Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG CAGAR BUDAYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya
bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku
kehidupan manusia yang penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga
perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui
upaya
pelindungan,
pengembangan,
dan
pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan
nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat;
bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara
bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;
bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan,
struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
dengan
meningkatkan peran serta masyarakat untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan
cagar budaya;
bahwa dengan adanya perubahan paradigma
pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan
aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis
guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Cagar Budaya;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG CAGAR BUDAYA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat
dan/atau
di
air
yang
perlu
dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau
benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak
bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah
perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang
terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan
yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana
untuk menampung kebutuhan manusia.
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di
darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur
Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau
bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang
geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau
lebih
yang
letaknya
berdekatan
dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh
terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan
fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik
kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap
orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk
melestarikannya.
Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi
yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan
pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan
pelestarian Cagar Budaya.
Pengalihan
adalah
proses
pemindahan
hak
kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya
dari setiap orang kepada setiap orang lain atau
kepada negara.
Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau
bukan uang dari Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
Insentif
adalah
dukungan
berupa
advokasi,
perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk
mendorong
pelestarian
Cagar
Budaya
dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli
pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki
sertifikat
kompetensi
untuk
memberikan
rekomendasi
penetapan,
pemeringkatan,
dan
penghapusan Cagar Budaya.
Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena
kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki
sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau
Pemanfaatan Cagar Budaya.
Kurator adalah orang yang karena kompetensi
keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan
koleksi museum.
Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda,
bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang
geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya
kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan
Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan
dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya
terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau
satuan ruang geografis yang dilakukan oleh
pemerintah
kabupaten/kota
berdasarkan
rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Register Nasional Cagar Budaya adalah daftar resmi
kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya yang
berada di dalam dan di luar negeri.
Penghapusan adalah tindakan menghapus status
Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya.
Cagar Budaya Nasional adalah Cagar Budaya
peringkat nasional yang ditetapkan Menteri sebagai
prioritas nasional.
Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya
melalui
kebijakan
pengaturan
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.
Pelestarian
adalah
upaya
dinamis
untuk
mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan
nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkannya.
Pelindungan
adalah
upaya
mencegah
dan
menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau
kemusnahan
dengan
cara
Penyelamatan,
Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran
Cagar Budaya.
Penyelamatan
adalah
upaya
menghindarkan
dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah
Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.
Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan
Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
sesuai dengan kebutuhan.
Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat
agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.
Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan
Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan
keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik
pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai,
informasi, dan promosi Cagar Budaya serta
pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan
Adaptasi
secara
berkelanjutan
serta
tidak
bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan
menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk
memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi
kepentingan
Pelestarian
Cagar
Budaya,
ilmu
pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang
ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai
penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi
ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya
untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan
masa kini dengan melakukan perubahan terbatas
yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai
pentingnya atau kerusakan pada bagian yang
mempunyai nilai penting.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya
untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat
dengan
tetap
mempertahankan
kelestariannya.
Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung
terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, atau Struktur Cagar Budaya, baik seluruh
maupun bagian-bagiannya.
Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang,
masyarakat, badan usaha berbadan hukum,
dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kebudayaan.
BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP
Pasal 2
Pelestarian Cagar Budaya berasaskan:
Pancasila;
Bhinneka Tunggal Ika;
kenusantaraan;
keadilan;
ketertiban dan kepastian hukum;
kemanfaatan;
keberlanjutan;
partisipasi; dan
transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 3
Pelestarian Cagar Budaya bertujuan:
melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui
Cagar Budaya;
memperkuat kepribadian bangsa;
meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
Pasal 4
Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.
BAB III KRITERIA CAGAR BUDAYA
Bagian Kesatu Benda, Bangunan, dan Struktur
Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa.
Pasal 6
Benda Cagar Budaya dapat:
berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia
yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota
yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia
dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah
manusia;
bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
merupakan kesatuan atau kelompok.
Pasal 7
Bangunan Cagar Budaya dapat:
berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
Pasal 8
Struktur Cagar Budaya dapat:
berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi
alam.
Bagian Kedua Situs dan Kawasan
Pasal 9
Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila:
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan
menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
Pasal 10
Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:
mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih
yang letaknya berdekatan;
berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia
berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada
masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh)
tahun;
memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada
proses pemanfaatan ruang berskala luas;
memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya;
dan
memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung
bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.
Pasal 11
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya.
BAB IV PEMILIKAN DAN PENGUASAAN
Pasal 12
Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar
Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi
sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai
Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur
Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya
tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.
Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan,
hibah,
tukar-menukar,
hadiah,
pembelian,
dan/atau putusan atau penetapan pengadilan,
kecuali yang dikuasai oleh Negara.
Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs
Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya atau
tidak
menyerahkannya
kepada
orang
lain
berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah
pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih
oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.
Pasal 14
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga negara asing dan/atau
badan hukum asing yang tinggal dan menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang membawa Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 15
Cagar Budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh Negara.
Pasal 16
Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan kepemilikannya kepada negara atau setiap orang lain.
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan atas pengalihan kepemilikan Cagar Budaya.
Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan.
Cagar Budaya yang telah dimiliki oleh Negara tidak dapat dialihkan kepemilikannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan
Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat
provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan
izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan tingkatannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan/atau Struktur Cagar Budaya bergerak yang
dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau setiap orang dapat disimpan dan/atau
dirawat di museum.
Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga yang berfungsi melindungi,
mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa
benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah
ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan
Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada
masyarakat.
Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan
koleksi museum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berada di bawah tanggung jawab pengelola
museum.
Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), museum wajib memiliki
Kurator.
Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau
dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib
melaporkannya kepada instansi yang berwenang di
bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan/atau instansi terkait.
Setiap orang yang tidak melapor rusaknya Cagar
Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya kepada
instansi yang berwenang di bidang kebudayaan,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau
instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki
dan/atau dikuasainya tersebut rusak dapat diambil
alih pengelolaannya oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
Pasal 20
Pengembalian Cagar Budaya asal Indonesia yang ada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi, perjanjian bilateral, atau diserahkan langsung oleh pemiliknya, kecuali diperjanjikan lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur,
lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga
sebagai Cagar Budaya yang disita oleh aparat
penegak hukum dilarang dimusnahkan atau
dilelang.
Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur,
lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga
sebagai Cagar Budaya yang disita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilindungi oleh aparat
penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Dalam
melakukan
Pelindungan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), aparat penegak hukum
dapat meminta bantuan kepada instansi yang
berwenang di bidang kebudayaan.
Pasal 22
Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai
Cagar Budaya berhak memperoleh Kompensasi
apabila telah melakukan kewajibannya melindungi
Cagar Budaya.
Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan
bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat
diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
kepada pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan
Pelindungan
Cagar
Budaya
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
Kompensasi dan Insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB V PENEMUAN DAN PENCARIAN
Bagian Kesatu Penemuan
Pasal 23
Setiap orang yang menemukan benda yang diduga
Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga
Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga
Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang
diduga Situs Cagar Budaya wajib melaporkannya
kepada instansi yang berwenang di bidang
kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan/atau
instansi
terkait
paling
lama
30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.
Temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak dilaporkan oleh penemunya dapat diambil alih
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), instansi yang berwenang di bidang
kebudayaan
melakukan
pengkajian
terhadap
temuan.
Pasal 24
Setiap orang berhak memperoleh kompensasi
apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasi
yang ditemukannya ditetapkan sebagai Cagar
Budaya.
Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat
langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit
jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara.
Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan
jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara,
dapat dimiliki oleh penemu.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai penemuan Cagar Budaya dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pencarian
Pasal 26
Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian
benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang
diduga sebagai Cagar Budaya.
Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar
Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan
penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di
darat dan/atau di air.
Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian
dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan
dan/atau penguasaan lokasi.
Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar
Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan
penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di
darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), kecuali dengan izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI REGISTER NASIONAL CAGAR BUDAYA
Bagian Kesatu Pendaftaran
Pasal 28
Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan setiap orang dalam melakukan Pendaftaran.
Pasal 29
Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai
Cagar Budaya wajib mendaftarkannya kepada
pemerintah kabupaten/kota tanpa dipungut biaya.
Setiap orang dapat berpartisipasi dalam melakukan
pendaftaran terhadap benda, bangunan, struktur,
dan lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya
meskipun tidak memiliki atau menguasainya.
Pemerintah
kabupaten/kota
melaksanakan
pendaftaran Cagar Budaya yang dikuasai oleh
Negara atau yang tidak diketahui pemiliknya sesuai
dengan tingkat kewenangannya.
Pendaftaran
Cagar
Budaya
di
luar
negeri
dilaksanakan oleh perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri.
Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus
dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya.
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat
diambil alih oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
Pasal 30
Pemerintah memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital.
Bagian Kedua Pengkajian
Pasal 31
Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli
Cagar Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai
Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan melakukan identifikasi dan klasifikasi
terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan
satuan ruang geografis yang diusulkan untuk
ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan:
Keputusan Menteri untuk tingkat nasional;
Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi; dan
Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/kota.
Dalam melakukan kajian, Tim Ahli Cagar Budaya
dapat dibantu oleh unit pelaksana teknis atau
satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang Cagar Budaya.
Selama proses pengkajian, benda, bangunan,
struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang
didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai
Cagar Budaya.
Pasal 32
Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.
Bagian Ketiga Penetapan
Pasal 33
Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status
Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar
Budaya yang menyatakan benda, bangunan,
struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis
yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar
Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh
jaminan hukum berupa:
surat keterangan status Cagar Budaya; dan
surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.
Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya berhak mendapat Kompensasi.
Pasal 34
Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya
yang berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih
ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi.
Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya
yang berada di 2 (dua) provinsi atau lebih
ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional.
Pasal 35
Pemerintah kabupaten/kota menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah.
Pasal 36
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.
Bagian Keempat Pencatatan
Pasal 37
Pemerintah membentuk sistem Register Nasional
Cagar Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya.
Benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan
ruang geografis yang telah ditetapkan sebagai Cagar
Budaya harus dicatat di dalam Register Nasional
Cagar Budaya.
Pasal 38
Koleksi museum yang memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya dicatat di dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Pasal 39
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya yang
datanya berasal dari
instansi
Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan luar negeri menjadi
tanggung jawab Menteri.
Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya di
daerah sesuai dengan tingkatannya menjadi
tanggung
jawab
pemerintah
provinsi
dan
pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap Register Nasional Cagar Budaya yang
dikelola oleh pemerintah provinsi.
Pemerintah provinsi melakukan pengawasan dan
pembinaan terhadap Register Nasional Cagar
Budaya
yang
dikelola
oleh
pemerintah
kabupaten/kota.
Bagian Kelima Pemeringkatan
Pasal 41
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya
berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Pasal 42
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai:
wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau
contoh penting kawasan permukiman tradisional lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.
Pasal 43
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat provinsi apabila memenuhi syarat:
mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar
Budaya lintas kabupaten/kota;
mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah
provinsi;
langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi;
sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan
pertukaran budaya lintas wilayah kabupaten/kota,
baik yang telah punah maupun yang masih hidup di
masyarakat; dan/atau
berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung.
Pasal 44
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat:
sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten/kota;
mewakili masa gaya yang khas;
tingkat keterancamannya tinggi;
jenisnya sedikit; dan/atau
jumlahnya terbatas.
Pasal 45
Pemeringkatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 untuk tingkat nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri, tingkat provinsi dengan Keputusan Gubernur, atau tingkat kabupaten/kota dengan Keputusan Bupati/Wali Kota.
Pasal 46
Cagar Budaya peringkat nasional yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dapat diusulkan oleh Pemerintah menjadi warisan budaya dunia.
Pasal 47
Cagar Budaya yang tidak lagi memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota dapat dikoreksi peringkatnya berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di setiap tingkatan.
Pasal 48
Peringkat Cagar Budaya dapat dicabut apabila Cagar Budaya:
musnah;
kehilangan wujud dan bentuk aslinya;
kehilangan sebagian besar unsurnya; atau
tidak lagi sesuai dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, atau Pasal 44.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeringkatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Penghapusan
Pasal 50
Cagar Budaya yang sudah tercatat dalam Register
Nasional hanya dapat dihapus dengan Keputusan
Menteri atas rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di
tingkat Pemerintah.
Keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 51
Penghapusan Cagar Budaya dari Register Nasional
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan apabila Cagar Budaya:
musnah;
hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun
tidak ditemukan;
mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga
kehilangan keasliannya; atau
di kemudian hari diketahui statusnya bukan
Cagar Budaya.
Penghapusan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya.
Dalam hal Cagar Budaya yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan kembali, Cagar Budaya wajib dicatat ulang ke dalam Register Nasional Cagar Budaya.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Nasional Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII PELESTARIAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 53
Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan
hasil
studi
kelayakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis,
dan administratif.
Kegiatan
Pelestarian
Cagar
Budaya
harus
dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli
Pelestarian
dengan
memperhatikan
etika
pelestarian.
Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus
mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya
pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan
pelestarian.
Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh
kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan
kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan keasliannya.
Pasal 54
Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.
Pasal 55
Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.
Bagian Kedua Pelindungan
Pasal 56
Setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya.
Paragraf 1 Penyelamatan
Pasal 57
Setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
Pasal 58
Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk:
mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan
mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa.
Pasal 59
Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau
musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang
aman.
Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang
menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah
koodinasi Tenaga Ahli Pelestarian.
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang
yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan
merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan,
atau kerusakan baru.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelamatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2 Pengamanan
Pasal 61
Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan
mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak,
hancur, atau musnah.
Pengamanan Cagar Budaya merupakan kewajiban
pemilik dan/atau yang menguasainya.
Pasal 62
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 dapat dilakukan oleh juru pelihara
dan/atau polisi khusus.
Polisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
melakukan patroli di dalam Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan wilayah hukumnya;
memeriksa surat atau dokumen yang berkaitan
dengan pengembangan dan pemanfaatan Cagar
Budaya;
menerima dan membuat laporan tentang telah
terjadinya tindak pidana terkait dengan Cagar
Budaya serta meneruskannya kepada instansi
yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait;
dan
menangkap tersangka untuk diserahkan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 63
Masyarakat dapat berperan serta melakukan Pengamanan Cagar Budaya.
Pasal 64
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
Pasal 65
Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memberi pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada tempat yang terhindar dari gangguan alam dan manusia.
Pasal 66
Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan,
kelompok, dan/atau dari letak asal.
Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan,
kelompok, dan/atau dari letak asal.
Pasal 67
Setiap orang dilarang memindahkan Cagar Budaya
peringkat nasional, peringkat provinsi, atau
peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
tingkatannya.
Setiap orang dilarang memisahkan Cagar Budaya
peringkat nasional, peringkat provinsi, atau
peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
tingkatannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 68
Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
kepentingan
penelitian,
promosi
kebudayaan,
dan/atau pameran.
Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
dengan izin Menteri.
Pasal 69
Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah
provinsi atau kabupaten/kota untuk kepentingan
penelitian,
promosi
kebudayaan,
dan/atau
pameran.
Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
dengan izin gubernur atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan Pasal 69 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Zonasi
Pasal 72
Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan
menetapkan
batas-batas
keluasannya
dan
pemanfaatan
ruang
melalui
sistem
Zonasi
berdasarkan hasil kajian.
Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh:
Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih;
gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau
bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.
Pasal 73
Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar
Budaya, baik vertikal maupun horizontal.
Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat dilakukan
terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di
darat dan/atau di air.
Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas:
zona inti;
zona penyangga;
zona pengembangan; dan/atau
zona penunjang.
Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem Zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4 Pemeliharaan
Pasal 75
Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang
dimiliki dan/atau dikuasainya.
Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik
dan/atau yang menguasainya dapat dikuasai oleh
Negara.
Pasal 76
Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat
Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi
kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau
perbuatan manusia.
Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau di
tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan
secara lengkap.
Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan
perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan
keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau
teknologi Cagar Budaya.
Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang berasal dari air harus dilakukan
sejak proses pengangkatan sampai ke tempat
penyimpanannya dengan tata cara khusus.
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
dapat
mengangkat atau menempatkan juru pelihara
untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan
Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5 Pemugaran
Pasal 77
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur
Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk
mengembalikan
kondisi
fisik
dengan
cara
memperbaiki,
memperkuat,
dan/atau
mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi,
konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya dan/atau teknologi pengerjaan;
kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan
kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar Budaya.
Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pengembangan
Paragraf 1 Umum
Pasal 78
Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.
Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh:
izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian.
Paragraf 2 Penelitian
Pasal 79
Penelitian dilakukan pada setiap rencana pengembangan Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya.
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Cagar Budaya melalui:
penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan
penelitian terapan untuk pengembangan teknologi atau tujuan praktis yang bersifat aplikatif.
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan atau berdiri sendiri.
Proses dan hasil Penelitian Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk kepentingan meningkatkan informasi dan
promosi Cagar Budaya.
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah,
atau
penyelenggara penelitian menginformasikan dan
mempublikasikan
hasil
penelitian
kepada
masyarakat.
Paragraf 3 Revitalisasi
Pasal 80
Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang,
tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya
asli berdasarkan kajian.
Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang,
nilai budaya, dan penguatan informasi tentang
Cagar Budaya.
Pasal 81
Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs
Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya
peringkat nasional, peringkat provinsi, atau
peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
tingkatannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 82
Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan ciri budaya lokal.
Paragraf 4 Adaptasi
Pasal 83
Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan
masa kini dengan tetap mempertahankan:
ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau
ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar
Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
mengubah susunan ruang secara terbatas dan/atau
mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengembangan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pemanfaatan
Pasal 85
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang
dapat
memanfaatkan
Cagar
Budaya
untuk
kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan,
teknologi,
kebudayaan,
dan
pariwisata.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang
dilakukan oleh setiap orang.
Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa izin Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli
Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan.
Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk memperkuat identitas budaya
serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan
masyarakat.
Pasal 86
Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 87
Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah
tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan tertentu.
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat
Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat
yang memiliki dan/atau menguasainya.
Pasal 88
Pemanfaatan lokasi temuan yang telah ditetapkan
sebagai Situs Cagar Budaya wajib memperhatikan
fungsi ruang dan pelindungannya.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat
menghentikan pemanfaatan atau membatalkan izin
pemanfaatan Cagar Budaya apabila pemilik
dan/atau yang menguasai terbukti melakukan
perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar
Budaya.
Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus
dikembalikan seperti keadaan semula sebelum
dimanfaatkan.
Biaya pengembalian seperti keadaan semula
dibebankan kepada yang memanfaatkan Cagar
Budaya.
Pasal 89
Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang tercatat sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, peringkat kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 90
Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau dikuasai negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91
Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.
Pasal 92
Setiap orang dilarang mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya.
Pasal 93
Setiap orang dilarang memanfaatkan Cagar Budaya
peringkat nasional, peringkat provinsi, atau
peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan,
kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemanfaatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu Tugas
Pasal 95
Pemerintah
dan/atau
Pemerintah
Daerah
mempunyai
tugas
melakukan
Pelindungan,
Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai tugas:
mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam Pengelolaan Cagar Budaya;
mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan
Cagar Budaya;
menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
enyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan
pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;
menyelenggarakan penanggulangan
bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah
dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;
melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap Pelestarian warisan budaya; dan
mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.
Bagian Kedua Wewenang
Pasal 96
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang:
menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;
mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;
menghimpun data Cagar Budaya;
menetapkan peringkat Cagar Budaya;
menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;
menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
mengelola Kawasan Cagar Budaya;
mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang Pelestarian, Penelitian, dan museum;
mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;
memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan Pengamanan;
melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
menetapkan batas situs dan kawasan; dan
menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berwenang:
menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;
melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;
menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;
mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.
Pasal 97
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.
Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat terhadap Cagar Budaya
dan kehidupan sosial.
Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan
pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum
adat.
Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat terdiri atas unsur Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan
masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV PENDANAAN
Pasal 98
Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau
sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Kompensasi Cagar Budaya dengan memperhatikan prinsip proporsional.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
BAB IX PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu Pengawasan
Pasal 99
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar
Budaya sesuai dengan kewenangannya.
Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan
Pelestarian Cagar Budaya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Penyidikan
Pasal 100
Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap
tindak pidana Cagar Budaya.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana Cagar Budaya;
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
perkara;
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
melakukan penggeledahan dan penyitaan;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana Cagar Budaya;
mengambil sidik jari dan memotret seorang;
memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
membuat dan menandatangi berita acara; dan
mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XI KETENTUAN PIDANA
Pasal 101
Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 106
Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).
Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota, memindahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur atau bupati/wali kota, memisahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 109
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang tanpa izin gubernur atau izin bupati/wali kota, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah provinsi atau kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 111
Setiap orang yang tanpa izin pemilik dan/atau yang menguasainya, mendokumentasikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 112
Setiap orang yang dengan sengaja memanfaatkan Cagar Budaya dengan cara perbanyakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dijatuhkan kepada:
badan usaha; dan/atau
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana.
Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 112.
Tindak pidana yang dilakukan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 112.
Pasal 114
Jika pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan Pelestarian Cagar Budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 114 dikenai tindakan pidana tambahan berupa:
kewajiban mengembalikan bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan sesuai dengan aslinya atas tanggungan sendiri; dan/atau
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum dikenai tindakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
Pengelolaan Cagar Budaya yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan ketentuan persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 117
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 118
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 119
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 120
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 24 November 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 130
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,