Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab XI

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 


BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 174
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.


Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan


Pasal 175
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:
  1. Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
    2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
    3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
    4. Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi.
    5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
    6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
    7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  1. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
  2. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
  3. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan.
  4. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik.
  5. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu Salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya.
  6. Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
  7. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
  1. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
  2. Upaya Administratif adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan danlatau Tindakan yang merugikan.
  3. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  4. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
  5. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19a. Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau Lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  1. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
  2. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
  3. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
  4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
  1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24
    Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
    1. sesuai dengan tujuan Diskresi dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
    2. sesuai dengan AUPB;
    3. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
    4. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
    5. dilakukan dengan iktikad baik.
  2. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38
  1. Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
  2. Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh sistem elektronik yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
  3. Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.
  4. Dalam hal Keputusan dibuat dalam bentuk elektronis, tidak dibuat Keputusan dalam bentuk tertulis.
  1. Bagian kelima diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


    Bagian Kelima
    Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi


    Pasal 39
    1. Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:
      1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
      2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Standar apabila:
    1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
    2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan telah yang terstandardisasi.
  2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:
    1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
    2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
  3. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila:
    1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan;
    2. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan
    3. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus.
  4. Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
  5. Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar.
  6. Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.
  1. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 39A
    1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi.
    2. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan.
    3. Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
  2. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 53
    1. Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
  1. Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
  2. Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.


Bagian Ketiga
Pemerintahan Daerah


Pasal 176
Beberapa ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16
  1. Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
    1. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
    2. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  2. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices).
  3. Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
  4. Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
  5. Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
  6. Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
  1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
  1. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 250
    Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan.
  2. Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 251
    Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
  3. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 252
  1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dikenai sanksi.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sanksi administratif.
  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih menetapkan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang tidak mendapatkan nomer register, dikenakan sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan.
  1. Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 260
    1. Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berlandaskan pada riset dan inovasi nasional yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
    2. Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah.
  1. Di antara Pasal 292 dan Pasal 293 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 292A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 292A
    1. Dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini menyebabkan berkurangnya pendapatan asli daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran.
    2. Pemberian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 300
    1. Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.
    2. Kepala daerah dapat menerbitkan obligasi Daerah dan/atau sukuk Daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi berupa kegiatan penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintah Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri dan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
  3. Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 349
  1. Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat.
  2. Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  3. Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  1. Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 350
    1. Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    2. Dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
    3. Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
    4. Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
    5. Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
  1. Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administratif.
  3. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri.
  4. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
    1. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau
    2. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.
  5. Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
  1. Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 402A
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kabupaten Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.