Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 (UU/2009/5)  (2009) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG
TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi;
b. bahwa tindak pidana transnasional yang terorganisasi merupakan kejahatan internasional yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia;
c. bahwa kerja sama internasional perlu dibentuk dan ditingkatkan guna mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi;
d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia turut menandatangani United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi);

Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI).

Pasal 1
(1) Mengesahkan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dengan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 35 ayat (2).
(2) Salinan naskah asli United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dengan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 35 ayat (2) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 5.



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG
TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)

I. UMUM

Tindak pidana transnasional yang terorganisasi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.
Kerja sama antarnegara yang efektif dan pembentukan suatu kerangka hukum merupakan hal yang sangat penting dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih mudah memperoleh akses dan kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Indonesia telah mempunyai sejumlah undang-undang yang substansinya terkait dengan Konvensi ini, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003;
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana;
8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; dan
9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam rangka meningkatkan kerja sama internasional pada upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/25 sebagai instrumen hukum dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
Indonesia, sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, turut menandatangani United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, sebagai perwujudan komitmen memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional, ataupun internasional.
Walaupun Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi tersebut, Indonesia menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 35 ayat (2) yang mengatur mengenai pilihan Negara Pihak dalam penyelesaian perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran atau penerapan Konvensi.

POKOK-POKOK ISI KONVENSI

1. Tujuan Konvensi
Pasal 1 Konvensi menyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah untuk meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi.

2. Prinsip
Pasal 4 Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak, dalam menjalankan kewajibannya, wajib mematuhi prinsip kedaulatan, keutuhan wilayah, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

3. Ruang Lingkup Konvensi
Pasal 3 Konvensi menyatakan bahwa Konvensi ini mengatur mengenai upaya pencegahan, penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 23 Konvensi, yakni tindak pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi, dan tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana yang serius sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 huruf b Konvensi, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi.
Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut dilakukan:
a. di lebih dari satu wilayah negara;
b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;
c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah negara; atau
d. di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.

4. Kewajiban Negara Pihak
Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak wajib melakukan segala upaya termasuk membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 23 Konvensi serta membentuk kerangka kerja sama hukum antarnegara, seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kerja sama antaraparat penegak hukum dan kerja sama bantuan teknis serta pelatihan.

5. Konvensi membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk melakukan upaya pembentukan peraturan perundang-undangan nasional untuk mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 15 ayat (2).

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yang berlaku adalah naskah asli Konvensi ini dalam bahasa Inggris.
Diajukannya Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 35 ayat (2) Konvensi berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.

Pasal 2
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4960.



LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG
TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)


PENSYARATAN TERHADAP PASAL 35 AYAT (2)
KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
MENENTANG TINDAK PIDANA
TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI

Pemerintah Republik Indonesia tidak terikat pada ketentuan Pasal 35 ayat (2) dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) Pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan Para Pihak yang bersengketa.


RESERVATION ON ARTICLE 35 PARAGRAPH (2)
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 35 (2) and takes the position that dispute relating to the interpretation and application on the Convention which have not been settled through the channel provided for in Paragraph (1) of the said Article, may be referred to the International Court of Justice only with the concern of all the Parties to the dispute.