Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
![]() |
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena merupakan hasil rapat terbuka lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah dan putusan pengadilan atau penetapan hakim. Karya ini tidak memiliki hak cipta. (Pasal 42 UU No. 28 Tahun 2014)
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat. |
![]() |
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1946
TENTANG
PERATURAN HUKUM PIDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: | bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan Undang-undang hukum pidana baru, perlu peraturan hukum pidana disesuaikan dengan keadaan sekarang; |
Mengingat: | Akan pasal 5, ayat 1 Undang-Undang Dasar, pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar serta Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2; |
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat :
Memutuskan :
Menetapkan peraturan sebagai berikut :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA.
Pasal 1.
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. |
Pasal 2.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag) dicabut. |
Pasal 3.
Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis dengan perkataan "Nederlandsch-Indie" atau "NederlandschIndisch(e) (en)", maka perkataan-perkataan itu harus dibaca "Indonesie" atau "Indonesishc(e) (en)". |
Pasal 4.
Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan diberikan atau suatu larangan ditujukan kepada sesuatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi, maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya. |
Pasal 5.
Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian sementara tidak berlaku. |
Pasal 6.
|
Pasal 7.
Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam pasal 3, maka semua perkataan "Nederlandsch-onderdaan" dalam Kitan Undang-undang hukum pidana diganti dengan "Warga Negara Indonesia". |
Pasal 8.
Kitab Undang-undang hukum pidana dirobah sebagai berikut :
|
|
|
|
|
Pasal 9.
Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun. |
Pasal 10.
Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang kertas, sedang ia sewaktu menerimanya mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, atau, dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, menyediakannya atau memasukkannya ke dalam Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun. |
Pasal 11.
Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang atau uang kertas yang dari pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dalam hal di luar keadaan sebagai yang tersebut dalam pasal yang baru lalu, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun. |
Pasal 12.
Barang siapa menerima sebagai alat pembayaran atau penukaran atau sebagai hadiah |
atau penyimpan atau mengangkut mata uang atau uang kertas, sedangkan ia mengetahui, bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun. |
Pasal 13.
Kalau orang dihukum karena melakukan salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal-pasal 9, 10, 11 dan 12 maka mata uang atau uang kertas serta benda lain yang dipergunakan untuk melakukan salah satu kejahatan itu dirampas, juga kalau benda-benda itu bukan kepunyaan terhukum. |
Pasal 14.
|
Pasal 15.
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun. |
Pasal 16.
Barang siapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan. |
Pasal 17.
Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden. |
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum, maka diperintahkan supaya diumumkan sebagai biasa. |
Ditetapkan di Yogyakarta PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEKARNO |
Menteri Kehakiman,
SOEWANDI |
Diumumkan pada tanggal 26 Pebruari 1946 Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO |
Penjelasan[sunting]
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1946
TENTANG
PERATURAN HUKUM PIDANA
PENJELASAN UMUM.
I. | Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar berhubung dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, maka sekarang berlaku semua peraturan hukum pidana, yang ada pada tanggal 17 Agustus 1945, baik yang asalnya dari pemerintah Hindia-Belanda, maupun yang ditetapkan oleh Pemerintah balatentara Jepang. Hal ini sekarang ternyata menimbulkan kesukaran yang dengan singkat akan diuraikan dibawah ini : Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada umumnya berlaku buat seluruh Indonesia, sedangkan Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah balatentara Jepang hanya berlaku buat sebagian dari Indonesia saja, oleh karena Indonesia pada jaman Jepang dibagi menjadi beberapa daerah (Jawa, Sumatera, Borneo dll), yang masing-masing mempunyai Pemerintah dan Peraturan-peraturan sendiri. Dari sebab itu maka mungkin suatu Peraturan Hindia Belanda, yang dulu berlaku buat seluruh Indonesia, oleh Pemerintah Jepang di Jawa dan Madura diganti seluruhnya dengan peraturan baru, di Sumatera hanya sebagian diganti, dan di Borneo sama sekali tidak diganti. Mungkin pula buat tiap-tiap daerah tentang suatu hal oleh Pemerintah daerah Jepang diadakan suatu peraturan baru yang satu sama lain tidak sama isinya. Selain dari pada itu peraturan hukum-pidana Hindia Belanda dan Jepang tidak sama sisteem-nya. Sedangkan peraturan hukum pidana Hindia-Belanda berdasarkan azas : Nullum delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana) (lihatlah pasal 1 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), maka peraturan hukum pidana Jepang berazas luas (lihatlah misalnya pasal 14 dan pasal 35 No. 8 Gunsei Keizirei). Disini tidak akan dirundingkan sisteem manakah sebagai sisteem terlebih baik, akan tetapi sudah barang tentu, bahwa tidak baik menggunakan dua sisteem itu dalam peraturan-peraturan hukum pidana, yang bersama-sama berlaku dalam sesuatu daerah. Lagi pula peraturan tentang bagian umum (algemeene leerstukken) dari hukum pidana Hindia-Belanda dan Jepang tidak sama. Di dalam praktek peraturan bagian umum dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie harus dipakai jikalau pelanggaran mengenai peraturan Hindia-Belanda, sedang |
peraturan bagian umum dari Gunsel Keizirei harus dipergunakan, jikalau peraturan Jepang yang dilanggar. Dirasa tak perlu memberi keterangan panjang lebar, bahwa menyempurnakan peraturan-peraturan hukum Pidana Hindia Belanda dan Jepang itu tidak memuaskan dan menimbulkan kesulitan bagi mereka yang harus menjalankan hukum pidana itu, lebih-lebih pegawai polisi yang bukan ahli hukum. Dari sebab itu tidak mengherankan, bahwa dari beberapa tempat dan pihak diusulkan supaya satu peraturan kriminil sajalah dipakai. Lebih tegas diusulkan oleh mereka supaya peraturan-peraturan hukum pidana Jepang dihapuskan. Memang tidak dapat disangkal, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana Jepang, yang berlaku ditanah kita, bersifat fascistisch, lagi pula tidak merupakan peraturan yang bulat, kerap kali tidak jelas dan mengandung banyak bukti, bahwa peraturan-peraturan itu disusun dengan tergesa-gesa pada masa yang tak tenang, sedang Gunsei Keizirei kadang-kadang memaksa hakim menjatuhkan hukuman yang tidak seimbang dengan kesalahan pesakitan, oleh karena beberapa pasal tak memberi kesempatan kepada hakim memberi hukuman lebih enteng dari pada batas terlukis dalam pasal-pasal itu. Sebaliknya boleh dikatakan, bahwa peraturan kriminil Hindia-Belanda walaupun tidak sempurna, cukup lengkap dan pada umumnya tidan mengandung cacat-cacat seperti dimaksud diatas, sehingga peraturan-peraturan ini, sebelum dapat diselesaikan peraturan-peraturan hukum pidana nasional, boleh dipakai buat sementara waktu, sesudah peraturan-peraturan itu dirobah dan ditambah seperlunya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dirasa perlu melenyapkan peraturan-peraturan kriminil Jepang, sehingga buat sementara waktu berlaku lagi peraturan-peraturan hukum pidana Hindia-Belanda yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Perlu kiranya diterangkan disini, bahwa yang akan tidak berlaku lagi itu, ialah peraturan-peraturan hukum pidana sahaja, yaitu Gunsei Keizirei dan peraturan-peraturan Jepang lain yang memuat "matereel stafrecht". Peraturan-peraturan Jepang yang bersifat lain terus berlaku. |
II. | Oleh karena Negara Republik Indonesia sekarang tidak dalam keadaan perang dengan Negara manapun, dan keadaan bahaya tidak dinyatakan oleh Presiden (lihatlah pasal 12 Undang-Undang Dasar), maka dianggap kurang tepat mengadakan peraturan-peraturan sebagai "Verordeningen van het Militair Gezag" yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda. Dari sebab di dalam praktek disangsikan, apakah peraturan-peraturan itu masih berlaku atau tidak, maka sebaiknya dinyatakan, bahwa undang-undang itu dicabut. (lihat pasal dari rencana). |
III. | Tidak perlu diterangkan, bahwa semua peraturan yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942, mestinya satu demi satu sedapat-dapat harus disesuaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini sedapat-dapat dilaksanakan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie). Tetapi pekerjaan itu tidak mungkin sekaligus diselenggarakan terhadap semua Peraturan. Berhubung dengan itu, maka dengan pasal III, IV dan V dari rencana diberi petunjuk walaupun jauh dari pada sempurna kepada mereka yang harus menjalankan peraturan hukum pidana sehari-hari, jalan manakah yang harus ditempuh untuk menyesuaikan peraturan-peraturan lama dengan keadaan sekarang, sebelum peraturan-peraturan itu dapat dirobah atau diganti. |
IV. | Tentang bahasa, yang dipakai dalam perobahan-perobahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, baik kiranya diberi keterangan sekedarnya. Karena kitab tersebut ditulis dalam bahasa Belanda, maka agar supaya tidak menimbulkan kekacauan dalam membacanya perobahan-perobahan itu, yang hanya mengenai satu atau dua perkataan atau sebagian dari pasal atau ayat, ditulis pula dalam bahasa Belanda. |
V. | Selain dari pada perobahan kecil-kecil ini, dirasa perlu juga merobah pasal 171 Kitab undang-undang hukum pidana seanteronya serta mengadakan beberapa aturan-aturan baru antara lain guna melindungi masyarakat kita pada zaman pancaroba ini. Oleh karena perobahan-perobahan dan tambahan-tambahan yang dimaksud ini sangat dipengaruhi keadaan sekarang dan kini belum dapat ditetapkan dengan pasti, apakah peraturan-peraturan itu seperti yang diusulkan sekarang, akan tetap dibutuhkan, juga buat kemudian hari, maka dianggap lebih tepat memberi tempat kepada pasal-pasal tersebut di luar badan Kitab undang-undang hukum pidana. Pasal-pasal ini ditulis dalam bahasa Indonesia (lihat pasal IX, X, XI, XII, XIII dan XV). |
VI. | Hingga kini terjemahan nama : "Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie" dalam bahasa Indonesia tidak sama. Nama-nama yang dipakai ialah antara lain : Kitab Undang-undang Hukum Siksa", "Kitab Undang-undang Hukum", "Kitab Undang-undang Hukum Pidana", dsb. Untuk mencapai persamaan dalam terjemahan nama tersebut, dipandang perlu menetapkan terjemahan resmi dengan undang-undang (lihat pasal 6). Istilah "hukum pidana" dalam arti "strafrecht" ialah istilah yang ditetapkan oleh Panitia istilah dari Panitia penyelenggara undang-undang di Departemen Kehakiman pada zaman Jepang. |
PENJELASAN SEPASAL DEMI SEPASAL.
Pasal I sampai VI.
Penjelasan telah diberikan dibagian penjelasan umum. Petunjuk-petunjuk dalam pasal I sampai V diatas dirasa perlu terhadap peraturan-peraturan hukum pidana yang belum dapat dirobah atau diganti sesuai dengan keadaan sekarang. |
Pasal VII.
Tidak perlu diterangkan lagi. |
Pasal VIII.
No. 1 Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan, (lihatlah No. 13, 19 dan 21). No. 2 dan 3a tidak membutuhkan penjelasan.
No. 3b, dan No. 4 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang, maka pegawai inilah yang harus diberi kekuasaan yang dimaksud dalam pasal ini, sedangkan kewajiban Gouverneur-Generaal dulu patut diserahkan kepada Menteri Kehakiman.
No. 5, No. 6, No. 7, No. 8, tidak membutuhkan penjelasan
No. 10 Namanya badan-badan politik yang dimaksud dalam pasal ini belum dapat disebut. Komite Nasional Indonesia antara lainnya juga masuk dalam pasal ini.
No. 11, No. 12, No. 13 tidak membutuhkan penjelasan.
B, pasal-pasal 132 dan 133 dihapuskan (lihatlah No. 21).
C, pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (lihatlah No. 23). No. 28 tidak membutuhkan penjelasan. |
No. 32 lihat penjelasan No. 30. No. 33 Pasal 105 dihapuskan. |
Pasal IX sampai XIII
Pasal-pasal ini dibutuhkan buat menindas usaha untuk mengacaukan peradaran uang di negeri kita dengan menyebarkan mata uang atau uang kertas yang oleh pihak Pemerintah kita tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Mata uang atau uang kertas yang tidak disebut dalam Maklumat Presiden Republik Indonesia tertanggal 3 Oktober 1945 No. 1/10 sebagai alat pembayaran yang sah, adalah buat daerah Jawa dan Madura alat pembayaran yang tidak sah. |
Pasal IX.
Mengancam hukuman terhadap barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud seperti diterangkan dalam pasal itu. |
Pasal X dan pasal XI.
Disusun hampir sama dengan susunan pasal 245 dan pasal 249 Kitab undang-undang hukum pidana. Bedanya disebabkan oleh hal yang pasal X dan XI mengenai mata uang atau uang kertas yang tidak sah, sedangkan pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum pidana mengenai mata uang atau uang kertas palsu atau yang dipalsukan. Penjelasan dalam kitab-kitab tafsir tentang pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum pidana dapat dipergunakan untuk menafsirkan pasal X dan XI dari rancangan ini, dengan mengingat akan bedanya. |
Pasal XIII.
Merupakan pasangannya pasal 250 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana. |
Pasal XIV dan pasal XV.
Menggantikan pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang pada masa pancaroba ini perlu diperluas. |
Pasal XIV.
Ialah sama dengan "Verordening No. 18 van het Militair Gezag". Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat juga keonaran. Menyiarkan artinya sama dengan "verspreiden" dalam pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. |
Pasal XV.
Disusun tidak begitu luas sebagai "verordening No. 19 van het Militair Gezag". Pasal ini mengenai "kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi. Menyiarkan kabar benar secara yang benar tidak dihukum. Arti perkataan "keonaran" telah dijelaskan dalam penjelasan pasal XIV. |
Pasal terachir.
Oleh karena berhubung dengan sukarnya perhubungan antara pulau Jawa dan daerah Negara Indonesia yang lain, sekarang belum dapat ditetapkan bilamana Undang-undang ini akan berlaku buat daerah di luar pulau Jawa dan Madura, maka sebaiknya diserahkan kepada Presiden untuk menentukan saat itu. |