Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 (UU/2013/21)  (2013) 
tentang Keantariksaan

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG
KEANTARIKSAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya;
  3. bahwa peraturan perundang-undangan Keantariksaan saat ini belum mengatur secara terpadu dan komprehensif serta belum menjadi landasan hukum bagi Penyelenggaraan Keantariksaan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keantariksaan;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEANTARIKSAAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
  2. Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
  3. Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang mengandung udara yang bersifat gas.
  4. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara, maupun Antariksa.
  5. Penyelenggara Keantariksaan adalah pihak atau subjek yang melaksanakan Penyelenggaraan Keantariksaan.
  6. Asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing.
  7. Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.
  1. Wahana Antariksa adalah benda buatan manusia yang terkait dengan Keantariksaan dan bagianbagiannya.
  2. Roket adalah bagian Wahana Antariksa yang digunakan untuk mengantarkan muatan ke Antariksa dan/atau mengembalikan Wahana Antariksa, termasuk muatannya ke bumi.
  3. Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya.
  4. Keselamatan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan Keselamatan dalam pemanfaatan wilayah Indonesia, Wahana Antariksa, kawasan Bandar Antariksa, transportasi Antariksa, navigasi Keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
  5. Keamanan adalah segala upaya dan komitmen secara internasional bagi setiap Penyelenggara Keantariksaan untuk memelihara dan/atau menjamin pemanfaatan Antariksa dan benda-benda langit lainnya untuk maksud-maksud damai dan tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan bumi dan Antariksa melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.
  6. Kerugian adalah suatu keadaan yang menimbulkan kematian, luka-luka, atau bentuk lain dari terganggunya kesehatan seseorang, hilang atau rusaknya harta milik negara, milik pribadi, atau badan hukum, atau harta benda organisasi internasional antarpemerintah.
  7. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  8. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  9. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
  1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi.
  2. Lembaga adalah Instansi Pemerintah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya serta Penyelenggaraan Keantariksaan.

Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan:
  1. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  2. mengoptimalkan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas bangsa;
  3. menjamin keberlanjutan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  4. memberikan landasan dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  5. mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan;
  6. melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
  7. mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional Keantariksaan demi kepentingan nasional; dan
  8. mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang menjadi komponen pendukung pertahanan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3
  1. Antariksa merupakan wilayah bersama yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan semua negara.
  2. Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara tanpa diskriminasi, berdasarkan asas persamaan, dan sesuai dengan hukum internasional.

Pasal 4
  1. Setiap Wahana Antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam yurisdiksi dan kontrol Pemerintah Republik Indonesia.
  2. Setiap orang yang berada dalam sarana dan prasarana Keantariksaan milik Negara Kesatuan Republik Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan Indonesia.

Pasal 5
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
  1. semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilaksanakan di dan/atau dari wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang dilaksanakan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang terlibat dan/atau berpartisipasi dalam Penyelenggaraan Keantariksaan; dan
  4. Asing yang telah mendapat izin menyelenggarakan kegiatan Keantariksaan.

Pasal 6
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
  1. kegiatan Keantariksaan;
  2. Penyelenggaraan Keantariksaan;
  3. pembinaan;
  4. Bandar Antariksa;
  5. Keamanan dan Keselamatan;
  6. penanggulangan benda jatuh Antariksa serta pencarian dan pertolongan antariksawan;
  7. pendaftaran;
  8. kerja sama internasional;
  9. tanggung jawab dan ganti rugi;
  10. asuransi, penjaminan, dan fasilitas; untuk
  11. pelestarian lingkungan;
  12. pendanaan;
  13. peran serta masyarakat; dan
  14. sanksi.


BAB II
KEGIATAN KEANTARIKSAAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 7
  1. Kegiatan Keantariksaan meliputi:
    1. sains Antariksa;
    2. penginderaan jauh;
    3. penguasaan teknologi Keantariksaan;
    4. peluncuran; dan
    5. kegiatan komersial Keantariksaan.
  2. Kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan:
    1. kepentingan nasional;
    2. Keamanan dan Keselamatan;
    3. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
    4. sumber daya manusia Keantariksaan yang profesional;
    5. manfaat, efektivitas, dan efisiensi;
    6. keandalan sarana dan prasarana Keantariksaan;
    7. pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lingkungan Antariksa; dan
    8. ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian internasional yang Indonesia menjadi negara pihak.

Pasal 8
Setiap kegiatan Keantariksaan dilarang:
  1. menempatkan, mengorbitkan, atau mengoperasikan senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di Antariksa;
  2. melakukan uji senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di Antariksa;
  3. menggunakan bulan dan Benda Antariksa alam lainnya untuk tujuan militer atau tujuan lain yang mencelakakan umat manusia;
  4. melakukan kegiatan yang dapat mengancam Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan termasuk keamanan Benda Antariksa, perseorangan, dan kepentingan umum; atau
  1. melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup bumi dan Antariksa serta membahayakan kegiatan Keantariksaan termasuk penghancuran Benda Antariksa.

Pasal 9
Untuk pemutakhiran status dan perkembangan kegiatan Keantariksaan dan pemberian rekomendasi bagi kebijakan pengembangannya, wajib melaksanakan pengkajian kebijakan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 secara periodik setiap tahun.

Pasal 10
  1. Dalam keadaan damai, kegiatan Keantariksaan dimaksudkan untuk pencapaian tujuan nasional dan kepentingan nasional.
  2. Dalam hal negara dalam keadaan bahaya dan untuk tujuan pertahanan dan keamanan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dapat memanfaatkan seluruh Penyelenggaraan sarana dan prasarana Keantariksaan Indonesia.


Bagian Kedua
Sains Antariksa


Pasal 11
  1. Sains Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
  2. Kegiatan sains Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada, penelitian mengenai:
    1. cuaca Antariksa;
    2. lingkungan Antariksa; dan
    3. astrofisika.
  1. Penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana:
    1. satelit;
    2. stasiun Antariksa; dan
    3. fasilitas observasi di ruas bumi.
  2. Selain menggunakan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penelitian Antariksa dapat pula dilakukan melalui:
    1. partisipasi aktif dalam penelitian Keantariksaan internasional; dan/atau
    2. kerja sama dengan Instansi Pemerintah dan badan hukum lain di luar negeri.

Pasal 12
Dalam hal hasil penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 bersifat sensitif dan/atau berpotensi memberikan dampak luas, Penyelenggara Keantariksaan wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Lembaga.

Pasal 13
  1. Lembaga wajib memberikan informasi khusus tentang:
    1. cuaca Antariksa;
    2. mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa; dan
    3. peringatan dini.
  2. Selain wajib memberikan informasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga juga wajib memberikan bantuan teknis.

Pasal 14
Informasi khusus tentang:
  1. cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a disampaikan kepada Instansi Pemerintah yang menangani komunikasi radio, operasi satelit, dan navigasi berbasis satelit; dan
  2. mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c disampaikan kepada instansi yang berwenang dalam penanggulangan bencana.


Bagian Ketiga
Penginderaan Jauh


Paragraf 1
Umum

Pasal 15
  1. Penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
    1. perolehan data;
    2. pengolahan data;
    3. penyimpanan dan pendistribusian data; dan
    4. pemanfaatan data dan diseminasi informasi.
  2. Hasil kegiatan penginderaan jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. data primer;
    2. data proses; dan
    3. analisis informasi.

Paragraf 2
Perolehan Data

Pasal 16
  1. Perolehan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui:
    1. pengoperasian satelit;
    2. pengoperasian stasiun bumi; dan/atau
    3. citra satelit.
  1. Lembaga dalam memperoleh data penginderaan jauh melalui pengoperasian satelit dan pengoperasian stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib membuat perencanaan, membangun, serta mengoperasikan satelit dan stasiun bumi.
  2. Citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperoleh dari penyedia data, baik secara komersial maupun nonkomersial.
  3. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga dapat melakukan kerja sama operasional dengan operator Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
Stasiun bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh Lembaga.

Pasal 18
  1. Citra satelit penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c terdiri atas:
    1. resolusi rendah;
    2. resolusi menengah; dan
    3. resolusi tinggi.
  2. Dalam memperoleh data penginderaan jauh:
    1. resolusi rendah dan menengah dikenai tarif nonkomersial; dan
    2. resolusi tinggi dikenai tarif komersial.
  3. Pengadaan data penginderaan jauh resolusi tinggi untuk Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Lembaga.

Paragraf 3
Pengolahan Data

Pasal 19
  1. Pengolahan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dapat meliputi:
    1. koreksi geometrik;
    2. koreksi radiometrik;
    3. klasifikasi; dan
    4. deteksi parameter geo-bio-fisik.
  2. Pengolahan data penginderaan jauh wajib dilakukan dengan mengacu pada metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh yang ditetapkan oleh Lembaga.

Paragraf 4
Penyimpanan dan Pendistribusian Data

Pasal 20
  1. Lembaga wajib menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian data melalui bank data penginderaan jauh nasional sebagai simpul jaringan data penginderaan jauh dalam sistem jaringan data spasial nasional.
  2. Lembaga dalam menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
    1. mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan metadata dan data penginderaan jauh wilayah Indonesia;
    2. menyediakan data penginderaan jauh dengan tutupan awan minimal dan bebas awan setiap tahun untuk seluruh wilayah Indonesia;
    3. menyediakan informasi mengenai kualitas data penginderaan jauh;
    4. memberikan supervisi terkait pemanfaatan data penginderaan jauh;
    5. memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pengadaan, pemanfaatan, penguasaan teknologi, dan data penginderaan jauh satelit;
  1. menjadi simpul data penginderaan jauh satelit dalam sistem jaringan data spasial nasional, dan
  2. menyediakan fasilitas pengolahan data penginderaan jauh bagi para pengguna di luar Lembaga.
  1. Untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga bertugas:
    1. melakukan pembinaan dan menetapkan standardisasi data dan produk informasi serta metode pengolahan penginderaan jauh nasional;
    2. melakukan koordinasi kebutuhan pengadaan data penginderaan jauh dengan instansi terkait; dan
    3. melaksanakan kerja sama dalam pelestarian data penginderaan jauh yang dimiliki oleh Penyelenggara Keantariksaan selain Lembaga.

Pasal 21
  1. Instansi Pemerintah Penyelenggara Keantariksaan wajib menyerahkan metadata dan duplikat data penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
  2. Penyelenggara Keantariksaan, selain Lembaga dan Instansi Pemerintah, wajib menyerahkan metadata penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.

Paragraf 5
Pemanfaatan Data dan Diseminasi Informasi

Pasal 22
  1. Pemanfaatan data dan diseminasi informasi penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d wajib dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Lembaga.
  2. Lembaga dapat melaksanakan pengolahan klasifikasi dan deteksi parameter geo-bio-fisik atas permintaan pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Halaman:UU 21 2013.pdf/13 Halaman:UU 21 2013.pdf/14 Halaman:UU 21 2013.pdf/15 Halaman:UU 21 2013.pdf/16 Halaman:UU 21 2013.pdf/17 Halaman:UU 21 2013.pdf/18 Halaman:UU 21 2013.pdf/19 Halaman:UU 21 2013.pdf/20 Halaman:UU 21 2013.pdf/21 Halaman:UU 21 2013.pdf/22 Halaman:UU 21 2013.pdf/23 Halaman:UU 21 2013.pdf/24 Halaman:UU 21 2013.pdf/25 Halaman:UU 21 2013.pdf/26 Halaman:UU 21 2013.pdf/27 Halaman:UU 21 2013.pdf/28 Halaman:UU 21 2013.pdf/29 Halaman:UU 21 2013.pdf/30 Halaman:UU 21 2013.pdf/31 Halaman:UU 21 2013.pdf/32 Halaman:UU 21 2013.pdf/33 Halaman:UU 21 2013.pdf/34 Halaman:UU 21 2013.pdf/35 Halaman:UU 21 2013.pdf/36 Halaman:UU 21 2013.pdf/37 Halaman:UU 21 2013.pdf/38 Halaman:UU 21 2013.pdf/39 Halaman:UU 21 2013.pdf/40

Pasal 96
  1. Setiap orang yang melaksanakan kegiatan peluncuran Wahana Antariksa yang dengan sengaja tidak memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

Pasal 97
Setiap orang yang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa yang jatuh di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (1), yang sudah diberi tanda batas larangan masuk dalam area benda jatuh tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98
  1. Setiap orang yang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, yang mengakibatkan tercemar atau terkontaminasinya lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 99
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan salah satu atau lebih kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

Pasal 100
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.


BAB XVII
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 101
  1. Dalam hal Penyelenggaraan Keantariksaan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit untuk kegiatan Keantariksaan, pembinaannya dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.

Pasal 102
  1. Lembaga menyusun rencana penggunaan frekuensi radio untuk Penyelenggaraan Keantariksaan nasional dan pemutakhirannya serta melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  1. Lembaga wajib mendaftarkan penggunaan frekuensi radio untuk operasi satelit ke Badan Telekomunikasi Internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
  2. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika wajib memprioritaskan penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan Keantariksaan.


BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 103
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pembangunan dan pengoperasian stasiun bumi yang telah ada wajib dilaporkan pengoperasiannya paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.


BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 104
  1. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  2. Peraturan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  3. Peraturan Lembaga yang diamanatkan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 105
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

AMIR SYAMSUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 133