108 Pendekar Gunung Liang San/Seri 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

108 pendekar
Gn, LIANG SAN
KE III

SERI III

108 Pendekar

Gunung Liang San

Atau
(Tjui Ho Thwan)


Kisah Kepahlawanan
Dari 108 Pendekar NIO SWA BO

Oleh





Diana



IZIN; 00416/R/SK/DPHM/SIT/1965

Ulat sutera musim semi tak pernah lelah,
Tetap memintal harapannja siang dan malam
musnahnja mereka tidak mendjadi soal apa²,
Karena bukankah tjinta tak pernah lenjap ?

   ( Njanjian rakjat Tiongkok Selatan )


KUPERSEMBAHKAN:
{{Block right|<poem>
Untuk Ajah, Ibu jang kuhormati.
Kekasihku Kirana jang kutjintai.
dan teman² Corps Kesenian GEBUD

}}

来江
呼保義

SONG KANG
Ketua Utama 108 Pendekar Gunung liang San


Aku rela menjapul kemah
agar dibiarkan aku mabuk
Waktu malam menjalakan lilin
Rebah berunding dengan kawan seperdjuangan.
Tjanang berbunji untuk pesta ini,
Tetapi seribu rumah tangga berduka
Seribu orang bersedih
Mengharap hari nan bahagia
   (Kao Tjie).

Ko Kiu dan pelajan tua itu memasuki kamar Ko Nga Lue jang sedang tidur dengap pulasnja.

Sang ajah jang terlalu memandjakan anaknja itu, pe-lahan² mengusap kepalanja dan membangunkanna.

Ko Nga Lue terdjaga dan memandang ajahnja, sekedjap kemudian ia menangis seperti anak ketjil kehilangan permen karet.

Ko Kiu dengan iba berkata pada anaknja : " Ko Djie, djangan chawatir, ajahmu pasti dapat melaksanakan keinginanmu. Memang kau telah tjukup dewasa, dan sudah selajaknjalah kalau kau akan mempersunting seorang putri      hahahaa        Ajahmu dahulu, tatkala mudapun demikian..“ Ko Nga Lue meng-usap² air matanja dan dengan suara lemah mendjawab kata2 ajahnja;

”Tetapi ajah, perempuan jang kutjintai itu adalah istri seorang komandan keamanan kota Tongking ini.”

Ko Kiu kaget, seperti orang disengat kaladjengking:

”Hab, Seorang jang sudah mempunjai suami?

Apakah kau tidak keliru memilih, anakku ?”

Kembali Ko Nga Lue menangis :

“Ajah, dia amat tjantik. Bila aku tidak dapat memperistri dia, lebih baik aku mati sadja     “ Ko Kiu “Oh, sungguh tjelaka kau, bagaimaina aku bisa melaksanakan keinginanmu jan edain ini ?”

Penasehat Ko Kiu jang kebetulan djuga hadir dikamar itu mendekati tjukongnja dan berkata dengan la gak tjentil . „Taydjin, aku bisa memberikan obat untuk Siauw ya, asal ... ada pengertian dari Taydjin, hahaha . . hhaa. ”

Ko Kiu melotot dan berkata :

„Berapa kau minta upah untuk itu ?“ Penasehat itu berpikir sedjenak, kemudian mendjawab;

„Paling sedikit 100 tail, bagaimana ?“ Ko Kiu kontan mendjawab „Baik, baik, aku penuhi permintaanmu. Tundjukkan bagaimana tjaramu ?“

Penasehat Ko Kiu mendjawab:

„Aku bersahabat baik dengan Liok Giam, dan Liok Giam tinggal bertetangga dengan Liem Tjiong itu. Aku akan menawarkan pada Liok Giam, maukah ia mendjalankan hal ini demi keselamatan Siauwya? Kalau dia mau, aku tanggung beres dah, hahaa.. hahaha.....”

Ko Kiu memerintahkan pelajannja mengambil uang 100 tail, jang segera diberikan pada penasehatnja.

Ko Kiu penuh harap berkata;

„Aku nantikan kabar baik darimu !“

Penasehat itu dengan tertawa berkata :

„Pasti, pasti, mana aku berani main gila pada Taydjin”

Penasehat Ko Kiu itu setelah keluar dari markas langsung pergi kerumah Liok Giam. Kebetulan malam hari itu Liok Giam berada dirumah. Ia amat heran melihat penasehat pribadi Ko Kiu berkundjung kerumahnja malam².

Liok Giam me-manggil² istrinja untuk membersihkan medja kursi dan mengeluarkan hidangan untuk penasehat tjukongnja. Liok Giam memberi Kiongtjhiu dan mempersilahkan tamunja duduk.

Tegurnja/ ”Malam² berkundjung kerumah hamba, adakah Taydjin mempunjai urusan jang sangat penting?“

Liok Giam penuh tanda tanja dalam hatinja. Penasehat Ko Kiu jang litjin itu merogoh sakunja, dan meletakkan sedjumlah uang diatas medja Liok Gian. Katanja:

“Saudara Liok Giam, kau boleh mengambil uang itu. Ini adalah pemberian Ko Tjiangkun, dan beliau mengharap bantuanmu untuk menolong Siauwya. “ Liok Giam bingung, ia belum mengerti djelas apa maksud jang sebenarnja. Tanjanja lagi

”Sakit apakah Siauwya, ? Dan apakah hamba bisa memberikan obat untuk penjakitnja?” Penasehat itu tertawa, kemudian katanja:

“Begini saudara Liok Giam, sakitnja Siauwya itu tidak lain adalah soal wanita, haha . . . . hahaaa.. . . . .

Ia telah mendjadi ter-gila² tatkala melihat Liem Hudjin dikelenteng Pek Ma Sie. Saat ini tidak mau makan, minum..... hanja tidur sadja, sekali² mengingau, ber-kata² sendiri, se-akan² ia berhadapan dengan Liem Hudjin. Kalau hal ini ber-larut aku pertjaja Siauwya pasti mendiadi gila Maka aku nasehatkan Ko Tjiangkun untuk minta bantuan.” Liok Giam bingung :

„Apa jang dapat hamba lakukan? Apaang dapat hamba perbuat untuk memberikan pertolongan

Penasehat itu mendekati Liok Giam dan berbisik ditelinganja. Liok Giam mendjadi merem melek, ia amat bingung dan takut. Setelah sesaat penasehat itu minta diri dan pesannja :

„Aku pertjaja kau pasti berhasil, nah. selamat malam dan aku nantikan kabar baik darimu.” Bergeg islah penasehat Ko Kiu itu kembali kemarkas memberikan laporan pada Ko Kiu.

Liok Giam memanggil istrinja dan bersama² menghitung tumpukan uang jang diatas medja.

Istri Liok Giam berkata

„Suamiku, uang ini berdjumlah 50 tail. Sukar bagi kita untuk memiliki uang sebanjak ini. Gadjimu kau kumpulkan 2-3 tahun baru mungkin. Uang jang sebanjak ini diberikan padamu, ada tugas apakah, sehingga hadiahnja demikian banjak ?“

Istri Liok Giam njerotjos bertanja pada suaminja. Mendengar pertanjaan istrinja ini, Liok Gam lama tak dapat ber-kata2, acbirnja ia menggelah napas pandjang :

„Hah...........“ Istrinja bingung bertanja lagi.

„Ada apakah suamiku ? Bukankah kita merasa girang memiliki sedjumlah uang ini ? Kita bisa beli sawansendiri, rumah jang bagus dan perhiasan²? Mengapa kau bahkan mérasa kurang senang ? Aku heran !”

Dan² perhiasan²? Mengapa kau bahkan merasa kurang senang ? Aku heran !”

Kata² istrinja ini membikin hati L'ok Giam makin risau Betapa tidak ? la memikirkan bat wa persoalan ini sungguh tidak mudah. Maka ber hari2 Liok Gam tidak berani masuk kemarkas Karuan sadja Ko Nga Lue si Siauwya atau tuan ketjil jang gandrung kasmaran itu makin gundah gulana Badannja makin kurus wadiannja putiat seperti marat hidup dan katanya seperi orang tidak waras, Sering bertakap² sendiri dan menjanji tak karuan ko Ku makin sibuk menukirkan nasib anak satu²-nja

Suatu hari dipanggillah penasehatnja dan Liok Gam kemarkas Pek Hoo Tong untuk merundin, kan hal ini. Begitu menghadap Liok Giam segera ditegur dengan keras :

“Kenapa kau tidak mendjalankan tugasmu?” Agak gugup Liok Giam memberi 'djawaban :

“Maafkan hamba, Taydjia, sebenarnja sudah kujari ketika jang baik. Rentjana hamba jakni apabita Liem Kauw Thao bertugas, maka hamba calling pada pelajan tua untuk menjampaikan hal ini pada Siauwya, biar Siauwya dolan kerumah hamba. Dengan démikian sesekali bisa mampir keLiem Hudjin. Tetapi Siauwya tidak pernah menerima code² ini.“

Ko Kiu panas dingin dan membentak lagi :

“Djangan kau permainkan anakku jang hampir gila itu! Aku minta kau segera dapat menolongnja.” Kembali Liok Giam mendjadi kelabakan dan keringat dingin mengutjur seluruh badannja. Namun Liok Giam adalah seorang jang litjin dan pandai bermuslihat, djawabnja dengan pelan:

„Taydjin, hamba pasti mendjalankan tugas itu dengan baik, hanja hamba kekurangan beaja.......sebab rentjana hamba kali ini memerlukan taktik dan keberanian, djuga membutuhkan tenaga seseorang jang pemberani dan alat²nja.”

Ku Kiu menukas;

„Apakah alat²nja itu ? Dan berapa kau minta tambahan beaja lagi ?” Liok Giam pura² berbitjara serius;

„Taydjin, hamba membutuhkan sebilah pedang mustika Dan untuk tambahan beaja kurang lebih 20 tail lagi. Soal seorang kawan nanti hamba jang mentjarikan, ”

Ko Kiu karena sangat memikirkan nasib anaknja maka segala permintaan Liok Giam diluluskannja.

Memang sudah mendjadi kodrat alam, siapa menanam pasti memetik buahnja Barang siapa menabur benih jang baik, pasti tumbuh tanaman jang bagus, tetapi sebaliknja siapa jang menabur benih jang buruk, akan mendapatkan hasil jang sepadan.

Didalam adjaran ang Khongtju mengatakan, Hanja satu adjaranku, tetapi satu ini dapat menembus kesegala lapisan.”

Murid beliau bertanja :„Apakah jang satu itu ?“

Sang Khongtju mendjawab: Itulah Tiong Sie atau setia dan tahu menimbang, dalam bahasa Djawa disebut Teposelira.

Bila diri sendiri tidak mau diperbuat oleh orang, lain djanganlah berbuat atasnja. Tidak heran bila kehidupan Ko Kiu jang sewenang² dan suka mentjelakakan orang lain itu, achirnja ngunduh woning pakarti Sedjarah jang membuktikan segala kedjadian dibumi ini!


Demikianlah putra sipendjabat tinggi negeri Song saat ini sedang kejujun karena gandrung pada seorang wanita jang sudah bersuami. Pada djaman sekarang tidak kurang hal² sematjam ini terdjadi, maka sering kita mendengar tembang Sing abang ora kurang, kok sing idjo diunduhi. Sing legan ora kurang, kok sing wis duwe bodjo dirusuni Dalam bahasa Indonesia; Jang merah tidak kurang, jang masin nidjau dipetik Jang budjang tidak kurang, iang sudah beruman tangga kok di retjoki? Aneh, ja, aneh !

Komandan Kim le Wee Ko Kiu, segira mengeluarkan sebilah pedang pisaka Tman Liong Kiam atau peding nag lang dan diserahkan pada Lok Gam Djuga satu bungkusan kain sutra jang berisi uang 20 tail

Lio Giam menerima barang² itu dengan gugup Katanja. "Taydjin, rentjana hamba adalah demikian Karena hamba bertetangga dengan Liem Tjiong: . . . hamba mengetahui betul kesukaannja Ada karakternja Liem Tjiong adalah seorang gagah, bugeenja tinggi dan berdjiwa djantan. Adalah sukar untuk mempermainkan istrinja jang tjantik djelita itu. Tetapi hamba dapat meneropong kalemahan²nja”

Ko Kiu dan penasehat tertarik sekali mendengarkan uraian Liok Gam si hamba jang litjin ini.

Kata Ko Kiu dengan bernapsu :

”Ja, teruskan, teruskan, hagaimana kelemahan Liem Tjiong itu? Dan bagaimana karakternja ? ”

Liok Giam dengan agak aleman menjambung tjeritanja:

„Liem Tjiong itu sangat gemar akan sendjata-sendjata mustika, maka dengan pedangpusaka Thian Liong Kiam ini aku akan mempedajakannja. Aku ber-pura² untuk mendjual pedang ini, pasti Liem Tjiong tergerak hatinja untuk membelinja. Setelah pedang pusaka ini berada ditangannja. amat mudah Tay- Djin untuk mentjelakannja bukan? Tay Djin bisa menuduh Liem Tjiong sebagai pentjuri- pusaka jang hilang dari markas Pek Hoo Tong ini... hahaha.... bukti sudah ada padanja....“

„Tay Djin boleh mendjatuhkan hukuman mati padanja. Dengan demikian bukankah istrinja boleh dengan mudah dimiliki oleh Siauw Ya ? Hahaha . . . . . hahaha ....“ Ko Kiu dan penasehatnja mengangguk-anggukkan kepala dan dalam hati mereka amat setudju dengan taktik jang kedji dari Liok Giam ini. Sungguh tidak djarang terdjadi didalam dunia ini hal² jang sudah djelas tidak benar, bahkan malahan diterdjang oleh manusia sendiri. Maka sebenarnjalah, bukannja Tuhan itu membuat nasib kehidupan manusia sengsara dan penuh derita serta tjoba. Hanja manusia sendirilah jang membuat nasib dalam kehidupannja. Derita dan bahagia sebenarnja ada ditangan manusia sendiri, seperti kata² mutiara dalam bahasa Djawa berbunji:

  ” Suwarga lan naraka iku, kawengku dining
  purba wasesaning pribadi


  atau sorga dan neraka itu terletak pada
  tingkah polanja manusia sendiri !

Seperti halnja Ko Tay Djin, tuan besar Ko jang mulia ini, karena berpangkat besar, maka tidak memikirkan lagi akan tindakannja. Demi menjelamatkan anaknja jang sebenarnja salah, tetap nekad menerdjang djalan jang terkutuk ini. la dengan mantep segera mendjalankan tipu muslihat jang kedji, tanpa ingat akan prikemanusiaan lagi. Memang kenjataanlah, bahwa kelemahan manusia jang terbesar sedenarnja adalah KECHILAFAN ? sekali lagi KECHILAFAN ! 50 rail dan pusaka Thian Liong Kiam lalu diserahkan pada Liok Giam.

Tatkala Liok Giam menirima barang² itu agak tergetar hatinja, ia menjabut pedang pusaka itu untuk membuktikan keistimewaannja. Ruang jang agak remang2 tjahaja nja itu, mendjadi tjemerlang tatkala pusaka Thian Liong Kiam itu terbunus dari sarungnja....Tjepat² Liok Giam memasukkannja kembali dan bergegas mohon diri untuk segera mendjalankan tipu dajanj ...... Ko Kiu dan penasehatnja merasa lega, ia merasa jakin bahwa taktik ini pasti akan berhasil dengan bagus.

Keesokkan harinja Liok Giam mengundjungi seorang sahabatnja, diutarakanlah siasat untuk mentjelakakan Liem Tjiong ini. Kawan Liok Giam seorang penganggur jang kerdjanja hanja berdjudi dan mabuk2an itu, bersedia membantu asal ada uang kopi²nja. Demikianlah kawan Liok Giam itu bersedia bertugas sebagai penjual pedang pusaka. Liok Giam Aku menghadiahkan padamu 5-tail, asalkan kau mematuhi tidak akan membotjo.kan Rahasia ini pada siapapun. Berdjandjilah ! “

Kawan Liok Giam menjengir dan meraup 5-tail jang ada dihadapannja, tukasnja; “Tanggung beres, Liok Heng tidak usah chawatir aku. Lalu bagaimana tjara untuk mendjual pusaka itu, berilah petundjuk2, sebab aku belum pernah berdagang apapun. Liok Giam dengan sungguh2 memberikan tjara² technik mendiual, katanja;

“Kau bawa pedang pusaku ini, berdjalanlah sepandjang djalan untuk menawarkan pedang ini pada orang2 jang berlalu lalang di dimuka rumah Liem Tjiong.

Kawannja itu meng-angguk2kan kepalanja, sesaat ia mengangkat mukanja dan bertanja ;

”Berapakah harga pedang pusaka ini ?“ Liok Giam tersenjum geli 'katanja :

Hampir aku kelupaan untuk memberikanja Tawarkan dengan harga jang setinggi-tingginja, jakni 1000 tail. Dengan demikian orang2 jang berlalu lalang sepandjang djalan itu pasti atjuh tak atjuh, sebab harganja terlalu tinggi. Tetapi hal ini djustru akan menarik perhatian Liem Tjiong jang gemar akan sendjata2 pusaka, ia pasti keluar dan menawar pedang ini. Nah djalankan taktik ini !

Aku permisi pulang selamat bertugas. Liok Giam memasrahkan pedang itu pada kawannja dan bergegas pulang

Pada hari itu djalan ketjil dimuka rumah Liem Tjiong seperti hari2 biasanja' ramai sekali de ngan orang2 berdjalan ber-iring2an menudju kepasar Mereka berdjalan seperti iring2an semut, ada pedagang, peladjar sekolah pegawai ketjil pendjual sajur2an, obat2. dll

Sebab memang djalan ketjil didepan rumah Liem Tiong ini adalah sebuah djalan hidup dikota Tongking

Saat itu Liem Tjiong belum berangkat bertugas sebagai keamanan² kota, ia sedang makan pagi dan asuk ber-tjakap² dengan Liem Hudjin, istrina jang tjantik djelita. Keluarga jang baru ini nampak amat rukun dan baha Ia amat kagum akan kegagahan Liem Tjiong badannja tinggi tegap, dadanja bidang, tubuh nja kekar dan lebih dari itu kepalanja adalah mirip sekali dengan Matian Tutul. Maka djulukannja Fa Tju Thao Liem Tjiong atau Liem Tjiong si Kepala Matian Tutul. Ia mengangsurkan pedang itu dan menerangkan harganja :

„ Pedang ini disebut Thian Liong Kiam, pusaka jang djarang dikolong langit ini. Aku mendjualnja dengan harga 1.000,- tail, tidak boich kurang lagi. Liem Tjiong mengamat-amati pedang pusaka itu, mengeluarkan dari sarungnja dan menjabat-nja batkan keudara.

Ajunan sabetan itu menerbitkan suara mengaung iang pandjang.- se-akan² suara ringkikan naga jang mengerikan. L'em Tjong jang memang gemar akan pusaka², maka hatinja sangat tertarik dan ingin memiliki pusaka ini. Alangkah sajangnja bila pedang jang langka ini djatuh ketangan orang lain. Maka Liem Tjiong menawar pedang itu segera :

“Aku tawar pedangmu ini dengan harga 600 tail. Lo eng bagaimana ?” tangannja masih tak henti2nja mengelus-elus pedang itu. Kawan Lok Gam tahan harga. sebab memang taktiknia jang litjin.

Diawabnja. Mana boleh, terlalu djauh kurangnja Begini sadja Liem Kauw Thao, karena aku mengerti bahwa engkau seorang gagah, memang gia, walaupun mereka adalah temanten baru, jang baru2 sadja membentuk mahligai rumah tangganja namun mereka memang sangat ijoDok satu sama lain. Mereka adalah pasangan jang setimpal, jang laki2 tampan dan gagah, jang perempuan tjantik dan aju Sedang Liem Tjiong dengan nikmatnja bersantap. tiba² telinganja mendengar suara orang jang menawarkan pedang pusaka.

„Pedang bagus, pedang, bagus, tak ada bandingannja dikolong langit ini, hajo siapa ingin membelinja. Harganja. 1000 tail tidak bisa kurang. Hajo, hajo siapa ingin membelinja!“

Orang jang berlalu lalang kebanjakan hanja membuang pandangan sedjenak. sebab mendengar harga pedang itu amat tinggi maka mereka atjuh tak atjun, tak ada seorangpun diantara orang2 jang berlalu lalang itu mau melihat, apalagi menawarnja. Tetapi orang kenanjakan itu adalah lain dengan Liem Kauw Thao, mendengar harga jang diminta 10 000 tail Liem Tjiong segera melonjat keluar dan memanggil pendjual pedang itu Memang Liem Tjiong adalah seorang kesatria jang gemar memakai senjata² pusaka. Maka pedang jang ditawarkan dimuka rumahnja itupun tidak lolos dari keinginannja untuk membelinja.

Liem Tjiong ; ”Hie Loheng bertenti dulu' aku ingin melihat pedangmu! Pendjual pedang itu memutar badannja dan kembali untuk menghampiri Liem Tjiong sudah selajaknja menjandang pedang pusaka ini' hanja aku meminta tambahan harga 200 tail lagi Diadi 800 tail bolehlah “ Liem Tjiong meminta pedjual pedang itu menunggu sebentar, ia lari masuk kedalam rumah menemui istrinja.

“Hudjin hudjin! . . .“ Istri Liem Tjiong keluar dari kamar dan heran melihat suaminja masuk dengan membawa pedang pusaka, ia bertanja;

“Pedang siapakah itu, Liem Ko?” Liem Tjiong tersenjum pada istrinja dan mendekati, katanja dengan suara lemah lembut :

“Moy moy, aku akan membeli pedang pusaka ini, tetapi sajang harganja—800 tail tidak boleh kurang lagi, sudan harga mati. Padahal uangku hanja 600 tail Eh, Moy moy barangkali kau masih ada simpanan 200 tail sadja ? “ Istri Liem Tjiong jang mamang kasih pada suaminja, tak tega melihat Kokonja bersedih karena tak bisa memiliki pedang itu Maka mekarlah senium dibioirnja dan dengan lemah Jembut pula ia berkata;

“Koko. djangan bersedih, moymoy masih aba simpanan kurang lebih 400 tail, ambillah bila Koko memerlukan Lem Tjiong mundjadi besar na inja sesaat 1 manja ia tak dapat ber-kata² aking terharunja Kemudian Liem Tiong melongok keluar dan memanggi pondjual pedang itu;

“Loheng, kemari ! Harga pedangmu telah kusetudjui. Ini hitunglah 800 tail!”
Pendjual pedang kambratnja Liok Giam itu mendjadi senang sekali, sebab tipu dajanja telah berdialan baik Ia menerima uang itu dan menghitungnja, kemudian dimasukkan kedalam kantong dan berpamit.

Hari itu, Liem Tjiong agak terlambat masuk kantor.
Ia begitu terpesona dan sangat mengagumi pedang pusaka Thian Liong Kiam itu, sehingga ia terlambat mendjalankan tugasnja.
Dalam pada itu, kawan Liok Giam langsung menudju kemarkas Pek Hoo Tong dan memberikan laporannja.

Didalam markas Ko Tay Djim, penasehat pribadinja dan Liok Giam sedang me-nanti² dengan tiemas Betapa girangnja mereka pada saat kawan Liok Giam masuk dengan wadjah ber-seri². Setelah mengambil tempat duduk, mula lah ia mentjeritakan apa jang telat, didjalankannja. Ko Kiu sangat memudji kepinteran kawan Liok Giam, kemudian ia berpaling kepada penasehat pribadinja dan bertanja:

“Tiayhu, bagaimana taktik selandjutnja untuk menangkap Liem Tjiong? Sukalah Tjayhun memberikan petundjuk² jang lengkap! Penasehat Ko Kiu mangangguk anggukkan kepalanja dia tak henti2nja menggojang-gojangkan kipas ditangannja. Setelah hening sesaat mulailah ia membuka kata²nja ;

Taydjin boleh menulis seputjuk surat kepada Liem Tjiong, dalam surat itu Taydjin menjatakan telah mendengar bahwa Liem Tjiong memiliki pedang pusaka, dan ingin sekali untuk melihatnja Surat itu boleh dikirimkan melalui pesuruh Ko Taydjin jang asing wadjahnja, sehingga Liem Tjiong tidak bisa mengenalinja.

Bila Liem Tjiong datang kemarkas Pek Hoo Tong ini, maka langsung Ko Taydjin menjiapkan para serdadu Kim le Wee untuk meringkusnja. Katakan ada seorang jang akan berbuat djahat dimarkas ini, maka kutangkap. Pedang ditangannja itu sebagai bukti akan maksud djahatnja.

Nah, laksanakan taktik ini dengan baik, djangan ditunda-tunda lagi, sebab sakit Siauwya sudah amat parah.”
Ko Kiu puas mendengar advis dari penasehat pribadinja, katanja;

Nah, terima kasih saja utjapkan pada kalian!

Dan mari, mari kita makan dulu bersama!
Ko Kiu bertepuk 2 kali, segera muntjullah pelajan, langsung Ko Kiu memerintahkan untuk mempersiapkan hidangan untuk makan bersama

Liem Kauw Thao Liem Tjong sedjak membeli senilah pedang pusaka itu, sangat betah tinggal didalam kamarnja ber- sunji² ia menggantungkan pedang pusaka itu diatas tempat tidurnja.

Setiap akan tidur dan bangun dari tidur selalu tak lupa untuk me-nimang 2 pedang itu. Ia selalu melamun .... bila pedang pusaka ini djatuh ketangan orang² rendah, maka pasti akan menelorкan rentetan kedjahatan 2 dan pembunuhan.. untunglah pedang pusaka ini berada ditanganku, dengan pedang ini aku bersumpah untuk berdjoang membela Kebenaran dan Keadilan........

Sudah dua hari pedang itu ditangan Liem Tjiong, tiba 2 pagi hari itu datanglah 2 orang jang wadjahnja asing bagi Liem Tjiong, orang 2 itu telah datang kerumah dan membawa seputjuk surat. Karena surat itu pengirimnja adalah Ko Tay Djin, maka Liem Tjiong menghormati sekali pesuruh² itu, dipersilahkannja masuk dan didjamu selajaknja.

Setelah 2 orang pesuruh itu pergi mulailah Liem Tjiong membuka sampul surat itu.


Tongkhia, 12-7-1278.

Kepada
Jth. Sdr. Liem Kauw Thao
di tempat.


Dengan hormat,

Aku mendengar bahwa sdr. Liem telah membeli sebilah pedang mustika jang namanja Thian Liong Kiam.

Maka dengan ini kami selaku Komandan Kim Ie Wee, mengundang kedatangan sdr. untuk hadir dimarkas Pek Hoo Tong esuk hari, pada djam 7.00 pagi tepat.

Aku mau melihat benda pusaka itu, sebab didalam Markas Pek Hoo Tong ini adapula beberapa benda pusaka.

Aku dapat memperbandingkan satu sama lain.

Harap undangan ini diindahkan dan saja menunggu kedatanganmu.

Sekian, dan terima kasih.

Hormat kami
Komandan Kim Ie Wee
Ko Kiu


Liem Tjiong adalah seorang djudjur dan bersih hatinja, ia tidak pernah berpikir bahwa undangan untuk ia datang kemarkas Pek Hoo Tong ini adalah tipu muslihat untuk mentjelakakan dirinja.

Maka sedikitpun ia tidak berprasangka apapun.

Pagi hari itu Liem Tjiong berpamit pada istrinja sambil membawa pedang pusakanja.


„Moymoy, hari ini aku mendapat undangan untuk datang kemarkas Pek Hoo Tong, Ko Tjiangkun ingin melihat pedang pusaka jang baru kubeli beberapa hari jang lalu.

Siapa tahu moymoy, pedang pusaka ini akan menuntun kehidupan kita kedjalan jang lebih tjemerlang.“

Istrinja Liem Tjiong djuga tidak berprasangka apapun, iapun marelakan suaminja jang tertjinta pergi kemarkas Pek Hoo Tong.

„Koko, baik²lah didjalan, mudah2 an kehidupan kita makin tjerah. Adik menunggukabar baik. Selamat djalan......!“

Liem Tjong dengan langkah lebar menudju kemarkas Matjan Putih atau Pek Hoo Tong, sedang istrinja jang penuh kasih sajang tak lepas mengikuti dengan pandangan penuh harap pada suaminja jang berdjalan itu.

Makin lama makin tak kelihatan bajangan suaminja, namun istrinja masih sadja berdiri didepan pintu, se-akan² ia tak mau berpisah walau sesaat sadja.

Markas Pek Hoo Tong atau Markas-Matjan Putih, gedungnja besar dan temboknja amat kokoh. Disekeliling gedung itu dilingkari oleh pagar besi jang berbentuk tombak, udjungnja runtjing² dan mengkilap karena tadjamnja. Pagar itu masih dibelit dengan kawat² berduri jang sangat ketat. Didepan gedung itu terbentang lapangan jang sangat luas untuk mengatur kemiliteran. Kelihatannja. memang angker dan megah.

Kegedung itulah Liem Tjiong melangkahkan kakinja, tanpa sangsi dan bersjakwasangka. Setapak demi setapak kakinja melangkah madju. Sebentar² ia menengok kekanan dan kekiri, namun betapa herannja, tidak seorang serdadu maupun pendjaga ia djumpai.

Tiba dipintu Markas Liem Tjiong merandek sebentar, ia meneliti pintu Markas jang tebal dan kuat, didorongnja pelahan² dan makin heranlah ia, sebab didalam ruangan Markas itupun tak ia temui batang hidung manusia. Liem Tj ong tidak berani lagi melangkah madju, ia mengambil kursi untuk duduk, sambil menantikan keluarnja sang Komandan Kim-Ie Wee jang telah mengundangnja itu.

Agak lama Liem Tjong menunggu dikamar itu seorang diri, ia berpikir. . . . apakahaku terlalu pagi datang kemari ini ?

. . . . aku sangat heran ?. . . . bukankah undangannja itu mengatakan datang sepagi mungkin?

Liem Tjiong lalu mengeluarkan surat undangan jang diterimanja, ditelitinja kata demi kata, ternjata tidak salah. Tetapi mengapa Markas ini masih kosong.........?

Sedang Liem Tjiong berpikir karena herannja tiba² ia mendengar derap langkah kaki ratusan serdadu. Liem Tjiong menduga barangkali serdadu² Kim Ie Wee sedang mengadakan apel besar pagi hari ini.

Sedang Liem Tjiong menduga - duga seorang diri, tahu² pintu Markas itu mendjeblak terbuka, karena didorong dari dalam. Muntjullah sang Komandan Kim Ie Wee Ko Kiu, segera Liem Tjiong berdiri untuk memberi hormat. Tetapi diluar dugaannja, Komandan itu berteriak njaring;

„Heija! Ada pendjahat, ada pendjahat Hajo kepung dan tangkap !“

Ratusan serdadu itu meluruk kedalam ruangan Markas, dan tanpa tanja ini dan itu langsung Liem Tjiong diringkus, seluruh tubuhnja diikat dengan tali dari urat sapi jang amat kuat.

„Tjiangkun, aku datang kemari memenuhi undangan Tjiangkun sendiri Bukankah Tjiangkun ingin melihat pedang pusaka jang kubeli itu ?“

Ko Kiu membentak dengan kasar :

Djangan bermain gila dihadapanku!

„Hei, pendjahat, berani benar engkau seorang diri menerobos Markas Pek Hoo Tong ini dan ingin membunuhku ? Hei! Kau kira Markas Matjan Putih ini sebagai sarang semut jang tidak mampu membekuk seorang pendjahat seperti kamu ? Hahhaaah...... Djangan mimpi, sereet kedalam tahanan !“ Liem Tjiong tidak mau mengerti, ia protes dengan keras :

„Tjiangkun, djangan sembarangan menuduh orang, aku kemari atas undanganmu, itulah pedang pusaka jang kau ingin melihatnja, dan ini didalam sakuku ada surat atasnamamu.” Ko Kiu tertawa ter-bahak²:

”Aku tidak kenal padamu, mengapa aku bisa menulis surat dan mengundang mu ? Hahaha....haha.... alasanmu jang bukan² akan menambah berat hukumanmu, tahu ?“ Liem Tjiong bandel:

“Tjiangkun, aku bukannja seorang jang takut mati! Tetapi kata2ku njata berbukti. Ambil dalam sakuku ini surat jung ada tanda tanganmu, djuga djelas dengan setempel Pek Hoo Tong Batjalah, dan buka mata Tjiangkun lebar². “ Ko Kiu marah sekali :

“Rangket pendjahat itu dengan pukulan rotan 40 kali ! Berani betul ia menghina dan memandang rendah padaku. Ketahuilah aku Ko Kiu komandan Kim leWee, bisa memberikan putusan segera padamu Kalau aku memerintahkan pantjung kepalamu, hari ini djuga djiwamu akan melajang, tahu? Djangan banjak tingkah, buku maksud djahatmu sudah d,elas. Karena aku mengerti hukum dan wet negara, maka aku akan menghadapkanmu kedalam sidang dilan.”

Dua algodjo madju mendekati Liem Tjiong, tanpa menantikan perintah keduakalinja, segera menghadjar Liem Tjiong dengan sabetan² rota,.

Suara djatuhnja rotan ketubuh Liem Tjiong itu amat dahsjat, sehingga terkelupas dan petjat²lah tubuh Liem Tjiong. Darah mengalir membasahi seluruh pakainnja, namun Hoohan kita tak sedikitpun mengeluarkan rintih, Liem Tjiong tetap membuka matanja dan memandang dengan sorotan tadjam kepada Ko Kiu. Ko Kiu berijakap-tjakap dengan penasehatnja dengan suara jang tak dapat didengar oleh Liem Tj ong Kemudian ia memerintaukan untuk menghentikau pukulan² itu.

„Oh, kiranja kau adalah komandan keamanan kota Tongkhia ini. Namamu Liem Tjiong bukan? Seorang komandan keamanan sudah pasti mengenal peraturan kemiliteran, bila tidak mendapat perintah atasan, tidak akan sembarang masuk kedalam Markas Pek Hoo Tong ini. Tetapi Liem Tjong, kau memang djelas akan membunuhku, terbukti dengan pedang pusaka jang kau bawa itu Hmm,...... hem.....adakah engkau berkomplot ?”

Liem Tjiong dengan suara gagah mendjawab:

Aku adah seorang laki2 sedjati jang berdjiwa putih Djangan Ijiangkun seenaknja mengeluarkan kata² kedji Kedatanganku kemari, sedikitpun tidak ada niat djahat. Lihat surat jang berada dalam sakuku ini, tni adalah bukti. Tetapi kalau Tjiangkun menjangkal tulisan ini, Haha..... Tjiangkun adalah seorang pengetjut jang bernjali tikus.”

Seketika mukanja sang Komandan Kim le Wee itu mendjadi merah padam karena menahan marah dan malu.

Suaranja sampai bergetar :

„Seret dia kedalam pendjara, lekas !”

Liem Tjiong lalu diseret kedalam pendjara bawah tanah, pintu2 besi sel itu dibukanja, dan tubuh Liem Tjiong didorong rubuh kedalam sel itu. Segera para pendjaga tahanan itu menguntji pintu² sel itu dengan suara gemerintjing.


LIEM TJIONG DIHUKUM BUANG KE-
KOTA TJHUNG TJHIU TOO.
LO TIE DJIM MEMBIKIN GEGER
DUSUN YA TIE LIM




KepadaMu Wahai sang Perkasa
adjaib nan tak terhingga
kekuatan jang menguasai dunia
kepadamu sumber tjinta kasih, kebenaran'
Sumber penghidupan jang abadi
jang mulia.
kepadamu manusia melukiskan tak sama
tetapi semuanja merasakan satu didalam-
kalbu
kepadamu sang perkasa, ksatria sedjati
Jang membela umat manusia
delem tegakkan lebencran dan keadilan
kini kami berdo'a !

Pada djaman Dinasti Song, masa itu penuh dengan ketidak adilan dan para penguasa

bertindak se-wenang² terhadap rakjat. Keadaan rakjat jang memang sudah parah, ditambah dengan kelaliman dan perkosaan akan hak² azasi manusia Sehingga dimana-mana timbul kekeruhan dan pemberontakan². Seperti dalam kisah 108 pendekar Gunung Liang San ini, semuanja sebenarnja adalah orang baik², ada jang bekas komandan keamaṇan, ada pegawai pemerintah, ada kepala desa, sasterawan, saudagar, tukang kaju, guru silat, dlsb. Mereka bergabung dan mengadakan pemberontakan karena sudah tidak tahan lagi akan tekanan2 jang makin gila.

Liem Tjiong bekas komandan keamannan kota Tongking, karena mempunjai istri jang tjantik, dan anak penguasa setempat itu ngiler karena ingin memperistrinja. Liem Tjiong lalu difitnah, disiksa dan didjatuhi hukuman berat jang tidak selajaknja menimpa pada dirinja. Tetapi pada masa itu, hal jang demikian ini mendjadi se-akan2 kebudajaan jang sangat digemari, Para penguasa dapat seenaknja mempermainkan kehidupan rakjat tanpa mengenal Prikemanusiaan.

Setelah agak lama Liem Tjiong disekap dalam pendjara, pada suatu hari ia diseret keluar. Kaki dan tangannja diborgol dengan rantai besi jang kokoh, kemudian dinaikkan sebuah kereta untuk dikirim kepengadilan setempat.

Tee Kwan atau Penguasa Hukum setempat lalu menjidangkan persakitan jang dibawa kekantornja.

Sebelum sidang dimulai, ada seorang pesuruh Ko Kiu jang menghantarkan seputjuk surat untuk jang mulia Tee Kwan kota Tongking itu.

Sang Tee Kwan membuka surat itu dan membatjanja sampai terang.

Kepada
Jang mulia Bp. Tee Kwan
di Tongkhia


Dengan hormat,

Dengan ini kami mohon untuk kita bekerdja sama.

Bila sidang dimulai, hendaknja Tee Kwan memutuskan hukuman mati bagi Lim Tjiong.

Sekian dan terima kasih.

Hormat kami,

Komandan Kim le Wee

Ko Kiu.

Wadjah sang Tee Kwan mendjadi berubah-rubah, sebentar merah sebentar putjat. la benar² kurang mengerti keinginan sang Komandan pengawal keradjaan ini, hei., ... mengapa persakitan ini harus didjatuhi hu kuman jang demikian berat ? Lebih baik aku sidangkan dulu dan memberikan pertanjaan² sedjelas2 nja, dan djangan sampai terdjadi hal2 jang terlalu dalam sidang peradilan ini. Sang Tee Kwan chawatir untuk bertindak se-wenang² Segera ia memerintahkan seorang Tjayhu ( Penulis untuk hadir dalam sidang ini, dan beberapa pendengar sebagai saksi, Sidang dimulai.

Tee Kwan:

„ Menurut surat dari Ko Tjiangkun, kau jang bernama Liem Tjiong, dengan etikat djabat jang telah direntjanakan terlebih dahulu, kemudian datang ke Kantor Markas Pek Hoo Tong untuk membunuh Ko jiangkun. Barang² bukti kini telah dikirimkan pula kemari, berupa sebuah pedang tadjam Maka tuntutannja adalah hukuman mati untukmu, Bagaimana keteranganmu ?“

Liem Tjiong memberikan djawaban dengan lantas, ia anat terkedjut akan tuntutan ini :

„ Tuduhan itu tidak benar sama sekali, itu adalah fitnah. Jang mulia Tee Kwan, hal jang sehenarja adalah demikian, Ko Tjiangkun telah mengandang padaku untuk datang ke Markas Pek Hoo Tong djam, 7.00 tepat, beliau ingin lihat sebilah pedang mustika jang dapat kubeli dari seorang pendjual pedang 3 hari jang lalu.

Aku datang memenuhi undangan itu tanpa sjakwasangka apapun, karena aku menghormati para pedjabat tinggi, bukankah beliau itu sebagai bapak rakjat ? Tetapi diluar dugaanku, Jang mulia Tee Kwan, aku djustru dikerojok, disergap dan tanpa diberi kesempatan untuk memberikan keterangan apapun aku dipukuli dan diseret kedalam tahanan. Kesemuanja ini kini kuserahkan ditangan Jang mulia Tee Kwan, sebagai pelindung rakjat pasti akan dapat membikin djernih hal² jang benar. ”

Keterangan² Liem Tjiong jang penuh kata-kata sindiran ini membuat sang Tee Kwan mendjadi merah padam, bahna djengahnja. Para pedjabat pemerintah, sebagai pegawai² tinggi adalah bapak rakjat.

Rakjat mentjintai bapaknja, sebab bapak adalah sudah seharusnja mentjintai anak²nja? Kata² Liem Tjiong ini se-akan² terus bergema di pendengaran sarg Hakim tinggi kota Tongkhia ini, sehingga ia tidak bisa memberikan putusan dengan segera.

„Aku akan mentjari 2 orang jang telah menjampaikan surat undangan dari Kotjiangkun kepadamu sebagai saksi. Dan aku ingin bersoal djawab pada Ko Tjiangkun benarkah keterangan2mu dalam sidang ini, Hei, bawa persakitan ini kedalam tahanan lagi! Sidang kita tunda sampai besok !

Liem Tjiong lalu diseret kembali kedalam sel tahanan. Sang Tee Kwan agak bingung terhadap seputjuk surat jang diterimanja dari Ko Kiu. Ia ber-tanja, mengapa Liem Tjiong Larus di djatuhi hukuman jang demikian berat, toh kesalahannja belum ada bukti2 jang djelas.

Djuga tidak ada para saksi jang dapat di pertanggung djawabkan ? Tengah hari itu sang Tee Kwan mengundjungi kekediaman Ko Kiu Segera sang Tee Kwan masuk kedalam Markas Pek Hoo Tong untuk menemui dan memperbitingkan Liem Tjiong.

Ko Tjiangkun, aku sangat bingung akan pesoalan persakitan jang. kau kirim kepadaku. Kalau menilik persoalannja, persakitan ini tidak lajak kalau didjatuhi hukuman mati. Aku chawatirkan kalau ada penindjauan dari Pusat, bila Lal ini diketahui sebagai tindakan se-wenan² bukankah kita akan mengalami hukuman tumpas dari Hong Tee (Kaizae ) seluruh karabat dan keluarga kita jang tidak mengetahui apa, akan mengalami nasib jang mengerikan....... Maka aku datang kemari untuk mengetahui dengan djelas duduk perkaranja. “ Ko Kiu agak bergetar djuga mendengar keterangan dari Tee Kwan, ter-lebih2 ia mendjadi bergidik mendengar akan adanja hukuman tumpas, maka Ko Kiu lalu mendjelaskan persoalan ini dengan suara se-akan2 berberbisik. Takut kalau2 hal ini didengarkan oleh orang lain.

”Tee Kwan, sebenarnja adalah demikian, karena anakku Ko Nga Lui sangat merindukan istri Liem Tjiong, sampai2 ia mendjadi seperti gila, sehari-hari kerdjanja hanja menjanji, berkata-kata sendiri, menari dan.........eh.........pikirannja sudah kurang waras Aku chawatirkan anakku satu²nja ini akan berusia pendek karena istri Liem Tjiong ini. Kunsuku memberi nasehat, djalan satu²nja apabila dapat membawa istri Liem Tjiong kemari. Tipu daja kami djalankan jakni menuduh Liem Tjiong sebagai seorang pendjahat jang akan membunhku. Tee Kwan tolonglah kami, bukankah kita se-akan2 bersaudara ? Maka aku pertjajakan hal ini kepadamu”

Sang Tee Kwan jang memang banjak berhutang hudi pada Ko Kiu, mendengar permohonan dari rekannja ini mendjadi serba salah, Kalau dituntut, berarti berlaku melanggar hukum kebenaran, kalau tidak diturut berarti tak ingat lagi hubungan persaudaraan antara dia dan Ko Kiu. Lama Tee Kwan itu berdiam diri . ........ Berat djuga rasa hati sang Tee Kwan mendengar keluhan sang rekan ini.

Achirnja ia mendjawab :

„Baiklah Koo Tjiangkun, aku akan membantu kesukaranmu, hanja.......”

Belum habis kata2 Tee Kwan, Ko Kiu sudah tak sabar diri untuk bertanja:

— „Hanja apakah Tee Kwan ? apakah jang kau beratkan lagi ?”

— „Ko Tjiangkun, keberatanku adalah hukuman mati jang didjatukan pada Liem Tjiong. Hal ini aku tetap tidak berani mendjalankannja.”

— „Lalu bagaimana aku dapat menolong anakku ?”

— „ Begini Ko Tjiangkun, biarlah aku mendjatuhkan hukuman buang kepadanja Bila Liem Tjiong aku buang ke Tjhung Tjhiu Too maka perdjalananja akan melalui sebuah hutan, namanja Ya Tie Lim (Hutan Tjeleng) Hutan ini, amat lebat dan banjak sekali babi babi hutan jang ganas dan liar berkeliaran sepandjang perdjalanan itu, djarang jang bisa menjelamatkan djiwanja Maka Tjiangkun boleh membawa istri Liem Tj ong untuk putramu. Dan aku sebagai pelaksana hukum tidak dapat dipersalahkan lagi bukan ?”

Ko Kiu merem merem melek mendengar uraian sang Tee Kwan ini, kemudian ia meng-angguk2kan kepala dan berkata dengan suara parau;

„Baik, baik, itu suatu djalan jang.....eng.... eng ... aku nanti suruh 2 algodjoku untuk mengawal perdjalanannja. Biarlah algodjo2ku nanti menghabiskan djiawanja dihutan Ya Tie Liem.

Sang Tee Kwan berdiri dan mohon diri, sebelum ia meninggalkan Markas besar Pek Hoo Tong, masih ia berkata beberapa patah lagi: Ko Tjiangkun, bila kau menjuruh algodjo²mu menghabisi djiwa Liem Tjiong, benar² kau harus menutup rahasia ini, Bila tidak? Aku chawatirkan musnahnja keturunanmu ber-hati²lah. Nah aku mohon diri.“

Sepeninggal Tee Kwan, Ko Kiu lalu memanggil Kunsu (Penasehat pribadinja) untuk merundingkan hal Liem Tjiong jang akan dihabisi djiwanja didalam perdjalanan pembuangannja dihutan Ya Tie Liem.

“Tjiangkun, aku usulkan Tang Kiauw dan Siek Pa sebagai pengawal Liem Tjiong, mereka adalah orang2 kepertjajaan kita jang dapat diandelkan, dan lagi memiliki Bugee jang lumajan.“

“Baik, baik, aku nanti perintah mereka Kunsu baik kau mempersiapkan perbekalan. dan beaja untuk mereka.”

“Baik, Ko Tjiangkun selesai aku mempersiapkan segalanja, aku akan segera mengikkut ajalannja sidang.“

“Ja, ja itu memang benar, sehingga aku dapat mengetahui apa jang telah didjalankan dipersidangan itu. Dan tjatat betul², kapan keberangkatan Liem Tjiong itu.“

“Baik baik, Tjiangkun aku mohon diri.“ Dalam pada itu, sang Tee Kwan jang telah mengetahui dengan djelas permasalahan Liem Tjiong ini, mendjadi agak risau hatinja.

Ia berfikir, alangkah sukaruja kedudukanku sebagai pelaksana hukum. Baru kali ini aku menghadapi persoalan jang pelik, semoga tidak botjor............

Sore hari, sekitar djam 16 00. Sidang dimulai untuk kedua kalinja, didalam memutuskan perkara Liem Tjiong.

Dalam persidangan kali ini, agak banjaklan orang2 jang hadir untuk menjaksikan djalannja sidang Dimana nampak pula penasehat pribadi Ko Kiu jang duduk ditempat jang terdepan.

Muntjullah Liem Tjiong sebagai persakitan kedalam sidang itu, walaupun telah 2 hari meringkuk dalam tahanan dan mengalami siksaan² namun badannja jang kuat dan gagah itu tetap tegap dan keren.

Mulailah sang Tjayhu (Sekretaris) jang bertindak sebagai pengatjara memulai membatjakan proses verbal. Para hadirin mendengarkan dengan penuh perhatian.

Barulah sang Tee Kwan menimbang dan memberikan pertimbangan, sebelum memutus kan perkara ;

„Liem Tjiong, sudah djelas akan kesalahanmu, kau tanpa perintah dari atasan telah berani bertindak lantjang. Memasuki, Markas dengan membawa pedang hal ini telah djelas melanggar peraturan kemiliteran.

Maka setelah mempeladjari dan menimbang-nimbang Peradilan akan memberikan putusan sebagai berikut :

  1. Sedjak hari ini kau dipetjat dari djabatanmu sebagai Komandan keamanan kota Tongkhia seljara tidak hormat.
  2. Didjatuhi hukuman buang kekota Tjnung Tihiu Too untuk djangka waktu 5 tahun
  3. Dirangket dengan pukulan rotan 20 kali.
  4. Dimukamu akan ditandai dengan tjatjanan udjung pedang, sebagai bukti kesalahanmu.

Nah, Liem Tjiong adakah kata? sanggahaan dari kamu, Sebelum putusan ini didjatuhkan?” Liem Tjiong benar² tidak berdaja, sungguh tidak disangka-sangka bahwa pedang pusaka jang dimiliknja itu, tidak menuntun kehidupannja kearah djalan jang sempurna, bahkan kebalikannja membawanja kedjalan penderi- taan jang penuh duka nestapa................,

Liem Tjiong dengan suara dalam penuh menahan perasaan ; "Ja, aku menerima segala putusan ini karena aku tidak dapat mengadjukan saksi²......... Baiklah Tee kwan segera melaksanakan hukuman ini padaku.

Hanja aku mohon supaja keluargaku diberi tahu akan hal ini !” Sang Tee Kwan bagaimanapun djuga tergetar hatinja karena terharu.

Palu sidang dipukulkan keatas medja, tanda putusan peradilan telah diputuskan. Tjayhu menulis segala putusan dan djalannja sidang untuk dilaporkan kepusat. Dan 2 lagodjo segera membawa pentungan2 rotan untuk melaksanakan hukuman rangket. Tee Kwan lalu mengutus pesuruhnja untuk menjampaikan hal ini pada keluarga Liem Tjiong.

Penasehat pribadi Ko Kiu, amat puas mengikuti djalannja sidang ini. Selesai mendengarkan keputusan2 dari sang Tee Kwan, tjepat-tjepat ia pulang dan masuk kedalam Markas untuk memberikan laporan pada Ko Kiu.

„Esok hari itu adalah hari keberangkatannja Liem Tjiong untuk mendjalankan hukuman buang kekota. Tjbung Tjhiu Too. Hendaknja Ko Tjiangkun malam ini djuga memanggil Tang Kiauw dan Siek Pa. untuk berunding dan berdamai.“

Ko Kiu bertjekat hatinja, ia tidak menduga bahwa djalannja peradilan ini akan demikian tjepat. Ja lalu bergegas memanggil pesuruh kesetiaannja untuk menjari Tang Kiauw dan Siek Pa.

Tang Kiauw dan Siek Pa ini sebenarnja adalah polisi² atau opas jang bertugas didalam kota Tongking. Karena kegemarannja mabuk²an, maka sudah puluhan tahun lamanja ia bertugas sebagai polisi, tidak pernah dinaikkan pangkatnja. Maka tidak heran demi untuk mentjukupi kebutuhan keluarganja, seringkali mereka mau diberi tugas apapun, asal ada keuntungan......

Kali ini pesuruh Ko Kiu itu mengundangnja maka Tangkiauw dan Siek Pa jang sedang mondar mandir meronda didalam kota Tongking, segera meninggalkan tugasnja, dan buru² mengikuti pesuruh Ko Kiu itu untuk datang ke Markas Pek Hoo Tong. Mereka berpikir, . . . . pasti ada sesuatu tugas jang me nguntungkan baginja. Tiba didalam Markas, nampak Ko Kiu telah lama menanti. Dihadapannja disadjikan bebepa tjawan arak wangi dan makanan jang enak².

”Duduk, duduk, aku telah lama menantimu. Haha.... hahaaa.....

”Ada apakah Ko Tjiangkun mengundang kami kemari ? Adakah kelalaian² jang hamba lakukan?" Tang Kiauw bertanja dengan penuh prihatin, takut kalau mendapat tegur karena pekerdjaannja. Ko Kiu bahkan tertawa ter-bahak²,.........

”Aku mengundang kalian kemari bukan untuk memarahimu, tetapi ada sesuatu tugas jang amat penting jang harus kalian djalankan ” Tugas apakah itu, Ko lay Djin ? ” tanja Siek Pa.

“ Begini, kalau kalian berhasil mendjalankan tugas ni Masing2 akan manerima 100 tail, dan begitu kalian bersedia, kami akan memberikan masing2 uang muka 50 tail. Hehe.... heh... bagaimana?" Tang Kiauw dan Siek Pa heran sekali, sebab upah kali ini dipandangnja amat bagus. Tetapi mereka masih bingung karena belum diberikan, tugas apakah jang harus mereka djalankan.

Ko Kiu dapat mengerti apa jang dipikirkan oleh opas kelaparan ini.

Katanja dengan bersungguh-sungguh :

Tugasmu adalah mengawal seorang pendjahat jang bernama Liem Tjong, jang akan mendjalankan hukuman buang kekota Tjhung Tjhiu Too Klian harus mengawal terus sampai tiba disuatu hutan jang bernama Ya Tie Lim, nah, disanalah kalian harus menghabisi djiwanja. Dan sebagai barang bukti, kalian harus membungkus kepala Liem Tjiong, untuk nantinja kami tukar dengan upah separohnja jang masih kami tahan, jakni masing2 menerima 50 tail lagi Hehheh...,heh bagaimana?"

Tang Kiauw kaget sekali, ia sebenarnja adalah seorang iang bernjali ketjil, maka buru² ia minta idjin untuk berdamai dulu dengan Siek Pa dirumah.

Ko Kiu mendjadi tjemas dan serba salah;

,.Baik, baik, kalian berunding dahulu,.. tetapi tugasmu untuk mengawal esok hari, harap kalian mempersiapkan perbekalan dan alat sendjata."

Tang Kiauw dan Siek Pa bergegas untuk meninggalken tempat itu. D'dalam perdjalanan, Tang Kiauw dan Siek Pa berunding:

„Siek Heng bagaimana pendapatmu tentang tugas jang dibebankan pada kita ? Aku agak chawatir, sebab Liem Karw Thao adalah seorang Hoohan jang berilmu tinggi, Salah² kita jang mendjadi korban

„Tetapi Tang Heng, aku sanggup mendjalankan tugas itu Nami kita dapat menggunakan taktik membunun Liem Tjiong. Ketika jang sebaik ini djangan dilewatkan, sebab kapan kita bisa memperoleh harta jang sedemikian banjaknja ? Walaupun kita mengumpulkan gadjih tiap bulan, belum tentu dalam 5 tahun akan terkumpul 100 tail, ..., baik Tang Heng bekerdja sama denganku bagaimana ?“

Siek Pa jang memang mata duitan segera menjanggupi tugas untuk membunuh Liem Tjieng. Lain halnja dengan Tang Kiauw jang masih ragu, karena mengingat keluarga, hari depan dan kemampuan untuk duel dengan Liem Tjiong, ia jang gagah itu dapat memutuskan ran ai² jang mengikat ditubutnja dan melawan.....Malihat rekannja masih penuh dengan kebimbangan, Siek Pa membudjuk lagi :

„Tang Heng djangan terlalu berketjil hati, uang sebanjak itu dapat untuk mendjamin kita dinari tua. Kudjelaskan siasatku untuk membunuh Liem Tjiong, dengarkan !

Kita memang tidak ungkulan melawan Liem Tjiong jang gagah itu, tetapi bukankah dia terbelenggu dengan kuatnja ? Bila nanti telah sampai dihutan Ya Tie Lim, aku akan masak air jang mendidih untuk menjiram tubuh dan melemahkan segala kekuatannja, dengan demikian amat mudah kita untuk meng habisi djiwanja, seperti membalik tapak tangan sadja. . ., hahahhaa..............“

Mendengar budjukan kawannja ini, tergerak ajuga hati Tang Kiauw. Ia membajangkan untuk lekas mendjadi kaja raja, dengan upah sebanjak 100 tail. Maka achirnja ia menjanggupi djuga adjakan kawannja ini.

„Baik, baik, aku ikut serta denganmu Siek Heng, besok aku samper kerumahmu, nah, aku pulang kerumah dulu untuk berpamit pada anak istriku, sekalian mempersiapkan perbekalan untuk besok”

Siek Pa tertawa dan melambaikan tangan pada kawannja. la sendiri dengan langkah lebar pulang kerumahnja.

Dalam pada itu, selama berhari²istri Liem Tjiong merasa sangat sedih dengan peristiwa jang menimpa suaminja. Ia menangis terus sampai lupa makan dan tidur. Pembantunja jang setia ikut pula berprihatin atas kemalangan jang menimpa madjikannja

"Siu Djim, aku tidak mengira bahwa Liem Koko akan mengalami tuduhan jang demikian hebat. . . .oh, sungguh aku tidak sang ka Besuk adalah hari keberangkatan Liem Koko untuk mendjalankan hukuman buang kekota Tjhung Tjhiu Too, baik kau malam ini djuga pergi kerumah Tiatia (Ajah) untuk menjampaikan kabar ini Djangan kau mampir² diperdjalanan, nah, berangkatlah ! "

" Liem Hudjin, aku akan menjampaikan berita ini pada Lopek segera, baik Liem Hudjin beristirahat dan djangan menangis terus. Bila Liem Hudjin menangis terus²an, nanti bi sa djatuh sakit. Baik berprihatin, semoga Liem Kauw Thao selamat didalam perdjalanannja. Nah. aku mohon diri untuk berangkat,“

Pelajan jang setia dari Liem Tjiong sege ra membawa surat dari istri Liem Tjiong untuk disampaikan kepada ajahnja. Esuk harinja, Liem Tjiong dengan dikawal oleh Tang Kiauw dan Siek Pa keluar dari rumah tahanan, untuk berangkat kepembu angan.

Pada saat itu tjuatja amat bagus, diangkasa nampak langit djernih dengan mega² biru jang bertebaran memenuhi tjakrawala, Daun pepohonan bergojang pelan² ditiup sang baju jang berhembus pagi hari, burung² berJontjat lonjatan di-ranting², sambil berki jau bersahut-sahutan. . . kesemuanja ini bagi Liem Tjiong. hanialah menambah kepedihan dalam hatinja. Betapa tidak? Ia seorang jang berdjiwa bersih, telah difitnah demikian kedji .............. dan kalau memikirkan akan istrinja, oh, sungguh amat memilukan, baru sadja ia melangsungkan perkawinannja baru sadja ia dapat mengetjan hidup serba keruku- nan jang membahagiakan...............Tetapi kesemuanja itu se akan2 hanjalah kilat jang berkelebat, tiepat nian berlalunja........... al ..... sungguh malang nasibku ini.

Demikian Hoohan kita berdjalan dengan tubuh lemas. linglung dan tidak bertenaga. Kaki tangan L'em Tjiong dirantai dengan kokoh, dilenernja dipasangkan ra an untuk memborgol leheinja Tang Kiauw dan Siek Pa mengiringkan dari belakang. Kedua opasbitu berdjalan sambil ber-tjakap?.....

Pagi hari itu, dialan raja masih sepi Orang² jang berlalu lalang baru satu dua. Maka iring-iringan Liem Tjiong ini dapat berdjalan dengan leluasa Belum beberapa djauh nampaklah seorang pesuruh Ko Kiu jang datang menghampiri. Ia menemui 2 opas itu dan berbisik-bisik, kemudian menjodorkan sebuah bungkusan. Liem Tjiong ikut merandek dan mengawasi mereka dengan penuh tanda tanja

Ia melihat 2 opas itu meng-angguk2kan kepala dan menerima bungkusan itu. Kesemuanja ini membikin Liem Tjiong bertjuriga,........... rentiana apakah jang mereka akan lakukan atas diriku ?

Benar2 penguasa sekarang ini bertindak sewenang2 terhadap rakjatnja............

Sepeninggal pesuruh Ko Kiu, bergerak lagi iringan Liem Tjiong dan dua pengawal Makin lama makin terasa berat rantai 2 jang menggantungi tubuh dan kaki² Liem Tjong. Siek Pa berbisik pada Tang Kiauw:

„Tang Heng, uang dikantong ini sebanjak 200 tail, masing² kita memperoleh 100 tail Dan bila kita berhasil membunuh Liem Tjiong, kita akan mendapatkan lagi masing² 100 tail. Upahnja telah dinaikkan 100 persen, maka kita harus mendjalankan tugas ini se-baik2nja."

— „Oh, djadi upahnja ditambah satu kali lipat? Siek Heng, kita barus ber-hati², siapa tahu ada kawanoja jang menguntit perdjalanan kita ini."

— „Haha...... hahahaa engkau takut dengan bajanganmu sendiri, mana ada kambratnja jang usilan, tjari penjakit sadja.”

Belum rombongan ini mentjapai pintu batas kota, dari arah depan ada seorang tua jang menjongsong, dialannja amat jepat.

Setelah datang dekat. ternjata orang tua itu adalah ajah mertua Liem Tjiong. Bapak mertua merangkul anak menantunja dan menagis sesenggukan :

Liem Tjiong, Tia tidak mengira kalau kau mendapat halangan jang demikian hebat. Siapakah jang menuduhmu sebagai seorang pembunuh ? Biadab betul orang itu, benar? tidak punja Liangsim orang itu pasti hewan jang berkulit manusia" Liem Tjiong meneteskan air mata, karena amat terharu melinat ketjiniaan ajah mertuanja terhadap dirinja, katanja dengan lirih :

"Tiatia, baik Tiatia menahan kesemuanja ini, djangau Tiatia terlalu menguatirkan diriku. Pemfitnah itu adalah Ko Tjiangkun, maka aku tidak berdaja menghadapinja. . ......"

Mertua Liem Tjiong terkedjut sekali mendengar nama Ko Tjangkun, seorang komandan Kim le Wee jang sangat berpengaruh saat ini. Pantas anaknja manda sadja mengalami nasib jang sedemikian

" Ja, ja, anakku Tiatia memberimu selamat djalan dan semoga Thian melindungi dirimu. Aku akan membawa istrimu kerumah supaja ada jang melindungi.

" Tiatia, bila Moymoy berkehendak untuk berumah tangga lagi, aku merelakan dan memberikan hak sepenuh-penuhnja kepadanja. Sebab hukumanku ini amat lama, 5 tahun.. ja. 5 tahun. " Suara Liem Tjiong makin dalam dan parau karena menekan perasaan.

" Anakku tidakusah banjak berpikir jang bukan², Tiatia masih punja sawah ladang, peng hasilannja tjukup untuk makan kita bertiga,..... djangan chawatirkan kami.“ Sedang ajah mertua dan anak menantu ber-tjakap², datanglah istri Liem Tjiong jang da tang membawakan beberapa pakaian dan perbekalan.

Begitu sampai, segera menubruk tubuh Liem Tjiong dan menanggis se-djadi²nja.

“Liem Koko, kau... kau... oh....”

“Moymoy, djangan terlalu bersedih, aku dapat mendjaga diriku. Memang berat rasanja perpisahan denganmu putusan peradilan ini tak dapat kubantah, sebab²nja aku tak dapat mengadjukan 2 orang saksi, pengantar surat undangan ini Moymoy bila ada keinginanmu untuk berumah tangga lagi, Koko merelakan dengan ketulusan dan keichlasan Supaja tidak memberatkan pikiran dan kenidupanmu, kau masih muda dan bari depanmu masin tjemerlang Koko belum dapat menentukan kapan dapat kembali kekampung halaman ini lagi.........

Baik Moymoy mentjari tempat untuk bersandar, dan orang jang baik sebagai andelan .“

„Liem Koko, oh..... oh.... oh sampai kapanpun Moymoy akan tetap setia menantimu Djangan Koko berprasangka jang bukan²........ Sedikitpun Moymoy tidak menjesal bersuamikan kau, bahkan Moymoy merasa bangga dan bahagia, karena kau berdjiwa djantan dan berhati putih bersih... Koko sampai matipun aku akan tetap bersamamu”

„Liem Tjiong, Tiatia masih tjukup kuat untuk memelihara Moymoy dan ibunja, djangan kau berkata kata demikian. Pertjajalah akan kesetiaan putriku. Kami akan berprihatin dan menunggu sampai kau bebas dan pulang kembali kekampung halaman. Dapat kita hidup berkumpul kembali dan melandjutkan perdjoangan hidup demi keturunan kita jang mendatang...........“

„Tiatia, djangan sampai memberatkan beban Tiatia, aku bukan bermaksud mentjeraikan Moymoy, hanja kasihan akan hari depannja.“

1stri Liem Tjiong menangis terguguk-guguk, sampai tidak mampu mengeluarkan kata². Liem Tjiong mendekati kekasihnja dan dengan suara saju jang memilukan memberikan hiburan:

Moymoy, tabahkanlah hati, kuatkan tekadmu. Kita harus melihat kenjataan, djangan bimbang dan takut didalam menghadapi udjian hidup ini. Aku bukannja akan meninggalkan kau dan menjirihkanmu tetapi.... tetapi.......memberi kebebasan untuk hari depanmu. Kau masih muda belia, penantianmu akan begitu lama..........5 tahun..... adikku.......5 tahun....” Liem Tjiong lalu meminta Tang Kiauw membelikan sebatang Pit (Pena Tionghoa, terbuat dari batang bambu sebagai tangkainja, diudjungnja bulu babi ) dan selembar kertas. Kebetulan pagi hari itu sudah ada beberapa warung jang buka. Maka tidak sukarlah untuk membeli barang² ini.

Setelah Liem Tjióng menerima apa jang perlukan, segera ia menulis surat untuk dititinggalkan pada istrinja .....

Kupersembahkan untuk adikku
jang tersajang Moymoy


Adikku, karena aku mendjalani hukuman
buang selama 5 tahun, mungkin lebih.
Maka demi hari depanmu Koko merelakan
dengan ketulusan hati padamu.
Bila ada oraug lain jang berkenan dihati-
mu, kuidjinkan untuk kau bersandar.
Koko hanja memudjikan semoga kau berba-
hagia selalu. !
Selamat tinggal Koko utjapkan.

Kokomu,
Liem Tjiong.

Setelah itu dilipat diangsurkan pada istrinja. Tatkala istri Liem 1jiong membuka dan membatja isi surat itu, seketika wadjahnja mendjadi putjat, ubunnja linglung. ia berteriak menjajatkan dan dja:uh pingsan.

Ajah mertua Liem Tjiong buru² menuhruk dan merangkul putrinja jang telah tak sadarkan diri itu,

Melihat ini Liem Tjiong bagaimanapun djuga tak tega untuk meninggalkan, ia berdjongkok dan ikut menitikkan air mata.

“ Moymoy, Liem Tjiong bukannja akan mentjeraikanmu, hanjalah memberimu kebebasan. Kau boleh menurut dan boleh djuga menentangnja. Bila kau tetap setia anakku, tidak ada halanganja pula untuk kau menantinja. Liem Tjiong bukan akan meninggalkanmu setjara kedjam... banja memberi kebebesan.

” Moymoy, moymoy... . aku mohon maaf akan kata2ku dalam surat itu. Moy, djangan salah mengerti, aku bukan akan menjisihkanmu..... Bila memang demikian tekad hatimu, aku akan berdjuang sampai dapat berkumpul lagi denganmu, bangunlah adik, d angan kau bikin hatiku pedih. . . . moy moy...“

Ajah mertuanja mengurut-urut putrinja jang nakin kalap tak sadarkan diri ini.

Liem Tiiong bagaimanapun djuga tak tega batinja, melihat sang kekasih menderita batin demikian hebat la berkata dengan suara jang dalam karena menahan perasaan :

— „Moymoy moy, aku pasti kembali dan berkumpul lagi denganmu, Moymoy,.... aku tak akan dapat meninggalkanmu dalam keadaan demikian, kuatkanlah hatimu, aku pasti kembali “

Se-akan² suara Liem Tjiong ini menembus kebenak sang kekasih, mulailah ia menggerak-gerakkan tubuhnja, dan sekilas terbukalah matanja.

— „Koko, kako....., aku relakan kau pergi untuk mendjalankan hukuman buang, namun djangan koko sekali2 berkata memberi kebebasan untukku. Aku akan tetap menunggu walau apapun terdjadi ....... ia, aku do'akan koko semoga kau lekas menemukan kemerdekaanmu kembali.........“

— ,Liem Tjiong. tenanglah dalam perdjalananmu, ingatlah anakku bahwa didalam dunia ini siapa jang berbuat djahat pasti akan memetik hasil perbuatannja; ketahuilah bahwa putriku adalah seorang desa, tetapi berhati putih bersih. tidak nanti ia mau mentjari pengganti didalam hidupnja. Hanja kau Liem Tjiong satu2nja jang berkenan dihatinja.“

Liem Tjiong amat menjesal akan apa jang telah terdjadi bukan maksudnja untuk melukai hati sang kekasih. Tetapi tanjalah kasihan melibat hari depannja .......

— „Tiatia, erimakasih, aku mohon diri, semoga Tiatia seh it2 selalu, sehingga dapat memberikan perlindungan pada Moymoy,-

Moymoy, djangan bersedih lagi, patuhilah nasehat Tiatia. Kalau engkau bergirang, Tiatia akan ikut berbahagia Nah, Moymoy selamat tinggal, Tiatia selamat tinggal.... sampai berdjumpa .....” Liem Tjiong menganggukkan kepala tanda memberi hormatnja pada sang ajah dan kekasihnja. Ia tak dapat Kiongtjhiu karena tangan dan lehernja diborgol dengan kuat.

”Liem Koko, . . . kuatkan hatimu, aku akan selalu menantimu. Djangan chawatirkan kami, kami dapat membawa diri baik². “

“Liem Tjiong, ber-hati2lah nak. dalam perdjalananmu, ajah memberi sangu, selamat..... selamat ....” Berangkatlah iring²an Liem Tjiong dan 2 pengawalnja untuk menudju kekota Tjhung Tjhiu Too Bertiga mereka djalan tanpa menoleh-noleh lagi, makin lama bajangan mereka makin ketjil gan kian kabur.. ... Ajah mertua Liem 1jiong memapah putrinja untuk diadjak julang kembali kerumah, untuk berkumpul dengan ibunja lagi.

Den ikianlah perpisahan jang mengharukan antara Liem Tjiong dan istrinja jang tertjinta. Betapa tak terduga bentjana telah menimpa kehidupannja. Bukankah mereka sedang gembiranja menikmati kehidupan rumah tangga baharu, sedang teisemangat nerantjang hari depannja. Berusaha untuk mendjadi suami istri jang rukun dan berbahagia. Tetapi memang didunia ini, kadang2 perubalannja amat tjepat, sebagaimana jang mengatakan :

” Time and Tice wait for 10 man! ” „Ja, memang sebenarnjalah, bahwasanja pasang dan surut itu tidak menantikan manusia Waktu terus berlalu, dan dialam maya ini tidak ada sesuatupun jang kekal dan abadi, semuanja serba berubah dan berganti, sebagaimana air sungai jang selalu mengalir, sang baju selalu bertiup ......

Demikian pula kehidupan manusia, selalu berubah-ubah, kadang2 bahagia, tetapi ada kalanja pula berduka dan menderita........ Udjar sang Khongiju :

„ Djit, djit sin. . . . Hari hari serba baharu ......

Rombongan Liem Tjiong, Siek Pa dan Tang Kiauw itu, terus berdjalan kaki Maкlum pada djaman itu, orang2 jang didjatuhi hukuman buang, tidak pernah dinaikkan, kendaraan harus ditempuhnja dengan berdjalan kaki. Walaupun djaraknja itu beratus Km djauhnja

Mereka berdjalan pada pagi hari sampai petang, dan malam harinja menijari penginapan untuk beristirahat, untuk keesokkan harinja melandjutkan pe djalanannja pula.

Ber-hari² mereka djalan, tanpa mengenal lelah, sebab kola Tihing Tjniu Too harus ditempuhnia dalam waktu 10 hari. Bila tidak maka petugas pengawalan itu akan mendapatkan hukuman rangket.

Tetapi kali ini 2 pengawal itu tidak chawatir akan terlambatnji sang waktu, karena mereka kali ini bertugas setjara istimewa Mika djalannja seenaknja sadja, bila mendjumpai warung, mereka berhenti untuk mentjari makanan dan minum arak, kalau lelabnja agak hilang barulah melardjutkan perdjalanannja lagi.

Tidak heran kalau iring-iringan ini sudah berdjalan satu minggu lamanja baru sampai didepan hutan Tjeleng atau Ya Tie Lim.

Siek Pa sangat girang batinja, ia mendekati Tang Kiauw dan ber- bisik². Mereka lalu membawa Liem Tjiong kesebuah penginapan jang besar.

Jang mernakai papan merek “HOTEL TAY SONG” dengan huruf besar tinta mas.

Setelah memesan sebuah kamar dan beberapa makanan lalu pemilik hotel itu memanggil seorang katjung untuk mengantarkan tamu²nja ini.

Kamar jang dipesan adalah sebuah kamar jang tempatnja dibawah, dan letaknja jang belakang, paling dekat kamar mandi dan kebun bunga

Kuntji pintu kamar itu dibukakan, kemudian katjung itu mempersilahkan tamu²nja masuk untuk beristirahat.

— „Silahkan, Toaya beristirahat. sebentar lagi daharan jang tuan pesan kami kirim. Bila ada keperluan apa2 panggil sadja saja. Namaku A Tong.“

— „Baik, baik. A Tong tolong pindjamkan aku sebuah pantji besar dan sediakan air panas untuk kami mandi. Hawa udara disini sangat dingin, maka kami perlu mandi dengan air hangat. Nih, 2 tail untukmu !”

A Tong sangat kegirangan melibat tamu tamunja bersifat rojal dan main persen. Ia membungkuk dan menerima uang itu

— „Baik, Toaja menanti sebentar. Aku akan kedapur memasak air.“

— „Ja, ja. agak jepatan sedikit, hari telah hampir malam.“

Demikian Siek Pa telah merentjanakan untuk menjaram tubuh Liem 1jiong dengan air mendidih sebelum memasuki hutan Ya Tie Lim esok hari Dengan demikian akan mempermudah djalannja pembunuhan. Tang Kiauw disuruhnja membuka segotji arak wangi dan disodorkan beberapa tjawan kepada Liem Tjiong;

Liem Kauw Thao, besuk kita telah memasuki sebuah hutan jang amat luas, namanja Ya Tie Lim. Didalam hutan itu tidak ada seorangpun jang berdiam, maka tidak akan kita djumpai warung2, arak, selama kurang lebih 5 hari. Maka malam ini baiklah kita mengadakan pesta makan dan minum sepuas²nja. Hajo djangan sungkan2, anggaplah kita kawan sendiri, hehe, heheh,......”

Liem Tjiong tanpa tjuriga ikut makan minum se-puas2nja. Hal ini sangat menggirangkan hati Siek Pa dan Tang Kiauw, sebab memang keinginannja untuk meloloh arak sebanjaknja pada Liem Tjiong supaja mabuk. ” Hajo, Liem Kauw Thao, tambah lagi. Besuk kita tidak bisa seperti sekarang ini. Jang kita temui sepandjang djalan hanjalah pepohonan, batu2 terdjal dan babi² hutan jang ganas, ular2 berbisa, sesekali harimau. Maka kita harus menghimpun tenaga malam ini setjukupnja. Hahabaaa.... ha....”

Sedang mereka asjik dengan makan minum, masuklah A Tong jang memberitahukan bahwa air jang dimasak telah mendidih.

“ Toaya, airnja telah medidih, apakah kami bawa sekali kadalam kamar mandi ?

“ Ja, ja, kami segera bergilir untuk mandi.”

Siek Pa lalu memberi kode pada Tang Kiauw dan Tang Kiauw pun segera melolon lagi arak pada Liem Tjiong supaja lupa diri Karena Liem Tjiong terlalu banjak meneguk arak maka lama kelamaan ia mendja di mabuk, wadjahnja mendjadi merah membara. matanja kabur dan mulailah ia menjanji dan ber-kata² tak karuan

Melihat jang diintjer telah tak sadar akan dirinja, segera Siek På dan Tang Kiauw membawanja kedalam kamar mandi.

— „Liem Kauw Thao kau boleh mandi malam hari ini dengan air hangat sebab besok sudah tidak ada lagi kesempatan untuk mandi seperti hari ini.“

Tubuh Liem Tjiong lalu dipaksa dan didorong masuk kedalam ember besar jang berisi air mendidih itu. Kontan sadja seluruh tubuhnja melepuh dan amat sakit. Liem Tjiong sadar dan merintih kesakitan :

„ Heija, heija, mengapa kalian menggodokku? Hei, djangan bermain gila terhadapku? Kau kunjuk2 jang tak berpikir seperti manusia, hanja karena suapan, kau mau diperalar untuk menjiksa dan akan membunuhku bukan? Bangsat kurijatji, iblis laknat, kalian sadis, manusia jang berdjiwa binatang!”

Liem Tjiong lontjat dari dalam ember itu, namun sekudjur badannja telah melepuh dan luka², hilanglah segala kekuatannja, sampaipun berdjalan sadja hampir tidak mampu. Ia merambat pelan² kembali kekamar

Siek Pa dan Tang Kiauw sesaat tak dapat berbuat apa2, mereka tertegun melihat kedjadian ini. Mereka djuga tertusuk dengan kata² Liem Tjiong jang se-akan2 mengingatkannja untuk berdjalan ke Djalan jang BENAR!

Ribut² ini menimbulkan tamu2 jang lain pada melongok dan ada jang bertanja.

” Ada apa ribut? ? Adakan kalian berhantam ? ” Tang Kiauw bergagap ga ap memberikan djawaban :

”Oh, tidak apa, tidak ada apa²...”

”Aku mendengar keluhan kesakitan dari dalam kamar mandi. Siapa jang berkelahi, adakah terluka ? ” tanja salah seorang tamu hotel lagi.

”On. itu adalah kawanku jang sedang mabuk, karena terlalu banjak, minum susu matjan. Ia mandi sambil mengotjeh tak karuan. “ Djawab Siek Pa membohong.

Terdengar beberapa tamu hotel itu tertawa, mendengar djawaban Siek Pa ini. Memang sudah lazım didalam hotel ini, orang terlalu banjak minum arak dan mabuk. Maka semuanja tak memperdulikan lagi.

Dalam pada itu Liem Tjiong benar² menderita amat hebat, seluruh kulit2 ditubuhnja melepuh dan ada jang terkelupas. Semalam ia tidak dapat memedjamkan mata, karena untuk miring kemanapun dirasanja sakit. Semalam ia merintih dan sangat berduka, wadjahnja jang tampan kini mendjadi bengap dan melepuh, rambutnja kusut dan matanja tjekung.

Ja, siksaan atas diri Liem Tjiong ini memang sangat kedji dan tidak berkemanusiaan Banjak sudan tjontoh teladan didalam dunia ini, seperti kata² mutiara:

” Semut mati digula, kumbang mati dimadu, dan manusia mati karena lupa diri! Tang Kiauw dan Siek Pa telah lupa pada dirinja, karena upah jang besar. Mereka telah memilih dialan sesat, karena mengedjar keuntungan pribadi tanpa mengingat lagi rasa kemanusiaan. Mereka telah lupa pada Tuhannja, lupa sega la-galanja, karena uang. harta, keuntungan Namun bila nanti mereka tertumbuk pada batu karang, ngunduh woaing pakarti, ja ja, baru mereka sadar akan dirinja!

Dalam bahasa djawa :

”Katjentoking pantja baja, ubajane hambalendjani.

Bila menemui marabahaja, baru mereka terkedjut dan geragapan karena tak terkira bisa menimpa dirinja.

Keesokan harinja, sebelum matahari terbit. Siek Pa dan Tang Kiuw telah menemui pemilik hotel untuk membajar uang penginapan dan makanan semalam, la buru² mengiring Liem Tjiong meninggalkan hotel itu. Mengapa mereka tergesa-gesa berangkat dan tidak menantikan terangnja tanah? Tidak lain karena chawatir diketahui oleh tamu² hotel akan perbuatannja terhadap Liem Tjiong. Bukankah perbuatannja itu melanggar hukum. Suatu penganiajaan jang tidak mengenal prikemanusiaan.

Maka dipagi buta, dimana hawa udara masih dingin menggigilkan, mereka memaksa Liem Tjong untuk berdjalan memasuki hutan Ya Tie Lim jang lebat dan seram itu.

Djalannja Liem Tjong terseok-seok, karena tapak kakinjapun melepuh dan berair, 2 opas itu terpaksa memapahnja untuk membantu berdjalan.

Ketiga orang itu bertepatan dengan muntjulnja sang mentari diufuk Timer, sampailah pula mereka dihutan jang lebat itu. Siek Pa meneliti perdjalanan ia melihat bekas² tapak kaki orang² jang melalui hutan itu. Setelah diurutkan merupakan sebuah lorong ketjil jang pandjang. Ia lalu menggapai Tang Kiauw dan Liem Tjiong :

„Inilah djalan jang menudju kota Tjhung Tjhiu Too, kalau kita berdjalan agak tjepat, 6 hari lagi kita akan sampai ketudjuan Hajo, empos semangatmu Liem Kauw Thao, supaja tugas kita tjepat selesai !”

Kembali mereka berdjalan sambil memapah Liem Tjiong memasuki hutan Ya Tie-Lim. Hutan ini memang sangat lebat dan luas. Potion2nja tinggi², sehingga setelah masuk kedalam hutan itu, sukar untuk dapat melihat sinar matahari. Djalannja merupakan tanah lembab, bila tidak ber-hati²akan tergelintjir. Sepandjang djalan banjak dikedjutkan dengan binatang2 jang berlarian setjara mendadak, seperti ular, landak, kera, luak, burung2 hutan dan sesekali babi hutan jang lari serabutan

Kesemuania ini membikin hati Siek Pa daň Tang Kiauw agak tjemas dan berchawatir,

Setelah berdjalan kurang lebih 3 djam, sekudjur badan telan bermandikan keringat, badju2 telan mendjadi lepek dan berbau asam Liem Ijiong sendiri mendjadi pujat pasi, karena sepandjang djalan menahan rasa sakit jang tak terhingga.

Siek Pa lalu memerintahkan Lien Tjiong beristirahat dibawaa scoatang pohon jang besar.

 „Kau boleh menunggu disini, karena persediaan air kami habis.

Djangan lari Liem Kauw Thao, supaja kita tidak mendapatkan kesukaran. Liem Tjiong mendjatuhkan dirinja dirumput-rumput, ia mendjawab dengan nada sengit :

 ” Aku bukan manusia rendah, tidak nanti aku melarikan diri. Kalau aku mau, sebenarnja kalian bukan lawanku, aku bisa memutuskan rantai2 ini dan membunuhmu. ”

Siek Pa dan Tang Kiauw mendjadi mendongkol, mereka lalu meninggalkan Liem Tjiong dan pura² mentjari air minum.

Setelah berdjalan agak djauh, Siek Pa mendekati Tang Kiauw ;

 ” Tang Heng, saatnjalah untuk kita bertindak, kita harus djalan memutar, sehingga Liem Tjiong tidak mengetahui kita berdua. Dari arah belakanglah kita Latam kepalanja, nanti aku jang menabas lehernja. Sebab kepala Liem Tjiong berharga untuk kita menagih upah jang separuhnja.”

 ” Apakah ada lain orang didalam hutan ini, Siek Heng ? ” Tang Kiauw agak ketakutan sebab ia memang bernjali ketjil.

 ” Djangan mimpi, dipagi hari ini, mana ada orang jang berani memasuki hutan Ya Tie Lim ini. Hajo, djangan lewatkan saat jang sabaik ini Makin siang akan makin banjak orang jang berlalu lalang. Mumpung masih pagi, kita tjepat2 membereskan dan pulang ke Tongkhia.”

Keduanja lalu memutar, mereka djalan berendap-endap, untuk merunduk dan membunuh Liem Tjiong dari arah belakang.

Setelah tiba dibelakang Liem Tjiong Siek pa dan Tang Kiauw makin ber-hati² mereka berdjalan sambil berdjindjit, takut² kakinja menerbitkan suara dan diketahui Liem Tjiong.

Setelah djarak mereka dan Liem Tjiong tingal selangkah, mulailah Siek Pa memberi kode perintahkan pada Tang Kiauw untuk memukul kepala Liem Tjiong

Sambil memedjamkan mata, Tang Kiauw mengangkat rujung besinja tinggi². Dan Siek Pa meloloskan golok Pak Hong Toonja untuk siab menabas batang leher Liem Tjiong ....Dalam pada itu, tiba² angin bertiup amat kentjangnja, sehingga pohon² berkerojot daun² bergojang amat menakutkan. Se-akan² para sutji memperingatkan umatnja jang terantjam bahaja. Liem Tjiong jang mendeprok diatas rumput itu, sama sekali tidak mengetahui kalau dirinja sedang menghadapi sakaratul maut. Ia bahkan duduk sambil mengantuk.

Sebelum rujung besi itu mendjatuhi kepala Liem Tjiong. tiba² terdengar bentakan, suara itu amat njaring dan mengedjutkan, sehingga rujun Tang Kiauw djatuh ketanah:

“Hei, apa jang akan kau kerdjakan? Berani benar dengan dihadapan Tonyamu engkau akan melakukan pembunuhan!“

Siek Pa dan Tang Kiauw mendjadi ketakutan, mereka menoleh kearah suara itu, dan nampaklah seorang Hwee Sio tinggi besar lari mendatangi.