Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG KEANTARIKSAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya;
bahwa peraturan perundang-undangan Keantariksaan saat ini belum mengatur secara terpadu dan komprehensif serta belum menjadi landasan hukum bagi Penyelenggaraan
Keantariksaan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keantariksaan;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEANTARIKSAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan
melingkupi
seluruh
permukaan
bumi
yang
mengandung udara yang bersifat gas.
Penyelenggaraan
Keantariksaan
adalah
setiap
kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang
dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara,
maupun Antariksa.
Penyelenggara Keantariksaan adalah pihak atau
subjek
yang
melaksanakan
Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Asing adalah perseorangan warga negara asing,
badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing.
Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan
manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan
Keantariksaan.
Wahana Antariksa adalah benda buatan manusia
yang terkait dengan Keantariksaan dan bagianbagiannya.
Roket adalah bagian Wahana Antariksa yang
digunakan untuk mengantarkan muatan ke Antariksa
dan/atau
mengembalikan
Wahana
Antariksa,
termasuk muatannya ke bumi.
Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang
dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran
Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas
Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang
lainnya.
Keselamatan adalah suatu keadaan terpenuhinya
persyaratan Keselamatan dalam pemanfaatan wilayah
Indonesia, Wahana Antariksa, kawasan Bandar
Antariksa,
transportasi
Antariksa,
navigasi
Keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang
dan fasilitas umum lainnya.
Keamanan adalah segala upaya dan komitmen secara
internasional
bagi
setiap
Penyelenggara
Keantariksaan
untuk
memelihara
dan/atau
menjamin pemanfaatan Antariksa dan benda-benda
langit lainnya untuk maksud-maksud damai dan
tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan bumi
dan Antariksa melalui keterpaduan pemanfaatan
sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.
Kerugian adalah suatu keadaan yang menimbulkan
kematian, luka-luka, atau bentuk lain dari
terganggunya kesehatan seseorang, hilang atau
rusaknya harta milik negara, milik pribadi, atau
badan hukum, atau harta benda organisasi
internasional antarpemerintah.
Pemerintah
Pusat,
yang
selanjutnya
disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi.
Lembaga
adalah
Instansi
Pemerintah
yang
melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
penelitian
dan
pengembangan
kedirgantaraan
dan
pemanfaatannya
serta
Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan:
mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya
saing bangsa dan negara dalam Penyelenggaraan
Keantariksaan;
mengoptimalkan
Penyelenggaraan
Keantariksaan
untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas
bangsa;
menjamin
keberlanjutan
Penyelenggaraan
Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa
kini dan generasi masa depan;
memberikan landasan dan kepastian hukum dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan;
mewujudkan
Keselamatan
dan
Keamanan
Penyelenggaraan Keantariksaan;
melindungi negara dan warga negaranya dari
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan;
mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional
Keantariksaan demi kepentingan nasional; dan
mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang
menjadi komponen pendukung pertahanan dan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 3
Antariksa merupakan wilayah bersama yang dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan semua negara.
Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan
oleh semua negara tanpa diskriminasi, berdasarkan
asas persamaan, dan sesuai dengan hukum
internasional.
Pasal 4
Setiap Wahana Antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada dalam yurisdiksi dan kontrol
Pemerintah Republik Indonesia.
Setiap orang yang berada dalam sarana dan
prasarana Keantariksaan milik Negara Kesatuan
Republik Indonesia tunduk pada peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Pasal 5
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
semua
Penyelenggaraan Keantariksaan yang
dilaksanakan di dan/atau dari wilayah kedaulatan
dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang
dilaksanakan untuk dan/atau atas nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang terlibat dan/atau berpartisipasi dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan; dan
Asing yang telah mendapat izin
menyelenggarakan kegiatan Keantariksaan.
Pasal 6
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
kegiatan Keantariksaan;
Penyelenggaraan Keantariksaan;
pembinaan;
Bandar Antariksa;
Keamanan dan Keselamatan;
penanggulangan benda jatuh Antariksa serta
pencarian dan pertolongan antariksawan;
pendaftaran;
kerja sama internasional;
tanggung jawab dan ganti rugi;
asuransi, penjaminan, dan fasilitas;
untuk
pelestarian lingkungan;
pendanaan;
peran serta masyarakat; dan
sanksi.
BAB II KEGIATAN KEANTARIKSAAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 7
Kegiatan Keantariksaan meliputi:
sains Antariksa;
penginderaan jauh;
penguasaan teknologi Keantariksaan;
peluncuran; dan
kegiatan komersial Keantariksaan.
Kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan:
kepentingan nasional;
Keamanan dan Keselamatan;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
sumber daya manusia Keantariksaan yang
profesional;
manfaat, efektivitas, dan efisiensi;
keandalan sarana dan prasarana Keantariksaan;
pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lingkungan Antariksa; dan
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian internasional yang
Indonesia menjadi negara pihak.
Pasal 8
Setiap kegiatan Keantariksaan dilarang:
menempatkan, mengorbitkan, atau mengoperasikan
senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di
Antariksa;
melakukan uji senjata nuklir dan senjata perusak
massal lainnya di Antariksa;
menggunakan bulan dan Benda Antariksa alam
lainnya untuk tujuan militer atau tujuan lain yang
mencelakakan umat manusia;
melakukan
kegiatan
yang
dapat
mengancam
Keamanan
dan
Keselamatan
Penyelenggaraan
Keantariksaan termasuk keamanan Benda Antariksa,
perseorangan, dan kepentingan umum; atau
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup bumi dan Antariksa serta membahayakan kegiatan
Keantariksaan termasuk penghancuran Benda
Antariksa.
Pasal 9
Untuk pemutakhiran status dan perkembangan kegiatan Keantariksaan dan pemberian rekomendasi bagi kebijakan pengembangannya, wajib melaksanakan pengkajian kebijakan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 secara periodik setiap tahun.
Pasal 10
Dalam keadaan damai, kegiatan Keantariksaan
dimaksudkan untuk pencapaian tujuan nasional dan
kepentingan nasional.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya dan untuk
tujuan pertahanan dan keamanan negara, menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan dapat memanfaatkan seluruh
Penyelenggaraan
sarana
dan
prasarana
Keantariksaan Indonesia.
Bagian Kedua Sains Antariksa
Pasal 11
Sains Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
Kegiatan sains Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada, penelitian mengenai:
cuaca Antariksa;
lingkungan Antariksa; dan
astrofisika.
Penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana:
satelit;
stasiun Antariksa; dan
fasilitas observasi di ruas bumi.
Selain menggunakan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penelitian Antariksa dapat pula dilakukan melalui:
partisipasi aktif dalam penelitian Keantariksaan internasional; dan/atau
kerja sama dengan Instansi Pemerintah dan badan hukum lain di luar negeri.
Pasal 12
Dalam hal hasil penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 bersifat sensitif dan/atau berpotensi memberikan dampak luas, Penyelenggara Keantariksaan wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Lembaga.
Pasal 13
Lembaga wajib memberikan informasi khusus
tentang:
cuaca Antariksa;
mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa; dan
peringatan dini.
Selain wajib memberikan informasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga juga wajib memberikan bantuan teknis.
Pasal 14
Informasi khusus tentang:
cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a disampaikan kepada Instansi
Pemerintah yang menangani komunikasi radio, operasi
satelit, dan navigasi berbasis satelit; dan
mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat
cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b dan peringatan dini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c
disampaikan kepada instansi yang berwenang dalam
penanggulangan bencana.
Bagian Ketiga Penginderaan Jauh
Paragraf 1 Umum
Pasal 15
Penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
perolehan data;
pengolahan data;
penyimpanan dan pendistribusian data; dan
pemanfaatan data dan diseminasi informasi.
Hasil kegiatan penginderaan jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
data primer;
data proses; dan
analisis informasi.
Paragraf 2 Perolehan Data
Pasal 16
Perolehan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui:
pengoperasian satelit;
pengoperasian stasiun bumi; dan/atau
citra satelit.
Lembaga dalam memperoleh data penginderaan jauh
melalui pengoperasian satelit dan pengoperasian
stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b wajib membuat perencanaan,
membangun, serta mengoperasikan satelit dan
stasiun bumi.
Citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat diperoleh dari penyedia data, baik
secara komersial maupun nonkomersial.
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Lembaga dapat melakukan kerja sama
operasional dengan operator Asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Stasiun bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh Lembaga.
Pasal 18
Citra satelit penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c terdiri atas:
resolusi rendah;
resolusi menengah; dan
resolusi tinggi.
Dalam memperoleh data penginderaan jauh:
resolusi rendah dan menengah dikenai tarif nonkomersial; dan
resolusi tinggi dikenai tarif komersial.
Pengadaan data penginderaan jauh resolusi tinggi untuk Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Lembaga.
Paragraf 3 Pengolahan Data
Pasal 19
Pengolahan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dapat meliputi:
koreksi geometrik;
koreksi radiometrik;
klasifikasi; dan
deteksi parameter geo-bio-fisik.
Pengolahan data penginderaan jauh wajib dilakukan dengan mengacu pada metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh yang ditetapkan oleh Lembaga.
Paragraf 4 Penyimpanan dan Pendistribusian Data
Pasal 20
Lembaga wajib menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian data melalui bank data penginderaan jauh nasional sebagai simpul jaringan data penginderaan jauh dalam sistem jaringan data spasial nasional.
Lembaga dalam menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan metadata dan data penginderaan jauh wilayah Indonesia;
menyediakan data penginderaan jauh dengan tutupan awan minimal dan bebas awan setiap tahun untuk seluruh wilayah Indonesia;
menyediakan informasi mengenai kualitas data penginderaan jauh;
memberikan supervisi terkait pemanfaatan data penginderaan jauh;
memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pengadaan, pemanfaatan, penguasaan teknologi, dan data penginderaan jauh satelit;
menjadi simpul data penginderaan jauh satelit
dalam sistem jaringan data spasial nasional, dan
menyediakan fasilitas pengolahan data
penginderaan jauh bagi para pengguna di luar
Lembaga.
Untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga bertugas:
melakukan pembinaan dan menetapkan
standardisasi data dan produk informasi serta
metode pengolahan penginderaan jauh nasional;
melakukan koordinasi kebutuhan pengadaan data
penginderaan jauh dengan instansi terkait; dan
melaksanakan kerja sama dalam pelestarian data
penginderaan jauh yang dimiliki oleh Penyelenggara
Keantariksaan selain Lembaga.
Pasal 21
Instansi Pemerintah Penyelenggara Keantariksaan wajib menyerahkan metadata dan duplikat data penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
Penyelenggara Keantariksaan, selain Lembaga dan
Instansi Pemerintah, wajib menyerahkan metadata
penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali
ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
Paragraf 5 Pemanfaatan Data dan Diseminasi Informasi
Pasal 22
Pemanfaatan data dan diseminasi informasi
penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf d wajib dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Lembaga.
Lembaga dapat melaksanakan pengolahan klasifikasi dan deteksi parameter geo-bio-fisik atas permintaan pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Penguasaan Teknologi Keantariksaan
Paragraf 1 Umum
Pasal 24
Penguasaan teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
Penguasaan teknologi Keantariksaan meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
penguasaan dan pengembangan teknologi Roket;
penguasaan dan pengembangan teknologi satelit;
penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika; dan
penjalaran teknologi.
Pasal 25
Lembaga wajib mengupayakan terjadinya alih teknologi Keantariksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Dalam hal Lembaga melaksanakan pembuatan, manufaktur, dan pembangunan sarana dan prasarana kegiatan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan, Lembaga dapat mengikutsertakan perusahaan nasional untuk melaksanakan kegiatan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan.
Dalam melaksanakan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan nasional dapat mengikutsertakan pihak Asing sebagai subkontraktor.
Prosedur dan mekanisme pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
Pemerintah menjamin keamanan teknologi-sensitif Keantariksaan yang diimpor ke wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditujukan untuk:
perdamaian;
kepentingan nasional: dan
pemenuhan kewajiban internasional.
Tata cara dan mekanisme penjaminan keamanan teknologi-sensitif Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2 Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Roket
Pasal 28
Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a wajib:
menyusun program pengembangan Roket;
membuat perancangan dan prototipe Roket; dan
melaksanakan pengujian Roket.
Untuk melaksanakan penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga wajib mengembangkan sarana dan prasarana serta sumber daya yang terkait dengan teknologi Roket.
Untuk membuat perancangan dan prototipe Roket
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b dan
melaksanakan pengujian Roket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Lembaga wajib
menjaga Keselamatan dan Keamanan pelaksanaan
kegiatan dan masyarakat umum dari risiko
kecelakaan.
Lembaga mengalokasikan anggaran untuk
penanganan risiko kecelakaan akibat kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c.
Lembaga dapat bekerja sama dengan Penyelenggara
Keantariksaan lainnya, baik dari dalam negeri
maupun Asing, dalam penguasaan dan
pengembangan teknologi Roket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 29
Untuk penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Lembaga wajib mengupayakan terjadinya alih teknologi.
Pemerintah wajib mengupayakan alih teknologi melalui kerja sama internasional.
Paragraf 3 Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Satelit
Pasal 30
Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b wajib:
menyusun program pengembangan satelit nasional,
membuat perancangan dan prototipe satelit,
melaksanakan pengujian satelit:
membangun dan mengoperasikan stasiun bumi untuk telemetri, penjejakan, dan komando jarak jauh: dan
melaksanakan peluncuran satelit dengan kemampuan sendiri dan/atau melalui kerja sama.
Satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibedakan berdasarkan misi:
telekomunikasi:
pengamatan bumi,
pengamatan atmosfer dan Antariksa,
navigasi, dan
tujuan lain yang memiliki nilai manfaat bagi
kemaslahatan dan kesejahteraan nasional.
Dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga dapat mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber daya lainnya.
Penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.
Lembaga membina penguasaan dan pengembangan teknologi satelit yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.
Paragraf 4 Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Aeronautika
Pasal 31
Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c wajib menyusun dan melaksanakan program penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika.
Dalam melakukan penguasaan dan pengembangan
teknologi aeronautika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Lembaga dapat mengembangkan sarana,
prasarana, dan sumber daya yang terkait dengan
teknologi aeronautika.
Dalam melaksanakan penguasaan dan
pengembangan teknologi aeronautika, Lembaga dapat
bekerja sama dengan instansi terkait.
Paragraf 5 Penjalaran Teknologi
Pasal 32
Lembaga dalam melaksanakan penjalaran teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d bertugas:
membina integrasi dan distribusi tanggung jawab kemampuan nasional dalam kegiatan Keantariksaan, baik swasta, akademisi, lembaga penelitian dan pengembangan, maupun lembaga keuangan; dan
mendorong dan memberi rekomendasi kepada industri yang mendukung program kegiatan Keantariksaan.
Dalam melaksanakan penjalaran teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat bertindak sebagai pembeli terikat dari industri kegiatan Keantariksaan nasional berdasarkan rekomendasi Lembaga.
Pasal 33
Setiap orang yang memanfaatkan penggunaan data dan informasi serta jasa teknologi Keantariksaan dapat dikenai biaya tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima Peluncuran
Pasal 34
Peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dilakukan oleh Lembaga di:
wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
kapal atau pesawat udara yang berbendera Indonesia; dan/atau
kapal atau pesawat udara Asing yang berada di wilayah kedaulatan atau wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, peluncuran juga dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia dengan ketentuan Wahana Antariksa yang diluncurkan adalah milik Indonesia.
Pasal 35
Dalam melaksanakan kegiatan peluncuran Wahana Antariksa, Penyelenggara Keantariksaan wajib:
memenuhi persyaratan keuangan dan jaminan
asuransi dari Wahana Antariksa:
mempertimbangkan potensi dan/atau kemungkinan terjadinya kecelakaan dan/atau gangguan kesehatan masyarakat ataupun kerugian material terhadap akibat yang ditimbulkan sangat
kecil;
menjamin Benda Antariksa tidak membawa senjata nuklir, senjata pemusnah massal, atau senjata berbahaya lainnya;
menjamin bahwa peluncuran tidak akan menimbulkan kemungkinan gangguan terhadap keamanan nasional serta tidak akan menimbulkan pelanggaran terhadap kebijakan luar negeri dan kewajiban internasional; dan
memperhatikan dan memenuhi ketentuan tentang keselamatan penerbangan.
Dalam hal peluncuran dilakukan di luar negeri, izin peluncuran wajib memperhatikan perjanjian yang menjamin bahwa Pemerintah Indonesia dapat dibebaskan dari tanggung jawab terhadap Kerugian yang terjadi.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Lembaga.
Bagian Keenam Kegiatan Komersial Keantariksaan
Pasal 37
Kegiatan komersial Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan Asing.
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kegiatan komersial Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III PENYELENGGARAAN KEANTARIKSAAN
Bagian Kesatu Penyelenggara
Pasal 38
Pemerintah wajib melaksanakan Penyelenggaraan Keantariksaan.
Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga.
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada
di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri yang mengoordinasikannya.
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, kewenangan, dan
susunan organisasi Lembaga diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 39
Selain dilaksanakan oleh Lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Penyelenggaraan
Keantariksaan dapat dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah lainnya, Pemerintah Daerah, badan
hukum, dan/atau masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Lembaga.
Bagian Kedua Rencana Induk
Pasal 40
Rencana induk wajib disusun oleh Lembaga sebagai pedoman nasional untuk Penyelenggaraan Keantariksaan.
Rencana induk disusun dengan mempertimbangkan
modal dasar dan lingkungan strategis.
Rencana induk memuat:
visi dan misi;
kebijakan;
strategi; dan
peta rencana strategis jangka pendek, menengah,
dan panjang.
Rencana induk disusun oleh Lembaga untuk jangka
waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan oleh Presiden melalui usulan Menteri yang
mengoordinasikan Lembaga.
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan.
BAB IV PEMBINAAN
Pasal 41
Pemerintah wajib melakukan pembinaan terhadap Penyelenggaraan Keantariksaan.
Pembinaan Penyelenggaraan Keantariksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
pengaturan dan pengendalian.
Pasal 42
Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (2) meliputi penetapan kebijakan umum dan
teknis yang terdiri atas penentuan norma,
standar, pedoman, dan kriteria Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (2) meliputi pemberian arahan, pembimbingan,
pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta pemberian
bantuan teknis di bidang pembangunan dan
pengoperasian.
Pasal 43
Pembinaan Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) diarahkan untuk:
mewujudkan kemampuan sumber daya manusia yang profesional dan berintegritas;
mendorong penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Keantariksaan;
mendorong terwujudnya industri rekayasa dan jasa Keantariksaan untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor yang dapat bersaing dengan produk negara lain,
memanfaatkan sumber daya alam Keantariksaan secara efisien dan digunakan sebesar-besarnya secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup,
mendorong terwujudnya pengakuan internasional atas kepentingan nasional dalam Penyelenggaraan Keantariksaan secara menyeluruh; dan
mewujudkan produktivitas yang tinggi dalam Penyelenggaraan Keantariksaan yang didukung oleh masyarakat, organisasi, dan mekanisme koordinasi dalam keterpaduan, baik dalam lingkup
Penyelenggaraan Keantariksaan itu sendiri maupun dengan bidang-bidang pembangunan lainnya, serta didukung sistem informasi Keantariksaan dan kerja sama dengan bangsa dan negara lain.
BAB V BANDAR ANTARIKSA
Pasal 44
Lembaga membangun dan mengoperasikan Bandar
Antariksa dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Lokasi Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Lembaga.
Lokasi Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan strategis
nasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bandar Antariksa terdiri atas zona:
bahaya satu:
bahaya dua, dan
bahaya tiga.
Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan kawasan terlarang.
Lembaga dalam membangun Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat bekerja sama dengan badan hukum Indonesia.
Pasal 45
Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi
kemudahan dan memfasilitasi keperluan dalam
pembangunan Bandar Antariksa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam menentukan lokasi, pembuatan rancang
bangun, perencanaan, dan pembangunan Bandar
Antariksa, termasuk kawasan di sekelilingnya, wajib
memperhatikan kepentingan nasional, Keamanan dan
Keselamatan peluncuran Wahana Antariksa, serta
kelestarian lingkungan kawasan Bandar Antariksa.
Pasal 46
Pembangunan Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) harus dilengkapi dengan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang.
Pasal 47
Pengaturan dan pengawasan pengoperasian Bandar Antariksa dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 48
Penyelenggara Keantariksaan dalam membangun Bandar Antariksa wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.
Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Setiap orang dilarang mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) yang mengakibatkan kegagalan atau membahayakan Keamanan dan Keselamatan operasional peluncuran Wahana Antariksa.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembangunan dan pengoperasian Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI KEAMANAN DAN KESELAMATAN
Bagian Kesatu Keamanan
Pasal 51
Setiap Penyelenggara Keantariksaan bertanggung
jawab terhadap keamanan Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Untuk menjamin keamanan Penyelenggaraan
Keantariksaan, setiap Penyelenggara Keantariksaan
wajib memenuhi standar dan prosedur Keamanan.
Lembaga wajib mengawasi kepatuhan pemenuhan
standar dan prosedur Keamanan yang dilaksanakan
oleh setiap Penyelenggara Keantariksaan.
Bagian Kedua Keselamatan
Pasal 52
Setiap Penyelenggaraan Keantariksaan wajib
dilaksanakan dengan mematuhi standar
Keselamatan.
Lembaga, Menteri, dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan negara wajib menyediakan informasi keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan.
Lembaga, untuk kepentingan Keselamatan
Keantariksaan, wajib menginformasikan ancaman
Keselamatan kepada Penyelenggara Keantariksaan.
Pasal 53
Lembaga wajib menunjuk dan menetapkan petugas keselamatan peluncuran untuk setiap fasilitas peluncuran yang telah memiliki izin.
Setiap petugas keselamatan peluncuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditugaskan pada
beberapa fasilitas peluncuran.
peluncuran telah dilaksanakan sesuai dengan standar operasional prosedur,
proses peluncuran hingga Benda Antariksa telah mencapai atau melewati orbit tidak membahayakan orang atau benda: dan
kepatuhan izin kegiatan Antariksa atau izin peluncuran.
Pasal 55
Berdasarkan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, petugas keselamatan peluncuran berwenang melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan tugasnya.
Petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
memasuki dan memeriksa fasilitas dan segala Benda Antariksa serta menguji peralatan lainnya yang berada pada fasilitas dengan persetujuan dari pemegang izin kegiatan Keantariksaan atau yang ditunjuk;
mendapat informasi atau bantuan yang dianggap perlu dari pemegang izin, karyawan, serta agen atau kontraktor; dan
memberikan petunjuk mengenai peluncuran Wahana Antariksa, atau peluncuran yang direncanakan, pada fasilitas yang dipandang perlu, termasuk memberikan petunjuk untuk penghentian peluncuran atau pemusnahan Benda Antariksa, baik sebelum maupun setelah diluncurkan.
Petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran dalam melaksanakan tugasnya wajib menunjukkan identitas kepada pemegang izin kegiatan Keantariksaan.
Petugas keselamatan peluncuran dilarang memiliki hubungan bisnis dan hubungan lain yang bersifat mengikat dengan pemegang izin kegiatan Keantariksaan atau izin peluncuran.
Pasal 56
Setiap pemegang izin kegiatan Keantariksaan, karyawan, serta agen atau kontraktor wajib mematuhi petunjuk yang diberikan oleh petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran.
Pasal 57
Ketentuan mengenai standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII PENANGGULANGAN BENDA JATUH ANTARIKSA SERTA
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN ANTARIKSAWAN
Bagian Kesatu Penanggulangan Benda Jatuh Antariksa
Pasal 58
Benda jatuh Antariksa dapat terdiri atas:
benda buatan manusia; dan
benda alamiah.
Benda jatuh Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat jatuh ke bumi dengan terdeteksi ataupun tidak terdeteksi.
Setiap orang dilarang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lembaga wajib mengidentifikasi benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berkoordinasi dengan Instansi Pemerintah lainnya.
Dalam hal benda jatuh Antariksa milik Asing, Lembaga dapat memproses sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku.
Pasal 59
Untuk tujuan Keamanan dan Keselamatan, kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, setiap benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diserahkan kepada Lembaga.
Pasal 60
Pemerintah wajib melakukan investigasi mengenai
penyebab setiap kecelakaan dan/atau bencana yang
serius dalam kegiatan Keantariksaan di wilayah
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penginvestigasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh tim teknis ahli yang dibentuk
dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Tim teknis ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat ad hoc.
Keanggotaan tim teknis ahli paling sedikit melibatkan
keahlian di bidang:
penguasaan teknologi Keantariksaan:,
penguasaan teknologi penerbangan:
hubungan luar negeri,
ketenaganukliran, dan
hukum kedirgantaraan.
Tim teknis ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas melakukan kegiatan investigasi, menyusun laporan akhir, dan memberikan rekomendasi dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama.
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus ditindaklanjuti oleh pihak terkait.
Pasal 61
Tim teknis ahli wajib melaporkan segala
perkembangan dan hasil investigasi kepada Lembaga.
Lembaga dapat menyampaikan laporan hasil
investigasi kepada pihak terkait.
Pasal 62
Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat
bukti dalam proses peradilan.
Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi
rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 63
Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan
bukti, mengubah letak Wahana Antariksa, dan
mengambil bagian atau mengambil barang lain yang
tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius
Wahana Antariksa.
Untuk kepentingan Keamanan dan Keselamatan,
Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan atau
kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipindahkan atas persetujuan instansi yang
berwenang.
Pasal 64
Dalam hal Wahana Antariksa Asing mengalami
kecelakaan di wilayah kedaulatan dan wilayah
yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, wakil
resmi dari negara tempat Wahana Antariksa
diluncurkan, negara tempat badan usaha peluncuran
Wahana Antariksa, negara tempat perancang, dan
negara tempat pembuatan dapat diikutsertakan
dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
Dalam hal Wahana Antariksa yang terdaftar atas
nama Indonesia mengalami kecelakaan di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
negara tempat terjadinya kecelakaan tidak melakukan
investigasi, Pemerintah Republik Indonesia wajib
melakukan investigasi.
Pasal 65
Orang perseorangan, jika diminta, wajib memberikan
keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk
kelancaran investigasi yang dibutuhkan oleh tim
teknis ahli.
Otoritas Bandar Antariksa dan petugas keselamatan
peluncuran Wahana Antariksa wajib membantu
kelancaran investigasi kecelakaan Wahana Antariksa.
Pasal 66
Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan Wahana Antariksa wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja Bandar Antariksa untuk:
melindungi personel Wahana Antariksa dan penumpangnya; dan
mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak Wahana Antariksa, merusak, dan/atau mengambil barang dari Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan.
Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh tim teknis ahli.
Pasal 67
Dalam melaksanakan investigasi, tim teknis ahli berwenang:
menghadirkan seseorang untuk dimintai keterangan terkait dengan proses investigasi; dan
memerintahkan seseorang untuk menyerahkan dokumen atau catatan tertentu, bagian tertentu, atau komponen dari Benda Antariksa atau benda lain yang relevan dalam proses investigasi.
Dalam melaksanakan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan secara tertulis dilakukan terlebih dahulu.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditandatangani oleh tim teknis ahli dan harus dicantumkan waktu dan tempat orang tersebut harus hadir atau menyerahkan benda yang dianggap relevan dalam proses investigasi.
Tim teknis ahli dapat meminta keterangan seseorang
sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf a di bawah
sumpah atau di bawah pernyataan.
Tim teknis ahli dapat:
menyita benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b selama diperlukan untuk tujuan investigasi; dan
membuat salinan atau menyalin dokumen atau catatan jika benda tersebut berupa dokumen atau catatan.
Apabila seseorang memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, keterangan dan informasi lain yang didapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dijadikan bukti yang memberatkan orang tersebut dalam proses persidangan, kecuali dalam hal persidangan berkaitan dengan pemberian keterangan palsu.
Apabila seseorang menyerahkan benda-benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, benda dan informasi lain yang didapatkan secara langsung ataupun tidak langsung tidak dapat dijadikan bukti yang memberatkan orang tersebut dalam persidangan perkara pidana atau persidangan perkara tuntutan ganti rugi.
Orang yang dihadirkan oleh tim teknis ahli dapat
memperoleh penggantian biaya.
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan investigasi kecelakaan Wahana Antariksa diatur dalam Peraturan Lembaga.
Pasal 69
Segera setelah terjadi kecelakaan, izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 akan ditangguhkan sampai pembekuan tersebut dicabut oleh Menteri.
Izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak akan berlaku selama dibekukan.
Masa izin peluncuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih tetap berlaku selama masa pembekuan.
Izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut atau diubah selama dalam masa pembekuan.
Ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan penangguhan, pembekuan, pencabutan, dan perubahan izin peluncuran diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pencarian dan Pertolongan Antariksawan
Pasal 70
Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan
pencarian dan pertolongan terhadap pendaratan
darurat dan/atau kecelakaan antariksawan yang
terjadi di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan
pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pencarian dan pertolongan.
BAB VIII PENDAFTARAN
Pasal 71
Setiap Benda Antariksa yang diluncurkan dari
wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau diluncurkan
di wilayah negara lain oleh Instansi Pemerintah,
badan hukum, atau warga negara Indonesia wajib
didaftarkan kepada Lembaga.
Daftar Wahana Antariksa paling sedikit memuat:
nama negara peluncur,
keterangan tanda Wahana Antariksa atau Nomor
Pendaftaran Wahana Antariksa,
tanggal, waktu, dan tempat peluncuran;
parameter orbit dasar yang meliputi periode nodal,
inklinasi, serta apogee dan perigee Wahana Antariksa;
fungsi umum Wahana Antariksa;
nama negara peserta lain jika terdapat lebih dari satu negara peluncur; dan
informasi lain yang dianggap terkait dan berguna untuk tujuan pendaftaran.
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberi nomor pendaftaran.
Pelaksanaan pendaftaran Wahana Antariksa harus memperhatikan praktik pelaksanaan pendaftaran Benda Antariksa sesuai dengan Konvensi tentang Pendaftaran Benda-Benda yang Diluncurkan ke Antariksa.
Pasal 72
Daftar Wahana Antariksa wajib diumumkan, mudah
diakses, dan dapat terkoneksi secara internasional
serta disimpan secara khusus oleh Lembaga pada
pusat data dan informasi Keantariksaan.
Lembaga dapat mengubah dan menghapus data
Benda Antariksa dari basis data sesuai dengan
keperluannya.
Lembaga wajib mendaftarkan data Wahana Antariksa
Indonesia kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
BAB IX KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 73
Pemerintah dapat mengadakan kerja sama
internasional di bidang Keantariksaan dengan
pemerintah negara lain, lembaga, atau organisasi
internasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
penguasaan teknologi;
pemanfaatan teknologi;
alih pengetahuan;
alih teknologi; dan/atau
peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Pasal 74
Pemerintah harus terlibat aktif dalam keanggotaan
internasional Keantariksaan untuk
meningkatkan kerja sama internasional.
organisasi
Keikutsertaan Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 75
Kerja sama internasional Keantariksaan diarahkan
untuk upaya alih teknologi dan/atau ilmu
pengetahuan serta untuk mendorong kemandirian
dalam kegiatan Penyelenggaraan Keantariksaan.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dalam setiap kerja sama internasional Keantariksaan wajib mengupayakan:
pemberian peluang pelatihan dan kesempatan kerja bagi staf teknisi terkait;
penyelenggaraan hubungan dengan pusat-pusat penelitian, baik pemerintah maupun swasta;
pengusahaan bersama oleh swasta dan pemerintah;
pengembangan kemampuan kapasitas untuk penelitian; penerapan dan manajemen melalui pengembangan sumber daya manusia; peningkatan kapasitas kelembagaan untuk penelitian dan pengembangan; serta program-program implementasi dan penelitian kebutuhan teknologi dan kemitraan jangka panjang antara pemilik teknologi dan pengguna potensial lokal.
Tata cara pelaksanaan kerja sama internasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X TANGGUNG JAWAB DAN GANTI RUGI
Bagian Kesatu Tanggung Jawab
Pasal 76
Pemerintah Republik Indonesia bertanggung jawab
secara internasional atas setiap Penyelenggaraan
Keantariksaan yang dilakukan di wilayah kedaulatan
dan/atau wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam hal terdapat Kerugian akibat dari
Penyelenggaraan Keantariksaan, ganti rugi menjadi
tanggung jawab Penyelenggara Keantariksaan.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 77
Tanggung jawab terhadap Kerugian yang ditimbulkan
oleh Penyelenggaraan Keantariksaan yang terjadi
di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang
sedang dalam penerbangan bersifat mutlak.
Tanggung jawab terhadap Kerugian yang terjadi
di Antariksa dan/atau terhadap Wahana Antariksa
di antara esama Penyelenggara Keantariksaan
didasarkan atas adanya unsur kesalahan.
Tanggung jawab terhadap Kerugian di antara sesama
Penyelenggara Keantariksaan sebagaimana dimaksud.
pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perjanjian para
pihak.
Pasal 78
Dalam hal terjadi pengalihan kepemilikan terhadap
aset Keantariksaan, tanggung jawab Penyelenggara
Keantariksaan beralih sejak berlakunya perjanjian
pengalihan.
Pengalihan kepemilikan aset Keantariksaan milik
pemerintah dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur barang milik
negara/daerah.
Perjanjian pengalihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat meniadakan ketentuan yang
terdapat dalam Bab VI.
Bagian Kedua Ganti Rugi
Pasal 79
Tuntutan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan
mekanisme hukum internasional yang berlaku, baik
melalui jalur diplomatik, Komisi Penuntutan, maupun
badan peradilan nasional.
Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib mengganti
setiap Kerugian yang timbul akibat Penyelenggaraan
Keantariksaan yang dilakukan.
Kerugian sebagai akibat dari kegiatan Keantariksaan
yang dapat dimintakan kompensasinya adalah
Kerugian yang bersifat fisik dan langsung, termasuk
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
kegiatan pertolongan dan pembersihan.
Pasal 80
Tuntutan ganti rugi hanya dapat diajukan:
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah hari
timbulnya Kerugian; atau
dalam hal timbul Kerugian, tetapi pihak yang menuntut tidak mengetahui bahwa Kerugian tersebut telah terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pihak yang menuntut:
mengetahui adanya Kerugian; atau
akan mengetahui adanya Kerugian.
Pasal 81
Pengaturan beban tanggung jawab renteng atas Kerugian yang diderita oleh negara atau pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) dapat ditentukan oleh Penyelenggara Keantariksaan terkait.
Pasal 82
Dalam hal terjadi Kerugian yang diderita oleh badan
dan/atau warga negara Indonesia akibat kegiatan
Keantariksaan, gugatan dapat diajukan kepada pihak
pelaku kegiatan Keantariksaan melalui lembaga
peradilan, lembaga arbitrase, dan/atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa.
Pengajuan gugatan dan penyelesaian ganti rugi dapat
difasilitasi oleh Pemerintah.
Pembayaran ganti rugi kepada korban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan
segera, efektif, dan layak.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XI ASURANSI, PENJAMINAN, DAN FASILITAS
Bagian Kesatu Asuransi
Pasal 84
Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib mengasuransikan tanggung jawab Kerugian terhadap pihak ketiga yang timbul sebagai akibat dari kegiatan Keantariksaan yang dilakukan.
Ketentuan tentang kewajiban asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Instansi
Pemerintah.
Ketentuan mengenai asuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ketentuan penggantian Kerugian
akibat kecelakaan Penyelenggaraan Keantariksaan
oleh Instansi Pemerintah diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua Penjaminan
Pasal 85
Aset Keantariksaan yang bukan milik pemerintah
dapat dijadikan objek penjaminan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan perjanjian penjaminan wajib mematuhi
ketentuan Bab X dan Bab XV dalam Undang-Undang
ini.
Aset Keantariksaan milik pemerintah dilarang untuk
dijadikan objek penjaminan.
Bagian Ketiga Fasilitas
Pasal 86
Dalam rangka mendorong pengembangan Keantariksaan, Penyelenggara Keantariksaan dapat diberi fasilitas oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII PELESTARIAN LINGKUNGAN
Pasal 87
Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib menjaga dan menjamin terpeliharanya pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 88
Untuk menghindari kerusakan lingkungan bumi dari
kontaminasi yang disebabkan oleh Penyelenggaraan
Keantariksaan, setiap Penyelenggara Keantariksaan
dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Ketentuan mengenai baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XIII PENDANAAN
Pasal 89
Sumber pendanaan kegiatan Keantariksaan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, hibah, swasta, dan kerja sama internasional.
BAB XIV PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 90
Dalam rangka meningkatkan Penyelenggaraan
Keantariksaan secara optimal, masyarakat memiliki
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam kegiatan Keantariksaan.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
memantau dan menjaga ketertiban
Penyelenggaraan Keantariksaan:
memberikan masukan kepada Pemerintah dalam
penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar
teknis di bidang Keantariksaan,
memberikan masukan kepada Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan,
penyelenggaraan, dan pengawasan kegiatan
Keantariksaan:
menyampaikan pendapat dan pertimbangan
kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan
Keantariksaan yang mengakibatkan dampak
penting terhadap lingkungan:
melaporkan apabila mengetahui terjadinya
ketidaksesuaian prosedur Keantariksaan atau
ketidakberfungsian peralatan dan fasilitas
Keantariksaan:
melaporkan apabila mengetahui terjadinya
kecelakaan atau kejadian terhadap peluncuran
Wahana Antariksa atau adanya benda jatuh dari
Antariksa:
mengutamakan dan mempromosikan budaya
Keselamatan Keantariksaan, dan/atau
melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan Keantariksaan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Penyelenggara
Keantariksaan menindaklanjuti masukan, pendapat,
dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.
Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), masyarakat ikut bertanggung
jawab menjaga ketertiban serta Keselamatan dan
Keamanan kegiatan Keantariksaan.
Pasal 91
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XV SANKSI PERDATA DAN ADMINISTRATIF
Pasal 93
Setiap kegiatan Keantariksaan yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Keantariksaan yang karena kesalahannya mengakibatkan Kerugian, Penyelenggara Keantariksaan dikenai tuntutan ganti rugi yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 94
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 35, Pasal 45 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51 ayat (2), Pasal 56, atau Pasal 65 dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
peringatan tertulis,
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan,
denda administratif:
pembongkaran bangunan:
pencabutan izin,
pembubaran korporasi atau badan hukum:
larangan menduduki suatu jabatan: dan/atau
pencabutan hak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif dan besaran denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB XVI KETENTUAN PIDANA
Pasal 95
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan
hasil penelitian yang bersifat sensitif dan dapat
berdampak luas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan terganggunya kepentingan
keamanan nasional atau kepentingan pemerintah,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 96
Setiap orang yang melaksanakan kegiatan peluncuran
Wahana Antariksa yang dengan sengaja tidak
memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi barang atau orang dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Pasal 97
Setiap orang yang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa yang jatuh di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (1), yang sudah diberi tanda batas larangan masuk dalam area benda jatuh tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98
Setiap orang yang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, yang mengakibatkan tercemar atau terkontaminasinya lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 99
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan salah satu atau lebih kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Pasal 100
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
BAB XVII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
Dalam hal
Penyelenggaraan Keantariksaan untuk
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit untuk kegiatan Keantariksaan, pembinaannya
dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan
informatika sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Pasal 102
Lembaga menyusun rencana penggunaan frekuensi
radio untuk Penyelenggaraan Keantariksaan nasional
dan pemutakhirannya serta melaporkan kepada
menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Lembaga wajib mendaftarkan penggunaan frekuensi radio untuk operasi satelit ke Badan Telekomunikasi Internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika
wajib memprioritaskan penggunaan frekuensi radio
untuk kegiatan Keantariksaan.
BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 103
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pembangunan dan pengoperasian stasiun bumi yang telah ada wajib dilaporkan pengoperasiannya paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
BAB XIX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 104
Peraturan
Pemerintah
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Peraturan
Presiden
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Peraturan
Lembaga
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 105
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 133