Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG KEANTARIKSAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa posisi geografis wilayah Indonesia yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya;
bahwa peraturan perundang-undangan Keantariksaan saat ini belum mengatur secara terpadu dan komprehensif serta belum menjadi landasan hukum bagi Penyelenggaraan
Keantariksaan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keantariksaan;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEANTARIKSAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan
melingkupi
seluruh
permukaan
bumi
yang
mengandung udara yang bersifat gas.
Penyelenggaraan
Keantariksaan
adalah
setiap
kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang
dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara,
maupun Antariksa.
Penyelenggara Keantariksaan adalah pihak atau
subjek
yang
melaksanakan
Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Asing adalah perseorangan warga negara asing,
badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing.
Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan
manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan
Keantariksaan.
Wahana Antariksa adalah benda buatan manusia
yang terkait dengan Keantariksaan dan bagianbagiannya.
Roket adalah bagian Wahana Antariksa yang
digunakan untuk mengantarkan muatan ke Antariksa
dan/atau
mengembalikan
Wahana
Antariksa,
termasuk muatannya ke bumi.
Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang
dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran
Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas
Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang
lainnya.
Keselamatan adalah suatu keadaan terpenuhinya
persyaratan Keselamatan dalam pemanfaatan wilayah
Indonesia, Wahana Antariksa, kawasan Bandar
Antariksa,
transportasi
Antariksa,
navigasi
Keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang
dan fasilitas umum lainnya.
Keamanan adalah segala upaya dan komitmen secara
internasional
bagi
setiap
Penyelenggara
Keantariksaan
untuk
memelihara
dan/atau
menjamin pemanfaatan Antariksa dan benda-benda
langit lainnya untuk maksud-maksud damai dan
tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan bumi
dan Antariksa melalui keterpaduan pemanfaatan
sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.
Kerugian adalah suatu keadaan yang menimbulkan
kematian, luka-luka, atau bentuk lain dari
terganggunya kesehatan seseorang, hilang atau
rusaknya harta milik negara, milik pribadi, atau
badan hukum, atau harta benda organisasi
internasional antarpemerintah.
Pemerintah
Pusat,
yang
selanjutnya
disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi.
Lembaga
adalah
Instansi
Pemerintah
yang
melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
penelitian
dan
pengembangan
kedirgantaraan
dan
pemanfaatannya
serta
Penyelenggaraan
Keantariksaan.
Pasal 2
Undang-Undang ini bertujuan:
mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya
saing bangsa dan negara dalam Penyelenggaraan
Keantariksaan;
mengoptimalkan
Penyelenggaraan
Keantariksaan
untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas
bangsa;
menjamin
keberlanjutan
Penyelenggaraan
Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa
kini dan generasi masa depan;
memberikan landasan dan kepastian hukum dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan;
mewujudkan
Keselamatan
dan
Keamanan
Penyelenggaraan Keantariksaan;
melindungi negara dan warga negaranya dari
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan;
mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional
Keantariksaan demi kepentingan nasional; dan
mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang
menjadi komponen pendukung pertahanan dan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 3
Antariksa merupakan wilayah bersama yang dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan semua negara.
Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan
oleh semua negara tanpa diskriminasi, berdasarkan
asas persamaan, dan sesuai dengan hukum
internasional.
Pasal 4
Setiap Wahana Antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau atas nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada dalam yurisdiksi dan kontrol
Pemerintah Republik Indonesia.
Setiap orang yang berada dalam sarana dan
prasarana Keantariksaan milik Negara Kesatuan
Republik Indonesia tunduk pada peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Pasal 5
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
semua
Penyelenggaraan Keantariksaan yang
dilaksanakan di dan/atau dari wilayah kedaulatan
dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
semua Penyelenggaraan Keantariksaan yang
dilaksanakan untuk dan/atau atas nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang terlibat dan/atau berpartisipasi dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan; dan
Asing yang telah mendapat izin
menyelenggarakan kegiatan Keantariksaan.
Pasal 6
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
kegiatan Keantariksaan;
Penyelenggaraan Keantariksaan;
pembinaan;
Bandar Antariksa;
Keamanan dan Keselamatan;
penanggulangan benda jatuh Antariksa serta
pencarian dan pertolongan antariksawan;
pendaftaran;
kerja sama internasional;
tanggung jawab dan ganti rugi;
asuransi, penjaminan, dan fasilitas;
untuk
pelestarian lingkungan;
pendanaan;
peran serta masyarakat; dan
sanksi.
BAB II KEGIATAN KEANTARIKSAAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 7
Kegiatan Keantariksaan meliputi:
sains Antariksa;
penginderaan jauh;
penguasaan teknologi Keantariksaan;
peluncuran; dan
kegiatan komersial Keantariksaan.
Kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan:
kepentingan nasional;
Keamanan dan Keselamatan;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
sumber daya manusia Keantariksaan yang
profesional;
manfaat, efektivitas, dan efisiensi;
keandalan sarana dan prasarana Keantariksaan;
pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lingkungan Antariksa; dan
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian internasional yang
Indonesia menjadi negara pihak.
Pasal 8
Setiap kegiatan Keantariksaan dilarang:
menempatkan, mengorbitkan, atau mengoperasikan
senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di
Antariksa;
melakukan uji senjata nuklir dan senjata perusak
massal lainnya di Antariksa;
menggunakan bulan dan Benda Antariksa alam
lainnya untuk tujuan militer atau tujuan lain yang
mencelakakan umat manusia;
melakukan
kegiatan
yang
dapat
mengancam
Keamanan
dan
Keselamatan
Penyelenggaraan
Keantariksaan termasuk keamanan Benda Antariksa,
perseorangan, dan kepentingan umum; atau
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup bumi dan Antariksa serta membahayakan kegiatan
Keantariksaan termasuk penghancuran Benda
Antariksa.
Pasal 9
Untuk pemutakhiran status dan perkembangan kegiatan Keantariksaan dan pemberian rekomendasi bagi kebijakan pengembangannya, wajib melaksanakan pengkajian kebijakan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 secara periodik setiap tahun.
Pasal 10
Dalam keadaan damai, kegiatan Keantariksaan
dimaksudkan untuk pencapaian tujuan nasional dan
kepentingan nasional.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya dan untuk
tujuan pertahanan dan keamanan negara, menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan dapat memanfaatkan seluruh
Penyelenggaraan
sarana
dan
prasarana
Keantariksaan Indonesia.
Bagian Kedua Sains Antariksa
Pasal 11
Sains Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh Lembaga.
Kegiatan sains Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada, penelitian mengenai:
cuaca Antariksa;
lingkungan Antariksa; dan
astrofisika.
Penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana:
satelit;
stasiun Antariksa; dan
fasilitas observasi di ruas bumi.
Selain menggunakan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penelitian Antariksa dapat pula dilakukan melalui:
partisipasi aktif dalam penelitian Keantariksaan internasional; dan/atau
kerja sama dengan Instansi Pemerintah dan badan hukum lain di luar negeri.
Pasal 12
Dalam hal hasil penelitian Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 bersifat sensitif dan/atau berpotensi memberikan dampak luas, Penyelenggara Keantariksaan wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Lembaga.
Pasal 13
Lembaga wajib memberikan informasi khusus
tentang:
cuaca Antariksa;
mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat cuaca Antariksa; dan
peringatan dini.
Selain wajib memberikan informasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga juga wajib memberikan bantuan teknis.
Pasal 14
Informasi khusus tentang:
cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a disampaikan kepada Instansi
Pemerintah yang menangani komunikasi radio, operasi
satelit, dan navigasi berbasis satelit; dan
mitigasi, antisipasi, dan penanganan bencana akibat
cuaca Antariksa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b dan peringatan dini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c
disampaikan kepada instansi yang berwenang dalam
penanggulangan bencana.
Bagian Ketiga Penginderaan Jauh
Paragraf 1 Umum
Pasal 15
Penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
perolehan data;
pengolahan data;
penyimpanan dan pendistribusian data; dan
pemanfaatan data dan diseminasi informasi.
Hasil kegiatan penginderaan jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
data primer;
data proses; dan
analisis informasi.
Paragraf 2 Perolehan Data
Pasal 16
Perolehan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui:
pengoperasian satelit;
pengoperasian stasiun bumi; dan/atau
citra satelit.
Lembaga dalam memperoleh data penginderaan jauh
melalui pengoperasian satelit dan pengoperasian
stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b wajib membuat perencanaan,
membangun, serta mengoperasikan satelit dan
stasiun bumi.
Citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat diperoleh dari penyedia data, baik
secara komersial maupun nonkomersial.
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Lembaga dapat melakukan kerja sama
operasional dengan operator Asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Stasiun bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh Lembaga.
Pasal 18
Citra satelit penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c terdiri atas:
resolusi rendah;
resolusi menengah; dan
resolusi tinggi.
Dalam memperoleh data penginderaan jauh:
resolusi rendah dan menengah dikenai tarif nonkomersial; dan
resolusi tinggi dikenai tarif komersial.
Pengadaan data penginderaan jauh resolusi tinggi untuk Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Lembaga.
Paragraf 3 Pengolahan Data
Pasal 19
Pengolahan data penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dapat meliputi:
koreksi geometrik;
koreksi radiometrik;
klasifikasi; dan
deteksi parameter geo-bio-fisik.
Pengolahan data penginderaan jauh wajib dilakukan dengan mengacu pada metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh yang ditetapkan oleh Lembaga.
Paragraf 4 Penyimpanan dan Pendistribusian Data
Pasal 20
Lembaga wajib menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian data melalui bank data penginderaan jauh nasional sebagai simpul jaringan data penginderaan jauh dalam sistem jaringan data spasial nasional.
Lembaga dalam menyelenggarakan penyimpanan dan pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan metadata dan data penginderaan jauh wilayah Indonesia;
menyediakan data penginderaan jauh dengan tutupan awan minimal dan bebas awan setiap tahun untuk seluruh wilayah Indonesia;
menyediakan informasi mengenai kualitas data penginderaan jauh;
memberikan supervisi terkait pemanfaatan data penginderaan jauh;
memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pengadaan, pemanfaatan, penguasaan teknologi, dan data penginderaan jauh satelit;
menjadi simpul data penginderaan jauh satelit
dalam sistem jaringan data spasial nasional, dan
menyediakan fasilitas pengolahan data
penginderaan jauh bagi para pengguna di luar
Lembaga.
Untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga bertugas:
melakukan pembinaan dan menetapkan
standardisasi data dan produk informasi serta
metode pengolahan penginderaan jauh nasional;
melakukan koordinasi kebutuhan pengadaan data
penginderaan jauh dengan instansi terkait; dan
melaksanakan kerja sama dalam pelestarian data
penginderaan jauh yang dimiliki oleh Penyelenggara
Keantariksaan selain Lembaga.
Pasal 21
Instansi Pemerintah Penyelenggara Keantariksaan wajib menyerahkan metadata dan duplikat data penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
Penyelenggara Keantariksaan, selain Lembaga dan
Instansi Pemerintah, wajib menyerahkan metadata
penginderaan jauh kepada Lembaga, kecuali
ditentukan lain berdasarkan perjanjian lisensi.
Paragraf 5 Pemanfaatan Data dan Diseminasi Informasi
Pasal 22
Pemanfaatan data dan diseminasi informasi
penginderaan jauh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf d wajib dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Lembaga.
Lembaga dapat melaksanakan pengolahan klasifikasi dan deteksi parameter geo-bio-fisik atas permintaan pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang yang melaksanakan kegiatan peluncuran
Wahana Antariksa yang dengan sengaja tidak
memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi barang atau orang dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Pasal 97
Setiap orang yang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa yang jatuh di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (1), yang sudah diberi tanda batas larangan masuk dalam area benda jatuh tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98
Setiap orang yang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, yang mengakibatkan tercemar atau terkontaminasinya lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 99
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan salah satu atau lebih kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Pasal 100
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
BAB XVII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
Dalam hal
Penyelenggaraan Keantariksaan untuk
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit untuk kegiatan Keantariksaan, pembinaannya
dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan
informatika sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Pasal 102
Lembaga menyusun rencana penggunaan frekuensi
radio untuk Penyelenggaraan Keantariksaan nasional
dan pemutakhirannya serta melaporkan kepada
menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Lembaga wajib mendaftarkan penggunaan frekuensi radio untuk operasi satelit ke Badan Telekomunikasi Internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika
wajib memprioritaskan penggunaan frekuensi radio
untuk kegiatan Keantariksaan.
BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 103
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pembangunan dan pengoperasian stasiun bumi yang telah ada wajib dilaporkan pengoperasiannya paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
BAB XIX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 104
Peraturan
Pemerintah
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Peraturan
Presiden
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Peraturan
Lembaga
yang
diamanatkan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 105
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 133