Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis/Bab III
Menyikapi ancaman krisis keuangan global terhadap sistem keuangan nasional, Pemerintah segera mengambil kebijakan antisipatif dan koordinatif. Langkah-langkah tersebut didasarkan pada koridor arahan yang digariskan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan berikut:
Presiden RI:
"Perkuat pendanaan dalam negeri. Jangan minta pendanaan dari luar, dangerous …. bantuan asing yang selama ini masuk di negara-negara yang sedang tertimpa krisis malah tidak membantu menyelesaikan krisis”. Kilasberita.com, 4 November 2008
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan tidak akan meminta bantuan kepada IMF jika dampak krisis keuangan semakin membebani perekonomian nasional”. Endonesia.com, 16 November 2008
Jadi rasional dari posisi dan sikap kita ke depan tidak kembali memilih format seperti kita dulu kerja sama Indonesia dengan IMF. Dengan Letter of Intent (LoI) dengan kondisionalitas yang sangat ketat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi yang berlaku”. Endonesia.com, 16 November 2008
Wapres RI :
"Supaya tidak terjadi lagi BLBI, buat apa dijamin? Hampir seluruh uang rakyat sudah terjamin pemerintah". Tempointeraktif.com, 7 November 2008
"Sebenarnya yang dulu dijamin banknya, apapun perbuatan bankirnya, pemerintah ambil alih risikonya. Masak begitu? Waktu blanket guarantee 10 tahun lalu, apa hasilnya? Tidak ada hasilnya. Karena perilaku bankir yang jadi masalah". KilasBerita.com, 28 November 2008
"Kita tidak akan keluarkan blanket guarantee seperti dulu, di mana orang bank yang tidak benar membawa lari uang dan pemerintah yang harus menanggungnya. Saya katakan tidak". Inilah.com, 5 Februari 2009
Langkah-langkah tersebut berupa:
1. Penciptaan ketersediaan likuiditas pasar, melalui: a. upaya Pemerintah memberikan likuiditas tambahan kepada perbankan nasional melalui penempatan rekening pemerintah kepada Bank-Bank BUMN; b. penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), GWM Rupiah diturunkan dari 9,01% menjadi 7,5%, 5% cash + 2,5% secondary reserved, GWM Valas diturunkan dari 3% menjadi 1%. Kebijakan ini berpotensi menambah likuiditas rupiah sebesar Rp50 triliun dan Valas US$721 juta; c. pemerintah menerapkan Crisis Management Protocol /CMP untuk pengelolaan SUN dengan membatalkan jadwal program penerbitan SUN mulai Oktober 2008, termasuk lelang yang dilakukan secara reguler. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah peningkatan tambahan beban utang dalam APBN maupun potensi kerugian bagi pelaku pasar domestik SUN . d. pembekuan pemberlakuan Peraturan tentang ‘marked to market’ terhadap surat berharga/efek untuk mencegak pembukuan kerugian akibat turunnya harga surat berharga/efek yang dimiliki oleh perusahaan efek dan reksa dana. e. mempercepat realisasi belanja kementerian/Lembaga sebesar Rp. 25,9 triliun; f. melakukan pembelian (buyback) saham BUMN yang telah go public melalui Pusat Investasi Pemerintah dan beberapa BUMN; g. memberikan kemudahan kepada Emiten untuk melakukan buy back, misalnya memperbesar jumlah saham yang dapat di buy back dari 10% menjadi 20%, dan dapat dilakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan RUPS.
2. Menjaga kesinambungan devisa dan neraca pembayaran, dengan
tindakan-tindakan, seperti:
a. mendorong FDI melalui perbaikan iklim usaha secara nyata;
b. mencari pembiayaan defisit anggaran dari sumber non-pasar dari luar
negeri: antara lain melalui Lembaga multilateral (World Bank, IDB,
JBIC), Bilateral dan Sovereign Wealth Fund;
c. mengupayakan “swap facility” dengan bank sentral negara lain, diantaranya Bank of China, Bank of Japan, Monetary Authority of Singapore; d. merealisasikan “Asian Bond Arrangement” (Chiang May plus refinement); e. memberlakukan wajib lapor terhadap setiap pembelian USD dalam jumlah besar, dalam rangka mencegah spekulasi dolar; f. membuat “clearing house” valas yang berasal dari valas hasil eksporimpor khusus untuk BUMN; g. mewajibkan pelaporan LC dengan dokumen dan underlying asset pada setiap Bank; h. mencegah masuknya “short term capital” dalam jumlah besar, khususnya Non-Deliverable Forward; i. memperlambat keluarnya modal dengan mempersempit “auto rejection”; j. Mengurangi impor barang konsumsi.
3. Menjaga kesinambungan APBN 2009/2010, melalui langkah-langkah seperti: a. melakukan redefinisi “pembiayaan darurat” dalam Pasal 23 UU No. 41 tahun 2008 Tentang APBN 2009. Diamanatkan bahwa dalam keadaan darurat (krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan nasional), Pemerintah dengan persetujuan DPR dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN 2009; b. menambah belanja atau fokus belanja untuk sektor-sektor yang berdampak besar terhadap pertumbuhan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan; c. menambah dana risiko fiskal terhadap deviasi asumsi; d. merancang pembiayaan darurat dari pinjaman luar negeri antara lain melalui melalui private placement kepada sovereign wealth funds, lembaga multilateral dan bilateral, serta ASEAN + 3; e. melakukan relaksasi tarif pajak untuk beberapa sektor, antara lain CPO.
4. Penerbitan dan perbaikan peraturan perundangan di sektor keuangan untuk mendukung pasar yang kuat dan kondusif, seperti: a. melakukan pelonggaran peraturan di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank (Perasuransian, Dana Pensiun, Reksa Dana dan Perusahaan Pembiayaan) terutama untuk penentuan nilai wajar surat berharga; b. melakukan suspensi sementara terhadap perdagangan di Bursa; c. menetapkan Perppu Bank Indonesia untuk memperluas jenis aset bank yang dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP); d. menetapkan Perppu LPS dan peraturan pemerintah untuk meningkatkan besaran nilai penjaminan dari sebesar Rp100 juta menjadi maksimum Rp 2 miyar untuk setiap nasabah dalam satu bank; e. menetapkan Perppu JPSK yang mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Semua upaya-upaya tersebut dilakukan dengan simultan melalui kerjasama yang baik dan kerja keras. Kalau boleh berbangga diri pada keadaan itu, bahwa kerjasama Pemerintah antar instansi bersama-sama dengan Bank Indonesia ibarat gerakan darah yang bergerak dalam tubuh bekerja secara serentak sesuai dengan mekanismenya. Demikianlah, semua pihak bekerja bahu membahu untuk menahan hantaman krisis yang dorongannya berat pada masa-masa itu. Tidaklah sesuatu yang mengherankan jika kebijakankebijakan strategis yang diambil Pemerintah tersebut mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah analis, ekonom, politikus mengungkapkan apresiasi sebagai berikut:
Apindonesia.com, 14 Oktober 2008
“Berbagai langkah pemerintah seperti menaikkan BI rate, mensuspensi perdagangan di bursa saham serta mengeluarkan Perpu tentang Lembaga Penjamin Simpanan sangat tepat”
Rahman Halim, Ketua Perbanas Jatim
Rakyat Merdeka, 16 Oktober 2008
“Saya lihat ada tiga langkah menonjol yang dilakukan Sri Mulyani dalam pekan ini, terutama Perppu Penjaminan LPS dan Perppu BI. Langkah ini bisa menenangkan nasabah yang resah karena tabungan dan depositonya di bank yang besarnya maksimal Rp 2 miliar dijamin keamanannya oleh pemerintah," kata anggota Komisi XI DPR Ramson Siagian di Gedung DPR”
Ramson Siagian, Anggota DPR Komisi XI Periode 2004-2009
Vivanews.com, 16 Februari 2009
“Kebijakan yang diambil pemerintah sudah tepat baik dari kebijakan moneter maupun fiskal”
ADB
Sriwijaya Post, 10 Juli 2009
“Perekonomian Indonesia bakalan makin kinclong setelah mampu menghindari krisis finansial global yang paling buruk. Indonesia merupakan negara dengan perekonomian yang menggelinding dengan bagus setelah China dan India”
World Bank
Indonesia juga pantas berbangga atas pendapat Independen Assessor untuk
Financial Sector Assessment Programs (FSAP), pada pertengahan Tahun
2009, yang secara khusus datang untuk mengevaluasi kebijakan dan
kegiatan semua sektor keuangan di Indonesia, menyatakan: “bahwa
regulator dan sistem keuangan di Indonesia sangat memadai untuk
memperkuat sektor keuangan dalam menghadapi permasalahanpermasalahan
akibat krisis”.
Sekilas mengingatkan kembali apa yang kita pelajari dari krisis pada
tahun 1998.