Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945 (UU/1945/1)  (1945) 
tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945

TENTANG

PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu diadakan aturan buat sementara waktu Untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Daerah;
Mengingat: pasal 18 dan 20 Undang Undang Dasar 1945 dan Maklumat Wakil Presiden No. X, tanggal 16 Oktober 1945;

Dengan Persetujuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat;

Memutuskan:

Menetapkan Undang-Undang sebagai berikut :

Pasal 1
Komite Nasional Daerah diadakan- ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta- di Keresidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 2
Rakjat Daerah, jang bersama-sama dengan dan ww Komite Nasional Daerah mendjadi Badan Perwakilan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerdjaan mengatur rumah-tangga daerahnja, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jang lebih luas dari padanja.

Pasal 3
Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 orang sebagai Badan Executief, jang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mendjalankan Pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.

Pasal 4
Ketua Komite Nasional Daerah jang lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua Badan jang dimaksudkan dalam pasal 2 dan 3.

Pasal 5
Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 6
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari.
Djakarta, tanggal 23 Nopember 1945,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEKARNO

Diumumkan, Pada tanggal 23 Nopember 1945.

Sekretaris Negara,

ttd

A.G. PRINGGODIGDO

Penjelasan

[sunting]

PENDJELASAN

UNDANG-UNDANG 1945 NO. 1

Didalam menjalankan Undang-Undang tanggal 23-11-1945 Pemerintah telah memenuhi beberapa kesulitan jang ta’ mudah dipetjahkan, oleh karena menurut faham kami :

Undang-Undang itu tidak disertai “memorie van toelichting” jang lazim disertakan dalam tiap-tiap rentjana Undang-Undang atau dalam tiap-tiap Undang-Undang jang baru diumumkan. Hal demikian itu menjebabkan pembatja daari Undang-Undang tersebut tidak dapat mengetahui tudjuan dari Undang-Undang itu, sehingga tergantung semata-mata pada susunan dan redactie dari Undang-Undang tersebut dalam menafsirkan isi Undang-Undang itu.

Begitu timbullah beberapa pertanjaan dari masing-masing daerah sepeti :

  1. Apakah Kepala Daerah yang qualitatus qua memimpin Badan Perwakilan Rakjat dan badan sxecutief itu, djuga berkedudukan sebagai anggauta jang mempunjai suara (stem) dalam badanbadan tersebut?
  2. Seterusnja, djika Kepala Daerah (Residen, Bupati atau Kepala-kota) berhalangan, siapakah jang menjadi gantinja untuk memimpin persidangan dari badan-badan tersebut?
  3. Apakah seorang bukan dari anggauta Badan perwakilan Rakjat boleh ditunjuk sebagai anggauta badan executief?
  4. Apakah artinja Komite Nasional Indonesia menjadi Badan Perwakilan Rakjat Daerah dan sebagainya?

Begitulah masih banjak soal-soal jang menimbulkan kesulitan undang-undang tersebut.

Oleh sebab itu didalam kita berusaha mengadakan pendjelasan itu, perlu kita mengetahui tudjuan serta sebab-sebab jang telah menggerakkan Badan Pekerdja Pusat untuk mengusulkan Undang-Undang tersebut kepada Pemerintah ; dan untuk mengetahui hal itu perlu kita mendapat notulen rapat Badan Pekerdja ketika merundingkan Undang-Undang itu serta meneliti pengumuman-pengumuman Badan Pekerja jang mengenai Undang-Undang tersebut jang dapat kita gunakan sebagai “ memorie van toelichting”.

Meskipun notulen tidak semua ada pada kita, akan tetapi dalam perundingan itu Prof. Soepomo dan saja sebagai wakil Pemerintah turut merundingkan rentjana Undang-Undang tersebut dalam Badan Pekerdja, sehingga walaupun tidak autentik saja dapat memberikan keterangan tentang “wordingsgeschidenisnja” Undang-Undang ini.

Akan tetapi bagaimanapun djuga, untuk mengetahui azas dan tudjuan Undang-Undang itu tidak tjukup kiranja, djika kita mengambil dasar “ingat-ingatan” sadja. Tjara sematjam ini “juridis” kurang harganja. Oleh karenanja, maka kita harus mentjoba mentjari dasar dan tudjuan itu hanja dari pada pengumuman-pengumuman Badan Pekerdja jang dimuat dalam Berita Republik Indonesia, terutama dalam pengumuman No. 2 dan Nomor 3, serta penjelasan kedudukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, jang dapat dipergunakan sebagai perbandingan. Selain dari itu ada pada kita surat pengantar Rantjangan Undang-Undang, dari Komite Nasional Indonesia Pusat pada Presiden tanggal 27-10-1945 No. 30/B.P. jang dapat dipergunakan sebagai penjelasan umum. Dalam pengumuman Nomor 2 terdapat alenia jang demikian bunjinja: “Maka kedudukan Komite Nasional Daerah perlu lekas diatur supaya hilang keragu-raguan tentang kedudukannya dan lekas tercapai keadaan yang sama diseluruh Negara kita”.

Kemudian dalam pengumuman No. 3 ada dikatakan : Dalam waktu dua bulan semenjak berdirinya Republik kita, sudah ternyata benar-benar Komite-Komite itu memenuhi kewajibannya sebagai Badan yang harus mempertahankan dan membantu Pemerintah, jang mula-mula belum terbentuk dan belum dapat bekerdja dengan seksama”.

Setelah dikatakan bahwa dalam dua bulan kekuasaan sipil seluruhnya dapat dimiliki oleh Pemerintah kita, maka dikatakan : ..Dengan keadaan itu setelah berusaha supaya tiap-tiap urusan Negara djangan lagi diurus oleh Komite Nasional Indonesia, tetapi oleh Badan Pemerintah jang bersangkutan, sampailah waktunya Komite Nasional berganti sifat”.

Kemudian dikatakan dalam “ Penjelasan tentang Kedudukan Badan Pekerja K.N.I. Pusat tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenaan dengan tindakan Pemerintah (executief)”.

Selanjutnya dalam surat pengantar tanggal 27-10-1945 tersebut : “ Badan Pekerdja” berpendapat bahwa Komite (Nasional) dan Si-ku dan Ku dalam kota tak perlu dilanjutkan berdiri.

Badan Pekerdja – begitulah surat tersebut – telah membitjarakan sifat mana hendaknya diberi kepada Komite Nasional Daerah yang terus diadakan. Kesimpulan pembitjaraan ialah : Komite Nasional Daerah itu hendaknya menjadi Badan legislatief, dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite Nasional itu dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite Nasional itu dipimpin (pula) oleh Kepala Daerah, hendaknja mendjalankan pemerintahan seharihari.

Dari pada pengumuman-pengumuman dan surat-surat pengantar tersebut, dapat kita menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. bahwa Komite Nasional Indonesia mula-mula dibentuk sebagai pembantu pemerintah, dimasa kekuasaan sipil masih ditangan Djepang, pamong-Pradja, Polisi dan lain-lain alat-alat pemerintah masih ditangan Djepang;
  2. bahwa sebelum… Djepang, Komite Nasional Indonesia-lah dalam prakteknja mengganti Pangreh Pradja dan polisi, disamping Pangreh Pradja dan Polisi jang telah sama melepaskan dirinja dari kekuasaan Djepang dan mendjadi pegawai Republik Indonesia.
  3. bahwa keadaan dualisme jang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan Pangreh-Pradja dan polisi jang merupakan alat-alat Pemerintahan jang resmi, menurut faham kami sendiri, jang menjadi ukuran untuk dunia internationaal, apakah benar-benar bahwa local government de facto ada ditangan kita dengan beres (running well). Berhubung dengan itu maka soal ini harus lekas dipetjahkan. Oleh karenanja Badan Pekerdja

memajukan rantjangan Undang-Undang kepada Presiden untuk mengaturnja.

Dari pada pemandangan diatas dapat ditangkap, bahwa tudjuan jang terutama dari pada Undang-Undang itu ialah menarik kekuasaan dari Komite Nasional Indonesia. Sedang penggantian sifat Komite Nasional Indonesia sebagai badan (dan sebagian executief) dapat dipandang sebagai tindakan jang tepat untuk mengadakan forum, dalam mana Pemerintahan daerah dapat mempertahankan atau bertanggung jawab atas tindakan atau sikapnja tentang Pemerintahan sehari-hari.

Dengan djalan demikian tertjapailah - menurut faham saja – usaha Pemerintah Pusat untuk menjempurnakan Pemerintah daerah berdasarkan kedaulatan Rakjat.

Dalam usaha memberi tempat kepada komite Nasional indonesia Daerah sebagai Badan perwakilan Rakjat perlu diperhatikan:

  1. bahwa semangat kedaulatan Rakjat sedang berkobar,
  2. bahwa semangat ini selekas mungkin harus diberi tempat,
  3. bahwa peraturan diadakan sementara.

Mengingat hal-hal diatas maka peraturan-peraturan harus segera diadakan. Ketjepatan adanja peraturan harus lebih diutamakan daripada kesempurnaan peraturan.

Berhubung terutama dengan “ketjepatan” ini, maka untuk Pemerintahan Dalam Negeri, jang oleh Badan Pekerdja diserahi untuk mengeluarkan ”uitvoeringsvoorschrift” tentang hal ini sukar sekali mengerdjakan setjara systematis.

Maka dari sebab itu uitvoeringsvoorschrift (pendjelasan) jang akan kami bitjacarakan ini, kami bagi sadja dalam dua golongan, jaitu :

Pendjelasan umum dan pendjelasan sefatsal-sefatsal.

Akan tetapi sebelumnja harus kita tjatat disini, bahwa jang dikehendaki oleh B.P. itu bukannja Undang-Undang baru, tetapi hanja uitvoeringsvoorschrift (pendjelasan) sadja, jang ta’ dapat mengubah Undang-Undang (Undang-Undang hanja dapat dirubah dengan Undang-Undang), sedang uitvoeringsvoorschriften tadi lapangannja terbatas sekali, artinja ta’ dapat keluar daripada Undang-Undang (lama atau baru).

Batasan ini terasa pula, oleh sebab menurut Peraturan Presiden No. 1 (Berita Republik Indonesia) segala aturan-aturan dan Undang-Undang lama tetap berlaku, selama belum diadakan Undang-Undang jang baru menurut Undang-Undang Dasar.

Berhubung dengan ini, maka kita harus memperhatikan pula Stadgemeente- dan Regentschapsordonnantie jang dalam zaman Djepang telah dirobah kedudukannja oleh OsamuSeiren nomor. 12 dan 13 sebagai Ken dan Si, jang autonomie, akan tetapi sifat demokrasinya dilenjapkan, karena segala hak-hak dari Raad-Raad dan College-College di daerah-daerah di berikan kepada Kepala Daerah, sehingga dengan sendirinja Raad-Raad dan College-College tersebut dihapuskan.

Akan tetapi Undang-Undang tanggal 23 Nopember 1945 No. 1 itu, meskipun tidak disebut, pada hakekatnya merubah status quo Pemerintahan Daerah : “Komite Nasional Indonesia, Daerah mendjadi Badan Perwakilan Rakjat Daerah” dengan dasar kedaulatan rakjat.

Dengan pemandangan ini sebagai pendahuluan, datanglah waktunja untuk membicarakan uitvoeringsvoorschrift jang akan kita keluarkan itu.

PENDJELASAN UNDANG-UNDANG 1945 NO. 1

A. Pemandangan Umum

Terlebih dahulu perlu dikemukakan disini bahwa undang-Undang No. 1 dibuka dengan menimbang : bahwa sebelumnja diadakan pemilihan umum, perlu diadakan pemilihan umum, perlu diadakan aturan sementara waktu untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah. Dalam pembukaan ini ternjata, bahwa Undang-Undang ini dimaksudkan sekedar mengatur kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah : untuk sementara waktu, sebelum diadakan pemilihan umum.

Sebagai peraturan sementara waktu, tentu perauturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhja, karena harus diadakan dengan tjepat sekedar mentjegah kemungkinan kekatjauan. Sebagai badan jang harus menunggu pemilihan umum, maka tidak perlu diadakan pemilihan baru, agar Komite Nasional Indonesia dapat mendjelma mendjadi Badan Perwakilan Rakjat.

Lain daripada itu perlu diterangkan bahwa sifat Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat lain sekali daripada sifat Komite Nasional Indonesia sebelum berganti sifat. Ketika Komite Nasional Indonesia dibentuk, kekuasaan Djepang masih meradjalela dimana-mana pegawai Pangreh Pradja dan Polisi sekalipun mereka telah bersumpah setia pada Republik, pada hakekatnya masih dibawah kekuasaan Djepang. Oleh karena keadaan yang demikian itu, maka Komite Nasional pada masa itu merupakan kaki tangan Republik dan mengerdjakan banyak hal-hal jang biasanya dikerdjakan oleh Pangreh Pradja dan Polisi. Setelah kekuasaan sipil dapat direbut daripada tangan Djepang, dari kekuasaan mereka, maka dengan sendirinja hak-hak kekuasaan Komite Nasional Indonesia itu harus dikembalikan kepada alat-alat pemerintahan jang resmi, dan dengan pengembalian itu terbukalah satu lapangan yang lebih sesuai dan indah bagi K.N.I sebagai badan jang meliputi segenap lapisan dan golongan Rakjat, ialah lapangan jang lebih sesuai dan indah bagi Komite Nasional Indonesia sebagai Badan jang meliputi segenap lapisan dan golongan Rakjat, ialah lapangan pendjelmaan kedaulatan Rakjat dan berganti sifat mendjadi : Badan Perwakilan Rakjat. Sebagai Badan Perwakilan Rakjat, Komite Nasional Indonesia hanja mempunyai suatu kewadjiban ialah : Mengadakan Undang-Undang untuk daerahnja. Sungguhpun berbeda dalam dasarnya, tetapi sebagai pendjelmaan dapat dikatakan, bahwa kewadjiban Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat dapat diumpamakan sebagai Gemeenteraad dan Regentschapsraad dahulu, jang mempunjai kewadjiban mengadakan Gemeente dan Regentschapsverordening dan sebagai djuga Gemeenteraad dan Regenstschapsraad berapat didalam gedong-gedong Kantor Gemeenteraad dan Regenstschapsraad dan personeelnja tergabung dengan Badan tadi, begitulah pula Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat tidak seharusnja mempunjai gedung, administrasi dan personeel jang tersendiri pada kantor-kantor Pemerintahan Daerah.

B. Pendjelasan sefasal-sefasal

Fatsal pertama. Komite Nasional Daerah diadakan di Djawa dan Madura (ketjuali di Daerah Istimemewa Jogjakarta dan Surakarta) di Keresidenan, di kota berautonomie. Kabupaten dan lainlain daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri.

  1. Ini berarti bahwa Komite Nasional Daerah di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Ketjamatan) dan di Siku dan Ku dalam kota, ta’ perlu dilandjutkan lagi.
  2. Tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika – begitulah surat pengantar – sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia menerima – untuk membicarakannja – rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu.
  3. Tentang perkataan “di lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Ini tambahan diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah tangga daerahnja” dalam fatsal 2.

Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah tersebut, tersusun menurut faham decentralisatie – wetgeving jang dulu, dengan mempunjai harta benda dan penghatsilan sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu nistjaya sukar sekali untuk merentjanakan budgetnya, djika andaikata daerah dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau desa djuga dijadikan badan jang berautonomie dengan mempunyai “eigen middelen”. Nistjaja buat ketamsilan : djika desa telah memungaut padjak kendaraan dan rooiver gunningen dalam desa itu nistjaja saja Kabupaten tidak akan dapat memungut lagi padjak-padjak itu dari object dan subject yang sama.

Dan lagi Pemerintah, pada waktu itu (seperti jang diutjapkan oleh Menteri Kehakiman Prof. Soepomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) jang masih dihargai oleh penduduk desa, akan dihapuskan okeh bangunan baru ini. Maka dari sebab itu –begitulah Prof. Soepomo-- Sebelumnja hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnja, sehingga kita dapat gambaran jang terang tentang keadaan didesa-desa. Baiklah kita selidiki soal ini, djangan sampai kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan akibat : kekalutan. Akan tetapi djika Rakjat memang menghendaki bangunan baru ini, maka mereka diberi kesempatan untuk mengusulkan hal itu kepada Menteri Dlam Negeri. Seperti diatas telah diterangkan : desa autonomie jang digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi. Fatsal kedua. Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah jang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mendjalankan pekerdjaan mengatur rumah tangga daerahnja, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah jang lebih luas dari padanya.

1e. “mendjadi” artinja berganti sifat (eigenschap), djadi samenstellingnia atau anggautanja ta’ perlu diganti.

Ketika mendjawab pertanjaan Pemerintah, anggauta B.P. sebagai djurubitjara Badan Perwakilan mengatakan : “- -- Fatsal 2 dimaksudkan untuk memberi tempat kepada Komite Nasional Daerah, jang sekarang ada diawang-awang”. (lihatlah Notulen Badan Pekerdja, diterangkan dengan djelas, bahwa Komite Nasional Daerah (Badan Perwakilan Rakjat) itu mendjadi “badan legislatief”, sedang bagian dari Komite Nasional Indonesia jang terdiri dari sebanjak-banjaknja 5 orang, dipilih oleh Komite Nasional Daerah diantaranja anggauta-anggautanja, mendjalankan Pemerintahan sehari-hari (executief) bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.

2e Susunan : B.P. Pusat memutuskan, bahwa banjaknya anggauta untuk :

Keresidenan sebanjak-banjaknja ……………………………..: 100 orang

Kabupaten (kota) …………………………………………….: 60 orang

3e. ”bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah” : meskipun redactie tentang hal ini sama dengan redactienja fatsal 3, maka menurut keterangan jang kami dapat dari Badan Pekerdja ketika mengadakan tanja djawab pada tanggal 28 Desember 1945, perkataan ”bersama-sama” disini (fatsal 2) harus diartikan bahwa Kepala Daerah jang memimpin Badan Perwakilan Rakjat itu ta’ mempunjai suara dalam Badan Perwakilan Rakjat itu. Djadi bukan ”lid tevens voorzitter” melainkan ketua sadja.

4e. ”mengatur rumah-tangga”, ini agak sulit, sebab dalam Undang-Undang ini ta’ diterangkan ”wekkring” (lingkungan bekerdja) dari badan-badan tersebut. Lazimnja perkataan autonomi. Apakah autonomi ini : autonomi Djepang ataukah autonomi Belanda? Dengan Osamu Seirei 12-13, autonomi-Belanda Nippon. telah dirobah sifat sebagai autonomi-Djika-berhubung dengan Peraturan Presiden No. 2, jaitu bahwa segala aturan jang ada sampai berdirinja Republik Indonesia tetap berlaku, selama belum diadakan jang baru-kita dalam menafsirkan tudjuannja Undang-Undang tersebut hanja memperhatikan redactienja sadja, maka strikt interpretatie badan-badan tersebut hanja mempunjai hak autonomi Djepang, artinja : Keresidenan, Kabupaten dan kota berautonomi tidak diperbolehkan mengatur hal-hal jang tidak dapat diatur oleh Sjuurei. Ken dan Si Zyoorei. Akan tetapi ini semua bukanlah jang dimaksudkan oleh Badan Perwakilan Rakjat. Seperti jang telah kami uraikan diatas, ketika kita berunding, kita menggambarkan automi itu sedikitnja sama dengan autonomi menurut kefahaman decentralisatiewetgeving. Malahan kita dapat menentukan bahwa autonomi jang kita gambarkan itu bukan autonomi Djepang atau bukan autonomi Belanda, melainkan autonomi Indonesia, jang berdasarkan kedaulatan Rakjat. Dan menurut faham saja ini ta’ bertentangan dengan Undang-Undang tersebut diatas, karena pada hakekatnja status quo Pemerintahan daerah sudah dirubah oleh lahirnja Undang-Undang No. 1, jaitu Badan Perwakilan Rakjat.

Jang kami qualifiseer sebagai autonomi-Indonesia itu lebih luas dari autonomi-Belanda, artinja dalam fatsal ini hanja ada perbatasan : ”asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jang lebih luas daripadanja”. Ini berarti suatu kemerdekaan untuk mengatur (vrijheid van regeting), meskipun dengan perbatasan.

Bagaimanapun djuga menurut keilhaman tata-usaha jang berlaku di Negara-negara jang merdeka, maka lapangan pekerdjaan Badan Perwakilan Rakjat sebagai badan legislatief dapat dibagi atas 3 bagian :

  1. kemerdekaan tentang mengadakan aturan-aturan jang lazimnja diterdjemahkan dengan perkataan : autonomi.
  2. Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk mendjalankan (uitvoeren) aturan-aturan jang ditetapkan oleh Pemerintah itu, lazimnja disebut : medebewind dan self governement.
  3. untuk mengadakan aturan buat suatu hal jang diperintahkan oleh Undang-Undang umum, dengan penetapan bahwa aturan itu harus disahkan dahulu oleh Pemerintah atasan-diantaranja autonomi dan self-governement.

Djika hal-hal ini diperhatika, maka meskipun lapangan pekerdjaan legislatief tadi ta’ disebutkan, buat sementara (sebelum dipihak umum) Badan Perwakilan Rakjat mengerdjakan pekerdjaaan-pekerdjaan dengan kepuasan.

Fatsal ke-tiga. Oleh Komite Nasional Daerah, dipilih beberapa orang, sebanjak-banjaknya 5 orang, sebagai badan executief jang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mendjalankan Pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.

  1. Susunan (samentelling) : anggauta 5 orang itu menurut pengumuman Badan Pekerdja No.2: ”dipilih oleh Komite Nasional Daerah diantara anggauta2-nja”. Djadi terang sekali, bahwa 5 orang anggauta badan executief itu anggauta pula dari Badan Perwakilan Rakjat.
  2. ”bersama-sama dengan”, ini menurut putusan dari Badan Pekerdja, berarti bahwa dalam Badan Executief, Kepala Daerah merupakan : Ketua jang mendjadi anggauta pula : sebaliknja seperti diatas telah didjelaskan, dalam Badan Legislatief, Kepala daerah hanya mendjadi Ketua sadja. Oleh karena dengan Ketua ini djumlahnja anggauta badan-executief dapat mendjadi 6, angka jang genap (even-getal), maka sukar sekali djika ada staking van stemmen (jang mufakat sama dengan jang tidak mufakat), sedang tentang hal ini belum teratur. Menurut pendapat kami kita harus mempergunakan kefahaman Barat : djika jang diundikan itu orang.baiklah djika jang mufakat sama dengan jang tidak mufakat (staking van stemmen), hal ini ditetapkan dengan

undian (lot) pula. Djika jang diundikan barang atau hal sesuatu, baiklah dalam hal demikian, usul dianggap : sebagai tidak diterima.

c. ”Kepala-Daerah” qualitatus qua mendjadi ketua kedua badan, sehingga (begitulah putusan Badan Pekerdja Pusat tgl. 28-12-1945) djika Kepala Daerah ini berhalangan, maka WakilKepala Daerah pulalah jang memimpinnja (djadi Wakil Residen, Patih atau Wakil-Kepala-Kota).

d. ”Anggauta Badan Executief”. Menurut keputusan B.P. Pusat, anggauta ini bukannja ”diensthoofd” (kepala djabatan, melainkan ”politiek-leider” dari salah satu djawatan sebagai gambaran Barat : ”Wethouder voor openbare werken, wethouder voor onderwijs, dan sebagainja

sehingga kehendak anggauta. Badan-executief senantiasa harus melalui Kepala-Daerah.

e. ”Pemerintahan sehari-hari” (dagelijksche leidjag en uit voering van zaken). Apa jang diartikan ini, tidak disebutkan : Bestuur. Selandjutnja badan in berkuadjiban untuk mendjalankan Undang-Undang jang diputuskan oleh badan legislatief.

Dalam hal jang mengenai hak-hak Pemerintahan Pusat jang diperintahkan kepada KepalaDaerah in selfgovernment atau lainnja, badan ini tidak berhak menjampurinja, umpama tentang polisi dll jang pimpinannja diserahan kepadanja. Ini ketjuali djika dengan Undang-Undang badanexecutief diserahi djuga selfgovernment. Bagaimanapun djuga sifatnya Kepala Daerah ini dua, jaitu : sebagai wakil Pemerintah dan sebagai ketua, pemimpin badan-badan tersebut.

Tentang tanggung-djawab, meskipun menurut kefahaman decentralisatie (bestuurshervorming) pertanggungan djawab oleh Kepala Daerah (Ketua badan-badan diatas) dan executief komite hanja mengenal “Rumah-tangga” (huishouding daerah sadja), maka menurut kehendaknja (geest) dari vordening No. 1 dan mengingat suasana sekarang ini, serta menurut kefahaman jang diutjapkan oleh Wakil-Presiden dalam pidatonja tentang arti :”kedaulatan rakjat”, maka pertanggungan djawab seharusnya mengenai segala lapangan pekerdjaan djuga tentang selfgovernment (terutama oleh Kepala-Daerah)

Fatsal keempat. Ketua Komite Nasional Indonesia lama harus mendjadi wakil-keyua-badan executief dan Badan Perwakilan Rakjat. Meskipun dalam redaksinja (tadi telah kami utarakan, bahwa accent-nja verordening ini ”ketjepatan”, bukanlah “kesempurnaan) terang sekali, bahwa Ketua Komite Nasional Indonesia lama mendjadi Wakil-Ketua badan tersebut, akan tetapi dalam fatsal 2 dan 3 terang pula, bahwa jang memimpin kedua badan itu Kepala Daerah. Djadi menurut pendapat Badan Pekerdja : Kalau KepalaDaerah berhalangan, Wakil-Ketua-Daerah pula jang menggatinja.

Baiklah soal jang sulit ini kita kupas dengan menafsirkan redaksi dan kehendak serta mengingat : sifat badan-badan tersebut. Pada azasnja : Kepala-Daerah itu uitvoerder (executief), maka dari itu Wakil-Kepala-Daerah jang harus memimpin badan executief, djika Kepala-Daerah berhalangan, sedang Wakil-Ketua (voorzitter K.N.I. lama q.q. duduk sebagai anggauta). Lain halnja dengan pimpinan badan-legislatief (Badan Perwakilan Rakjat), disinilah pada tempatnja, bahwa Ketua Komite Nasional Indonesia lama mewakili Kepala-Daerah jang berhalangan.

Fatsal ke-lima. Apabila kekurangan, Negeri nistjaya akan menjokong, djika Pemerintah Pusat menimban perlu.