Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003/Konsolidasi

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Mengingat: | Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: | UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN |
BAB I
KETENTUAN UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan:
|
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. |
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
|
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. |
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. |
BAB IV
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
BAB IV
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 7
|
Pasal 8
|
BAB V
PELATIHAN KERJA
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. |
Pasal 10
|
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. |
Pasal 12
|
Pasal 13[1]
|
Pasal 14[1]
|
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
|
Pasal 16
|
Pasal 17
|
Pasal 18
|
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. |
Pasal 20
|
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. |
Pasal 22
|
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. |
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. |
Pasal 25
|
Pasal 26
|
Pasal 27
|
Pasal 28
|
Pasal 29
|
Pasal 30
|
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. |
Pasal 32
|
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari:
|
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. |
Pasal 35
|
Pasal 36
|
Pasal 37[1]
|
Pasal 38
|
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
|
Pasal 40
|
Pasal 41
|
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42[1]
|
Pasal 43[1]
Pasal 44[1]
Pasal 45[1]
|
Pasal 46[1]
Pasal 47[1]
|
Pasal 48[1]
Pasal 49[1]
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. |
Pasal 51
|
Pasal 52
|
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. |
Pasal 54
|
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. |
Pasal 56[1]
|
Pasal 57[1]
|
Pasal 58[1]
|
|
Pasal 60
|
Pasal 61
|
Pasal 61A[1]
|
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. |
Pasal 63
|
Pasal 64[1]
|
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
|
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. |
Pasal 69
|
Pasal 70
|
Pasal 71
|
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. |
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. |
Pasal 74
|
Pasal 75
|
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
|
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77[1]
|
Pasal 78[1]
|
Pasal 79[1]
|
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. |
Pasal 81
|
Pasal 82
|
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. |
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. |
Pasal 85
|
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
|
Pasal 87
|
Bagian Kedua
Pengupahan
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88[1]
|
Pasal 88A[1]
|
Pasal 88B[1]
|
Pasal 88C[1]
|
Pasal 88D[1]
|
Pasal 88E[1]
|
Pasal 89[1]
Pasal 90[1]
Pasal 90A[1]
Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. |
Pasal 90B[1]
|
Pasal 91[1]
Pasal 92[1]
|
Pasal 92A[1]
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. |
Pasal 93
|
Pasal 94[1]
Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. |
Pasal 95
|
Pasal 97[1]
Pasal 98[1]
|
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
|
Pasal 100
|
Pasal 101
|
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
|
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana:
|
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
|
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
|
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
|
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
|
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
|
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. |
Pasal 110
|
Pasal 111
|
Pasal 112
|
Pasal 113
|
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. |
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. |
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
|
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. |
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. |
Pasal 119
|
Pasal 120
|
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. |
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. |
Pasal 123
|
Pasal 124
|
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. |
Pasal 126
|
Pasal 127
|
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. |
Pasal 129
|
Pasal 130
|
Pasal 131
|
Pasal 132
|
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. |
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. |
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. |
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
|
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. |
Pasal 138
|
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. |
Pasal 140
|
Pasal 141
|
Pasal 142
|
Pasal 143
|
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
|
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah. |
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (Lock Out)
Pasal 146
|
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. |
Pasal 148
|
Pasal 149
|
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. |
Pasal 151[1]
|
Pasal 151A[1]
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
|
Pasal 152[1]
Pasal 153
|
Pasal 154[1]
Pasal 154A[1]
|
Pasal 155[1]
Pasal 156[1]
|
Pasal 157[1]
|
Pasal 157A[1]
|
Pasal 160[1]
|
Pasal 161[1]
Pasal 162[1]
Pasal 163[1]
Pasal 164[1]
Pasal 165[1]
Pasal 166[1]
Pasal 167[1]
Pasal 168[1]
Pasal 169[1]
Pasal 172[1]
BAB XIII
PEMBINAAN
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
|
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 175
|
BAB XIV
PENGAWASAN
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. |
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. |
Pasal 178
|
Pasal 179
|
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
|
BAB XV
PENYIDIKAN
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
|
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
|
Pasal 184[1]
Pasal 185[1]
|
Pasal 186[1]
|
Pasal 187[1]
|
Pasal 188[1]
|
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. |
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190[1]
|
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang ini. |
Pasal 191A[1]
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
|
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka:
|
Pasal 193
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
Naskah asli disahkan oleh Megawati Soekarnoputri, 25 Maret 2003; diundangkan oleh Bambang Kesowo, 25 Maret 2003. Perubahan pertama disahkan oleh Joko Widodo, 2 November 2020; diundangkan oleh Yasonna H. Laoly, 2 November 2020. |
Catatan[sunting]
- ↑ 1,00 1,01 1,02 1,03 1,04 1,05 1,06 1,07 1,08 1,09 1,10 1,11 1,12 1,13 1,14 1,15 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20 1,21 1,22 1,23 1,24 1,25 1,26 1,27 1,28 1,29 1,30 1,31 1,32 1,33 1,34 1,35 1,36 1,37 1,38 1,39 1,40 1,41 1,42 1,43 1,44 1,45 1,46 1,47 1,48 1,49 1,50 1,51 1,52 1,53 1,54 1,55 1,56 1,57 1,58 1,59 1,60 1,61 1,62 1,63 1,64 1,65 1,66 1,67 1,68 1,69 Sesuai dengan perubahan yang disahkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
- ↑ 2,0 2,1 2,2 Frasa "demi hukum" dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pekerja/buruh dapat meminta pengesahaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: 1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan 2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan," berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014.
- ↑ Pasal 96 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012.
- ↑ Frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017.
- ↑ 5,0 5,1 5,2 5,3 5,4 5,5 Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat "… bukan atas pengaduan pengusaha… "; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat "… kecuali Pasal 158 ayat (1), …"; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat "… Pasal 158 ayat (1) …"; Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat "… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …" dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003.