ini dengan ini Liem Kauw Thao bisa mendapatkan keringanan, bila nanti Liem Kauw Thao didalam pemeriksaan mengalami kesukaran² berilah 20 tail dan atasannja berilah 30 tail.

Dengan djalan ini pasti Liem Kauw Thao tidak mendapat tekanan jang berat, haahaa...hahaha...“

Liem Tjiong memperhatikan kata² Tjha Tjin ini, ia menjimpan pemberian itu dan berkata :

— „Oh, kiranja dimanapun sama sadja. Kukira hanja pedjabat² dikotaku jang tidak beres ................disinipun berlaku hal jang demikian djuga. Mereka² itu telah dirusak oleh materi. tidak lagi mengingat akan keluhuran budi, moral dan achlak telah dirusak oleh hal² duniawi..........“

Tjha Tjin lebih kagum lagi akan diri Liem Tjiong, iapun menambahkan;

Djustru hal inilah Liem Kauw Thao aku disini selalu menampung orang gagah, perantau² jang tidak punja tempat tinggal. Aku memberikannja pertolongan dan mengadjaknja untuk bersatu, bersama² berdjuang demi tegaknja keadilan dan kebahagiaan hidup seluruh lapisan rakjat negeri Song ini..setelah kau mendapatkan tugas dikota ini, aku mengharap Liem Kauw Thao mengingat kata² Siauwtee ini. ”

Liem Tjiong amat kagum akan tjita2 luhur dari Tjha Tjin ini, biar orangnja masih muda, tetapi pandangannja luas dan ber-tjita2 luhur Liem Tjiong bertiga lalu meneruskan perdjalanannja untuk menudju kerumah Tee-Kwan, Penguasa Hukum Tjhung Tjhiu Too. Petugas kantor menerima Liem Tjiong dan membatja surat keterangan jang dibawa oleh Tang Kiauw dan Siek Pa, Kemudian ia tertawa dan berkata pada Liem Tjiong:

“ Kau harus ditahan dahulu, besuk aku laporkan pada Tee Kwan”

Dua algodjo madju kedepan dan membawa Liem Tjiong masuk kedalam tahanan. Liem Tjiong menoleh pada Tang Kiauw dan Siek Pa, katanja:

“ Tang heng dan Siek Heng bila telah sampai ke Tongkhia, harap memberi kabar pada istri dan orang tuaku Katakan bahwa aku telah tiba dikota Tjhung Tjhiu Too dengan selamat ”

Tang Kiauw & Siek Pa terharu mendengar pesan Liem Tjiong, walaupun mereka dahulu adalah opas jang bertugas untuk membunuh Liem Tjiong, tetapi setelah bergaul beberapa saat, telah berubah sifat dan perangainja, mereka telah mengerti arti hidup, mengerti pula kemanusiaan dan nilai dari pada manusia jang sebenarnja.

Keesokkan harinja kembali Liem Tjiong dihadapkan pada petugas kantor itu kelihatan keren dan ber sungguh²;

— „Setelah mengetahui akan apa jang telah kau perbuat dikota Tongkhia, maka kau didjatuhi pukul rangket 100 kali.

Hei, algodjo, pukul rangket 100 kali !”

Liem Tjiong kaget, ia lalu berbisik pada algodjo jang menghampirinja, ;

— „Tolong katakan pada Tjayhu, aku minta keringanan !”

Algodjo itu mendekat kemedja Tjayhu dan berbisik bisik . . . .Kelihatan wadjah Tjay hu itu berubah ber-seri², katanja:

— „Aku bisa menolongmu, asal kau mengerti sjarat²nja.“

— „Aku mengerti, tak nanti aku lupakan djerih pajah Tjayhu dalam menolong diriku.“

Liem Tjiong merogoh kedalam sakunja, ia mengangsurkan bungkusan uang pada sang Tjayhu. Tjayhu lalu memasukkan uang itu ke dalam latji, dan memerintahkan algodjo untuk membebaskan Liem Tjiong.

— „Kau boleh mentjari penginapan dan tidur diluar tahanan. Tetapi ingat besok kau harus datang kemari untuk menghadap Tee-Kwan“

— „Terima kasih terima kasih, besok aku pasti datang.“

Liem Tjiong lalu keluar dari kantoran itu dengan hati penuh kegembiraan.

Urusannja telah dapat diselesaikan dengan demikian gampang, wah sungguh didalam kehidupan dimasa sekarang ini, pandangan kebanjakan orang telah sesat demikian djauhnja, di-mana² uang....uang ... uang berkuasa. ..... Sampai kapankah mereka dapat kembali kepemikiran jang benar?

Pemikiran jang murni, jang tidak se-mata² kabur oleh materi. Dengan langkah gagah penuh semangat, Liem Tjiong meninggalkan kantoran. Ia mentjari rumah penginapan jang lumajan, dan beristirahat untuk menentramkan pikirannja.

Pada keesokkan harinja, setelah mandi dan berganti pakaian jang bersih. Liem Tjiong menudju kekantor Tee Kwan

Pedjabat Tjhung Tjhiu Too itu telah mempeladjari masaalah apa jang menjangkut diri Liem Tjiong, kemudian mempertimbangkan masak² Ia agak segan terhadap Liem Tjiong, sebab mempunjai hubungan jang baik dengan Tjha Tjin. Ia merasa banjak berhutang budi dengan Tjha Tjin, maka kali ini iapun akan menempatkan Liem Tjiong ditempat jang lajak dan bekerdja ringan.

Begitu Liem Tjiong menghadap kekantornja, sang Tee Kwan dengan muka berseri-seri, mempersilahkan Liem Tjiong duduk:

„Aku telah mengerti akan kesalahanmu,dan karena kau adalah sahabat baik dari temanku Tjha Tjin Maka aku akan menempatkan disebuah kelenteng ketjil. Tugasmu adalah mendjaga pos ketjil Thian Ong Tong. kerdjamu se hari² untuk membersihkan, memasang Hio. memelihara kebun dll. Bila kau mendjalankan segala tugas dengan baik, dalam satu dua tahun, kau akan mendapatkan kebebasan kembali...„

Liem Tjiong menerima baik putusan dari Tee Kwan, sebab ternjata urusannja telah selesai - dan tugasnja amat ringan.

“Tee Kwan jang mulia, apakah aku harus berangkat ke Thian Ong Tong sekarang -djuga ?”

“Betul, betul, ini surat tugasmu, dan kau boleh membawa semua pakaian dan peralatan untuk tinggal disana, mulai sekarang kau sudah bertugas disana. Nah, selamat bekerdja.”

Ten Kwan itu memberikan seputjuk surat tugas pada Liem Tjiong.

Liem Tjiong menerima surat tugas itu, dan setelah menghaturkan terima kasihnja, lalu tjepat² meninggalkan kantor dan pulang kepenginepannja. Hari itu Liem Tjiong pindah ke pos ketjil Thian Ong Tong jang letaknja sebelah Timur laut kota Tjhung Tjhiu loo.

Pos ketjil Thian Ong Tong bergandeng dengan sebuah kelenteng ketjil jang memudja Thou Tee Kon, atau malaikat bumi.

Liem Tjiong melaksanakan tugasnja dengan baik, ia tidak pernah lupa pasang-hio (dupa) dan membersihkan lantai² maupun kebun² disekitar pos dan kelenteng itu.

Pada suatu pagi hari, tatkala Liem Tjiong sedang asjik menjapu halaman depan dari posnja, tiba² ada suara orang jang memanggil-manggil namanja

— „Liem Kauw Thauw, Liem Kauw Thauw..........mengapa engkau bisa tinggal di Thian Ong Tong ini ? Bukankah kau bertugas dikota Tongkhia ?”

Liem Tjiong menoleh kearah suara jang menegurnja itu, samar² ia ingat orang jang bertubuh langsing dan tinggi ini adalah Lie Siauw Djie.

Liem Tjiong meletakkan sapunja dan membawa Lie Siauw Djie masuk kedalam Thian Ong Tong.

— „Siauw Djie, kenapa kau djuga bisa tinggal di Tjhung Tjhiu Too ini? Kau sekarang agak gemuk dan sehat, hahhaa. . . . . .hhaaah. . . .”

= „Liem Kauw Thauw, tatkala kau membantu aku dikota Tongkhia, pada waktu aku kehabisan uang dalam mentjari orang tuaku.

Setelah mendapatkan pertolonganmu, aku terus mentjari-tjari, beberapa kota besar ketjil, dusun² dan puluhan perkampungan, aku terobos dan selidiki, namun sampai sekarang belum djuga dapat bertemu.......”

Lie Siauw Djie mentjeritakan pengalamannja sedjak berdjumpa dengan Liem Tjiong di Tongkbia.

— „Lalu kenapa engkau sekarang tinggal disini ?” tanja Liem Tjiong.

= Kurang lebih setahun jang lalu, aku sampai di Tjhung Tjhiu Too ini dalam mentjari orang tuaku. Sampai dikota ini, lagi² aku telah kehabisan uang dan djatuh sakit. Uutunglah seorang pengusaha rumah makan She Ong, telah menolongku . . . telah diberi tempat tinggal dan tabib² diundang untuk mengobatiku Setelab kurang lebih sebulan aku sembuh, Sedjak itu, aku mentjurahkan segenap tenagaku, untuk membantu usaha rumah makan Bapak Ong itu.

Liem Kauw Thauw, 3 bulan jang baru lalu, bapak Ong sakit keras dan meninggal dunia. Sebelum mati, berpesan, supaja aku melandjutkan usahanja, dan mengawini Putri satu2nja dan kini sebatang kara.

Sebab istri beliaupun telah tiada 5 th jang lalu. Aku jang telah banjak berhutang budi pada Bapak Ong, menerima baik semua pesanannja itu. Maka sampai kim aku tinggal di Tjoung Tjhiu Too sebagai pengusaha rumah n akan Liem Kauw Thauw, baik kau makan disana, dan pakaian²mu jang kotor, biarlah istriku jang mentjutjikan, kau seorang diri disini, akan amat sulit”

Liem Tjiong megutjapkan terima kasih, dan berdjandji akan sering sering kerumah Lie Siauw Die.

LIEM TJIONG BERMALAM DI KELEN-
TENG HONG SWAT SAN LIOK GIAM
SETJARA RAHASIA MEMERINTAHKAN
ORANG UNTUK MEMBUNUH LIEM
TJIONG DIGUDANG MERANG


K embalinja Tang Kiauw dan Siek Pa ke Tongking membuat Ko Kiu dan Liok Giam mendjadi tidak puas, sebab berita jang disampaikan mengabarkan, bahwa mereka berdua tidak berhasil untuk membunuh Liem Tjiong, bahkan Liem Tjiong telah tiba dikota Tjhung Tjbui Too dengan selamat.

Hampir seharian penuh Ko Kiu sibuk dan tak tenteram pikiranja, ia mamanggil Liok Giam untuk berunding lebih landjut:

„Liok Giam, sungguh tjelaka duabelas, Tang Kiauw dan Siek Pa telah gagal didalam menjelakakan Liem Tjiong, hal ini amat berbahaja bagi keselamatan kita terutama anakku. Bagaimana baiknja tindakkan kita selandjutnja ?” Ko Kiu bertanja pada pembantunja Liok Giam jg pandai bermuslihat dan banjak akal itu

— „Ko Taydjin, lapangkan hati Taydjin. Aku akan mengirim orang²ku setjara rahasia untuk membunuh Liem Tjiong dikota Tjhung Tjhiu Too. Kalau Liem Tjiong telah mendapatkan pekerdjaan disaana, lambat laun pasti dia kurang memperhatikan pendjagaan dirinja, dengan kelengahan ini memudahkan kita untuk menghabisi djiwanja....“

Liok Giam mengutarakan niat selandjutnja untuk membunuh Liem Tjiong dikota Tjhung Tjhiu Too dengan mengutus pembunuh-pembunuh bajaran.

Ko Kiu agak lama berdiam diri, pikirannja diliputi ber-matjam² persoalan, lebih² bila memikirkan anaknja jang kini keadaannja tinggal tulang jang diselaput kulit, kurus kering seperti tengkorak hidup.

„Kalau Liem Tjiong masih hidup dan segar bugar, bagaimana ia berani mempermainkan istrinja ? Sungguh ulet djiwa Liem Tjiong itu, bisa selamat sampai di Tjhung Tjhiu Too.....achir²nja Ko Kiu membuka suara!“

— „Baik, baik, aku menjetudjui rentjanamu Liok Giam, djangan sampai gagal sekali ini. Kau tahu sendiri keadaan anakku sudah amat mengchawatirkan...... besok kau segera mengutus orang²mu dan aku sediakan beajanja.“

— „Haahaa, .. hahaaa.. . . Ko Taydjin tidak usah terlalu tjemas memikirkan hal ini. Aku berani bertaruh, orang²ku kali ini pasti berhasil, sebab mereka djauh lebih berani daripada Tang Kiauw dan Siek Pa, baik aku mohon diri untuk menghubunginja...”

„Ja. labih tjepat lebih baik, djangan menunda-nunda pekerdjaan, kalau sampai terlambat, anakku bisa mati konjol, nah, pergilah“

Liok Giam lalu meninggalkan kantor markas besar Pek Hoo Tong

Ia tidak langsung pulang kerumah, tetapi kekedai arak untuk mentjari orang²nja, jang akan diutus ke Tjhung Tjhiu Too sebagai pembunuh bajaran.

Kita tinggalkan sedjenak Liok Giam jang mentjari pembunuh bajaran, dan kembali kepada Liem Tiong jang sedang bertjakap-tjakap dengan kenalan lamanja Lie Siauw Djie dikelenteng Thian Ong Tong

Dalam pada itu Liem Tjiong sedang ajsik mentjeriterakan riwajatnja, sampai ia mendjadi orang hukuman jang dibuang kekota Tjhung Tjhiu Too.

„Lie Siauwtee, gara Ko Nga Lue anak Ko Tiangkun jang ter-gila² pada istriku, mengakibatkan aku difitnah dan dihukum buang kesini. Aih. sungguh tidak kuduga bahwa aku harus mengalami hal jang sematjam ini dalam hidupku................“

Liem Tjong dengan suara jang memilukan mengachiri tjeriteranja.

— „Maka dari itu Liem Kauw Thauw, sering² lah datang kewarungku, sekalian berkenalan dengan istriku. Aku disinipun tidak mempunjai sanak famili, alangkah senangnja hati kami bila Liem Kauw Thauw suka mengikat tali persaudaraan dengan kami, sehingga bila ada kesukaran boleh kita saling tolong menolong dan bantu membantu.......“

„Baiklah Lie Siauwtee, aku menjetudjui dan akur dengan usulmu. Mulai hari ini kau kuanggap sebagai saudara mudaku, dan aku tidak akan sungkan² lagi untuk meminta bantuanmu, bila ada kesukaran² jang kualami di kota ini hahaa... haha...”

Liem Tjiong menepuk-nepuk bahu Lie Siaw Djie, dan Lie Siauw Djie sendiri menundukkan kepalanja, nampak matanja berkatja banna terharu, Betapa tidak ? Puluhan tahun ia berkelana sebatang kara, tanpa sanak saudara, orang tuanja telah lama berpisah dan tak tahu parannja......namun kini ia telahmempunjai saudara jang gagah dan berdjiwa-mulia, maka saking terharunja, sampai² ia meneteskan air mata.

= „Liem Kauw Thauw mari bersamaku pergi kewarung kita sama² makan disana sambil meneruskan pertjakapan kita.“

— „Baiklah aku menjertaimu pergi kewarungnu.“

Liem Tjiong bergegas untuk pergi kewarung bersama Le Siauw Djie. Keduanja dengan riang gembira menudju kewarung makan kediaman Lie Siauw Djie Istri Lie Siauw Djie menjambut dengan ramah tamah terhadap Liem Tjiong.

= „Liem Koko, anggaplah kami sebagai adik²mu, djangan sungkan² memberi pekerdjaan pada kami, bila ada pakaian² jang kotor bawalah kemari, biarlah kami jang mentjutji dan menjeretikanja. Dan kalau Liem Koko perlu apa² perintahkan pada kami, biar kami jang mentjarikan dan mengusahakan.“

Njonja Lie dengan grapjak berkata pada Liem Tjiong

— „Oh, oh, aku girang sekali mendapatkan saudara jang djudjur dan bersahadja seperti kalian suami istri, sungguh aku merasa bahagia dan bisa melupakan kesedihanku. ha ha,.... ha ha... hhaah Lie Hudjin, permintaanku hanjalah, bila ada warta² dari kota Tongking, tolonglah segera beri kabar padaku. Aku teramat rindu pada orang tuaku dan istriku.....“

— „Liem Koko, pasti, pasti, bila ada surat² atau kabar dari Tongking, kami akan lari ketempatmu untuk memberitahu hahaa.“

Demikianlah, setelah Liem Tjiong dan kenalan lamanja Lie Siauw Djie hidup sebagai saudara, mereka rukun dan saling mengerti. Lie Siauw Djie sering datang ke Thian Ong Tong untuk mengirim makanan, mengambil pakaian² jang kotor dan dibawa pulang untuk ditjutjikan istrinja. Liem Tjiong sendiri sering datang kewarung Lie Siauw Djie untuk minum arak dan ngobrol....

±seminggu, dengan tiba² datanglah 2 orang asing diwarung Lie Siauw Djie, logat bitjaranja diketahui, bahwa mereka datang dari Tongking. Maka Lie Siauw Djie membisikkan sesuatu pada istrinja untuk selalu waspada dan mengawasi orang² ini, Didalam makan dan minum kedua orang itu suatu ketika bertanja pada Lie Siauw Djie

— „Hei Loheng, numpang bertanja dimanakah letaknja kantor Tee Kwan disini ? Djauhkah kiranja dari warung makan ini ? Tolong beri sedikit petundjuk pada kami !“

— „Oh, kiranja tjuwei datang dari Tong King“

Lie Siauw Djie menegaskan, kemudian menjambung lagi :

— „Bila tjuwei ada urusan jang penting, suka Siauwtee mengantarkannja.“

Orang jang tinggi besar dan kasar itu mendehem ;

— „Hem, hmm kebetulan, kebetulan Loheng suka membantu kami, hahaaa .......tolonglah panggilkan beberapa polisi atau pendjaga pos keamanan dikota ini, aku membawa perintah penting dan ini 2 tail, hahaa..“

— „Kamsia, kamsia, [ terima kasih ] Siauwtee akan memanggilkan beberapa polisi. harap tjuwei menunggu dan silahkanlah makan minum sepuas puasnja, sambil menantikan kedatanganku.“ Lie Siaw Djie lalu bergegas meninggalkan warungnja, Tiba diluar pintu kembali ia menoleh pada sang istri dan dengan kedjapan mata ia memberi kode². — Istri Lie Siauw Djiepun seorang jang tjerdas dan segera dapat menangkap kode suaminja, suaminja memberi isjarat supaja dia selalu mengawasi gerak gerik dua tamu asing ini, dan mentjuri pembitjaraannja.

— Sepeninggal Lie Siauw Dje dua tamu itu makan minum dan ber-tjakap 2, istri Lie Siauw Djie dengan ramah mengisi teh dan menghidangkan makanan 2 sambil berusaha mentjuri pembitjaraan mereka.

= Namun karena mereka berbitjara dengan suara jang amat pelan, sehingga tak djelas apa jang mereka sedang perbintjangkan.

— Kurang lebih satu djam. Lie Siauw Djie sudah kembali, ia datang bersama dua Polisi kota. Kedua Polisi itu lalu memberi hormat pada kedua tamu itu, mereka berempat lalu berdiri dan saling berkenalan salah satu diantara tamu asing itu lalu berkata pada Lie Siauw Djie:

“Aku mengutjap terima kasih atas bantuanmu, dan ini 5 tail untuk bajar makan minum, sisanja boleh kau ambil, dan kami akan minta diri karena akan merundingkan sesuatu jang penting Tempatmu ini terlalu banjak orang berbelandja sehingga kurang leluasa untuk kami berunding. Nah, permisi, permisi”

Lie Siauw Die dan istrinja mengutjap terima kasih, dan mengantarkan mereka keluга warung

Setelah tamu² itu tak kelihatan lagi batang hidungnja, barulah Lie Siauw Djie mendekati istrinja dan bertanja :

= „Hudjin, apakah jang mereka sedang pertjakapkan ? djangan2 suruhan Ko Kiu untuk mentjelakai Liem Kauw Thauw, aku sangat bertjuriga pada mereka.”

— „Lie Koko. sajang sekali aku tak dapat menangkap apa jang mereka sedang bitjarakan, sebab mereka berbitjara dengan berbisik bisik, amat pelan. Tetapi akupun mempunjai firasat jang sama, mereka datang kekota ini pasti akan mentjelakai Liem Koko, Maka lebih baik kau tjepat2 pergi ke Thian Ong Tong untuk menjampaikan warta ini pada Koko supaja dia dapat berwaspada dan ber-djaga².”

Istri Lie Siauw Djie memberi saran pada suaminja.

— „Ja, ja, aku harus segera kesana, siapa tahu badjingan2 jang kedjam itu akan bertindak malam hari ini djuga, Hudjin, aku pergi sekarang, djagalah warung ini sendiri, dan perhatikan setiap ada tetamu jang mentjurigakan.”

— „Ei, Lie Koko bawakan serta ini beberapa kue kesenangan Liem Koko !”

Sambil tersenjum istri Lie Siauw Dji mengangsurkan sebuah bungkusan pada suaminja.

Siang hari itu Liem Tjiong setelah membersihkan lantai2 dan tembok Thian Ong Tong jang kotor, merasa agak letih, ia membuka badju dan duduk diundakan tangga pintu keluar masuk pos ketjil itu, untuk mentjari angin, tiba2 ia agak terkedjut melihat kedatangan Lie Siauw Djie jang berdjalan separoh berlari, pasti, ada suatu hal jang penting untukku, Liem Tjiong bertjekat hatinja.

Belum kakinja mengindjak halaman Thi an Ong Tong, Lie Siauw Djie sudah berteriak:

―„Liem Kauw Thauw !” Ada hal jang amat penting, mari kita bitjara didalam !”

Langsung Lie Siauw mendahului masuk Liem Tjiong mengikuti dari belakang sambil membetulkan badjunja.

Tiba didalam, Lie Siauw Djie meletakkan bungkusan kue titipan isterinja, dan mulai bitjara dengan ter-engah2 :

―„Tadi pagi diwarungku telah datang dua tamu dari Tongking, mereka menjuruhku memanggil dua polisi disini, kemudian berempat meninggalkan warung, sebab katanja akan mentjari tempat jang sesuai untuk merundingkan suatu hal jang amat penting.

Liem Kauw Thauw aku sangat bertjuriga, sebab aku mendengar nama Ko Kiu di-sebut² katanja ada perintah penting dari Ko Tjiang kun jang harus segera dilaksanakan dikota ini....... Betapa bodoh mereka, kalau tugas pemerintahan pasti ditudjukan pada Tee Kwan, tetapi mereka mentjari dua polisi krutjuk untuk berunding, bukankah ini membuka kedok mereka sendiri? Maka harap Liem Kauw Thauw ber-hati2, mendjaga sesuatu kemungkinan jang mungkin terdjadi. Bukankah Liem Kauw Thauw dimusuhi oleh Ko Kiu ? Nah, orang² itu datang kemari pasti suruhan Ko Kiu untuk mentjelakakan kau.”

Lie Siauw Djie mengachiri kata²nja, sambil membuka bungkusan kue² dan mempersilahkan Liem Tjiong memakannja;

= „Sampai aku kelupaan, kue2 ini kiriman istriku untuk kau, katanja, moho dan Tjha kue ini kegemaranmu, nah, silahkan Liem Kauw Thauw makan dulu!“

Liem Tjiong se-akan² tidak mendengar kata2 Lie Siauw Djie itu, ia berdiam diri agak lama, Kemudian setjara tiba² ia bertanja,

= „Bagaimana bentuk, potongan dan rupa orang² itu? Tolong kau mendjelaskan padaku se-terang²nja !“ Liem Tjiong minta supaja Lie Siauw Djie memberi keterangan tentang roman muka dan bentuk tubuh orang2 asing itu.

Setelah meng-ingat² beberapa saat, barulah Lie Siauw Djie bisa menerangkan pada Liem Tjiong

— ,Oh ja, aku ingat benar Liem Kauw Thauw. Usia orang2 itu masing2 antara 30 tahun, badannja jang satu tegap dan kekar, tinggi besar dan wadjahnja menjeramkan, pakaiannja seperti seorang polisi. Jang satu lagi gemuk dan agak pendek, wadjahnja litjin berminjak tetapi gerakannja sangat gesit, dia pasti seorang jang mengerti Bugee. Setelah kedua tamu itu bertemu dengan pendjaga keamanan disini, lalu memberikan sebuah bungkusan. dan mereka ber-bisik2, lalu meninggalkan warungku“

Liem Tjiong jakin, pasti Ko Kiu telah mengirim orang2 ini untuk mentjelakaan aku lagi, ja, binatang itu masih kurang puas memfitnah dan menjiksaku, ia menghendaki djiwaku djuga rasanja

— „Terima kasih atas perhatianmu kepada ku Lie Siauwtee, aku akan ber-hati2 dan setiap ada apa2 jang mentjurigakan tolong kau mengawasi dan memberi kabar padaku.“

Liem Tjiong meminta pada Lie Siauw Djie.

— „Oh, Liem Kauw Thauw, sudah seharusnja, aku memberi bantuanmu, sampai bagainapun. . . . .Bukankah kita adalah saudara ? Maka kuharap kau nanti membeli sebuah Pok Too [Pedang pendek] untuk perlawanan bila keadaan djiwamu terantjam.“

Lie Siauw Djie memberi saran.

— „Baik, baik, nanti aku pergi kepasar untuk membeli sebuah.“

— „Sudah agak lama aku disini, nah aku mohon diri, sebab istriku agak repot sebab ia sendiri sibuk djuga hari ini. Permisi, permisi.“ Lie Siauw Djie mohon diri.

— „Ja, ja, eh. Lie Siauwtee sampaikan terima kasihku pada istrimu atas pemberian kue-kue ini.“

Lie Sauw Djie tertawa dan terus berlalu.

Tengah hari Liem Tjiong pergi kepasar ia mampir kewarung makan dan tangsel perutnja untuk makan siang. Setelah kenjang, ia masuk kedalam pasar untuk mentjari sebuah Pok Too, ia membeli pedang pendek dan diselipkan didalam badjunja Dengan langkah ber-hati2 ia kembali ke pos ketjil Thian Ong kah Tong.

Sedjak peristiwa kedatangan orang dari Tong-king itu, Liem Tjiong selalu ber-hati² dan was² Setiap malam bila akan tidur ia tidak lupa untuk memeriksa kesekeliling halaman Thian Ong Tong, kalau² ada musuh jang sembunji dan membokongnja. Akan tetapi hampir 10 hari, orang2 jang datang dari Tong-king itu, tidak muntjul² djuga.

— Liem Tjiong mendjadi amat heran dan penuh tanda tanja, atjap kali ia pergi kerumah Lie Siauw Djie untuk mengambil pakaian jang ditjujikan dan memperbintjangkan hal² jang berhubungan dengan orang jang metjurigakan jang mungkin akan menghabisi djiwanja.

― „Lie Siauwtee, aku amat heran mengapa sudah hampir setengah bulan orang² suruhan dari Tongking itu belum djuga bertindak atasku ?“

Liem Tjiong bertanja pada Lie Siauw Djie, karena merasa heran sebab orang² suruhan itu belum ada tanda² jang didjalankan.

— „Akupun tidak habis berpikir dan amat bingung Liem Kauw Thauw. Seingatku memang sudah hampir berdjalan setengah bulan mereka berada dikota ini, tetapi apa jang akan mereka lakukan kita kurang mengerti. Walaupun demikian Liem Kauw Thauw, Siauwtee harap djangan sampai kurang berhati hati untuk mendjaga segala kemungkinan.”

Lie Siauw Djie mengandjurkan pada Liem Tjiong untuk was² selalu.

— „Ja, ja, Siauwtee, kemanapun selalu kubawa Pok Too itu, aku selipkan didalam badju dalamku, siapa tahu mereka menanti kelengahanku, haahaa....haahaa...sungguh litjik mereka itu, tidak herani bertindak setjara djantan dan terang²an.”

= „Memang selamanja seorang Siauwdjin [rendah budi] selalu bertindak tjurang, kata kata Dalam bahasa Djawa mengatakan WANI SILIT WEDI RAI, artinja berani dipantat (dibelakang), dimuka takut. Itulah Liem Kauw Thauw sifat² Siauwdjin jang selalu pengetjut.”

Lie Siauw Djie berkata dengan nada sengit, dan Liem Tjiong tertawa ter-bahak². Demikian dua sahabat itu ber-tjakap2 sambil bergurau, kemudian Liem Tjong mohon diri karena hari telah mulai sore.

Tiba didepan Thian Ong Tong telah ada seseorang iang menunggunja, Liem Tjiong mempertjepat djalannja, ia menduga duga dan berpikir dalam hati, siapakah gerangan jang menantinja itu?

Setelah dekat. orang itu berdiri dan Kiong-tjhiu (memberikan bormat dengan merangkap dua tangan) pada Liem Tjiong. Liem Tjiong tjepat membalasnja dan bertanja :

= „Siapakah saudara ? Agaknja ada suatu urusan dengan saja sehingga datang ke Thian Ong Tong ini mentjariku.”

Orang itu tertawa dan manggut, katanja

― „Sangkaan Liem Kauw Thauw memang betul, aku membawa surat perintah dari Tee Kwan untuk mengganti sebagai pendjaga di-Thian Ong Tong ini Dan sebuah surat tugas untuk disampaikan pada Liem Kauw hauw, terimalah!”

Orang itu merogoh saku dan mengangsurkan seputjuk surat pada Liem Tjiong.

Dengan hati² Liem Tjiong menerima surat itu dan membuka lipatannja, untuk dibatja. Wadjahnja nampak sedikit berubah, segera ia mempersilahkan tamunja itu masuk.

— „Silahkan Loheng masuk dan duduk2 dulu, aku menjimpan pakaian dulu dan menjalakan lampu.”

“Terima kasih, terima kasih, Liem-Kauw Thauw malam ini aku menemanimu tidur di Thian Ong Tong ini, haha....hahaaaa...”

Malah kebenaran Loheng menemaniku, selama 6 bulan aku tidur sendirian disini, temanku hanja njamuk dan tjitjak, hahaaaa...“

Tamu itu masuk dan me-lihat² keadaan sekeliling, malam itu angin bertiup agak keras, sehingga bunji daun² dan ranting² jang bergesekan amat gaduh, menegangkan bulu roma. Tjuatja diluar agak gelap setelah melongok sana sini, tamu itu lalu berpaling kearah Liem Tjiong dan berkata;

— “Liem Kauw Thauw, tempat ini sangat sunji dan letaknja djauh dari kota, sangat terpentjil ......”

— Liem Tjiong menatap muka tamunja dengan tadjam kemudian ia berkata dengan suara dalam tenggorokan

— „Loheng, disini masih lumajan, bila ada keperluan apa² lari sebentar sudah sampai ke dalam kota Ketahuilah bahwa esok hari aku dipindahkan ketempat jang lebih sunji.....”

— „Haah? Djadi kau ditempatkan dimana?”

— „Aku dipindahkan kepuntjak pegunungan Hong Swat San. untuk mendjaga gudang merang pemerintah, jah..... disana lebih terpentjil dan amat djauh dari kota, pun tidak ada teman disana. Djadi jang menemaniku banja babi hutan ular serta binatang² buas”.

Tamu Liem Tjiong itu meleleikan lidahnja ke luar, ia bergidik mendengarkan uraian Liem Tjiong tentang tempat barunja di Hong Swat San Mereka ber-tjakap2 sampai larut malam dan setelah sumbu2 lilin sudah mentjapai pada pangkalnja, padamlah njala² lilin itu.

Keadaan ruang Thian Ong Tong dan sekelilingnja mendjadi lebih seram seperti kuburan jang keramat. Jang terdengar hanjalah desau angin suara2 tjengkerik dan belalang serta burung-burung hantu, merupakan nada2 dari suara monotoon jang mendjemukan..........

Tamu itu sekali dua kali menguap, Liem Tjiong sendiri menggeliat karena badannja terasa kaku, maka ia lalu mengadjak tamunja untuk tidur.

— „Hajolah kita tidur sebab hari telah larut malam.”

— „Ja, ja, aku teramat ngantuk dan lelah.”

Keduanja lalu masuk kedalam kamar dan sesaaat kemudian mulailah terdengar dengkur mereka ber-saut²an, se-akan² bersaing.

Tatkala ajam² djantan mulai berkokok Liem Tji ong bergegas bangun dan bebenah semua pakean dan perlengkapan jang ada padanja dimasukkan kedalam pauwnok.

Hari belum terang benar, tetapi Liem Tjiong lalu membangunkan tetamunja serta mohon diri untuk bertugas keposnja jang baru.

Ia tidak langsung menudju keposnja gedung melang itu, tetapi membelok kebarat untuk mampir kewarungnja Lie Siauw Djie.

Pada saat pagi buta itu, warung Lie Siauw Djie masih tutup, maka Liem Tjiong mengetuk pintunja beberapa saat. Setelah dibukakan Liem Tjiong masuk dan menjampai kan warta tentang perpindahannja.

— „Lie Siauwtee, aku mendapat tugas baru, hari ini djuga aku harus berangkat ke Hong Swat San untuk mendjaga gudang merang. Maka pagi2 ini aku datang kemari untuk berpamit, sekalian memberi tahu kau suami istri.”

Lie Siauw Djie suimi istri agak tertegun, mereka diam sesaat, setelah agak lama berdiam diri barulah Lie Siauw Djie membuka kata:

― „Liem Kauw Thauw, kita satu sama lain sekarang ini makin djauh tempatnja, Siauwtee harapkan semoga kau selamat dan tak kurang suatu apa. Dan walaupun orang² itu belum muntjul djuga, tetapi ditempat jang lebih terpentjil itu, djangan sampai lengah, ber-hati²lah senantiasa”

Lie Siauw Djie memberi pesan.

― „Terima kasih, terima kasih, aku akan selalu mengingat dan mendjalankan nasehat²mu itu Nah, aku segera mohon diri, sebab bila terang tanah, tjuatja akan teramat panas.”

Istri Lie Siauw Djie manahan untuk tidak tergesa-gesa :

— „Liem Kauw Thauw, baik minum² dulu tehnja sedang hangat²nja. Dan aku bungkuskan kue² kesenanganmu bukankah kau hanja ditugaskan dilingkungan kota Tjhung-Tjhiu Too, perdjalanan itu hanja memakan waktu 5 atau 6 djam, djangan ter-buru2, djangan ter-buru2, waktunja masih pandjang”

Terpaksa Liem Tjiong nongkrong dibang ku pandjang lagi dan bersama Lie Siauw Die makan minum sambil ber-tjakap2.

Setelah tjuatja agak terang, barulah Liem Tjiong meninggalkan warung Lie Siauw Djie dan berangkat ke Hong Swat San.

Belum berapa djauh Liem Tjiong berdjalan sekudjur badannja telah mandi keringat, semua pakaiannja mendjadi seperti berlemak karena basah kena keringat.

Memang perdjalanan ke Hong Swat San adalah sukar, sebab djalan ketjil jang berke-lok kelok naik itu, terdiri dari batu² tjadas pegunungan jang terdjal dan runtjing², sehingga membuat orang2 jang melewati djalan itu melepuh tapak kakinja. Sepandjang djalan ketjil pegunungan jang lurus mendaki itu, tumbuh semak2 dari pohon2 berduri jang liar dan amat lebat Maka ditempat jang sepi dan lengang ini sering terdjadi pembegalan dan pembunuhan..

Liem Tjiong menengok kekanan dan kekiri, tetapi tidak kelihatan seorangpun jang berdjalan didjalan itu.

Ia berhenti dan duduk dibawah sebatang pohon untuk melepas lelah. Nampak Hoohan kita ini membuka pauwnoknja dan minum untuk melepaskan dahaga.

Dari bungkusan jang lain ia buka, isinja adalah kue2, Tjha kue dan Moho Liem Tjiong mengunjah kue2 itu dengan lahapnja Sesaat Liem Tjiong lontjat ketempat jang agak tinggi untuk melihat kepuntjak gunung nampak kuil jang sudah tua, hati Liem Tjiong mendjadi lega, pikirnja; dikuil itu pasti ada orang orang sutji jang menghuninja, sehingga. aku boleh mampir dan mentjari keterangan

Ia lalu mengambil pauwhoknja dipanggul diatas pundaknja, dengan langkah bersemangat ia melandjutkan perdjalanan. Matahari telah tepat di-tengah2 langit, shbingga teriknja melebihi batas, Liem Tjiong berdjalan sambil berlari, ia ingin tjepat2 sampai kekuil tua itu.

Antara djam 3 siang, ia telah tiba dikuil itu, ternjata kuil ini adalah tempat pemudjaan malaikat Thoo Tee Kong (Malaikat-bumi), tetapi entah beberapa lama kelenteng ini tak diurus, terlihat dengan tegas dari tembok temboknja jang hitam ke - hidjau2an karena lumut, genteng2 jang banjak petjah, serta sawang-sawang jang menempel disegala sudut.

Liem Tjiong berdiri agak lama, didalam hatinja agak ketjewa. sebab ternjata disekitar sini tidak ada satu rumahpun penduduk jang tinggal, kelenteng inipun terpentjil dan kosong. Setelah merenung sesaat Liem Tjiong lalu membalikkan tubuhmja dan langsung membalikkan tubuhnja dan langsung mendaki naik untuk pergi keposnja jakni Gudang Merang.

Kira2 satu djam perdjalanan sampailah kini ia ditempat tudjuan.

Gudang merang, namanja sadja gudang (dalam arti bangunan besar dari tembok atau kaju2 jang kokoh), tetapi gudang Merang ini tidak ada tembok sepotongpun jang sekelilingnja hanjalah dibatasi dengan tumpukan merang tanpa atap, Atapnja tidak lain adalah mega2 jang bertebaran diangkasa raja........

Tempat ini letaknja agak diketinggian bukit Hong Swat San. sehingga disekitarnja pun penuh penuh dengan pohon2 rindang dan lebat. Ia masuk kegudang merang itu dan melemparkan pauwhoknja, kemudian duduk sambil me-midjit2 kakinja. Liem Tjiong berpikir, apa maksud Tee Kwan Tjnung Tjhiu Too ini ? Mengapa aku harus ditempatkan ditempat jang terpentjil ini ? Barangkali seperti dugaan Lie Siauwtee, binatang2 ini telah bersekongkol dengan Ko Kiu untuk mengambil djiwaku,.......... aku harus berwaspada dan ber-hati2. Bulan ini adalah bulan Tjap Gwee (bulan kesepuluh) adalah permulaan musim dingin, sungguh gila ! Aku bahkan ditempatkan dipegunungan jang sunji ini, biar mati kedinginan

Sungguh litjik dan kedjam binatang2 itu ! . . .

Agak lama Hoohan kita ini melamun dan memikirkan nasibnja, tahu-tahu matahari sudah mulai bersembunji dibalik gunung, se hingga pemandangan disekeliling gudang merang itu mendjadi gelap dan kabur.

Bajang2 pohon dipegunungan itu bagaikan pendjahat2 berdjubah hitam jang se-akan akan mengurung Liem Tjiong, sehingga Liem Tjiong men-tjari2 korek untuk menjalakan sebatang lilin tetapi sungguh sial, ditempat ini mana ada lilin sehingga Malarn itu Liem Tjiong tidur itu ditumpukkan merang dengan merasakan kedinginan dan kegelapan jang benar2 menjiksa batinnja.

Pagi2 sekali ia turun untuk pergi kepasar jang terdekat, ia bermaksud untuk membeli arak se-banjak2nja, dengan minum arak, aku akan dapat mengurangi rasa dingin, pikirnja.

Djuga sialan benar, semalam aku tidur tanpa memakai penerangan, nanti aku harus membeli batang2 korek api dan sebongkok lilin, barangkali djuga sisa uangku ini masih tjukup untuk membeli sehelai selimut untuk menutup tubuhku. Ditem at itu tidak hanja dingin, njamuknja djuga bukan main garangnja, kalau aku tidak lelah betul-betul, barangkali semalam suntuk aku tak dapat memedjamkan mata, karena gangguan-gangguan njamuk sial itu.

Demikian pagi hari itu Liem Tjiong turun gunung untuk pergi kepasar, mentjari keperluan2 dan peralatan jang dibutuhkan.

Perdjalanan pulang balik paling sedikit harus memakan waktu 12 djam, sebab perdjalanan itu disamping sukar djuga djauh.

Setelah komplit barang2 keperluan jang ia tjari. Liem Tjiong bergegas kembali, baru tiba dikelenteng Thoo Tee Kong tjuatja telah mulai gelap.

Liem Tjiong berdjalan per-lahan2 karena dari kuil ini sudah tidak djauh lagi dengan Gudang Merang. Ia belok kekuil itu dan duduk diserambi muka, dan menenggak sedikit arak.

Belum sempat Liem Tjiong menutup kembali tutup gutji arak itu, tiba2 angin kentjang bertiup dengan dahsjatnja Pohon2 bergojang keras, seakan2 akan terbetot akar2nja, huhuuu............huahuuhuuu.....atap2 kuil tua itupun berdjeletot djeletot seakan-akan mau roboh, genteng2 banjak jang kabur dan berkerompjangan djatuh ketanah.

Langit mendjadi gelap pekat, kurang lebih setengah djam angin itu mengamuk, kemudian reda. Selama itu Liem Tjiong mendekam dilamping tembok dekat singa2an dari batu.

Setelah angin berhenti bertiup suasana mendjadi sunji lenggang, Liem Tjiong bergegas untuk menengok gudang merang, ia chawatir gudang merang itu akan runtuh karena gempuran angin jang dahsjat ini.

Benar apa jang diperkirakan oleh Liem Tjiong, gudang merang itu kini telah roboh, awut2an tak karuan, dan dari langit telah mulai turun hudjan saldju, sedjauh mata memandang nampak tebaran seperti kapuk jang dengan per-lahan2 djatuh kebumi, itulah hudjan saldju....... hawa udara dingin mentjekam. Tjelaka ! Dimana aku tidur malam ini? Hoohan kita berpikir, kemudian ia membalik balik tumpukkan merang bekas dimana ia tidur semalam, untuk mengambil pawhoknja, ia lari untuk turun kembali, menudju kekuil Thoo Tee Kong, disana aku bermalam, dan besuk kubangun kembali gudang merang jang roboh ini.

= Malam jang kedua dipegunungan Hong-Swat San ini, merupakan pengalaman dan kenang 2-an jang tak terlupakan bagi sedjarah hidup Liem Tjiong.

= Ia mengungsi kekuil Thoo Tee kong. karena gudangnja roboh, djuga tidak tahan melawan serangan hawa dingin dari permulaan musim saldju jang membekukan tulang sungsum ini.

=Tiba dikuil Liem Tjiong segera mendorong pintu kelenteng jang dengan mudah segera mendjeblak terbuka, karena engsel 2-nja telah tua dan karatan Setelah membersih kan debu2 dibangku dekat media sembahjang, Liem Tjiong lalu merebahkan diri untuk mengaso, benar2 hari ini ia merasa amat letih dan ngantuk Sajup 2 dari kedjauhan terdengar bunji kentongan dari peronda 2 malam jang bertugas sebagai keamanan kota.

―„Ah, didalam kuil ini masih djuga terasa dinginnja sang malam, memang bila musim saldju tiba orang 2 kaja biasanja selalu membakar kaju kering ditungkunja, mereka berhangat2. sambil makan minum dengan riangnja...... tetapi kehidupan rakjat djembel, barangkali sematjam kehidupanku sekarag ini, tidur diruang jang kurang rapat dindingnja, menahan hawa dingin menahan haus dan lapar. . . . . ..

= Sungguh djauh berbeda kehidupan manusia 2 antara si-miskin dan sikaja ini, se-akan2 bagaikan bumi dan langit .:...”

= Liem Tjiong belum djuga memedjamkan matanja, pikirannja djauh melajang. melamun, tentang kehidupan orang 2 miskin dan bangsawan. . . . . ..

Tiba² telinganja jang tadjam mendengar suara2 jang gandjil Liem Tjiong bertjekat dan melontjat bangun, ia mengintip keluar melalui tjelah2 dinding jang berlobang.

Dipuntjak gunung Hong Swat San, nampak dengan terangnja unggun api jang menjala njala ber-kobar2, se-akan2 menjundul langit, Haija,! Liem Tjiong mengeluh dan amat heran . . . . . . .

Gudang merang jang ditinggalkannja itu, kini telah mendjadi mangsa api jang mendjilat dan menelannja sampai habis.

Aku tidak habis berpikir, dimalam hari dan bersamaan dengan turunnja saldju keatas bumi ini, mana mungkin ada kebakaran? Dan lagi tatkala aku meninggalkan gudang merang itu, tidak djuga aku meninggalkan batang korek api maupun lilin . . . . . . . . . .

Pasti oranng² suruhan Ko Kiu sibinatang berwadjah manusia itu jang mulai beraksi dan ingin membakar aku, baik aku maneliti dan sekalian menjergapnja.

Liem Tjiong lalu meringkaskan pakaiannjaa, tidak lupa ia selipkan Pok Toonja jang tadjam kedalam badjunja, ia lari mendaki bukit Hong Swat San

Setelah djaraknja dekat dengan gudang merang, Liem Tjiong menghentikan larinja, ia berdjalan berdjindjit dan berendap-endap menjusuri balik² pohon.

Tidak salahlah dugaan Hoohan kita ini, dari djarak jang sedang itu, Liem Tjiong melihat 3 sosok tubuh bajangan manusia, pasti mereka ini untul²nja Ko Kiu.

Ketiga orang badannja tinggi² dan tegap2, boleh dipastikan, mereka adalah orang2 Kang ouw (Rimba persilatan) jang memiliki Bugee dan bertenaga kuat. Ketiga orang itu lama mengawasi njala api jang mulai mengetjil, terdengar jang ditengah tengah berkata kepada jang lain :

„Api ini tjukup besar, ia pasti sudah mati dan mendjadi arang.”

Jang disebelah kirinja menjambung:

„Ja, ia telah mendjadi majat hangus didalam unggun api ini, Liok Heng mana ia dapat melarikan diri, terketjuali kalau ia mempunjai ilmu menghilang, hahaa... hahaha....”

Jang dipanggil Liok Heng adalah jang berdiri ditengah-tengah, orangnja tinggi dan agak gemuk, orang ini memandang kesekeliling, seolah-olah tidak mendengar kata2 kedua kawannja, Baru kemudian ia membuka suara:

Hem, hem, akupun memastikan ia sudah mati, maka Djiwee hiatee (dua saudara ) begitu api padam, kita ambil tulang2nja terutama tulang tengkoraknja untuk kita bawa ke Tongking, supaja Ko Tjiangkun nanti pertjaja akan barang2 ini sebagai bukti bahwa dia benar2 telah mati.”

Mendengar keta2 ini Liem Tjiong tak dapat lagi menahan hawa amarahnja, ia mendengus dan menerdjang ketiga orang itu dengan dahsjatnja.

Ketiga orang itu bukan main terkedjutnja, tidak ia duga dan tak disangka kalau Liem Tjiong masih hidup dan kini menjerang nja. Mereka kelabakan dan amat gugup.

― „Kaukah Liem Tjiong ?” bentak mereka berbareng.

― „Ja, akulah Liem Tjiong jang kau tjari2 Thian tidak mengidjinkan perbuatanmu jang durhaka, maka aku dikembalikan kebumi, sebab aku belum saatnja mati. Kini engkaulah jang dipanggil oleh Giam Loo Ong [Malaikat pentjabut njawa ], engkau harus menghadap sebab kedjahatanmu telah melampaui takaran.”

Dengan kata2 mengedjek Liem Tjiong memutar Pook Toonja untuk membabat ketiga musuhnja itu Ia melakukan serangan dengan Tay Beng Tiang Sit atau garuda raksasa mementang sajap, tangannja jang memegang Pok Too membabat batang leher Liok Giam, dan tangan kirinja dengan pukulan Sut [ dengan epek2 tangan] menjerang batang2 leher 2 kawan Liok Giam jang lain. Tetapi Liok Giam dan kawan2nja adalah pembunuh2 bajaran jang mengenal djuga ilmu silat, mereka Siam [menghindar ] dengan gerakan2 jang gesit, dan balas menjerang dengan sengitnja,

Liok Giam memutar rujungnja dengan pukulan Lian Hwa Swang Gay atau Bunga teratai mekar bersama, sepasang rujung itu menjerang kebagian lambung dan kepala.

Sedang dua kawannja masing2 bersendjatakan golok Pak Hong Too dan Sam Tjat Kun [tongkat berantai], mereka berbareng menerdjang dengan serangan serangan Tok Tjoa Tjhut Tong [ ular berbisa keluar dari liangnja] udjung golok Pak Hong Too atau golok dari angin utara itu ditusukkan keulu hati, sedang kawannja jang Ia in menjerang dengan tipu pukulan Gay Kung She Tjian atau merentang gendewa melepaskan anak panah, udjung tongkat berantainjaitu tepat menghantam kearah dada dan punggung Liem Ijiong.

Lim Tjiong dengan sepasang tangannja melawan 6 tangan, benar2 sangat sibuk, tetapi bukan Liem fjiong bila ia hanja dikerubut 3 orang sadja sudah keok. Paw iju Thauw Liem Tjiong atau si Kepala Matjan Tutul dengan tangkasnja menghindarkan semua serangan itu dengan tipu silat Beng Hauw Luok Shia atau Matjan galak turun gunung, sepasang kakinja ia tekuk dan mendekam ditanah, dengan demikian serangan-serangan tiga lawan itu tidak mengenai sasaran, bahkan sendjata2 mereka saling menghantam dan berbenturan sendiri, Meeeka tjepat2 menarik sendjatanja dengan sebat, kesempatan ini dipergunakan Liem Tjiong se-baik2nja, ia meletik tinggi dan menjerang dengan kedua kepal dan tendangan, inilah tipu silat jang disebut It Hoo Tjhong Thian atau Burung bangau putih menerdjang angkasa, karena tjepatnja serangan ini maka telaklah mengenai sasarannja, Liok Gam terdupak ngusruk kebekas unggun api, sedang jang lain pundak dan pipinja kena hantaman Toa [ Punggung kepal ] dari Lizm Tjiong jang berat, kontan keduanja mengaduh dan terhujung-hujung hampir-roboh.

Liok Gan tjepat melontjat bangun, dengan mengerang keras ia menerdjang lagi dengan tipu Kim Liong Tjnong Po atau naga mas menerdjang gelombang,, badannja dojong kedepan dan rujungnja berturut-turut menusuk keperut dan dada.

Liem Tjiong begitu sepasang kakinja menotol tanah, meletik lagi dengan tipu Hay Ouw Long Po atau Elang laut menentang gelombang, mengegosi pukulan2 rujung itu dan balas menjerang dengan Say Gu Bak Kak, Badak menjeruduk, dengan sikunja Liem Tjiong menghantam kedada Liok Giam, kali ini sungguh telak tepat suara Duuukkk ! amat keras, tubuh Liok Giam jang besar dan gemuk itu terpental sampai dua tiga langkah dan ambruk ketanah.

Matanja terpedjam rapat, wadjahnja putjat pasi dan dari mulutnja keluar darah hitam jang kental. Liok Gam telah terpukul dan luka dalam. ia tetap terkapar ditanah de agan napas senin kemis, empis2 hampir mati.

Dua kawan Liok Giam sangat terkedjut dan menijelo natinja, mereka lalu mengirim kan serangan2 setjara membabi buta.

Golok Pak Hong Too dibolang balingkan setjara ngawur, pemegang Sam Tjiat Kun itu memutarkan tongkat berantainja dengan gentjar Inilah tipu serangan Hong Hong Hwa Liu atau Angin pujuh merontokkan bunga2. Liem Tjiong mengetahui dengan terang, bahwa mereka telah djerih dan nekad Sehingga djelas serangan² jang dilantjarkan itu katjau dan ngawur. Maka dengan tenang Liem Tjiong menanti sampai penjerang2 ini datang dekat. Ia-bersiaga menantikan serangan dengan ilmu pendjagaan diri Hu Tju Siang Swie, lalu dengan sekali bergerak, menggunakan ilmu serangan Kim Kauw Tjhay Thoo atau kera mas memetik buah Tho, ia memendekkan badannja dan sepasang tangannja dengan tjepat seperti kilat meremat iga dan kemaluan musuhnja Teriakkan jang mengerikan saling susul menjusul, kedua lawan itu rubuh bergulingan ditanah, setelah berkeledjatan sebentar lalu diam.

Liem jiong dengan Pok Toonja jang terhunas terus bekerdja dengan sebat memotong 3 batang leher mereka.

Ketiga buah kepala jang telah lepas dari tubuh itu lalu diikat oleh Liem Tjiong mendjadi satu dan dibawa turun gunung.....

Liem Tjiong membawa tiga buah kepala jang berlepotan darah itu turun dari Hong Swat San, langkahnja tetap dan tenang, ia telah merasa puas bahwa djahanam2 jang mengantjam djiwanja, kini telah melajang djiwanja kelangit sap tudjuh. Sampai dikuil Thoo Tee Kong Liem Tjiong lalu masuk ia meletakkan 3 buah kepala itu diatas medja, kemudian memasang Hio (Dupa) dan menjalakan lilin2 untuk bersembahjang.



TJU KUI DIKAKI GUNUNG LIANG SAN
MELEPASKAN SEBATANG PANAH
UNTUK MEMANGGIL PERAHU

LIEM TJIONG DITENGAH MALAM BU-
TA MELARIKAN DIRI DARI KOTA
TJHUNG IJHIU 100 UNTUK
MENUDJU KEGUNUNG
LIANG SAN.



Djangan memikirkan hal² jang tak berguna
adalah lebih berfaedah
minum setJangkir arak segar
dan mengenjahkan pikiran² hampa
didalam musim dingin
angin kentjang bertiup
dipuntjak pegunungan jang gelap
karena tiada sinar rembulan
tetapi harum menghambar kesegala pendjuru
kutahu itulah Bunga Tjie Lan, Bunga Tjie Lan ( Seruni )
walaupun tempatmu terpentjil dilombah jang sunji
tetapi harummu tetap terbukti.


● ● ●

Malam ini saldju turun dengan lebatnja, tap ... tap ... tap ... suara djatuhnja saldju diatas genteng kuil tua itu terdengar dengan djelas Diluar angin mulai bertiup lagi dengan kentjang, se-akan² ikut bersuka ria atas kematian manusia2 sesat jang berdjiwa binatang. Diangkasa awan hitam tebal. se-olah2 menutupi dan melindungi Liem Tjiong jang kini sedang terpekur dihadapan medja sembahjang.

Liem Tjiong menantjapkan sembilan batang Hioswa [dupa] setelah menaikkan perlahan2 3 kali, jang mempunjai makna bahwa ia bersudjud kehadirat Tuhan J M E kemudian ia menekuk kedua lututnja dan berkui [berlutut]. terdengar suaranja jang lemah dan parau penuh perasaan:

”Aku memandjatkan doa kehadirat Mu ja Thikong [Tuhan], semoga perbuatanku ini mendapatkan hukuman jang ringan, sebab aku membunuh mereka karena terpaksa oleh keadaan. Bila aku berdiam diri, maka akulah jang mendjadi bangkai.....

Aku mengerti bahwa Langit dan Bumi sebagai saksi, dan Thi Kong pun lebih djelas mengetahui akan segala apa jang terkandung dalam pikiran² manusia. Ko Kiu ingin menghabisi djiwaku, sampai aku difitnah dan dihukum buang ke Tjhung Tihiu Too, tetapi masih djuga mengirim pembunuh2 bajaran untuk membunuhku, Ja, Thikong, inilah kepala2 mereka jang berdjiwa djahat, telah kupenggal dan kuhadapkan pada Mu!

Semoga Thikong memberikan kekuatan pada djiwaku, untuk meneruskan perdjuangan hidup didunia ini. Berikanlah perlindungan atas diriku, sehingga kelak aku dapat berkumpul lagi dengan orang tuaku dan istriku jang terjinta.. . . . . . . . . . . .

Liem Tjiong tidak dapat lagi menguasai perasaannja karena sedih dan berduka jang amat sangat, ia meneteskan air mata dimalam jang sunji sepi itu. Se-akan² djeritan kalbunja ingin bersaing dengan djatuhnja saldi dibumi, dan desau angin malam jang bergemuruh. . . . . . . . . . . . . .

Setelah selesai berdoa, Liem Tjiong lalu membuka tutup gutji arak, ia menenggak sepuas-puasnja untuk menghilangkan kehampaan hatinja, makin lama terasa penatlah kepalanja sekelilingnja nampak berputar dan akan roboh lajaknja, ja, kini Liem Tjiong telah mabuk dan tak sadar akan dirinja lagi Tubuhja terhujung djatuh kelantai.

Sesaat terdengar gerosnja jang bergema diruangan kuil tua itu, seperti suara siradja hutan jang meraung dirimba raja. Liem Tjong djatuh tertidur dengan lelapnja' habislah sudah segala kerisauannja, lenjaplah segala kesedihan²nja, dan lupalah sudah kenangan²an jang selalu mentjekam hatinja.

Malam makin larut, dingin diluar makin mentjekam, sehingga membuat orang² segan ke luar. rumah. Tetapi masih djuga ada terketjualian, itulah peronda malam, jang berdjalan menjusuri lorong² hitam, sambil memukul mukul kentongannja. mereka mendjalankan tugas kewadjibannja demi keamanan dusun dan para tetangganja . . . . . . . Toook. . .tok . . . toook . . . .tototokkk . . . . tooook . . . Tong. . . tooong . . .tooong. . . . . . . .

Liem Tjiong mendengkur dengan lelapnja, ia tidak ingat lagi akan keselamatan dirinja. Pintu kuil tua itu masih mendjeblak tiupan angin menerobos masuk dan meniup padam semua lilin2 dan Hioswa.

Suara kentongan itu kian lama kian mendekat, Tooong . . . . . toook.. . . . . Toonng. . . tok . . . tokkkk. . . . .

Langkah2 tapak kaki para peronda itu mulai terdengar dengan njata.

Peronda2 ini terdiri dari 6 orang, mereka berkerudung kain kain kamli jang tebal dan masing2 membawa alat sendjata untuk pendjagaan diri. Pimpinan Peronda jang tinggi kurus itu berdjalan didepan tiba2 mendjadi men kerat, tatkala melihat bekas2 darah jang bertjetjeran disepandjang djalan ketjil itu. Kelima kawannjapun menghentikan langkahnja dan bertanja;

― „Ada apa toako ?”

― „Heh... lihat bekas2 darah jang bertjetjeran, apakah ada binatang buas jang menerkam manusia dipegunungan ini ?”

Hah....?! banjak sekali darah itu, lihat Toako ( Kakak ) darahnja, amat banjak pasti ini darah dari 3 atau 4 orang.”

— „Tjoba mari kita ikuti tapak2 darah ini, hajo terangkan obormu!” - Pimpinan peronda itu memberikan perintah kepada anak buahnja untuk mengikuti djedjak bekas tetesan darah jang mengumpjang dipegunungan Hong Swat San.

Setelah djalan mendekati kuil itu, mereka sama² merandek. sang pemimpin berdjalan berendap endap mendekati pintu kuil jang terbuka dan meneliti dengan teliti. Samar² ia mendengar suara orang jang tidur dengan njenjak. Maka tjepat² ia mundur dan berunding dengan kelima anak buahnja.

„Didalam kuil tua itu ada seorang jang tidur dengan lelapnja, aku kira dialah sipembunuh, maka mari kita kepung dan tangkap be-ramai²."

Pemimpin peronda itu memberi komando.

— „Awas siapkan sendjata²mu dan tali² mu untuk meringkusnja”

Berenam mereka menerdjang masuk dan mengepung Liem Tjiong jang masih sadja mendengkur dengan tak sadarkan diri.

―„Inilah orangnja, hajo tjepat ikat tubuhnja dan kita serahkan kepada Pak lurah, biar nanti kelurahan jang mengirim pembunuh ini ke Tee Kwan (kuasa hukum ).”

Peronda² itu dengan tjekatan meringkus tubuh Liem Tjiong dengan tali² kulit kerbau jang amat kuat. Tubuh Liem Tjiong jang tinggi dan kekar itu dipanggul oleh 3 orang, dibawa turun gunung.

Tepat pada saat ajam djantan berkokok dipagi hari, sampailah rombongan para peronda jang membawa Liem Tjiong itu di pos keamanan kota Tjhung Tjhiu Too. Para pembatja pasti masih ingat, bahwa komandan keamanan kota Tjhung Tjhui Too ini adalah Tjha Tjin.

Pimpinan peronda itu lalu menggapai anak buahnja untuk berhenti, ia lalu menghampiri pintu pos dan mengetuknja.

Segera djuga pintu itu terbuka, dan dari dalam menjembul sesosok tubuh jang gagah Pemimpin peronda itu memberikan hormat dengan membungkukkan badannja dan memberikan laporan:

— „Tjiangkun, malam tadi kami telah dapat menangkap seorang pendjahat, ia melakukan pembunuhan jang sangat sadis, jakni memenggal tiga kepala manusia. Kepala2 itu kini masih berada diatas medja sembahjangan kuil Thoo Tee Kong diatas gunung Hong-Swat San“

―„Hemmm, .... baik, baik, bawa masuk dikamar belakang, nanti aku jang akan menjerahkannja kekelurahan. Dan kalian boleh pulang, sebab fadjar telah mendatangi.“

— Terima kasih Tjiangkun, kami minta diri“

— „Ja, ja....."- Tjha Tjin lalu membalikkan tubuh untuk menudju kekamar belakang, ia akan memeriksa pembunuh jang baru tertangkap itu. Tetapi betapa terkedjutnja ia, sebab ia kenal betul bahwa orang ini adalah Paw Tju Thauw Liem Tjiong. maka Tjba Tjin lalu berdjongkok untuk melepaskan tali² jang mengikat tubuh Liem Tjiong.

— On, aku tidak menjangka, mengapa kau Lien Kauw Thauw ?" Tjha Tjin bertanja pada Liem Tjiong sambil melepaskan ikatan² tali ditubuhnja.

„Ja, betul, Aku membunuh mereka karena terpaksa.

„Mari Liem Kauw Thaw kita duduk diruang tengah, dan djelaskan kepadaku peristiwa pembunuhan itu.

Tjha Tjin mengadjak Liem Tjiong keruang tengah, ia berdjalan sambil menggandeng tangan Liem Tjiong. Tiba diruang tengah, Tjha Tjin lalu memanggil pembantunja untuk menjiapkan hidangan.

Maka mereka makan pagi sambil beromong².

Liem Tjiong mentjeriterakan. bagaimana sampai ia membunuh tiga orang itu, ditjeritekannja dengan djelas bepada komandan muda jang gagah itu.dari awal sampai acair.

„Oh, djadi mereka adalah pembunuh2 bajaran jang diperintah oleh Ko Kiu untuk menghabisi djiwamu? Sungguh sudah tasnja bila mereka menemui gandjarannja, haaaaa... hahaaaa"

Tjha Tjin merasa puas, setelah mendengar dengan terang akan hal jang sebenarnja, ia menambahkan lagi;

„Manusia² jang berdjiwa binatang itu memang harus kita sapu bersih, mereka selalu sadja mengganggu kehidupan rakjat ketjil, Liem Kauw Thauw dengan kedjadian ini engkau tidak aman lagi tinggal di Tjhung Tjhiu Too, sebentar lagi polisi2 dan serdadu2 keradjaan pasti disebar untuk menangkapmu."

Liem Tjiong terperandjat, mendadak wadjahnja tegang dan keringat mengutjur sekudjur badannja.

Ja, tjelaka! Hiatoe (adik ) aku tidak tahu, mengapa kehidupanku selalu dirundung ma lang? Aih,......belum selesai urusan jang, satu, telah muntjul urusan jang baru. Kemana aku harus mengumpatkan diri.....?

Liem Tjiong tjemas dan bingung.


BERSAMBUNG.