Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 (UU/2013/21)  (2013) 
tentang Keantariksaan

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG
KEANTARIKSAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya;
  3. bahwa peraturan perundang-undangan Keantariksaan saat ini belum mengatur secara terpadu dan komprehensif serta belum menjadi landasan hukum bagi Penyelenggaraan Keantariksaan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keantariksaan;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEANTARIKSAAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
  2. Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
  3. Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang mengandung udara yang bersifat gas.
  4. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara, maupun Antariksa.
  5. Penyelenggara Keantariksaan adalah pihak atau subjek yang melaksanakan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  6. Asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing.
  7. Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.
  1. Wahana Antariksa adalah benda buatan manusia yang terkait dengan Keantariksaan dan bagianbagiannya.
  2. Roket adalah bagian Wahana Antariksa yang digunakan untuk mengantarkan muatan ke Antariksa dan/atau mengembalikan Wahana Antariksa, termasuk muatannya ke bumi.
  3. Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya.
  4. Keselamatan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan Keselamatan dalam pemanfaatan wilayah Indonesia, Wahana Antariksa, kawasan Bandar Antariksa, transportasi Antariksa, navigasi Keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
  5. Keamanan adalah segala upaya dan komitmen secara internasional bagi setiap Penyelenggara Keantariksaan untuk memelihara dan/atau menjamin pemanfaatan Antariksa dan benda-benda langit lainnya untuk maksud-maksud damai dan tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan bumi dan Antariksa melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.
  6. Kerugian adalah suatu keadaan yang menimbulkan kematian, luka-luka, atau bentuk lain dari terganggunya kesehatan seseorang, hilang atau rusaknya harta milik negara, milik pribadi, atau badan hukum, atau harta benda organisasi internasional antarpemerintah.
  7. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  8. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  9. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
  1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi.
  2. Lembaga adalah Instansi Pemerintah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya serta Penyelenggaraan Keantariksaan.

Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan:
  1. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  2. mengoptimalkan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas bangsa;
  3. menjamin keberlanjutan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  4. memberikan landasan dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  5. mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan;
  6. melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  7. mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional Keantariksaan demi kepentingan nasional; dan
  8. mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang menjadi komponen pendukung pertahanan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3
  1. Antariksa merupakan wilayah bersama yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan semua negara.
  2. Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara tanpa diskriminasi, berdasarkan asas persamaan, dan sesuai dengan hukum internasional.

Pasal 4
  1. Setiap Wahana Antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam yurisdiksi dan kontrol Pemerintah Republik Indonesia.
  2. Setiap orang yang berada dalam sarana dan prasarana Keantariksaan milik Negara Kesatuan Republik Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan Indonesia.

Pasal 5
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
  1. semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilaksanakan di dan/atau dari wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilaksanakan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang terlibat dan/atau berpartisipasi dalam Penyelenggaraan Keantariksaan; dan
  4. Asing yang telah mendapat izin menyelenggarakan kegiatan Keantariksaan.

Pasal 6
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
  1. kegiatan Keantariksaan;
  2. Penyelenggaraan Keantariksaan;
  3. pembinaan;
  4. Bandar Antariksa;
  5. Keamanan dan Keselamatan;
  6. penanggulangan benda jatuh Antariksa serta pencarian dan pertolongan antariksawan;
  7. pendaftaran;
  8. kerja sama internasional;
  9. tanggung jawab dan ganti rugi;
  10. asuransi, penjaminan, dan fasilitas; untuk
  11. pelestarian lingkungan;
  12. pendanaan;
  13. peran serta masyarakat; dan
  14. sanksi.


BAB II
KEGIATAN KEANTARIKSAAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 7
  1. Kegiatan Keantariksaan meliputi:
    1. sains Antariksa;
    2. penginderaan jauh;
    3. penguasaan teknologi Keantariksaan;
    4. peluncuran; dan
    5. kegiatan komersial Keantariksaan.
  2. Kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan:
    1. kepentingan nasional;
    2. Keamanan dan Keselamatan;
    3. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
    4. sumber daya manusia Keantariksaan yang profesional;
    5. manfaat, efektivitas, dan efisiensi;
    6. keandalan sarana dan prasarana Keantariksaan;
    7. pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lingkungan Antariksa; dan
    8. ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian internasional yang Indonesia menjadi negara pihak.

Pasal 8
Setiap kegiatan Keantariksaan dilarang:
  1. menempatkan, mengorbitkan, atau mengoperasikan senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di Antariksa;
  2. melakukan uji senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di Antariksa;
  3. menggunakan bulan dan Benda Antariksa alam lainnya untuk tujuan militer atau tujuan lain yang mencelakakan umat manusia;
  4. melakukan kegiatan yang dapat mengancam Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan termasuk keamanan Benda Antariksa, perseorangan, dan kepentingan umum; atau
  1. melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup bumi dan Antariksa serta membahayakan kegiatan Keantariksaan termasuk penghancuran Benda Antariksa.

Pasal 9
Untuk pemutakhiran status dan perkembangan kegiatan Keantariksaan dan pemberian rekomendasi bagi kebijakan pengembangannya, wajib melaksanakan pengkajian kebijakan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 secara periodik setiap tahun.

Pasal 10
  1. Dalam keadaan damai, kegiatan Keantariksaan dimaksudkan untuk pencapaian tujuan nasional dan kepentingan nasional.
  2. Dalam hal negara dalam keadaan bahaya dan untuk tujuan pertahanan dan keamanan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dapat memanfaatkan seluruh Penyelenggaraan sarana dan prasarana Keantariksaan Indonesia.


Bagian Kedua
Sains Antariksa


Pasal 11
  1. Sains Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
  2. Kegiatan sains Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada, penelitian mengenai:
    1. cuaca Antariksa;
    2. lingkungan Antariksa; dan
    3. astrofisika.
  1. Penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana:
    1. satelit;
    2. stasiun Antariksa; dan
    3. fasilitas observasi di ruas bumi.
  2. Selain menggunakan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penelitian Antariksa dapat pula dilakukan melalui:
    1. partisipasi aktif dalam penelitian Keantariksaan internasional; dan/atau
    2. kerja sama dengan Instansi Pemerintah dan badan hukum lain di luar negeri.

Pasal 12
Dalam hal hasil penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 bersifat sensitif dan/atau berpotensi memberikan dampak luas, Penyelenggara Keantariksaan wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Lembaga.

Pasal 13
  1. Lembaga wajib memberikan informasi khusus tentang:
    1. cuaca Antariksa;
    2. mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa; dan
    3. peringatan dini.
  2. Selain wajib memberikan informasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga juga wajib memberikan bantuan teknis.

Pasal 14
Informasi khusus tentang:
  1. cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a disampaikan kepada Instansi Pemerintah yang menangani komunikasi radio, operasi satelit, dan navigasi berbasis satelit; dan
  2. mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c disampaikan kepada instansi yang berwenang dalam penanggulangan bencana.


Bagian Ketiga
Penginderaan Jauh


Paragraf 1
Umum

Pasal 15
  1. Penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
    1. perolehan data;
    2. pengolahan data;
    3. penyimpanan dan pendistribusian data; dan
    4. pemanfaatan data dan diseminasi informasi.
  2. Hasil kegiatan penginderaan jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. data primer;
    2. data proses; dan
    3. analisis informasi.

Paragraf 2
Perolehan Data

Pasal 16
  1. Perolehan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui:
    1. pengoperasian satelit;
    2. pengoperasian stasiun bumi; dan/atau
    3. citra satelit.
  1. Lembaga dalam memperoleh data penginderaan jauh melalui pengoperasian satelit dan pengoperasian stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib membuat perencanaan, membangun, serta mengoperasikan satelit dan stasiun bumi.
  2. Citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperoleh dari penyedia data, baik secara komersial maupun nonkomersial.
  3. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga dapat melakukan kerja sama operasional dengan operator Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
Stasiun bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh Lembaga.

Pasal 18
  1. Citra satelit penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c terdiri atas:
    1. resolusi rendah;
    2. resolusi menengah; dan
    3. resolusi tinggi.
  2. Dalam memperoleh data penginderaan jauh:
    1. resolusi rendah dan menengah dikenai tarif nonkomersial; dan
    2. resolusi tinggi dikenai tarif komersial.
  3. Pengadaan data penginderaan jauh resolusi tinggi untuk Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Lembaga.

Paragraf 3
Pengolahan Data

Pasal 19
  1. Pengolahan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dapat meliputi:
    1. koreksi geometrik;
    2. koreksi radiometrik;
    3. klasifikasi; dan
    4. deteksi parameter geo-bio-fisik.
  2. Pengolahan data penginderaan jauh wajib dilakukan dengan mengacu pada metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh yang ditetapkan oleh Lembaga.

Paragraf 4
Penyimpanan dan Pendistribusian Data

Pasal 20
  1. Lembaga wajib menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian data melalui bank data penginderaan jauh nasional sebagai simpul jaringan data penginderaan jauh dalam sistem jaringan data spasial nasional.
  2. Lembaga dalam menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
    1. mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan metadata dan data penginderaan jauh wilayah Indonesia;
    2. menyediakan data penginderaan jauh dengan tutupan awan minimal dan bebas awan setiap tahun untuk seluruh wilayah Indonesia;
    3. menyediakan informasi mengenai kualitas data penginderaan jauh;
    4. memberikan supervisi terkait pemanfaatan data penginderaan jauh;
    5. memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pengadaan, pemanfaatan, penguasaan teknologi, dan data penginderaan jauh satelit;
  1. menjadi simpul data penginderaan jauh satelit dalam sistem jaringan data spasial nasional, dan
  2. menyediakan fasilitas pengolahan data penginderaan jauh bagi para pengguna di luar Lembaga.
  1. Untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga bertugas:
    1. melakukan pembinaan dan menetapkan standardisasi data dan produk informasi serta metode pengolahan penginderaan jauh nasional;
    2. melakukan koordinasi kebutuhan pengadaan data penginderaan jauh dengan instansi terkait; dan
    3. melaksanakan kerja sama dalam pelestarian data penginderaan jauh yang dimiliki oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.

Pasal 21
  1. Instansi Pemerintah Penyelenggara Keantariksaan wajib menyerahkan metadata dan duplikat data penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
  2. Penyelenggara Keantariksaan, selain Lembaga dan Instansi Pemerintah, wajib menyerahkan metadata penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.

Paragraf 5
Pemanfaatan Data dan Diseminasi Informasi

Pasal 22
  1. Pemanfaatan data dan diseminasi informasi penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d wajib dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Lembaga.
  2. Lembaga dapat melaksanakan pengolahan klasifikasi dan deteksi parameter geo-bio-fisik atas permintaan pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Penguasaan Teknologi Keantariksaan


Paragraf 1
Umum

Pasal 24
  1. Penguasaan teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
  2. Penguasaan teknologi Keantariksaan meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
    1. penguasaan dan pengembangan teknologi Roket;
    2. penguasaan dan pengembangan teknologi satelit;
    3. penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika; dan
    4. penjalaran teknologi.

Pasal 25
Lembaga wajib mengupayakan terjadinya alih teknologi Keantariksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26
  1. Dalam hal Lembaga melaksanakan pembuatan, manufaktur, dan pembangunan sarana dan prasarana kegiatan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan, Lembaga dapat mengikutsertakan perusahaan nasional untuk melaksanakan kegiatan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan.
  2. Dalam melaksanakan penguasaan dan pengembangan teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan nasional dapat mengikutsertakan pihak Asing sebagai subkontraktor.
  1. Prosedur dan mekanisme pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27
  1. Pemerintah menjamin keamanan teknologi-sensitif Keantariksaan yang diimpor ke wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Penjaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
    1. perdamaian;
    2. kepentingan nasional: dan
    3. pemenuhan kewajiban internasional.
  3. Tata cara dan mekanisme penjaminan keamanan teknologi-sensitif Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Roket

Pasal 28
  1. Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a wajib:
    1. menyusun program pengembangan Roket;
    2. membuat perancangan dan prototipe Roket; dan
    3. melaksanakan pengujian Roket.
  2. Untuk melaksanakan penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga wajib mengembangkan sarana dan prasarana serta sumber daya yang terkait dengan teknologi Roket.
  1. Untuk membuat perancangan dan prototipe Roket sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b dan melaksanakan pengujian Roket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Lembaga wajib menjaga Keselamatan dan Keamanan pelaksanaan kegiatan dan masyarakat umum dari risiko kecelakaan.
  2. Lembaga mengalokasikan anggaran untuk penanganan risiko kecelakaan akibat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
  3. Lembaga dapat bekerja sama dengan Penyelenggara Keantariksaan lainnya, baik dari dalam negeri maupun Asing, dalam penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 29
  1. Untuk penguasaan dan pengembangan teknologi Roket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Lembaga wajib mengupayakan terjadinya alih teknologi.
  2. Pemerintah wajib mengupayakan alih teknologi melalui kerja sama internasional.

Paragraf 3
Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Satelit

Pasal 30
  1. Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b wajib:
    1. menyusun program pengembangan satelit nasional,
    2. membuat perancangan dan prototipe satelit,
    3. melaksanakan pengujian satelit:
    4. membangun dan mengoperasikan stasiun bumi untuk telemetri, penjejakan, dan komando jarak jauh: dan
    5. melaksanakan peluncuran satelit dengan kemampuan sendiri dan/atau melalui kerja sama.
  1. Satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibedakan berdasarkan misi:
    1. telekomunikasi:
    2. pengamatan bumi,
    3. pengamatan atmosfer dan Antariksa,
    4. navigasi, dan
    5. tujuan lain yang memiliki nilai manfaat bagi kemaslahatan dan kesejahteraan nasional.
  2. Dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga dapat mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber daya lainnya.
  3. Penguasaan dan pengembangan teknologi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.
  4. Lembaga membina penguasaan dan pengembangan teknologi satelit yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.

Paragraf 4
Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Aeronautika

Pasal 31
  1. Lembaga dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c wajib menyusun dan melaksanakan program penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika.
  2. Dalam melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga dapat mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber daya yang terkait dengan teknologi aeronautika.
  3. Dalam melaksanakan penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika, Lembaga dapat bekerja sama dengan instansi terkait.

Paragraf 5
Penjalaran Teknologi

Pasal 32
  1. Lembaga dalam melaksanakan penjalaran teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d bertugas:
    1. membina integrasi dan distribusi tanggung jawab kemampuan nasional dalam kegiatan Keantariksaan, baik swasta, akademisi, lembaga penelitian dan pengembangan, maupun lembaga keuangan; dan
    2. mendorong dan memberi rekomendasi kepada industri yang mendukung program kegiatan Keantariksaan.
  2. Dalam melaksanakan penjalaran teknologi Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat bertindak sebagai pembeli terikat dari industri kegiatan Keantariksaan nasional berdasarkan rekomendasi Lembaga.

Pasal 33
Setiap orang yang memanfaatkan penggunaan data dan informasi serta jasa teknologi Keantariksaan dapat dikenai biaya tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Peluncuran


Pasal 34
  1. Peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dilakukan oleh Lembaga di:
    1. wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    2. wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    3. kapal atau pesawat udara yang berbendera Indonesia; dan/atau
  1. kapal atau pesawat udara Asing yang berada di wilayah kedaulatan atau wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  1. Selain peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, peluncuran juga dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia dengan ketentuan Wahana Antariksa yang diluncurkan adalah milik Indonesia.

Pasal 35
  1. Dalam melaksanakan kegiatan peluncuran Wahana Antariksa, Penyelenggara Keantariksaan wajib:
    1. memenuhi persyaratan keuangan dan jaminan asuransi dari Wahana Antariksa:
    2. mempertimbangkan potensi dan/atau kemungkinan terjadinya kecelakaan dan/atau gangguan kesehatan masyarakat ataupun kerugian material terhadap akibat yang ditimbulkan sangat kecil;
    3. menjamin Benda Antariksa tidak membawa senjata nuklir, senjata pemusnah massal, atau senjata berbahaya lainnya;
    4. menjamin bahwa peluncuran tidak akan menimbulkan kemungkinan gangguan terhadap keamanan nasional serta tidak akan menimbulkan pelanggaran terhadap kebijakan luar negeri dan kewajiban internasional; dan
    5. memperhatikan dan memenuhi ketentuan tentang keselamatan penerbangan.
  2. Dalam hal peluncuran dilakukan di luar negeri, izin peluncuran wajib memperhatikan perjanjian yang menjamin bahwa Pemerintah Indonesia dapat dibebaskan dari tanggung jawab terhadap Kerugian yang terjadi.

Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peluncuran Wahana Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Lembaga.


Bagian Keenam
Kegiatan Komersial Keantariksaan


Pasal 37
  1. Kegiatan komersial Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan Asing.
  2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kegiatan komersial Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB III
PENYELENGGARAAN KEANTARIKSAAN


Bagian Kesatu
Penyelenggara


Pasal 38
  1. Pemerintah wajib melaksanakan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  2. Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga.
  3. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikannya.
  4. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, kewenangan, dan susunan organisasi Lembaga diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 39
  1. Selain dilaksanakan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Penyelenggaraan Keantariksaan dapat dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah lainnya, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Lembaga.


Bagian Kedua
Rencana Induk


Pasal 40
  1. Rencana induk wajib disusun oleh Lembaga sebagai pedoman nasional untuk Penyelenggaraan Keantariksaan.
  2. Rencana induk disusun dengan mempertimbangkan modal dasar dan lingkungan strategis.
  3. Rencana induk memuat:
    1. visi dan misi;
    2. kebijakan;
    3. strategi; dan
    4. peta rencana strategis jangka pendek, menengah, dan panjang.
  4. Rencana induk disusun oleh Lembaga untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
  5. Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Presiden melalui usulan Menteri yang mengoordinasikan Lembaga.
  6. Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan.


BAB IV
PEMBINAAN


Pasal 41
  1. Pemerintah wajib melakukan pembinaan terhadap Penyelenggaraan Keantariksaan.
  2. Pembinaan Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pengaturan dan pengendalian.

Pasal 42
  1. Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, dan kriteria Penyelenggaraan Keantariksaan.
  2. Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) meliputi pemberian arahan, pembimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta pemberian bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.

Pasal 43
Pembinaan Penyelenggaraan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) diarahkan untuk:
  1. mewujudkan kemampuan sumber daya manusia yang profesional dan berintegritas;
  2. mendorong penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Keantariksaan;
  3. mendorong terwujudnya industri rekayasa dan jasa Keantariksaan untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor yang dapat bersaing dengan produk negara lain,
  4. memanfaatkan sumber daya alam Keantariksaan secara efisien dan digunakan sebesar-besarnya secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup,
  5. mendorong terwujudnya pengakuan internasional atas kepentingan nasional dalam Penyelenggaraan Keantariksaan secara menyeluruh; dan
  6. mewujudkan produktivitas yang tinggi dalam Penyelenggaraan Keantariksaan yang didukung oleh masyarakat, organisasi, dan mekanisme koordinasi dalam keterpaduan, baik dalam lingkup Penyelenggaraan Keantariksaan itu sendiri maupun dengan bidang-bidang pembangunan lainnya, serta didukung sistem informasi Keantariksaan dan kerja sama dengan bangsa dan negara lain.


BAB V
BANDAR ANTARIKSA


Pasal 44
  1. Lembaga membangun dan mengoperasikan Bandar Antariksa dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Lokasi Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Lembaga.
  3. Lokasi Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Bandar Antariksa terdiri atas zona:
    1. bahaya satu:
    2. bahaya dua, dan
    3. bahaya tiga.
  5. Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan kawasan terlarang.
  6. Lembaga dalam membangun Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat bekerja sama dengan badan hukum Indonesia.

Pasal 45
  1. Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi kemudahan dan memfasilitasi keperluan dalam pembangunan Bandar Antariksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam menentukan lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan, dan pembangunan Bandar Antariksa, termasuk kawasan di sekelilingnya, wajib memperhatikan kepentingan nasional, Keamanan dan Keselamatan peluncuran Wahana Antariksa, serta kelestarian lingkungan kawasan Bandar Antariksa.

Pasal 46
Pembangunan Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) harus dilengkapi dengan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang.

Pasal 47
Pengaturan dan pengawasan pengoperasian Bandar Antariksa dilaksanakan oleh Pemerintah.

Pasal 48
  1. Penyelenggara Keantariksaan dalam membangun Bandar Antariksa wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.
  2. Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49
Setiap orang dilarang mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) yang mengakibatkan kegagalan atau membahayakan Keamanan dan Keselamatan operasional peluncuran Wahana Antariksa.

Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembangunan dan pengoperasian Bandar Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB VI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN


Bagian Kesatu
Keamanan


Pasal 51
  1. Setiap Penyelenggara Keantariksaan bertanggung jawab terhadap keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  1. Untuk menjamin keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan, setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib memenuhi standar dan prosedur Keamanan.
  2. Lembaga wajib mengawasi kepatuhan pemenuhan standar dan prosedur Keamanan yang dilaksanakan oleh setiap Penyelenggara Keantariksaan.


Bagian Kedua
Keselamatan


Pasal 52
  1. Setiap Penyelenggaraan Keantariksaan wajib dilaksanakan dengan mematuhi standar Keselamatan.
  2. Lembaga, Menteri, dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan negara wajib menyediakan informasi keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  3. Lembaga, untuk kepentingan Keselamatan Keantariksaan, wajib menginformasikan ancaman Keselamatan kepada Penyelenggara Keantariksaan.

Pasal 53
  1. Lembaga wajib menunjuk dan menetapkan petugas keselamatan peluncuran untuk setiap fasilitas peluncuran yang telah memiliki izin.
  2. Setiap petugas keselamatan peluncuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditugaskan pada beberapa fasilitas peluncuran.

Pasal 54
Petugas keselamatan peluncuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) bertugas memastikan:
  1. peluncuran telah dilaksanakan sesuai dengan standar operasional prosedur,
  2. proses peluncuran hingga Benda Antariksa telah mencapai atau melewati orbit tidak membahayakan orang atau benda: dan
  1. kepatuhan izin kegiatan Antariksa atau izin peluncuran.

Pasal 55
  1. Berdasarkan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, petugas keselamatan peluncuran berwenang melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan tugasnya.
  2. Petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
    1. memasuki dan memeriksa fasilitas dan segala Benda Antariksa serta menguji peralatan lainnya yang berada pada fasilitas dengan persetujuan dari pemegang izin kegiatan Keantariksaan atau yang ditunjuk;
    2. mendapat informasi atau bantuan yang dianggap perlu dari pemegang izin, karyawan, serta agen atau kontraktor; dan
    3. memberikan petunjuk mengenai peluncuran Wahana Antariksa, atau peluncuran yang direncanakan, pada fasilitas yang dipandang perlu, termasuk memberikan petunjuk untuk penghentian peluncuran atau pemusnahan Benda Antariksa, baik sebelum maupun setelah diluncurkan.
  3. Petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran dalam melaksanakan tugasnya wajib menunjukkan identitas kepada pemegang izin kegiatan Keantariksaan.
  4. Petugas keselamatan peluncuran dilarang memiliki hubungan bisnis dan hubungan lain yang bersifat mengikat dengan pemegang izin kegiatan Keantariksaan atau izin peluncuran.

Pasal 56
Setiap pemegang izin kegiatan Keantariksaan, karyawan, serta agen atau kontraktor wajib mematuhi petunjuk yang diberikan oleh petugas keselamatan peluncuran pada fasilitas peluncuran.

Pasal 57
Ketentuan mengenai standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB VII
PENANGGULANGAN BENDA JATUH ANTARIKSA SERTA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN ANTARIKSAWAN


Bagian Kesatu
Penanggulangan Benda Jatuh Antariksa


Pasal 58
  1. Benda jatuh Antariksa dapat terdiri atas:
    1. benda buatan manusia; dan
    2. benda alamiah.
  2. Benda jatuh Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat jatuh ke bumi dengan terdeteksi ataupun tidak terdeteksi.
  3. Setiap orang dilarang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Lembaga wajib mengidentifikasi benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berkoordinasi dengan Instansi Pemerintah lainnya.
  5. Dalam hal benda jatuh Antariksa milik Asing, Lembaga dapat memproses sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku.

Pasal 59
Untuk tujuan Keamanan dan Keselamatan, kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, setiap benda jatuh Antariksa di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diserahkan kepada Lembaga.

Pasal 60
  1. Pemerintah wajib melakukan investigasi mengenai penyebab setiap kecelakaan dan/atau bencana yang serius dalam kegiatan Keantariksaan di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Penginvestigasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim teknis ahli yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri.
  3. Tim teknis ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat ad hoc.
  4. Keanggotaan tim teknis ahli paling sedikit melibatkan keahlian di bidang:
    1. penguasaan teknologi Keantariksaan:,
    2. penguasaan teknologi penerbangan:
    3. hubungan luar negeri,
    4. ketenaganukliran, dan
    5. hukum kedirgantaraan.
  5. Tim teknis ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas melakukan kegiatan investigasi, menyusun laporan akhir, dan memberikan rekomendasi dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama.
  6. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus ditindaklanjuti oleh pihak terkait.

Pasal 61
  1. Tim teknis ahli wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasi kepada Lembaga.
  2. Lembaga dapat menyampaikan laporan hasil investigasi kepada pihak terkait.

Pasal 62
  1. Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
  2. Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 63
  1. Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti, mengubah letak Wahana Antariksa, dan mengambil bagian atau mengambil barang lain yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius Wahana Antariksa.
  2. Untuk kepentingan Keamanan dan Keselamatan, Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan atas persetujuan instansi yang berwenang.

Pasal 64
  1. Dalam hal Wahana Antariksa Asing mengalami kecelakaan di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, wakil resmi dari negara tempat Wahana Antariksa diluncurkan, negara tempat badan usaha peluncuran Wahana Antariksa, negara tempat perancang, dan negara tempat pembuatan dapat diikutsertakan dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
  2. Dalam hal Wahana Antariksa yang terdaftar atas nama Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara tempat terjadinya kecelakaan tidak melakukan investigasi, Pemerintah Republik Indonesia wajib melakukan investigasi.

Pasal 65
  1. Orang perseorangan, jika diminta, wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi yang dibutuhkan oleh tim teknis ahli.
  2. Otoritas Bandar Antariksa dan petugas keselamatan peluncuran Wahana Antariksa wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan Wahana Antariksa.

Pasal 66
  1. Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan Wahana Antariksa wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja Bandar Antariksa untuk:
    1. melindungi personel Wahana Antariksa dan penumpangnya; dan
    2. mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak Wahana Antariksa, merusak, dan/atau mengambil barang dari Wahana Antariksa yang mengalami kecelakaan.
  2. Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh tim teknis ahli.

Pasal 67
  1. Dalam melaksanakan investigasi, tim teknis ahli berwenang:
    1. menghadirkan seseorang untuk dimintai keterangan terkait dengan proses investigasi; dan
    2. memerintahkan seseorang untuk menyerahkan dokumen atau catatan tertentu, bagian tertentu, atau komponen dari Benda Antariksa atau benda lain yang relevan dalam proses investigasi.
  2. Dalam melaksanakan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan secara tertulis dilakukan terlebih dahulu.
  3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditandatangani oleh tim teknis ahli dan harus dicantumkan waktu dan tempat orang tersebut harus hadir atau menyerahkan benda yang dianggap relevan dalam proses investigasi.
  4. Tim teknis ahli dapat meminta keterangan seseorang sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf a di bawah sumpah atau di bawah pernyataan.
  5. Tim teknis ahli dapat:
    1. menyita benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b selama diperlukan untuk tujuan investigasi; dan
  1. membuat salinan atau menyalin dokumen atau catatan jika benda tersebut berupa dokumen atau catatan.
  1. Apabila seseorang memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, keterangan dan informasi lain yang didapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dijadikan bukti yang memberatkan orang tersebut dalam proses persidangan, kecuali dalam hal persidangan berkaitan dengan pemberian keterangan palsu.
  2. Apabila seseorang menyerahkan benda-benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, benda dan informasi lain yang didapatkan secara langsung ataupun tidak langsung tidak dapat dijadikan bukti yang memberatkan orang tersebut dalam persidangan perkara pidana atau persidangan perkara tuntutan ganti rugi.
  3. Orang yang dihadirkan oleh tim teknis ahli dapat memperoleh penggantian biaya.

Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan investigasi kecelakaan Wahana Antariksa diatur dalam Peraturan Lembaga.

Pasal 69
  1. Segera setelah terjadi kecelakaan, izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 akan ditangguhkan sampai pembekuan tersebut dicabut oleh Menteri.
  2. Izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak akan berlaku selama dibekukan.
  3. Masa izin peluncuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih tetap berlaku selama masa pembekuan.
  1. Izin peluncuran dan hal lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut atau diubah selama dalam masa pembekuan.
  2. Ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan penangguhan, pembekuan, pencabutan, dan perubahan izin peluncuran diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Pencarian dan Pertolongan Antariksawan


Pasal 70
  1. Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap pendaratan darurat dan/atau kecelakaan antariksawan yang terjadi di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.


BAB VIII
PENDAFTARAN


Pasal 71
  1. Setiap Benda Antariksa yang diluncurkan dari wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluncurkan di wilayah negara lain oleh Instansi Pemerintah, badan hukum, atau warga negara Indonesia wajib didaftarkan kepada Lembaga.
  2. Daftar Wahana Antariksa paling sedikit memuat:
    1. nama negara peluncur,
    2. keterangan tanda Wahana Antariksa atau Nomor Pendaftaran Wahana Antariksa,
    3. tanggal, waktu, dan tempat peluncuran;
    4. parameter orbit dasar yang meliputi periode nodal, inklinasi, serta apogee dan perigee Wahana Antariksa;
  1. fungsi umum Wahana Antariksa;
  2. nama negara peserta lain jika terdapat lebih dari satu negara peluncur; dan
  3. informasi lain yang dianggap terkait dan berguna untuk tujuan pendaftaran.
  1. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberi nomor pendaftaran.
  2. Pelaksanaan pendaftaran Wahana Antariksa harus memperhatikan praktik pelaksanaan pendaftaran Benda Antariksa sesuai dengan Konvensi tentang Pendaftaran Benda-Benda yang Diluncurkan ke Antariksa.

Pasal 72
  1. Daftar Wahana Antariksa wajib diumumkan, mudah diakses, dan dapat terkoneksi secara internasional serta disimpan secara khusus oleh Lembaga pada pusat data dan informasi Keantariksaan.
  2. Lembaga dapat mengubah dan menghapus data Benda Antariksa dari basis data sesuai dengan keperluannya.
  3. Lembaga wajib mendaftarkan data Wahana Antariksa Indonesia kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.


BAB IX
KERJA SAMA INTERNASIONAL


Pasal 73
  1. Pemerintah dapat mengadakan kerja sama internasional di bidang Keantariksaan dengan pemerintah negara lain, lembaga, atau organisasi internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. penguasaan teknologi;
    2. pemanfaatan teknologi;
    3. alih pengetahuan;
    4. alih teknologi; dan/atau
    5. peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Pasal 74
  1. Pemerintah harus terlibat aktif dalam keanggotaan internasional Keantariksaan untuk meningkatkan kerja sama internasional. organisasi
  2. Keikutsertaan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 75
  1. Kerja sama internasional Keantariksaan diarahkan untuk upaya alih teknologi dan/atau ilmu pengetahuan serta untuk mendorong kemandirian dalam kegiatan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dalam setiap kerja sama internasional Keantariksaan wajib mengupayakan:
    1. pemberian peluang pelatihan dan kesempatan kerja bagi staf teknisi terkait;
    2. penyelenggaraan hubungan dengan pusat-pusat penelitian, baik pemerintah maupun swasta;
    3. pengusahaan bersama oleh swasta dan pemerintah;
    4. pengembangan kemampuan kapasitas untuk penelitian; penerapan dan manajemen melalui pengembangan sumber daya manusia; peningkatan kapasitas kelembagaan untuk penelitian dan pengembangan; serta program-program implementasi dan penelitian kebutuhan teknologi dan kemitraan jangka panjang antara pemilik teknologi dan pengguna potensial lokal.
  3. Tata cara pelaksanaan kerja sama internasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB X
TANGGUNG JAWAB DAN GANTI RUGI


Bagian Kesatu
Tanggung Jawab


Pasal 76
  1. Pemerintah Republik Indonesia bertanggung jawab secara internasional atas setiap Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilakukan di wilayah kedaulatan dan/atau wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dalam hal terdapat Kerugian akibat dari Penyelenggaraan Keantariksaan, ganti rugi menjadi tanggung jawab Penyelenggara Keantariksaan.
  3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77
  1. Tanggung jawab terhadap Kerugian yang ditimbulkan oleh Penyelenggaraan Keantariksaan yang terjadi di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan bersifat mutlak.
  2. Tanggung jawab terhadap Kerugian yang terjadi di Antariksa dan/atau terhadap Wahana Antariksa di antara esama Penyelenggara Keantariksaan didasarkan atas adanya unsur kesalahan.
  3. Tanggung jawab terhadap Kerugian di antara sesama Penyelenggara Keantariksaan sebagaimana dimaksud. pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perjanjian para pihak.

Pasal 78
  1. Dalam hal terjadi pengalihan kepemilikan terhadap aset Keantariksaan, tanggung jawab Penyelenggara Keantariksaan beralih sejak berlakunya perjanjian pengalihan.
  2. Pengalihan kepemilikan aset Keantariksaan milik pemerintah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur barang milik negara/daerah.
  1. Perjanjian pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat meniadakan ketentuan yang terdapat dalam Bab VI.


Bagian Kedua
Ganti Rugi


Pasal 79
  1. Tuntutan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme hukum internasional yang berlaku, baik melalui jalur diplomatik, Komisi Penuntutan, maupun badan peradilan nasional.
  2. Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib mengganti setiap Kerugian yang timbul akibat Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilakukan.
  3. Kerugian sebagai akibat dari kegiatan Keantariksaan yang dapat dimintakan kompensasinya adalah Kerugian yang bersifat fisik dan langsung, termasuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan pertolongan dan pembersihan.

Pasal 80
Tuntutan ganti rugi hanya dapat diajukan:
  1. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah hari timbulnya Kerugian; atau
  2. dalam hal timbul Kerugian, tetapi pihak yang menuntut tidak mengetahui bahwa Kerugian tersebut telah terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pihak yang menuntut:
    1. mengetahui adanya Kerugian; atau
    2. akan mengetahui adanya Kerugian.

Pasal 81
Pengaturan beban tanggung jawab renteng atas Kerugian yang diderita oleh negara atau pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) dapat ditentukan oleh Penyelenggara Keantariksaan terkait.

Pasal 82
  1. Dalam hal terjadi Kerugian yang diderita oleh badan dan/atau warga negara Indonesia akibat kegiatan Keantariksaan, gugatan dapat diajukan kepada pihak pelaku kegiatan Keantariksaan melalui lembaga peradilan, lembaga arbitrase, dan/atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
  2. Pengajuan gugatan dan penyelesaian ganti rugi dapat difasilitasi oleh Pemerintah.
  3. Pembayaran ganti rugi kepada korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan segera, efektif, dan layak.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XI
ASURANSI, PENJAMINAN, DAN FASILITAS


Bagian Kesatu
Asuransi


Pasal 84
  1. Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib mengasuransikan tanggung jawab Kerugian terhadap pihak ketiga yang timbul sebagai akibat dari kegiatan Keantariksaan yang dilakukan.
  2. Ketentuan tentang kewajiban asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Instansi Pemerintah.
  3. Ketentuan mengenai asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan penggantian Kerugian akibat kecelakaan Penyelenggaraan Keantariksaan oleh Instansi Pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Penjaminan


Pasal 85
  1. Aset Keantariksaan yang bukan milik pemerintah dapat dijadikan objek penjaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pelaksanaan perjanjian penjaminan wajib mematuhi ketentuan Bab X dan Bab XV dalam Undang-Undang ini.
  3. Aset Keantariksaan milik pemerintah dilarang untuk dijadikan objek penjaminan.


Bagian Ketiga
Fasilitas


Pasal 86
Dalam rangka mendorong pengembangan Keantariksaan, Penyelenggara Keantariksaan dapat diberi fasilitas oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XII
PELESTARIAN LINGKUNGAN


Pasal 87
Setiap Penyelenggara Keantariksaan wajib menjaga dan menjamin terpeliharanya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 88
  1. Untuk menghindari kerusakan lingkungan bumi dari kontaminasi yang disebabkan oleh Penyelenggaraan Keantariksaan, setiap Penyelenggara Keantariksaan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
  2. Ketentuan mengenai baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XIII
PENDANAAN


Pasal 89
Sumber pendanaan kegiatan Keantariksaan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, hibah, swasta, dan kerja sama internasional.


BAB XIV
PERAN SERTA MASYARAKAT


Pasal 90
  1. Dalam rangka meningkatkan Penyelenggaraan Keantariksaan secara optimal, masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan Keantariksaan.
  2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
    1. memantau dan menjaga ketertiban Penyelenggaraan Keantariksaan:
    2. memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Keantariksaan,
    3. memberikan masukan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan kegiatan Keantariksaan:
    4. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan Keantariksaan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan:
    5. melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidaksesuaian prosedur Keantariksaan atau ketidakberfungsian peralatan dan fasilitas Keantariksaan:
    6. melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap peluncuran Wahana Antariksa atau adanya benda jatuh dari Antariksa:
    7. mengutamakan dan mempromosikan budaya Keselamatan Keantariksaan, dan/atau
  1. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan Keantariksaan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Penyelenggara Keantariksaan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.
  2. Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban serta Keselamatan dan Keamanan kegiatan Keantariksaan.

Pasal 91
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XV
SANKSI PERDATA DAN ADMINISTRATIF


Pasal 93
Setiap kegiatan Keantariksaan yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Keantariksaan yang karena kesalahannya mengakibatkan Kerugian, Penyelenggara Keantariksaan dikenai tuntutan ganti rugi yang pelaksanaannya

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 94
  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 35, Pasal 45 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51 ayat (2), Pasal 56, atau Pasal 65 dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. peringatan tertulis,
    2. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan,
    3. denda administratif:
    4. pembongkaran bangunan:
    5. pencabutan izin,
    6. pembubaran korporasi atau badan hukum:
    7. larangan menduduki suatu jabatan: dan/atau
    8. pencabutan hak.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan

    sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

    Peraturan Pemerintah.


BAB XVI
KETENTUAN PIDANA


Pasal 95
  1. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan hasil penelitian yang bersifat sensitif dan dapat berdampak luas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terganggunya kepentingan keamanan nasional atau kepentingan pemerintah, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 96
  1. Setiap orang yang melaksanakan kegiatan peluncuran Wahana Antariksa yang dengan sengaja tidak memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

Pasal 97
Setiap orang yang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa yang jatuh di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (1), yang sudah diberi tanda batas larangan masuk dalam area benda jatuh tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98
  1. Setiap orang yang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, yang mengakibatkan tercemar atau terkontaminasinya lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 99
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan salah satu atau lebih kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

Pasal 100
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.


BAB XVII
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 101
  1. Dalam hal Penyelenggaraan Keantariksaan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit untuk kegiatan Keantariksaan, pembinaannya dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.

Pasal 102
  1. Lembaga menyusun rencana penggunaan frekuensi radio untuk Penyelenggaraan Keantariksaan nasional dan pemutakhirannya serta melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  1. Lembaga wajib mendaftarkan penggunaan frekuensi radio untuk operasi satelit ke Badan Telekomunikasi Internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  2. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika wajib memprioritaskan penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan Keantariksaan.


BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 103
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pembangunan dan pengoperasian stasiun bumi yang telah ada wajib dilaporkan pengoperasiannya paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.


BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 104
  1. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  2. Peraturan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  3. Peraturan Lembaga yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 105
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

AMIR SYAMSUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 133