Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 (UU/2006/6)  (2006) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN
INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999
(KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME, 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan tujuan nasional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
b. bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan perdamaian dunia serta kemanusiaandan peradaban sehingga pencegahan dan pemberantasannya memerlukan kerjasama antarnegara;
c. bahwa perkembangan tindak pidana terorisme sangat dipengaruhi oleh pendanaan yang diperoleh teroris dan merupakan masalah yang sangat memprihatinkan bagi masyarakat internasional sehingga diperlukan pemberantasan pendanaan untuk kegiatan tersebut;
d. bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional ikut bertanggung jawab dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta ikut aktif dalam pemberantasan pendanaan tindak pidana terorisme;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengesahkan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) dengan Undang-Undang;

Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3882) 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME, 1999).

Pasal 1
(1) Mengesahkan International Convention For the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999) dengan pernyataan (declaration) terhadap Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 serta pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 24 ayat (1).
(2) Salinan naskah asli International Convention For the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999) dengan pernyataan (declaration) terhadap Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 serta pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 24 ayat (1) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERM,

YUSRIL IHZA MAHENDRA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 29
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN
INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999
(KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME, 1999)

UMUM

1. Latar Belakang Pengesahan Cita-cita bangsa Indonesia sebagimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, dan dinamis, baik dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pencegahan terhadap hal-hal yang mengganggu kestabilan nasional.
Masyarakat Indonesia dan masyarakat saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya aksi teror. Meluasnya aksi teror yang didukung oleh pendanaan yang bersifat lintas negara mengakibatkan pemberantasannya membutuhkan kerja sama internasional.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, berwenang untuk membuat perjanjian dengan negara lain.
Dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan memberantas tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan sehubungan dengan politik luar negeri yang bebas aktif, Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan adanya landasan hukum tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian, baik bilateral maupun multilateral khususnya yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Sehubungan dengan hal tersebut dan sesuai dengan komitmen Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap usaha memberantas segala bentuk tindak pidana, baik yang bersifat nasional maupun transnasional, terutama tindak pidana terorisme, bangsa Indonesia bertekad untuk memberantas tindak pidana pendanaan terorisme melalui kerja sama bilateral, regional, maupun internasional.

2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup. Unsur pendanaan merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan berhasil seperti yang diharapkan tanpa pemberantasan pendanaannya.
Pemberantasan terorisme dan pendanaannyaakan lebih efektif apabila dilakukan melalui kerja sama internasional dalam pembentukan suatu aturan internasional yang menjadi rujukan bersama.
Ratifikasi Konvensi merupakan pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1373. Resolusi tersebut meminta setiap negara anggota untuk mengambil langkah pemberantasan terorisme, termasuk meratifikasi 12 (dua belas) Konvensi Internasional mengenai terorisme. Ratifikasi ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam pemberantasan pendanaan terorisme.
Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yang sejalan dengan ketentuan yang diamanatkan oleh Konvensi.

3. Pokok-pokok Isi Konvensi Konvensi ini mengatur tindak pidana yang terdapat dalam paragraf operasional Konvensi, kewajiban negara untuk mengambil tindakan hukum dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana, serta mengatur kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama pendanaan terorisme. Konvensi terdiri atas pembukaan, 28 (dua puluh delapan) pasal, dan Lampiran (Annex).
Pembukaan Konvensi menegaskan kembali komitmen negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam dan memberantas secara sungguh-sungguh seluruh bentuk tindakan, metode, dan praktik terorisme sebagai tindak pidana, yang dilakukan di mana pun dan oleh siapa pun, serta mendorong negara-negara untuk mengambil langkah pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Pembukaan Konvensi juga mengamanatkan negara anggota untuk melakukan dan meningkatkan kerja sama untk mencegah dan memberantas terorisme secara menyeluruh, termasuk memberantas pendanaannya.
Pasal 1 mendefinisikan dana, fasilitas negara atau fasilitas pemerintah, dan hasil kekayaan.
Pasal 2 mengatur tindakan yang ditetapkan sebagai suatu tindak pidana. Konvensi menetapkan bahwa setiap orang dianggap telah melakukan tindak pidana apabila oran tersebut secara langsung aau tidak langsung, secara melawa hukum dan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan niat akan digunakan atau dengan sepengetahuannya akan digunakan, secara keseluruhan atau sebagian, untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan suatu akibat yang tercakup dan dirumuskan dalam salah satu Konvensi yang tercantum dalam Annex. Konvensi juga menetapkan tindakan lain yang ditujukanuntuk menyebabkan kematian atau luka berat terhadap warga sipil atau orang lain yang tidak secara aktif ikut serta dalam konflik bersenjata. Tindakn itu bermaksud, dengan sengaja, untuk mengintimidasi sejumlah orang, untuk memaksa pemerintah, atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. Terhadap Pasal ini Indonesia menyampaikan Pernyataan mengenai Annex yang berkaitan dengan konvensi apa saja yang tidak diratifikasi Indonesia.
Pasal 3 mengatur batasan yurisdiksi yang menyatakan bahwa Konvens tidak berlaku untuk tinda pidana yang dilakukan dalam suatu cakupan negara yang tersangka pelaku dan korban adalah warga negara dari negara tersebut dan tidak ada negara lain yang memiliki landasan untuk melaksanakan yurisdiksi pada kasus tersebut berdasarkan Konvensi.
Pasal 4 mengatur tindakan yang harus dilakukan oleh Negara Pihak berkaitan dengan tindak pidana terorisme, yaitu dengan menetapkannya sebagai suatu tindak pidana dalam hukum nasionalnya dan menjadikan tindak pidana tersebut dapat dipidana dengan hukuman yang pantas. Pasal 5 mengatur pemberlakuan ketentuan ini kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yang ditetapkan dalam Konvensi. Pasal 6 mengatur bahwa Negara Pihak harus melakukan upaya untuk menjamin tindak pidana tersebut tidak dapat diberi pembenaran berdasarkan pertimbangan politik, filosofis, ideology, ras, etnik, dan agama.
Pasal 7 mengatur pensyaratan bagi suatu Negara Pihak untuk memberlakukan yurisdiksinya, yaitu apabila tindak pidana dilakukan di dalam wilayahnya, di atas kapal laut atau pesawat terbang berbendera negara tersebut, atau yan terdaftar di negara tersebut pada saat tindak pidana dilakukan dan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh waraga negara dari negara tersebut. Negara Pihak juga memiliki yurisdiksi apabilatindak pidana dilakukan trhadap warga negaranya, fasilitas negara atau pemerintah di luar negeri, atau apablia tindak pidana dilakukan oleh orang yang berdomisili di negara tersebut, dilakukan sebagai upaya memaksa negara tersebut untuk melakukan atau tidak melakukan suatau tindakan serta apabila tindak pidana dilakukan di atas pesawat terbangyang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal ini juga mengatur kewajiban negara untuk memberlakukan yurisdiksi terhadap pelaku apabila negara tersebut tidak melakukan ekstradisi kepada negara lain yan memiliki yurisdiksi berdasarkan Konvensi. Terhadap Pasal ini Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara.
Pasal 8 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk mengidentifikasi, mendeteksi, dan membekukan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dana tersebut selanjutnya dapat dirampas negara sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 9 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melaksanakan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutuan atau ekstradisi setelah memiliki bukti penahanan yang cukup. Pasal ini juga mengatur hak tersangka pelaku tindak pidana yang ditahan, terutama hak untuk berkomunikasi dan dikunjungi oleh perwakilan negaranya.
Pasal 10 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk segera melakukan proses peradilan sesuai dengan hukum nasional apabila negara tersebut tidak melakukan ekstradisi terhdap tersangka pelaku tindak pidana yang berada di wilayahnya.
Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 mengatur prosedur kerja sama hukum berupa ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik antar Negara Pihak sesuai denga peraturan perundang-undangan tiap-tiap negara. Negara Pihak dapat mempertimbangkan Konvensi sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi apabila negara tersebut tidak mensyaratkan adanya perjanjian ekstradisi untuk dapat melakukan ekstradisi. Pasal 13 dan Pasal 14 mengatur bahwa tindak pidana yang ditetapkan dalam Konvensi dianggap bukan sebagai kejahatan fiskal, politik atau kejahatan yang dilatarbelakangi motif politik dan oleh karena itu permohonan ekstradisi tidak dapat ditolak dengan alasan bahwa tindak pidana tersebut kejahatan fiskal, politik atau tindak pidana yang dilatarbelakangi motif politik. Pasal 15 mengatur bahwa negara dapat menolak permohonan ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik apabila permohonan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghukum seseorang berdasarkan ras, agama, bangsa, suku, pandangan politik atau dapat merugikan orang yang dimintakan ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik.
Pasal 16 mengatur permintaan untuk menghadirkan pelaku tindak pidana di suatu negara ke negara lain, dengan syarat tertentu dengan maksud untuk mengidentifikasi, memberi kesaksian, dan memberi bantuan dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana seperti ditetapkan dalam Pasal 2.
Pasal 18 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan tindak pidana seperti ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi. Upaya tersebut meliputi penerapan kewajiban lembaga keuangan untk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama untuk saling tukar informasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme.
Pasal 19 mengatur kewajiban Negara Pihak utnk memberi tahu Sekretari Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keputusan akhir suatu proses pengadilan terhadap terpidana. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa memberitahukan keputusan tersebut kepada Negara Pihak yang lain.
Pasal 20 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melakukan kewajibannya berdasarkan Konvensi dengan tetap berpegang pada prinsip kedaulatan yang sejajar dan integritas wilayah negara serta prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri Negara Pihak lain.
Pasal 22 mengatur larangan bagi Negara Pihak utk menerapkan yurisdiksinya di walayah Negara Pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.
Pasal 24 mengatur ketentuan penyelesaian perbedaan interpretasi atau sengketa pelaksanaan Konvensi, yaitu Mahkamah Internasional berwenang mengadili sengketa tersebut atas permintaan salah satu Negara Pihak yang bersengketa. Terhadap pasal ini Indonesia menyatakan pensyaratan untuk tidak terikat karena Indonesia berpendirian bahwa pengajuan suatu sengketa ke Mahkamah Internasional hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 memuat ketentuan penutup Konvensi yang berisi ketentuan yang bersifat prosedural, seperti pembukaan penandatanganan, mulai berlakunya, prosedur ratifikasi, prosedur pengunduran diri, dan bahasa yang digunakan pada naskah otentik.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Ayat (1)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, yang berlaku adalah naskah asli Konvensi ini dalam bahasa Inggris.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4617
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999
(KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME, 1999)


DECLARATION TO ARTICLE 2, PARAGRAPH (2) SUBPARAGRAH A AND ARTICLE 7,
AND RESERVATION AND ARTICLE 24 PARAGRAH (1)
INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION
OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999

Declaration:
A. in accordance with Article 2 paragraph 2 subparagraph (a) of the Convention for the Suppression of the Financing of Terorism, the Government of the Republic of Indonesia declares that the following treaties are to be deemed not to be included in the Annex reffered to in Article 2 paragraph 1 subparagraph (a) of the Convention:
1. Convention of the Prevention and Punishment of Crime Against Internationally Protected Persons, adopted by the United Nations on 14 December 1973.
2. International Convention Against the Taking of Hostages, adopted by the General Assembly of the United Nations on17 December 1979.
3. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airport Serving International Civil Aviation, Supplementary to the Convention for the Suppresion of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, done at Montreal on 24 February 1988.
4. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, done at Rome on 10 March 1988.
5. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms located on the Continental Shelf, done at Rome on 10 March 1988.
B. The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of Article 7 of the Convention for the Suppression of the Financing Terorism will have to be Implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.

Reservation:
The Republic of Indonesia, while signatory to The International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, does not consider itself bound by the provision of Article 24 and takes the position that dispute relating to the interpretation and application on the Convention which cannot be settled through the channel provided for in Paragraph (1) of the said Article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all the Parties to the dispute.

DEKLARASI TERHADAP PASAL 2 AYAT (2) HURUF (A) DAN PASAL 7
SERTA PENSYARATAN PASAL 24 AYAT (1)
PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999
(KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME, 1999)

Pernyataan:
A. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) huruf (a) Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa traktat-traktat di bawah ini dianggap tidak termasuk dalam Lampiran merujuk dalam Pasal 2 ayat (1) huruf (a) Konvensi:
1. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk Agen Diplomatik, ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 14 Desember 1973.
2. Konvensi Internasional Menetang Penyanderaan, ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 17 Desember 1979.
3. Protokol Pemberantasan Tindakan-tindakan Kekrasan yang Melawan Hukum di Bandar Udara yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional, pelengkap dari Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil, Montreal, 24 Februari 1988.
4. Konvensi Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum Keselamatan Navigasi Pelayaran, Roma, 10 Maret 1988.
5. Protokol Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum terhadap Anjungan Lepas Pantai yang terletak di Landas Kontinen, Roma, 10 Maret 1988.

Pensyaratan:
Pemerintah Republik Indonesia, walaupun melakukan penandatanganan terhadap Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999, tidak berarti terikat pada Pasal 24, dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan Para Pihak yang bersengketa.