Lompat ke isi

Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB IV

U R A I A N


A. Buku Lakon
Adapun yang dimaksud dengan buku lakon, ialah yang dalam istilah pedalangan Jawa disebut pakem. Penulisan buku lakon wayang Cina - Jawa, dilakukan oleh Gan Thwan Sing sendiri. la menulis buku lakon dalam bahasa dan aksara Jawa. Penulisan buku lakon, mengikuti pola pakem pedalangan Jawa.
Lakon-lakon, bersumberkan folklore Cina kuna, Gan Thwan Sing memiliki perbendaharaan folklore Cina itu, dalam ingatannya. la memperoleh perbendaharaan folklore Cina kuna itu secara lisan melalui penceriteraan kakeknya, tatkala masih muda belia. Perbendaharaan folklore Cina kuna itulah yang digubahnya menjadi lakon-lakon wayang Cina - Jawa dan dituangkan ke dalam ·berbagai judul buku lakon.
Judul-judul lakon, ditulis menurut judul-judul aslinya (Hokkian). Namun ada yang diberi judul terjemahan (Jawa). Contoh : judul asi Thig Jing Nga Ha Ping She, diberi judul terjemahan Rabenipun Raja Thig Jing. Artinya : Pernikahan Raja Thig Jing.
Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis menurut nama-nama aslinya (Hokkian). Akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar dan lain-lain, sebagian terbesar mempergunakan istilah-istilah Jawa. Seperti; narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senopati, pandhita, brahmana, abdi, perajurit.
Susunan (organisasi buku) buku lakon, dalam garis besarnya mengikuti susunan pakem pedalangan Jawa. Berisi urutan adegan dari awal hingga akhir lakon. Dilengkapi dengan perincian yang dalam istilah-istilah pedalangan Jawa disebut :

1. Janturan - - - - - - - - - kombangan.
2. Suluk - - - - - - - - - sendhon - pathetan ada-ada.
3. Pocapan, ginem
4. Kandha, cariyos.

Baik janturan, suluk maupun kandha, seluruhnya mempergunakan idiom-idiom pedalangan (wayang kulit) Jawa. Juga cara membawakan janturan, suluk dan kandha, sama dengan cara membawakan para dalang (wayang kulit) Jawa di Yogyakarta. Demikian pula teks janturan, suluk dan kandha, hampir seluruhnya dikutip dari teks pakem pedalangan (wayang kulit) Jawa. Perbedaannya yang terutama terletak dalam penulisan nama-nama para tokoh wayang, negara, kerajaan, tempat, dan lain-lainnya. Dalam hal itu, Gan Thwan Sing bersusah payah untuk membuat reproduksi bunyi-bunyi huruf-huruf Cina setepat mungkin dengan huruf-huruf Jawa yang tersedia padanya[1].
Di bawah ini contoh dari sebagian teks janturan yang mengawali adegan pertama dalam setiap pertunjukan wayang kulit Jawa yang juga dikutip oleh Gan Thwan Sing.

"Swuh rep data pitana. Anenggih nagari pundi ta ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka marang sawiji, adi linuwih dasa sepuluh, purwakawitan. Sanadyan kathah titahing bathara ingkang kasangga prtiwi, kaungkulan ing akasa, kapit samodra laya, kathah ingkang samya anggana raras, nanging datan kadi nagara Tat Tan Kok. Mila kinarya bebukaning carita, ngupaya nagara satus datan antuk kalih, sewu tan jangkep sadasa, utawi wenganing rahsa Tat Tan Kok nyata panggenan pambuka. Dasar nagara panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah tur raharja. Panjang dawa pocapane, punjung luhur kawibawane, pasir samodra, wukir gunung. Pranyata nagara Tat Tan Kok kang ngungkuraken pagunungan, ngeringaken benawi, ngananaken pasabinan, mangku bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Gemah kang lumaku dagang layar rahinten dalu datan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning marga. Aripah, janma manca nagara ingkang samya bebara ing praja Tat Tan Kok, jejel pipit, aben cukit tepung taritis, pangrasa papan jembar satemah rupak katone labet saking arjaning praja. Karta, kawula padhusunan padha tentrem atine, mungkul ngennya ulah tetanen, mardi undhaking wulu pametu. Ingon-ingon kebo sapi tanpa cinancangan, pitik iwen tan ana kinandhangan, rahina aglar ana ing pangonan, gumantining ratri padha mulih marang prenahe dhewe-dhewe, datan ana cicir sajoga. Raharja, tebih ing parangmuka, dene para mantri bupati padha kontap kautamane ing parangmuka, wicaksana limpat ing kawruh sarta putus marang reh pengembating praja, tansah ambudi wuwuh-wuwuh kuncaraning praja". Berapa judul buku lakon yang ditulis Gan Thwan Sing, tidak diketahui secara pasti. Sebagian dari naskah-naskah buku lakon tulisan Gan Thwan Sing itu, sejak tahun 1968 telah dibeli oleh Dr. F. Seltmann. Beberapa judul telah dibuat deskripsinya oleh Dr.Th.C.Th. Pigeaud. Yaitu:
1. Li Shi mBin

2. Shik nJin Kwi

3. Hwi Lyong Thwan, Thyo Gong

4. Thig Jing Nga Ha Ping She

5. Hwang Kang[2]

Mungkin ada buku lakon tulisan Gan Thwan Sing, yang masih dipinjam oleh teman-temannya, tatkala ia meninggal dunia pada tahun 1966. Dr. F. Seltmann menduga, bahwa barangkali ketika Gan Thwan Sing menjual sekotak wayang Cina - Jawa kepada Museum Sana Budaya, serta disertai dengan beberapa judul buku lakon. Menurut keterangan Gani Lukito alias Gan Lian Kiem, putera Gan Thwan Sing, buku lakon yang masih ada tatkala Gan Thwan Sing meninggal dunia, semua dimusnahkan ke dalam peti mati untuk diperabukan bersama jenazah Gan Thwan Sing. Dari Gan Lian Kiem, diperoleh keterangan pula, bahwa beberapa judul buku lakon yang ditulis oleh Gan Thwan Sing, antara lain ialah :

- Siek Jin Kui Ceng Tan.

Menceriterakan tentang perjuangan seorang prajurit, Siek Jin Kui, semasa raja Lie Sim Bien/Lie Shih mBien. Di samping seorang prajurit wanita, Hwan Lee Hwa, yang akhirnya menjadi isteri Siek Jin Kui. Ceritera ini disadur dalam ketoprak yaitu Jaka Sudira, isterinya bernama Waryanti.

- Siek Jin Kui Ceng Se.

Menceriterakan perjuangan prajurit Siek Jin Kui yang diteruskan oleh keturunannya, yaitu anak dan cucunya; bernama Siek Teng San dan Siek Kong. Di dalam lakon ketoprak; Sucahyo.

- Thig Jing Ngo Ha Ping She.

Rabenipun Raja Thig Jing.

- Cap Pek Law Wan Ong.

Jenderal Cempaka, Kraman Wolulas = Pemberontakan delapan belas.
- Hong Kio lie Tan.
- Law Kim Ting.
- Seek Yu.
= Sang Prajaka.
- Pat Slan
= Delapan Dewa.
- Sam Kok
= Tiga negeri.

Dalam setiap pertunjukan, buku lakon memegang peranan penting, sebab berfungsi sebagai suatu "skenario" menurut istilah moderen. Para dalang harus terlebih dahulu secara cermat mempelajari buku lakon yang berisi lakon yang akan disajikan, sebelum ia melaksanakan tugasnya. Terutama bagi para dalang Jawa (R.M. Pardon atau R.M. Gandamastuti, Megarsemu, dan Pawiro Buwang) yang masih sulit untuk di luarkepala menghafal nama-nama Cina, ataupun mengucapkan nama-nama Cina itu dengan Iafal Jawa.
Namun dalam setiap pergelaran, para dalang itu, termasuk Gan Thwan Sing, bebas untuk secara "improvisasi." menyusun pocapan, ginem (dialog). Dalam membawakan janturan, suluk dan kandha, para dalang tidak mengalami suatu kesulitan, sebab tak berbeda dengan wayang kulit Jawa. Arti yang paling penting buku lakon dalam setiap pergelaran, ialah memberi pedoman kepada dalang agar penyajian ceritera harus selalu urut menurut adegan-adegan yang sudah tertulis. Dengan demikian, takkan terjadi penyimpangan yang dapat merubah jalan ceritera dari setiap lakon yang dipergelarkan.

B. D a la n g

Untuk menjadi seorang dalang wayang Cina - Jawa, diperlukan persyaratan yang sama dengan seorang dalang wayang kulit Jawa. Sebab cara dalang menyajikan wayang Cina - Jawa, tidak berbeda dengan cara dalang menyajikan wayang kulit Jawa. Kaidah-kaidah yang harus dipatuhi oleh seorang dalang wayang Cina - Jawa, sama dengan yang harus dipatuhi oleh seorang dalang wayang kulit Jawa.
Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh seorang dalang, ialah memiliki sepuluh macam kemampuan dalam hal-hal yang dengan istilah-istilah pedalangan Jawa, disebut :

26 Regu. Artinya, berwibawa dan penuh kepercayaan pada diri selama melaksanakan pertunjukan.

Terampil. Artinya, mampu memanjangkan atau memendekkan ceritera tanpa menyimpang dari pokok lakon. Mahir dalam membawakan janturan, suluk, pocapan,kandha. Cekatan mempergunakan cempala ageng, cempala japitan. Dan bila memperagakan tingkah laku wayang dalam semtia adegan, senantiasa tepat serta enak ditonton.

Tutut. Artinya, jika menyajikan lakon selalu rapi urutan adegan-adegannya sehingga jalan ceritera dengan mudah dapat diikuti oleh penonton.

Antawecana. Artinya, pengucapan harus mempunyai wama suara yang cocok dengan sifat, perwatakan, masing-masing tokoh wayang, jika membawakan Janturan harus seirama dengan pathetan, sendhon, ada-ada.

Greget. Artinya, mahir menggambarkan kemarahan tokoh-tokoh wayang.

Nges. Artinya, mahir menggambarkan kesedihan tokoh-tokoh wayang.

Sem. Artinya, mahir menggambarkan percintaan tokoh-tokoh wayang.

Cucut. Artinya, mahir menggambarkan lelucon atau banyolan.

Unggah-ungguh. Artinya, penggunaan bahasa selalu memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Yaitu yang dalam istilah-istilah bahasa Jawa disebut : ngoko, krama madya, krama inggil. Untuk tokoh dewa-dewi, mempergunakan bahasa tersendiri dengan istilah-istilah khas. Seperti : ulun, kita, dan lain-lain. Untuk pocapan (dialog) raja dengan patih dalam adegan di bangsal kraton, dipergunakan istilah-istilah khas menurut pakem pedalangan Mataraman. Seperti : Pekenira, menira, penapi, dan lain-lain. Jika memperagakan wayang, memperlihatkan sikap laku masirig-masing tokoh dengan

27

tepat. Misalnya, seorang patih jika menghadap raja, harus memberi

hormat dengan gerak sembah.

Renggep. Artinya, mampu mempergelarkan secara mantap terus-menerus (konsisten), sejak awal hingga akhir pergelaran.

Selain keharusan memiliki sepuluh macam kemampuan yang tersebut di atas, seorang dalang juga harus memenuhi kaidah-kaidah pedalangan. Antara lain, ialah :

  1. Tidak boleh merubah kerangka lakon (balunganing lampahan).
  2. Tidak boleh menyimpang dari jalan ceritera yang telah ditentukan dalam buku lakon (pakem).
  3. Tidak boleh bersikap sembrono dalam mengucapkan katakata, kalimat-kalimat yang dapat menyinggung perasaan para penonton atau sesuatu golongan masyarakat.
  4. Tidak boleh mempercepat pergelaran yang berakibat, pertunjukan telah berakhir sebelum waktunya (kebogelen).
  5. Tidak boleh mengulur-ulur pergelaran yang berakibat pertunjukan belum selesai meski hari telah menjelang fajar (karahinan).
  6. Dalang sudah harus berada di tempat, tepat pada waktu yang ditetapkan. Dan harus sudah memulai pergelaran pada waktu yang telah ditetapkan.
  7. Sikap duduk dalang, tak boleh berubah dari awal hingga akhir pertunjukan. Dan tidak boleh meninggalkan tempatnya hanya untuk hajat kecil.
  8. Dalang tak boleh terpancing oleh ejekan para penonton. Pula tak boleh mengurangi kesungguhannya jika para penonton hanya sedikit atau sebagian besar terdiri dari anak-anak.

Tradisi para dalang sebelum melaksanakan tugasnya, ialah mengucapkan mantra-mantra. Ada lima macam mantra yang secara tradisional diucapkan oleh seorang dalang. Mantra yang pertama, diucapkan di rumahnya pada saat ia akan berangkat ke tempat pertunjukan. Mantra itu merupakan perpaduan unsur-unsur non-Islam dengan unsur Islam. Bunyinya sebagai berikut :

"Om awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira (disebut

28

alamat rumah dalang) kang kekiter kang semara bumi, bujang babo bebuyutan.
Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutna sakarepku. Marang aku teka dhemen, teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah"[3].

Mantra itu diulangi lagi, jika dalang tiba di tempat pertunjukan. Dengan menambah alamat rumah dalang, menjadi alamat rumah/tempat di mana akan dilaksanakan pergelaran. Mantra yang kedua, diucapkan tatkala dalang mulai mengambil tempat duduknya.

"Sang Nagabumi sirahing bumi ya hu dhanyang ing kene, rewang-rewangana aku. Aja pari-pati padha bubar sing padha bubar sing padha nonton yen durung wis nggonku dhalang"[4].

Disusul dengan mengucapkan mantra yang ketiga :

"Hong Sang Hyang Suksma Purba Jatining Tunggal. Sang Hyang Nurcahyo urubing damar mrabawani sabuwana. Teka kedep teka lerep, teka welas, teka asih, wong satarub padha ndedulu marang badan sariraku"[5].

Kemudian mengucapkan mantra yang keempat :

"Gunung-gunung lungguhku Petak lindhu pmbawaku"[6].

Dalang lalu mencabut Gunungan atau Kayon. Ujung Gunungan dipijit dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang gapit Gunungan. Kemudian ia mengucapkan mantra yang kelima:

"Humangungkung awakku kadya gunung, kul, kul dhingkul, rep rep sirep wong sabuwana teka kedep, teka lerep, teka welas asih, asih saking kersane Allah"[7]. Para dalang wayang Cina - Jawa dalam melaksanakan tugasnya, tidak harus mengenakan busana adat Jawa lengkap dengan penutup kepala dan keris di pinggang belakang. Dan apabila mereka melaksanakan tugas, Gan Thwan Sing secata pribadi bertindak sebagai asisten, untuk membantu jika dalang yang bersangkutan mengalami

kesulitan dalam mengingat-ingat nama-nama Cina para tokoh wayang. Nama-nama Cina sesuatu negara, kerajaan, tempat, dan lain-lainnya. Atau jika menghadapi kesulitan dalam menyajikan urutan adegan lakon yang disajikan.

Selama hampir empat dasawarsa, Gan Thwan Sing berhasil mendidik empat orang menjadi dalang-dalang wayang Cina - Jawa. Mereka itu adalah :

  1. Kho Thian Sing, terkenal dengan sebutan Bah Menang.
  2. Raden Mas Pardon, atau Raden Mas Gondomastuti.
  3. Megarsemu.
  4. Pawiro Buwang.

Sebagai catatan tambahan dan untuk bahan perbandingan, di sini dicantumkan juga persyaratan dalang menurut Kitab Sastramiruda. Yaitu sebuah kitab pelajaran mendalang yang disusun oleh Kangjeng Pangeran Arya Kusumadilaga dari jaman Surakarta awal[8]. Kitab Sastramiruda[9] merupakan salah satu buku pegangan (text book) bagi para dalang Jawa. Dalam Kitab Sastramiruda ada bagian yang memuat persyaratan dalang, sebagai berikut:

  1. Amardawagung. Artinya dalang harus mampu menguasai gending (lagu) atau tembang kawi (nyanyian kuna) yang dipakai sebagai suluk.
  2. Amardi basa. Artinya dalang harus mampu menguraikan kata-kata percakapan wayang. Misalnya bahasa kadhatonyang biasa dipakai di kalangan istana, dan tutur kata dewa, manusia, raksasa, bala pendeta. Selain itu juga uraiannya, perbedaan volume suara tiap-tiap tokoh wayang. Di dalam istilah pedalangan hal yang demikian disebut antawecana.
  3. Amicarita. Artinya, dalang harus menguasai semua persoalan dan pokok ceritera di dalam pewayangan tersebut.

4. Paramakawi. Artinya, dalang harus menguasai kata, kalimat, istilah dalam bahasa kawi (kuna), yang kemudian kata-kata kawi tersebut diurailcan, diartikan dengan kata sinonim, pada kata (dasanama).

5. Paramasastra. Dalang harus mengerti beberapa buku (yang berisi tentang ceritera wayang), atau huruf, untuk mengetahui jalan ceritera.

6. Apabila dalang mewayang, jangan sampai merubah ceritera pokok. Selama pertunjukan berlangsung, jangan sampai kelebihan waktu karena kekurangan ceritera, dan jangan sampai kekurangan waktu hingga terlalu siang baru selesai.

7. Seorang dalang apabila mewayang jangan sampai ke luar dari ceritera pokok, ceritera utama di atas layar. Selain itu juga jangan membuat lawaka.n yang melebihi batas kesopanan, jangan menyinggung perasaan penonton sehingga menimbulkan kericuhan.

8. Renggep. Artinya, sempuma. Jangan sampai mengecewakan, jangan sampai dalang membenci atau menyayangi salah satu tokoh wayang.

9. Sabet. Artinya apabila dalang memegang wayang, jangan sampai nampak kaku. Jangan sampai memegang bagian kulit apabila sedang berperang.

C.Alat-alat perlengkapan pertunjukan.

Adapun alat-alat perlengkapan pertunjukan wayang Cina - Jawa, tak ada perbedaannya dengan yang dipergunakan untuk pertunjukan wayang kulit Jawa. Terdiri dari :
Kelir. Yaitu tirai atau layar kain putih. Di tepi kiri-kanan, atas bawah tirai diberi sisi-sisi warna merah atau wama lain. Fungsi kelir sebagai dekor yang jika diberi api atau lampu penerang, akan menghasilkan gambaran bayang-bayang (silhouette) di sebalik layar. Ukuran kelir, pada umumnya ialah 130 x 390 cm. Kelir yang dibliat oleh Gan Thwan Sing, khusus untuk pertunjukan wayang Cina - Jawa, diberi tulisan di tengah sisi bawah. Tulisan itu memakai aksara Latin. Berupa kalimat dalam bahasa Melayu, dengan titimangsa:

"Terbikin oleh Gan Thwan Sing - Djogja, 27 Nov. 1942".

Kambi kelir : Yaitu rangka tirai untuk mengikat bentangan kelir. Dengan lima buah penyangga kayu untuk tempat batang-batang pohon pisang.
Kotak : Yaitu peti untuk menyimpan wayang. Selama pertunjukan berlangsung, kotak berfungsi sebagai tempat menggantungkan sebilah papan kayu untuk alat yang dalam istilah pedalangan, disebut dodogan. Dan tempat menggantungkan alat yang dalam istilah pedalangan, disebut kepyak. (Lihat LAMPIRAN, halaman Gambar).
Cempala : Yaitu sejenis alat pengetuk terbuat dari kayu.

Cempala ada dua macam yang dalam istilah pedalangan disebut:
- Cempala ageng
- Cempala japitan.
Baik cempala ageng maupun cempala japitan, berfungsi sebagai alat yang menghasilkan suara-suara ritmik. Cara mempergunakan cempala ageng, ialah dengan tangan kiri mengetuk-ketukkan di alat dodogan. Fungsi cempala ageng cukup kompleks. Tapi yang terutama, suara ketukan yang ritmik itu, adalah untuk memberi aba-aba atau isyarat kepada para pemusik (niyogo) untuk mengiringi setiap adegan dengan gending-gending dalam kunci nada (pathet) tertentu. Serta untuk pergantian dialog (pocapan, ginem), monolog (kandha, carios), dan lain-lainnya.

Cara mempergunakan cempala japitan, ialah dengan menjapit diantara jari-jari kaki kanan, mengetuk-ketukkandi lempengan-lempengan besi, kepyak. Fungsi cempala japitan, juga kompleks. Namun yang terutama suara ritmik lempengan-lempengan besi, kepyak yang diketuk-ketukkan dengan cempala japitan itu, adalah untuk menciptakan berbagai suasana dari berbagai adegan. (lihat LAMPIRAN, halaman Gambar).

Kepyak : Yaitu sejenis alat dengan empat lempengan besi yang menghasilkan suara agak gemerincing, jika

diketuk-ketuk dengan cempala japitan. Suara agak gemerincing secara ritmik itu, dapat membantu menciptakan suasana yang dikehendaki oleh dalang. (Lihat LAMPIRAN, halaman Gambar).
Blencong : Yaitu lampu dengan bahan bakar minyak kelapa yang mempunyai bentuk khas. Biasanya terbuat dari campuran logam kuningan. Blencong digantungkan tepat di tengah kelir. Secara teknis, blencong berfungsi sebagai alat penerang dan memberi efek gambar bayang-bayang (silhoutte) di sebalik kelir. Blencong hanya dipergunakan untuk pertunjukan di malam hari.
Sapit blencong : Yaitu alat terbuat dari besi yang dipergunakan untuk membersihkan kecak sumbu blencong, yang membersihkan sumbu blencong adalah dalang.
Gedebog: : Yaitu batang pohon pisang. Berfungsi untuk menancapkan wayang yang dipajang berderet teratur ke kanan kiri. Dalam istilah pedalangan, disebut sumpingan. Di antara kedua deretan sumpingan itu, sepanjang lebih kurang satu seperempat meter, gedebog berfungsi sebagai arena pertunjukan wayang dan tempat wayang-wayang dapat ditancap-tancapkan dalam berbagai sikap. Gedebog yang berjumlah beberapa batang itu, diikat lurus di atas penyanggapenyangga kayu. Di bagian arena perturtjukan, diberi tambahan gedebog berukuran agak kecil, yang disusun berundak dua. Satu susun di bagian atas, satu susun di bagian bawah. Arena perturtjukan wayang disebut paseban.

D. Pertunjukan

Adapun tata cara pertunjukan, jangka waktu (running time) pertunjukan, pembagian babak-babak pertunjukan, tidak berbeda dengan wayang kulit Jawa.
Lebih kurang satu jam sebelum pertunjukan dimulai, para pemusik (niyaga) telah berada di tempat. Mereka terlebih dahulu

mengatur alat-alat musik (gamelan) itu, sampai beres semua. Setelah beres segala sesuatunya dan biduan (sindhen, waranggana) sudah hadir, dibunyikanlah gending talu sehagai isyarat bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Seorang pembantu dalang (asisten) datang untuk memeriksa apakah alat-alat perlengkapan pertunjukan (kotak, dodogan, kepyak, cempala ageng, cempala japitan) sudah benar letaknya. Mengatur wayang ricikan (berbagai jenis hewan, alat-alat senjata, dan lain-lainnya) yang ditaruh agak di kiri belakang tempat duduk dalang. Memeriksa apakah ikatan gedebog sudah beres. Menyalakan api blencong dan meletakkan sapit blencong di dekat tempat duduk dalang. Pembantu dalang itu, duduk di belakang dalang selama pertunjukan berlangsung. Kemudian dalang datang mengambil tempat duduknya. Jika dalang menghendaki, disediakan sebuah anglo dengan arang dan bubuk dupa.

Kehadiran dalang di tempat duduknya, menjelang gending talu akan berakhir. Dalang mengucapkan mantra, sambil mengetuk-ketukkan cempala ageng lima kali sehagai isyarat bahwa pertunjukan dimulai. Dan para pemusik menyamhut dengan memperdengarkan gending ayak-ayakan manyura. Dalang sambil mengucapkan mantra, memhesarkan nyala api blencong dengan mempergunakan sapit blencong. Kemudian ia mencabut Gunungan yang tertancap di tengah arena. Tangan kirinya memijit-mijit ujung Gunungan seraya mengucapkan mantra lagi. Selesai mengucapkan mantra, gunungan ditancapkan lagi di tepi arena sebelah kanan. Dan mulailah ditampilkan tokoh-tokoh wayang yang akan mengisi adegan pertama (jejeran). Sesudah tokoh-tokoh wayang ditancapkan di arena, dalang memberi isyarat dengan ketukan-ketukan cempala ageng, agar gending ayak-ayakan manyura berakhir, disusul dengan gending karawitan. Beberapa saat kemudian, dalang memberi isyarat dengan ketukan-ketukan cempala ageng, agar para pemusik mengakhiri gending karawitan. Kemudian dalang mengucapkan janturan. Selesai janturan dengan kombangan, dalang lalu suluk pathet nem (6). Jika suluk selesai, dalang memulai dialog (pocapan, ginem ). Begitulah gambaran sekilas meitjelang dan pada saat awal pertunjukan.
Tak berbeda dengan pertuitjukan wayang kulit Jawa, pertunjukan wayang Cina – Jawa juga terbagi dalam tiga pembabakan. Yaitu:

Babak awal
Babak pertengahan
Babak akhir.


34 Selama babak awal, pertunjukan diiringi dengan gending-gending pathet nem (6). Jika babak awal berakhir dan hendak memasuki babak pertengahan, dalang memberi isyarat kepada para pemusik (niyaga) agar sejenak membunyikan gending lindur. Kemudian disusul dengan gending pathet sanga (9). Selama babak pertengahan, pertunjukan diiringi dengan gending-gending pathet sanga (9) jika babak pertengahan berakhir dan hendak memasuki babak akhir, dalang memberikan isyarat kepada para pemusik (niyaga) dengan suluk pathet manyura. Selama babak akhir, pertunjukan diiringi dengan gending-gending pathet mayura. Dan untuk adegan-adegan perang, diiringi gending sampak. Sebagai tanda bahwa pertunjukan telah selesai, Gunungan ditancapkan tegak lurus di tengah arena dengan iringan gending ayak-ayakan pamungkas.
Pembagian pertunjukan wayang Cina – Jawa menjadi tiga babak itu, bukan sekedar mengikuti pola pertunjukan wayang kulit Jawa dari segi teknis, melainkan mengikuti segi falsafi yang mendasar. Yaitu, bahwa pembagian pertunjukan menjadi tiga babak, merupakan perlambang (simbolik) daur hidup (siklus) manusia yang terbagi dalam tiga kurun masa :

Masa bayi sampai kanak-kanak.
Masa remaja sampai dewasa.
Masa dewasa sampai tua.

Irama hidup manusia dari masa bayi sampai kanak-kanak, dalam irama musik Jawa (gamelan) diungkapkan dengan gending-gending yang berirama pathet nem (6).
Dari masa remaja hingga dewasa, diungkapkan dengan gending-gending pathet sanga (9). Sebagai tanda pergantian memasuki daur hidup ke alam dewasa, diselingi gendhing pathet lindur.
Dari masa dewasa hingga tua, diungkapkan dengan gending-gending patet manyura.
Itulah landasan segi falsafi yang mendasar dari perlambang (simbolik) pertunjukan wayang kulit Jawa yang juga dijadikan tumpuan pertunjukan wayang Cina – Jawa Ciptaan Gan Thwan Sing.
Masa perturtjukan (running time) wayang Cina – Jawa untuk setiap lakon, juga sama dengan masa pertunjukan wayang kulit Jawa, yaitu selama enam sampai tujuh jam. Dapat dipertunjukkan pada siang hari dan pada malam hari. Biasanya, dimulai dari jam setengah sepuluh sampai jam setengah lima. Namun masa

35

pertunjukan selama enam sampai tujuh jam itu, tidaklah mutlak. Jika dikehendaki, masa pertunjukan dapat diperpendek menjadi empat sampai lima jam.

Dalam pertunjukan wayang kulit, jika memasuki babak pertengahan biasanya ada adegan banyolan yang menampilkan para punakawan; Semar, Gareng, Petruk, Bagong atau Bawor. Adegan banyolan itu, mula-mula tak ada dalam pertunjukan wayang Cina – Jawa. Tiadanya adegan banyolan itu, dikarenakan dalam tradisi Cina memang tak dikenal adanya tokoh-tokoh punakawan; Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Maka dalam pertunjukan wayang Cina – Jawa, jika memasuki babak pertengahan, mula-mula Gan Thwan Sing menghentikan jalannya pertunjukan untuk memberi waktu isitrahat bagi dalang, para pemusik dan biduan. Masa istirahat itu berlangsung selama sepuluh menit. Untuk menandai masa istirahat, ditancapkanlah di tengah paseban, seorang tokoh berbusana petugas keamanan membawa semacam papan pengumuman yang memuat tulisan dalam bahasa Melayu, beraksara Latin :

"Istirahat 10 menit"

Setelah pertunjukan wayang Cina – Jawa kian digemari masyarakat Jawa, timbullah gagasan Gan Thwan Sing untuk menghapuskan masa istirahat, karena ia menyadari bahwa masyarakat Jawa amat menyukai adegan banyolan dalam pertunjukan wayang kulit (Jawa). Maka Gan Thwan Sing lalu membuat tokoh-tokoh wayang yang mirip dengan para punakawan; Gareng, Petruk, Bagong. Tentu saja tokoh-tokoh wayang yang mirip para punakawan itu, diberi dandanan busana dan tata rambut bercorak Cina klasik. Namun ia tidak membuat tokoh wayang yang mirip tokoh Semar. Mungkin sekali Gan Thwan Sing sudah mendalami hakekat pertunjukan wayang kulit Jawa itu, sadar bahwa tokoh Semar adalah suatu lambang kemuliaan yang sangat dihormati masyarakat tradisional Jawa. Barangkali bertolak dari kesadaran itulah, maka agar tidak menyinggung perasaan masyarakat tradisional Jawa, Gan Thwan Sing tidak membuat tiruan tokoh Semar.

Sesudah membuat tiruan tokoh-tokoh punakawan (Gareng, Petruk, Bagong), maka masa istirahat diisi dengan adegan banyolan. Dalam adegan banyolan, percakapan (pocapan, ginem) dapat mempergunakan bahasa campuran. Yaitu bahasa Jawa, bahasa Melayu dengan diselang-seling penggunaan istilah-istilah serta kalimat-kalimat bahasa Cina (Hokkian).
E.Orkes
Orkes yang mengiringi pertunjukan wayang Cina – Jawa, tak berbeda dengan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Jawa, yaitu, orkes gamelan.
Untuk mengiringi pertunjukan biasanya hanya dipergunakan seperangkat gamelang (gamelang saprangkat) yang mempunyai tangga nada Slend ro. Namun jika dikehendaki, dapat mempergunakan dua perangkat gamelan, yakni yang bertangga nada Slendro dan yang bertangga nada Pelog.
Gamelan bertangga nada Slendro, irama-iramanya memberi kesan lincah, ringan, meriah. Yang bertangga nada Pelog, irama-iramanya memberi kesan lamban, tenang dan agung.
Bentuk gamelan yang dipergunakan, ialah gamelan gede. Yaitu yang alat-alat musiknya (ricikan) dibuat dalam ukuran besar dari bahan perunggu (gangsa). Dan alat-alat musik yang berupa bonang, kempul, kenong, serta gong berbentuk yang dalam istilah. musik Jawa, disebut pencon.
Adapun alat-alat musik (ricikan) gamelan Slendro Pelog yang dipergunakan da1am orkes pengiring untuk pertunjukan wayang kulit Cina – Jawa, terdiri dari :
– Bonang barung, bonang gedhe
– Bonang penerus
– Saron barung
– Saron penerus, peking
– Saron demung
– Slenthein
– Kethuk (Slendro dan Pelog)
– Kenong
– Kempyang (Slendro dan Pelog)
– Kempul
– Kemanak
– Kendhang gedhe
– Kendhang ciblon
– Kendhang penuntung
– Ketipung
– Gong gedhe

37

— Gong kemodong, gong kemada
— Gong suwukan
— Gender barung, gender gedhe
— Gender penerus
— Gambang
— Rehab
— Celempung
— Siter
— Suling

F. Perincian wayang

Adapun perincian wayang, berupa uraian ringkas mengenai segi-segi sebagai berikut :
  1. Bentuk badan
    Tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, mempunyai bentuk badan sewajarnya. Perbandingan dan ukuran bagian-bagian badan (kepala, tubuh, tangan, kaki), tak berbeda dengan perbandingan dan ukuran bagian-bagian badan manusia yang mempunyai fisik normal. Pembentukan badan wayang Cina — Jawa, dibuat secara naturalistik. Kecuali tokoh-tokoh wayang yang disebut setanan, pembentukan badannya, tidak lagi naturalistik (periksa LAMPIRAN halaman Foto ).
  2. Wajah
    Wajah tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, dibuat dalam sikap (posture) miring yang dalam istilah seni rupa moderen, disebut "en profil". Tokoh-tokoh wayang yang disebut setanan ada yang dibuat dalam sikap (posture) yang dalam istilah seni rupa moderen, disebut "en face".
  3. Bentuk hidung
    Bentuk hidung tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, kebanyakan dibuat agak mancung. Namun ada juga yang dibuat seperti yang dalam wayang kulit Jawa disebut berbentuk terong glatik, terong kopek, terong pisekan dan cempaluk.
  4. Bentuk mata
    Tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, banyak yang bentuk matanya menunjukkan adanya kesamaan ragam dengan bentuk mata tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, wayang kulit Jawa. Kesamaan ragam itu, meliputi beberapa bentuk mata wayang kulit Jawa yang disebut jaitan, kedelen, kadondongan,
telengan, dan plelengan. Untuk bentuk-bentuk mata jaitan, kadelen dan kadondongan, bagian biji mata tidak dibuat terjepit di antara sebuah bilah yang menghubungkan bagian kelopak mata atas dan bawah. (Lihat LAMPIRAN halaman Gambar). Bagian biji mata dibuat menggunting di bagian kelopak mata atas. Teknis pembuatan bentuk mata sedemikian itu, memang memberi efek yang memperjelas corak wajah orang Cina.
  1. Kumis, jenggot dan tata rambut

    Pembuatan kumis dan jenggot di wajah tokoh-tokoh manusia pria dan dewa, diusahakan dalam bentuk yang sewajarnya (naturalistik) tanpa stilisasi. Tata rambut (hair style) tokoh-tokoh manusia wanita, dewi, memperlihatkan keindahan tata rambut Cina klasik dengan coraknya yang khas.

  2. Sikap (posture) tangan

    Sikap (posture) tangan, atau lebih tepat kiranya bila dikatakan sikap (posture) jari-jemari tangan, sebagian menunjukkan adanya kesamaan ragam dengan sikap jari-:jemari tangan penari Jawa yang disebut :

    - Ngepel

    - Ngithing

    Sebagian besar lagi sikap (posture) jari-jemari tangannya, tak berbeda dengan sikap (posture) jari-jemari tangan tokoh punakawan wayang kulit Jawa. Yaitu, tokoh Petruk dan tokoh Semar (tapi hanya salah satu tangannya). Sikap (posture) jari-jemari tangan itu, ialah meluruskan jari telunjuk.
  3. Perhiasan
    Tokoh-tokoh puteri, dewi, sama mengenakan perhiasan anting-anting dan semacam kalung yang melingkar erat di bagian leher. Bagian dahi, kepala dan di rambut, juga ada yang diberi perhiasan-perhiasan. Namun tak ada yang mengenakan perhiasan cincin dan gelang. Tokoh-tokoh pria, dewa, banyak yang diberi perhiasan semacam kalung dalam berbagai bentuk, variasi dan bahan. Dan kebanyakan, diberi perhiasan di bagian ikat pinggang dan bagian pundak.
  1. Penutup kepala

    Hampir semua tokoh pria, sama mengenakan penutup kepala dalam berbagai bentuk dan variasi yang bercorak Cina klasik. Kebanyakan penutup kepala itu, menunjukkan nilai keindahan tersendiri meski tanpa tatahan (perforasi) yang rumit. Nilai keindahan dari berbagai bentuk penutup kepala itu, ditopang oleh pemberian warna-warna yang serasi. Namun ada penutup kepala yang bentuknya seperti udheng gilig yang dipakai oleh penari Jawa atau pemain wayang wong Jawa. Mungkin juga, bentuknya menyerupai surban. Bentuk penutup kepala yang berbeda dengan bentuk kepala bercorak Cina klasik itu, dipakai oleh tokoh pendeta pengemis yang mungkin sekali adalah Hsuan Tsang. (Lihat LAMPIRAN halaman Foto). Perlu kiranya dicatat pula, bahwa ada satu-dua tokoh yang tidak memakai penutup kepala, bahkan berambut gundul. Tokoh-tokoh yang disebut setanan, tak ada yang diberi penutup kepala. Juga ada tokoh-tokoh puteri yang tanpa penutup kepala yang bercorak Cina klasik, juga dalam memberi warna-warna yang serasi.

  2. Alas kaki
    Hampir semua tokoh manusia pria, dewa, sama mengenakan alas kaki yang seragam, bercorak Cina klasik. Yaitu sepatu larso yang diberi warna putih di bagian sol sepatu dan diberi hiasan berwarna kuning di bagian ujung sepatu. Tetapi ada juga tokoh-tokoh yang mengenakan semacam jubah panjang, sehingga tak terlihat bersepatu. Dan ada satu dua tokoh wayang yang bertelanjang kaki. Tokoh-tokoh puteri, dewi, sama mengenakan sepatu bercorak Cina klasik dengan bagian ujung sepatu melancip. Namun ada tokoh-tokoh puteri yang mengenakan gaun panjang, sehingga tak terlihat bersepatu. Ada dua tokoh abdi wanita yang diambil dari perbendaharaan wayang kulit Jawa (Cangik dan Limbuk), yang bertelanjang kaki.
  3. Tata busana
    Tata busana hampir semua tokoh wayang, menunjukkan keahlian perancang (konseptor) dalam membuat disain-disain berbagai model busana yang bercorak Cina klasik. Nilai keindahan tata busana itu masih ditambah bobotnya dalam membuat ragam hias dan lipatan-lipatan busana serta pem-
berian warna-warna yang serasi. Ragam hias busana, juga bercorak Cina klasik, seperti : Pat Kua, lotus, pagoda, burung hong, burung bangau, liong, dan lain-lainnya. Namun ada ragam hias busana yang sudah terpengaruh ragam hias Jawa. Yaitu, kepala liong yang dibentuk menyerupai kala. Dan hiasan ikat pinggang serta bagian busana bawah yang berbentuk kala. Perlu pula dicatat, bahwa tokoh-tokoh yang disebut setanan, tidak diberi tata busana bercorak Cina klasik. Dan ada satu-dua tokoh yang bertelanjang dada.
  1. Perlengkapan senjata

    Para tokoh panglima, komando pasukan, perwira dan perajurit banyak yang mengenakan "atribut" berupa sebilah pedang bercorak Cina. Dengan hiasan seragam berbentuk empat kelopak bunga dan umbai-umbai berombak. Juga ada yang dilengkapi dengan empat buah tombak pendek berhiaskan panji-panji komando yang dipasang di bagian punggung atas.

  2. Warna
    Hampir semua busana diberi warna lebih dari dua. Busana yang menyerupai model mantel atau mirip jubah, gaun, mempunyai satu warna dasar. Seperti : biru muda, biru tua, hijau muda, hijau tua, merah muda, merah tua, krem, hitam, putih, abu-abu. Sedangkan celana, baju dalam, gaun bawah, diberi aneka warna campuran kuning dan merah. Bagian lipatan-lipatan, biasanya diberi warna campur warna putih di tepi. Wajah tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, diberi aneka warna. Wajah para puteri, biasanya berwarna putih atau abu-abu. Wajah panglima puteri, perwira puteri, juga diberi warna putih atau abu-abu. Wajah para senapati, jenderal, perwira tinggi, komandan pasukan, diberi aneka macam warna. Seperti warna-warna : putih, coklat, merah, abu-abu, kebiru-biruan dan ada yang berwarna belang-belang. Wajah para kaisar, raja, pangeran, adipati dan para bangsawan tinggi, diberi warna putih, warna merah, warna coklat, warna abu-abu dan ada yang berwarna kebiru-biruan. Wajah para pendeta, rahib dan cantrik-cantrik, diberi warna putih, warna abu-abu dan warna coklat. Warna wajah dewa-dewi, ialah putih dan abu-abu. Wajah para perajurit, rakyat, buruh, petani, penjahat, dan lain-lain diberi aneka macam warna.

Yaitu warna-warna : merah, coklat, abu-abu, belang-belang. Wajah-wajah berbagai tokoh wayang yang tersebut di atas, tak ada yang berwama hitam dan berwama keemasan (pradan).

  1. Teknik gerak wayang

    Gerak tubuh dan bagian tubuh (lengan dan tangan) wayang adalah dengan alat-alat tertentu yang terbuat dari tanduk (kerbau) atau bambu. Untuk menggerakkan tubuh wayang, dalang memegangi bagian bawah alat penjepit tubuh wayang yang disebut gapit. Bagian ujung bawah gapit yang meruncing adalah untuk ditancapkan ke dalam gedebog, sehingga tubuh wayang dapat dibuat dalam sikap berdiri tegak, sikap agak menunduk, sikap agak tengkurap atau agak terlentang. Untuk menggerak-gerakkan lengan dan tangan wayang, dalang memegangi bagian bawah alat berbentuk seperti tangkai yang disebut cempurit. Alat yang disebut cempurit itu terbuat dari tanduk (kerbau) atau bambu. Bagian ujung atas cempurit diberi berlubang dan dengan benang diikatkan di bagian telapak tangan wayang. Sendi-sendi bahu dan siku tangan, dilubangi dan diberi ikatan dengan benang kulit atau tanduk tipis. Ikatan itu agak longgar, sehingga sendi-sendi bahu dan siku dapat bergerak memutar jika cempurit digerak-gerakkan oleh dalang. Bentuk cempurit dan gapit yang terbuat dari tanduk (kerbau), tak berbeda dengan bentuk cempurit dan gapit wayang kulit Jawa. Dalam perbendaharaan wayang Cina – Jawa, juga terdapat tokoh-tokoh yang hanya diberi satu cempurit dan ada yang tanpa cempurit. Tokoh-tokoh yang diberi hanya satu cempurit, berarti hanya salah satu lengan tangannya yang dapat digerak-gerakkan. Yang tanpa cempurit, kedua belah lengan-tangannya tak dapat digerak-gerakkan.

  2. Teknik penggantian kepala
    Sebagian terbesar wayang Cina – Jawa yang kini menjadi milik Museum Sana Budaya, pemasangan gapit di badan tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, hanya sampai batas leher bawah yang sejajar dengan pundak. Ujung atas gapit itu, ikatan benangnya agak longgar, sehingga ada celah atau ruangnya. Kepala seseorang tokoh, dapat dicopot dan dipasangi dengan kepala tokoh yang lain. Dengan cara demikian untuk setiap lakon yang


42
disajikan, dapat dilakukan penggantian kepala seseorang tokoh dengan tokoh lain yang dikehendaki dalang. Itulah sebabnya, dibuat lepas sejumlah kepala tokoh-tokoh wayang (Lihat LAMPIRAN halaman Foto ). Kepala seseorang tokoh, dapat diganti dengan tokoh yang sama, tapi yang berbeda warna wajahnya dan penutup kepalanya. Dengan cara begitu, dapat dihasilkan efek yang dalam pakeliran Jawa disebut wanda. Artinya, tokoh yang sama dengan warna wajah, raut muka dan penutup kepala atau tata rambut yang berbeda. Kepala tokoh-tokoh wayang yang dapat dicopot itu, dapat pula menciptakan suasana yang dramatis jika dalam adegan perang, ada tokoh yang terpenggal lehernya. Rupanya Gan Thwan Sing, tatkala membuat wayang Cina – Jawa gaya baru (yang sekarang menjadi milik Dr. F. Seltmann), meninggalkan teknik penggantian kepala. Pembuatan wayang Cina – Jawa gaya baru, diberi gapit sampai bagian kepala tak berbeda dengan gapit wayang kulit Jawa.

15. Pahatan (perforasi)

Seperti halnya dengan pahatan (perforasi) wayang kulit Jawa, pahatan (perforasi) wayang Cina – Jawa, dimaksudkan untuk memperoleh ruang gerak yang menghasilkan efek bayangan (silhoutte). Akan tetapi, karena susunan badan dan anggauta-angguta badan wayang Cina – Jawa dibuat secara wajar (naturalistik), maka sulitlah dilakukan penatahan yang rumit. Sehingga tatahan wayang Cina – Jawa, tak dapat menghasilkan seni tatahan yang tinggi kwalitasnya. Tokoh-tokoh wayang Cina – Jawa yang sekarang menjadi milik Museum Sana Budaya, tatahan-tatahannya masih sangat sederhana. Tokoh-tokoh wayang Cina – Jawa yang sekarang menjadi milik Dr. F. Seltmann, tatahan-tatahannya agak lebih rumit, namun masih di bawah kwalitas tatahan wayang kulit Jawa.

16. Palemahan wayang

Tokoh-tokoh wayang kulit Cina – Jawa yang sekarang tersimpan di Museum Sana Budaya, dibuat tanpa palemahan wayang atau siten-siten. Kecuali dua tokoh abdi wanita (emban) yang diambil dari perbendaharaan wayang kulit Jawa. Yaitu tokoh Cangik dan Limbuk. Kedua tokoh itu, diberi palemahan wayang yang menghubungkan tumit kaki depan

dengan ujung kaki belakang. Bahkan pembuatan bentuk kaki yang tanpa sepatu dari kedua tokoh itu, tak berbeda dengan wayang kulit Jawa. Satu kotak wayang Cina - Jawa gaya baru yang kini menjadi milik Dr. F. Seltmann, kesemuanya, termasuk tokoh-tokoh hewan, diberi palemahan wayang atau siten-siten.
17. Wayang panggungan
Pengertian wayang panggungan untuk wayang Cina-Jawa, sama makna dengan wayang panggungan untuk wayang kulit Jawa. Yaitu, semua tokoh wayang yang sebelum dan selama pertunjukan berlangsung sudah dipajang berjajar (sumpingan) di sebelah kanan-kiri iarena (paseban).
18. Wayang ricikan
Dalam perbendaharaan wayang Cina - Jawa juga dikenal yang disebut wayang ricikan. Adapun wayang ricikan itu, terdiri dari :
  1. Gunungan atau Kayon.
  2. Berbagai jenis dan bentuk senjata (tombak, panah, penggada, dan lain-lainnya).
  3. Berbagai macam kendaraan (kereta, tandu, kapal, dan lain-lainnya).
  4. Berbagai macam alat-alat rumah tangga, alat-alat atau benda-benda upacara.
  5. Berbagai macam jenis hewan. Seperti : Liong, Kilin, burung Hong, Kuda, dan lain-lainnya.
  6. Berbagai jenis tetumbuhan, bunga. Seperti : pohon beringin, bunga lotus, dan lain-lainnya.
  7. Rampogan atau Barisan.
  8. Setanan.
  9. Berbagai bendera, panji-panji.
  10. Awan, mega, api.
  11. Berbagai bentuk rumah, kuil, kubur.
  12. Orang berkendaraan, orang membawa tandu, orang dihukum bakar, dan lain-lainnya.

Yang tak terdapat dalam wayang ricikan Jawa, ialah berbagai kepala tokoh-tokoh (manusia, dewa-dewi) wayang.

  1. Ukuran wayang

    Ukurang wayang yang tertinggi ialah 68 cm. Gunungan berukuran 68 x 47 cm. Rampogan berukuran 67 x 43 cm. Tokoh manusia, dewa-dewi yang tertinggi ukurannya, ialah 66 cm. Yang terpendek, berukuran 45 cm. Tokoh setanan ada yang berukuran tinggi, hanya 40 cm. Tokoh hewan yang terpendek, berukuran 30 cm.

  2. Bahan baku
    Adapun bahan baku untuk pembuatan wayang ialah lembaran-lembaran kulit (kerbau) yang telah diolah, hingga menyerupai kertas kulit (perkamen). Selain bahan baku yang berupa lembaran-lembaran kulit (kerbau), juga dipergunakan lembaran-lembaran kertas karton.
  3. Pembuatan wayang.

    Pembuatan wayang, dilakukan dalam lima tahap.

    Tahap pertama:

    Gan Thwan Sing terlebih dahulu menggambar disain para tokoh wayang di atas kertas gambar. Gambar disain para tokoh wayang itu, dalam dua sikap (posture).

    a. Sikap sedang naik kuda atau hewan lainnya (kilin, macan). Sebagian tokoh-tokoh itu digambar dengan membawa senjata pedang terhunus, tombak, dan lain-lainnya. Wajah digambar secara "en face".

    b. Sikap berdiri, baik dengan membawa senjata di tangan maupun tidak. Wajah digambarkan secara "en face".
    Berbagai gambar disain itu, baik gambar tokoh-tokoh manusia, dewa-dewi, maupun gambar tokoh-tokoh hewan, diberi catatan dengan aksara Latin atau aksara Jawa. Catatan-catatan tentang wama-warna busana, dan lain-lain, serta nama-nama setiap tokoh.
    Tahap kedua :

    Disain-disain itu lalu digambar di atas lembaran-lembaran kertas kulit (perkamen) atau kertas karton. Tetapi sikap tokoh-tokoh wayang itu, diubah. Tidak lagi mengendarai sesuatu hewan dan tangannya tidak menggenggam senjata. Kecuali beberapa tokoh dewa-dewi, tokoh setanan dan tokoh-tokoh

    yang membawa benda-benda upacara atau yang membawa ken-

daraan serta Rampogan. Para tokoh dibuat dalam sikap berdiri dengan wajah secara "en profil".

Catatan tambahan : Tatkala Gan Thwan Sing membuat wayang Cina - Jawa gaya lama, ia juga menggambar disain wajah dan kepala tokoh-tokoh wayang secara terlepas. Artinya, tidak digambar menjadi satu dengan bagian badan (gembung) tokoh wayang. Karena waktu itu, Gan Thwan Sing mempergunakan teknik penggantian kepala.

Tahap ketiga:
Lembaran-lembaran kertas kulit (perkamen) atau kertas karton yang telah digambari disain-disain setiap tokoh wayang, diserahkan kepada seorang tenaga ahli membuat wayang kulit Jawa, tenaga ahli itu, memotangi lembaran-lembaran kertas kulit atau kertas karton menurut gambar-gambar disain. Bagianbagian lengan-tangan yang dapat digerak-gerakkan, dipotong lepas.

Catatan tambahan : Tatkala membuat wayang Cina - Jawa gaya lama, bagian kepala - leher tiap tokoh manusia, dewa-dewi, digarap secara terlepas, tidak menjadi satu dengan bagian tubuh (gembung).

Tahap keempat :
Tenaga ahli itu, dengan petunjuk Gan Thwan Sing, membuat tatahan (perforasi). Tahap kelima :
Dilakukan pemberian warna-warna dengan cat di kedua sisi setiap tokoh wayang.
Tahap keenam:
Setelah cat benar-benar kering, dipasang gapit dan cempurit. Sendi-sendi bahu dan siku-siku tangan, dihubungkan dengan benang kulit atau dengan semacam kaitan dari kulit. Maka selesailah sudah pembuatan wayang.

  1. 22 Th.G.Th. Pigeaud,op cit, hal.252
  2. F. Seltmann, op. cit, hal. 60.
  3. Ki Slamet Soetano, Pedalangan Jangkep, Pen/Toko Buku "KS.", Solo, 1974, hal.6
  4. Ibid.
  5. Ibid
  6. Ibid
  7. Ibid.
  8. R.M. Ng. Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Bahasa Indonesia),Penerbit Djambatan, Cet. kedua, tahun 1957, Djakarta, halaman 178.
  9. Kitab Sastramiruda tulisan tangan dengan aksara dan bahasa Jawa, dapat dibaca di Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Surakarta.