Lompat ke isi

Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis/Bab VI

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis
oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
BAB VI:
DASAR PERTIMBANGAN KSSK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN BANK CENTURY
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Edisi Januari 2010


Pembuat kebijakan selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit bahkan seringkali harus menghadapi dilema untuk mengambil tindakan atau tidak. Banyak contoh situasi yang dihadapi oleh pembuat kebijakan yang sering harus menentukan pilihan dan alternatif yang paling kecil mudharatnya. Keberadaan KSSK, selaku komite yang dibentuk dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, juga dihadapkan pada pilihan yang sulit pada bulan November 2008. Dalam rapat KSSK tanggal 21 November 2008, KSSK memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga harus diselamatkan. Keputusan ini ternyata menimbulkan pertanyaan dan prasangka apakah keputusan itu tepat. Pada bagian ini, akan diuraikan dasar-dasar pertimbangan KSSK dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dampak Sistemik Apa yang dimaksud berdampak sistemik? Sistemik diambil dari kata sistem. Kerusakan sistemik berarti kerusakan menyeluruh pada sistem yang ada. Mengacu pada definisi Perppu JPSK, yang dimaksud berdampak sistemik adalah:



“suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”



Lembaga Internasional seperti Bank for International Settlements dan European Central Bank menekankan berdampak sistemik mengacu pada istilah:


Istilah sistemik ini menimbulkan kekisruhan terutama dengan munculnya istilah systemically important bank (SIB). Istilah ini mengemuka pada rapat Panitia Hak Angket DPR tanggal 21 Desember 2009, dimana Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur BI) menyatakan:

“kekacauan yang menyeluruh, bersifat tiba-tiba, menghasilkan efek domino kekacauan finansial yang lebih besar.”



Pada dasarnya BI selaku otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan mengelompokkan beberapa bank besar sebagai systemically important bank (SIB). SIB merupakan bank yang memiliki ukuran (size) cukup signifikan, yang dalam keadaan normal dapat berdampak sistemik terhadap sistem keuangan nasional apabila bank tersebut mengalami kegagalan. Untuk Indonesia, terdapat 15 bank terbesar yang masuk dalam kategori SIB berdasarkan besaran asetnya. Dalam kondisi normal, bank yang dikategorikan sebagai SIB tidak boleh gagal, apalagi dalam kondisi krisis. Kegagalan SIB akan sangat membahayakan sistem pembayaran, sistem keuangan bahkan perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengawas bank melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank yang termasuk dalam kategori tersebut. Terdapat 2 kriteria umum yang digunakan Bank Sentral untuk menentukan SIB, yakni :


“”...at least di jaman saya kita ada pertemuan dengan yang kita sebut SIB (Systemically Important Bank) itu kita usahakan ada pertemuan dua bulan sekali dengan bank-bank sistemik. Dan jumlah bank sistemik itu ada 15, yang 15 itu menguasai sekitar 85% industri perbankan, tidak termasuk Century, jauh sekali namanya tidak pernah terdengar...”


1. Too big to fail. Semakin besar ukuran suatu bank (misalnya dilihat dari sisi nilai asset, nilai transaksi, atau jumlah cabang), maka bank tersebut memiliki dampak sistemik yang semakin tinggi. Oleh karena itu, bank tersebut tidak boleh dibiarkan gagal.

2. Too interconnected to fail. Semakin besar keterkaitan suatu bank dengan bank atau lembaga keuangan lainnya (misalnya melalui pinjaman antar bank atau kepemilikan), maka bank tersebut semakin tinggi dampak sistemiknya. Oleh karena itu, bank tersebut tidak boleh dibiarkan gagal.


Namun demikian, dengan perkembangan sektor keuangan yang semakin komplek dan terkait satu sama lain, pandangan di atas tidak dapat diterapkan, sebab kriteria umum tersebut di atas lazimnya digunakan dalam kondisi normal. Situasi kondisi tahun 2008 bukan lagi kondisi normal namun sudah krisis, sehingga aspek psikologis yang sudah tertekan di masyarakat pada kondisi tersebut menjadi pertimbangan tambahan dalam pengambilan kebijakan. Bapak Boediono (mantan Gubernur BI) dalam rapat Panitia Hak Angket DPR tanggal 22 Desember 2009, mempertegas pengertian SIB:



”Dalam situasi normal, ada konsep Systematically Important Bank (SIB). Itu adalah ukuran dari bank-bank besar, ada 15 bank terbesar yg memang bisa sistemik kalau bank ini collapse. Sebenarnya konsep ini banyak digunakan untuk bagaimana mengalokasikan sumber daya audit kita sampai ke risiko-risiko yg terbesar. Jadi ini sebenarnya untuk mendapatkan hasil yg maksimal dari pengawasan perbankan kita dengan sumber daya yg terbatas. Kalau bank-bank tersebut runtuh tentunya akan berdampak sistemik. Tapi hal yg kita bicarakan ini lain dengan masalah bagaimana kita mengelola perbankan kita dalam situasi krisis. Ini adalah 2 (dua) hal yg berbeda.


Dalam situasi krisis yg kita lakukan adalah menilai situasi secara umum. Bagaimana psikologis pasar, bagaimana reaksi nasabah, bagaimana reaksi satu bank dengan bank lain. Semua harus kita baca dalam rangka menilai apakah suatu bank itu mempunyai dampak yang lebih luas dari bank itu sendiri. Jadi intinya dalam kenyataan, dalam menghadapi situasi krisis, kita harus melakukan analisa total termasuk kondisi psikologis semua pelaku. Dan dalam SIB tadi tidak ada mengenai hal itu. Itu hanya catatan mengenai mana bank yg besar yg perlu diawasi dengan lebih ketat.


Dalam situasi nyata yang kita hadapi, tidak cukup hanya melihat table apakah bank ini masuk dalam 15 besar atau tidak, kalau tidak kita bunuh saja. Itu bahaya sekali. Dalam situasi krisis, kita harus menilai apakah bank itu mempunyai dampak-dampak lanjutan. Kita tidak bisa hanya membuat check list seperti itu, harus lebih dari itu. Memang agak sulit, banyak kualitatifnya.



Collapse dari perbankan intinya adalah collapse dari psikologi. Para pelaku tidak percaya lagi pada bank sehingga menarik dananya dari bank. Jadi tidak bisa dihindari bagaimana kita menganalisa situasi krisis perbankan adalah menganalisa psikologi. Kita harus mendengarkan semua pihak. Termasuk dari pasar, dari banker sendiri, dan dari para nasabah. Itu yg harus dilakukan dalam menghadapi situasi krisis konkrit dan bukan hanya melihat daftar.” Sebagaimana kita yakini bersama, dalam industri perbankan, aspek kepercayaan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan (going concern) suatu bank, baik itu kepercayaan dari para penabung maupun kepercayaan dari kreditur lainnya. Aspek kepercayaan tersebut dipengaruhi oleh:

Collapse dari perbankan intinya adalah collapse dari psikologi. Para pelaku tidak percaya lagi pada bank sehingga menarik dananya dari bank. Jadi tidak bisa dihindari bagaimana kita menganalisa situasi krisis perbankan adalah menganalisa psikologi. Kita harus mendengarkan semua pihak. Termasuk dari pasar, dari banker sendiri, dan dari para nasabah. Itu yg harus dilakukan dalam menghadapi situasi krisis konkrit dan bukan hanya melihat daftar.”

(i) sifat/perilaku manusia yang cenderung tidak mau ambil risiko, cenderung reaktif dan panik apabila mendengar berita yang buruk;

(ii) adanya ketidakseimbangan penyaluran informasi antara nasabah dan pengelola bank tentang kondisi bank yang sebenarnya.

Ketidakseimbangan informasi tersebut dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan dari pelaku pasar maupun nasabah bank. Tidak mudah bagi nasabah untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang kondisi bank. Mereka cenderung mengandalkan informasi dari nasabah lainnya maupun indikator umum pasar keuangan (contohnya harga SUN, nilai tukar rupiah, kondisi cadangan devisa, serta indeks harga saham). Nasabah yang tidak mendapatkan informasi tersebut cenderung bereaksi hanya karena melihat pelaku pasar/nasabah lain bereaksi (ikut-ikutan). Reaksi-reaksi seperti ini dapat memicu kepanikan masyarakat dan cenderung mendorong mereka mengambil tindakan yang irasional.

Karakteristik industri perbankan lainnya adalah pengelola bank harus memiliki kemampuan untuk mengelola ketidakseimbangan jangka waktu jatuh tempo (maturity mismatch) antara dana yang diperoleh dari deposan/penabung yang cenderung bertenor jangka pendek (sekitar 1 bulan s.d. 3 bulan) dengan dana yang disalurkan kepada peminjam yang cenderung memiliki tenor waktu lebih panjang (antara 1 s.d. 20 tahun).

Dalam kondisi normal, tentunya bank dapat mengelola maturity mismatch tersebut dengan baik. Penabung akan terus memperpanjang simpanannya di bank tersebut dan penarikan dana oleh penabung maupun untuk pemberian pinjaman dapat diprediksi dengan baik oleh pengelola bank. Hal tersebut menjadi sangat berbeda apabila dalam situasi krisis. Manakala terjadi pemburukan kondisi bank (kesulitan likuiditas maupun solvabilitas) atau terjadi rumor (berita negatif) terhadap suatu bank, maka akan muncul kekhawatiran/ketidakpercayaan penabung. Kekhawatiran tersebut mendorong penabung berlomba antri untuk menarik dananya dari bank tersebut karena takut didahului oleh penabung lainnya, bahkan dapat mempengaruhi nasabah lainnya di lokasi yang berbeda. Antrian para penabung terhadap satu bank dapat memicu nasabah bank lain untuk ikutikutan antri menarik dananya dari bank mereka.

Apabila berita antrian penabung tersebut didengar dan dilihat melalui media massa oleh penabung bank lainnya, maka dapat memicu penarikan dana secara besar-besaran (rush/bank runs) di banyak bank, meskipun tidak ada keterkaitan antara bank yang bermasalah dengan bank lainnya tersebut. Dalam situasi krisis, hal tersebut bisa menular (contagion) ke bank-bank lainnya dengan cepat dan mengakibatkan kepanikan. Persepsi buruk terhadap suatu bank bisa menyebabkan situasi yang lebih buruk lagi. Dalam hal perekonomian mengalami tekanan yang sangat besar, kegagalan sebuah bank dapat menular dengan cepat (contagion effect) dan bahkan bank yang secara fundamental kuat pun bisa di-rush oleh para nasabahnya. Akibatnya, bank-bank akan mengalami kesulitan likuiditas bahkan lebih parah lagi akan mengalami kesulitan solvabilitas (self fulfilling prophecy).

Penarikan dana secara besar-besaran tersebut tidak hanya terjadi pada bank yang memang bermasalah/buruk, tetapi juga pada bank yang secara fundamental sehat. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, dalam situasi genting para pengambil kebijakan dituntut berani mengambil keputusan yang cepat, tepat dan akuntabel dengan segala keterbatasan yang ada, agar ancaman krisis tidak menjalar kemana-mana.


Jika ada rumah kecil di perkampungan padat penduduk yang terbakar, apa yang akan kita lakukan? Tentu kita akan langsung berupaya memadamkan api di rumah itu. Tanpa tanya-tanya dulu siapa pemilik rumah itu, apakah penjahat atau bukan, atau bagaimana rumah itu dibangun. Kepedulian kita hanya satu, padamkan api secepatnya agar tidak berkobar dan menjalar luas dan membakar seluruh isi kampung. Ini analogi dari mencegah kerusakan sistemik.

Adakah indikator pasti dari bank berdampak sistemik? Memang, tidak ada kriteria bank berdampak sistemik yang dinyatakan secara tegas di undang-undang. Mengapa demikian? Ada dua alasan utama:

1. Berpotensi menimbulkan moral hazard

Kriteria berdampak sistemik memang sengaja tidak dinyatakan eksplisit. Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, maka pengelola bank cenderung secara sengaja mendorong atau mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” tersebut, hingga bisa minta bantuan pemerintah demi keuntungankeungtungan yang tidak wajar. Ini adalah bentuk dari moral hazard.

2. Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional

Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal bisa berupa masalah dari dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun bentuk-bentuk lain yang berpengaruh terhadap sistem keuangan. Ini yang menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Perlu professional judgment untuk memutuskan hal tersebut. Di situlah diperlukan pembuat kebijakan yang mempunyai kompetensi dan pengalaman yang mumpuni serta integritas yang tinggi. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan tidak ada pelanggaran undang-undang dalam penetapan bank berdampak sistemik.

Bank Century: Saatnya Memutuskan Pada Saat Keadaan Genting..!

Pada tanggal 20 November 2008, BI menyatakan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai Berdampak Sistemik. Pada saat itu, BI datang ke KSSK dan meminta keputusan penanganan Bank Century. KSSK dihadapkan pada dilema: apakah Bank Century adalah Bank Gagal berdampak sistemik atau tidak?

Dalam penetapan dampak sistemik Bank Century, KSSK telah menggunakan berbagai informasi yang ada, analisis dan metodologi yang bersifat kualitatif maupun yang bersifat kuantitatif dan pertimbangan yang matang termasuk penggunaan professional judgment. Penggunaan professional judgment tidak mempunyai konotasi negatif, sebab artinya tidak lain ialah mempertimbangkan dengan akal sehat semua data dan informasi yang tersedia.

Dalam mempertimbangkan dampak sistemik Bank Century, KSSK menggunakan data, fakta dan informasi tentang keadaan perbankan yang diberikan sepenuhnya oleh BI sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan penuh atas perbankan nasional. Selain itu, KSSK juga menggunakan data, fakta, informasi dan analisis yang bersifat makro tentang perkembangan situasi dan kondisi krisis keuangan nasional dan dunia. Pada saat itu, secara umum Bank Century telah memenuhi kualifikasi sebagai Bank Gagal karena pada saat itu Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya adalah negatif 3,53 persen. Sedangkan mengenai dampak sistemik Bank Century, dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi normal, penutupan bank seukuran Bank Century diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain atau sistem perbankan nasional. Namun demikian, dalam kondisi perekonomian yang bergejolak seperti telah diuraikan pada Bab sebelumnya, maka penutupan Bank Century akan menimbulkan dampak sistemik (contagion effect) yang dapat menyebabkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (rush) terhadap bank-bank lainnya, terutama peer banks atau bank kecil yang setara.

Sesuai dengan data, fakta, informasi dan analisis BI, pada waktu itu terdapat 23 bank setara atau lebih kecil dari Bank Century serta sejumlah BPR yang mempunyai masalah likuiditas dan permasalahan lain yang kurang lebih sama dengan Bank Century. Dengan kondisi seperti itu, apabila dilakukan penutupan terhadap Bank Century, maka diyakini secara sistemik akan mempengaruhi bank-bank lain sehingga eskalasi permasalahan akan secara cepat menjalar ke seluruh sistem perbankan nasional. Kondisi seperti ini dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan sehingga bukan tidak mungkin berulang apa yang pernah kita alami pada krisis moneter tahun 1997-1998, yang dampaknya sampai hari ini masih ada, yakni belum lunasnya utang Pemerintah atas BLBI dan biaya penyertaan modal melalui rekapitalisasi bank-bank.

KSSK sadar bahwa secara tegas dan terang belum pernah ada definisi dan ukuran yang baku mengenai dampak sistemik di dunia ini karena berbagai pertimbangan dan alasan pada saat pengambilan keputusan, yaitu potensi moral hazard yang sangat tinggi bagi pihak yang ingin memanfaatkan keadaan. Oleh karena itu, apabila di dalam Perppu JPSK tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai ukuran dan kriteria dampak sistemik tersebut, hal tersebut bukanlah merupakan kelemahan Perppu, namun semata-mata untuk menghindari moral hazard bagi semua pihak termasuk pengurus dan pemilik bank untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya, dengan sengaja mendorong agar banknya memenuhi kriteria sistemik untuk sebuah harapan agar diselamatkan.

KSSK juga sadar bahwa kegagalan Bank Century disebabkan oleh pengelolaan bank yang buruk dan indikasi terjadinya tindakan kejahatan perbankan oleh pemiliknya. Namun demikian, KSSK melihat bahwa prioritas utama adalah menyelamatkan sistem keuangan dan perbankan, bukan invidual bank (Bank Century). Sementara, kecurangan (fraud) yang terjadi di bank, harus tetap diproses secara hukum pada tahap berikutnya.


Setelah menimbang dengan akal sehat dan memperhatikan kondisi perekonomian global dan nasional yang sedang krisis, serta pengalaman krisis ekonomi Indonesia pada 1998, maka pada 21 November 2008 dini hari, KSSK memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Hal itu dilakukan bukan untuk kepentingan bank Century, melainkan demi keselamatan sistem keuangan dan perekonomian nasional. Siapapun Ketua KSSK saat itu akan mengambil keputusan penyelamatan Bank Century untuk menghindarkan risiko kegagalan sistemik.

Seseorang yang terindikasi terjangkit flu burung dari suhu tubuh yang tinggi akan segera ditolong dan diisolasi. Petugas medis tak akan bertanya atau menyalahkan kenapa orang itu bisa terjangkit. Kepedulian petugas medis saat itu hanya secepatnya menolong orang itu dan secepatnya pula mengisolasi agar penyakitnya tidak menulari orang lain. Analogi ini sesuai dengan tindakan KSSK menangani bank Century.