Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 masih berlaku aktif, namun telah mengalami perubahan.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995, lihat di sini.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 (UU/1995/10)  (1995) 
tentang Kepabeanan

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1995
TENTANG
KEPABEANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam

    kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional;

  2. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut di atas dapat berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam garis-garis besar daripada haluan Negara dan lebih dapat diciptakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek Kepabeanan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional yang terus berkembang serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, diperlukan langkah-langkah pembaruan;
  3. bahwa peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang selama ini berlaku sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional dalam hubungannya dengan perdagangan internasional;
  4. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk membentuk Undang-undang tentang Kepabeanan yang dapat memenuhi perkembangan keadaan dan kebutuhan pelayanan Kepabeanan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;


Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;




Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPABEANAN.


BAB I

[sunting]
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk.
  2. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang ini.
  3. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu-lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  4. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
  5. Pos Pengawasan Pabean adalah tempat yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu-lintas impor dan ekspor.
  6. Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang Kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.
  7. Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan Kewajiban Pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
  8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang Kepabeanan dan Cukai.
  11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-undang ini.
  12. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
  13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
  14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari Daerah Pabean.
  15. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
  16. Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan.atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
  17. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang untuk dijual dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
  18. Tempat Penimbunan Pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu yang disediakan oleh Pemerintah di Kantor Pabean yang berada dibawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-undang ini.



Pasal 2
  1. Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang Bea Masuk.
  2. Barang yang telah dimuat atau akan dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari Daerah Pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor.
  3. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam Daerah Pabean.



Pasal 3
  1. Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean.
  2. Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang.
  3. Pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif.
  4. Tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Pasal 4
  1. Terhadap barang ekspor dilakukan penelitian dokumen.
  2. Dalam hal tertentu, dapat dilakukan pemeriksaan fisik atas barang ekspor. (3) Tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Pasal 5
  1. Pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan Kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
  2. Pemberitahuan Pabean diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan Kantor Pabean dalam bentuk formulir atau melalui media elektronik.
  3. Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan Kewajiban Pabean, ditetapkan Kawasan Pabean dan Pos Pengawasan Pabean.
  4. Penetapan Kawasan Pabean, Kantor Pabean, dan Pos Pengawasan Pabean dilakukan oleh Manteri.



Pasal 6
Terhadap barang yang diimpor atau diekspor, berlaku segala ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.


BAB II

[sunting]
IMPOR DAN EKSPOR


Bagian Pertama
Impor


Paragraf 1
Kedatangan, Pembongkaran, Penimbunan, dan Pengeluaran Barang

Pasal 7
  1. Barang impor harus dibawa ke Kantor Pabean tujuan pertama melalui jalur yang ditetapkan dan kedatangan tersebut wajib diberitahukan oleh pengangkutnya.
  2. Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, dengan tanpa memenuhi ketentuan pada ayat (1), pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu, kemudian wajib melaporkan hal tersebut ke Kantor Pabean terdekat.
  3. Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
  4. Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tetapi jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi diluar kemampuannya, disamping wajib membayar Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  5. Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  6. Barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sementara menunggu pengeluarannya dari Kawasan Pabean, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
  7. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk :
    1. diimpor untuk dipakai;
    2. diimpor sementara;
    3. ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat;
    4. diangkut ke Tempat Penimbunan Sementara di Kawasan Pabean lainnya; e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau
    5. diekspor kembali.
  8. Barangsiapa yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean sebelum diberikan persetujuan oleh Pejabat Bea dan Cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Paragraf 2
Impor untuk Dipakai

Pasal 8
  1. Impor untuk dipakai adalah :
    1. memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau
    2. memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh Orang yang berdomisili di Indonesia.


  2. Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai :
    1. setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean dan dilunasi Bea Masuknya;
    2. setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau
    3. setelah diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
  3. Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas ke Daerah Pabean pada saat kedatangan wajib diberitahukan oleh pembawanya kepada Pejabat Bea dan Cukai.
  4. Barang impor yang dikirim melalui yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan Pejabat Bea dan Cukai.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
  6. Importir yang tidak melunasi Bea Masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-undang ini dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar sepuluh persen dari Bea Masuk yang wajib dilunasinya.



Paragraf 3
Impor Sementara

Pasal 9
  1. Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu impornya nyata- nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
  2. Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan pabean.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta penentuan jangka waktu sementara diatur lebih lanjut oleh Menteri.
  4. Barangsiapa yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.



Pasal 10
  1. Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
  2. Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan atas barang pribadi penumpang, awak pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan atau jumlah tertentu.
  3. Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara. (4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika dibatalkan harus dilaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai.
  4. Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspornya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai saksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Ketiga
Pengangkutan Barang

Pasal 11
  1. Pengangkut pada saat sarana pengangkutnya akan meninggalkan Kantor Pabean dengan tujuan ke luar Daerah Pabean wajib memberitahukan barang yang diangkutnya dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
  2. Pengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean sepanjang mengenai :
    1. barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat dengan tujuan Tempat Penimbunan Berikat lainnya;
    2. barang impor yang diangkut terus dan/atau diangkut lanjut;
    3. barang ekspor yang diangkut terus dan/atau diangkut lanjut;
    4. barang dari Daerah Pabean yang pengangkutnya melalui suatu tempat di luar Daerah Pabean.
  3. Pengangkut yang tidak memberitahukan barang yang diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  4. Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b, tetapi barang yang diangkutnya tidak sampai ke tempat tujuan atau jumlah barang setelah sampai di tempat tujuan tidak sesuai dengan Pemberitahuan Pabean, dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, disamping wajib membayar Bea Masuk atas barang yang tidak sampai di tempat tujuan atau kurang dibongkar tersebut, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  5. Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau Ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa.
  6. Persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


BAB III

[sunting]
TARIP DAN NILAI PABEAN


Bagian Pertama
Tarip


Paragraf 1
Tarip Bea Masuk

Pasal 12
  1. Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk.
  2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
    1. barang impor hasil pertanian tertentu;
    2. barang impor termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai tarif dan Perdagangan; dan
    3. barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
  3. Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 13
  1. Bea Masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap :
    1. barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional;
    2. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan; atau
    3. barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.


  2. Tata cara pengenaan dan besarnya tarif Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.



Paragraf 2
Klasifikasi Barang

Pasal 14
Untuk penetapan tarif Bea Masuk, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang. Ketentuan tentang klasifikasi barang diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Kedua
Nilai Pabean

Pasal 15
  1. Nilai pabean untuk penghitung Bea Masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
  2. Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk dihitung berdasarkan nilai transaksi dari barang indentik.
  3. Dalam hal nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.
  4. Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung berdasarkan metode deduksi.
  5. Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung berdasarkan metode komputasi.
  6. Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dihitung dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah Pabean dengan pembatasan tertentu.
  7. Ketentuan tentang nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Ketiga
Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

Pasal 16
  1. Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan tarif atas barang impor sebelum penyerahan Pemberitahuan Pabean atau dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
  2. Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk atas barang impor dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
  3. Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir harus melunasi Bea Masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan.
  4. Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar atau paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
  5. Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran Bea Masuk, pengembalian Bea Masuk dibayar sebesar kelebihannya.
  6. Ketentuan tentang penetapan tarif dan nilai pabean diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Pasal 17
  1. Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dalam jangka waktu du tahun terhitung sejak tanggal Pemberitahuan Pebean.
  2. Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk :
    1. melunasi Bea Masuk yang kurang dibayar; atau
    2. diberikan pengembalian Bea Masuk yang lebih dibayar.
  3. Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian Bea Masuk yang dibayar lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.


BAB IV

[sunting]
BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN


Bagian Pertama
Bea Masuk Antidumping

Pasal 18
Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
  1. harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan
  2. impor barang tersebut :
    1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
    2. mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan
    3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.



Pasal 19
  1. Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut.
  2. Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).



Pasal 20
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua
Bea Masuk Imbalan

Pasal 21
Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
  1. ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor terhadap barang tersebut; dan b. impor barang tersebut :
    1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
    2. mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; atau
    3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.



Pasal 22
  1. Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi dengan :
    1. biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi; dan/atau
    2. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk mengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut.
    3. Bea Masuk Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).



Pasal 23
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Imbalan serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB V

[sunting]
TIDAK DIPUNGUT, PEMBEBASAN, KERINGANAN, DAN
PENGEMBALIAN BEA MASUK


Bagian Pertama
Tidak Dipungut Bea Masuk

Pasal 24
Barang yang dimasukkan ke Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk.



Bagian Kedua
Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk

Pasal 25
  1. Pembebasan Bea Masuk diberikan atas Impor :
    1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
    2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
    3. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor;
    4. buku ilmu pengetahuan;
    5. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;
    6. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
    7. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
    8. barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya;
    9. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
    10. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
    11. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
    12. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
    13. barang pindahan;
    14. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.


  2. Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
  3. Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
  4. Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan Bea Masuk yang ditetapkan menurut Undang-undang ini, jika mengakibatkan kerugian pada penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.



Pasal 26
  1. Pembebasan atau keringanan Bea Masuk dapat diberikan atas Impor :
    1. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;
    2. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu;
    3. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
    4. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan;
    5. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;
    6. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;
    7. barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama;
    8. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam Daerah Pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai;
    9. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;
    10. barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
    11. barang dengan tujuan untuk diimpor sementara.


  2. Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau kekeringan berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
  3. Ketentuan tentang pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
  4. Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan Bea Masuk yang ditetapkan menurut Undang-undang ini, jika mengakibatkan kerugian pada penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.



Bagian Ketiga
Pengembalian Bea Masuk

Pasal 27
  1. Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar atas :
    1. kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;
    2. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;
    3. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai;
    4. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan batang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau


  2. kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat putusan lembaga banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99.
  3. Ketentuan tentang pengembalian Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


BAB VI

[sunting]
PEMBERITAHUAN PABEAN

DAN

TANGGUNG JAWAB ATAS BEA MASUK


Bagian Pertama
Pemberitahuan Pabean

Pasal 28
Ketentuan dan tata cara tentang :
  1. bentuk, isi, dan keabsahan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
  2. penyerahan dan pendaftaran Pemberitahuan Pabean;
  3. penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
  4. pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
  5. penggunaan dokumen pelengkap pabean; diatur oleh Menteri.



Bagian Kedua
Pengurusan Pemberitahuan Pabean

Pasal 29
  1. Pengurusan Pemberitahuan Pabean yang diwajibkan Undang-undang ini dilakukan oleh pengangkut, importir, atau eksportir.
  2. Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan sendiri, importir atau eksportir menguasakannya kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.
  3. Ketentuan tentang pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Ketiga
Tanggung Jawab atas Bea Masuk

Pasal 30
  1. Importir bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang sejak tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor.
  2. Bea Masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.



Pasal 31
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang mendapat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang dalam hal importir tidak ditemukan.



Pasal 32
  1. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementaranya.
  2. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementaranya :
    1. musnah tanpa sengaja;
    2. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau
    3. telah dipindahkan ke Tempat Penimbunan Sementara lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Tempat Penimbunan Pabean.
  3. Perhitungan Bea Masuk atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dilunasi, sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam Pemberitahuan Pabean pada saat barang tersebut ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara dan nilai pebean ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai.



Pasal 33
  1. Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Berikatnya.
  2. Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Berikatnya :
    1. musnah tanpa sengaja;
    2. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau
    3. telah dipindahkan ke Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat lain, atau Tempat Penimbunan Pabean.
  3. Perhitungan Bea Masuk atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dilunasi didasarkan pada tarif yang berlaku pada saat dilakukan pencacahan dan nilai pabean barang pada saat ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat.



Pasal 34
  1. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 tidak lagi dipenuhi, Bea Masuk atas barang impor yang terutang menjadi tanggung jawab :
    1. Orang yang mendapatkan pembebasan atau kekeringan; atau
    2. Orang yang menguasai barang yang bersangkutan dalam hal Orang sebagaimana dimaksud huruf a tidak ditemukan.


  2. Perhitungan Bea Masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (q) didasarkan pada tarif dan nilai pabean yang berlaku pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor.



Pasal 35
Barangsiapa yang kedapatan menguasai barang impor di tempat kedatangan sarana pengangkutan atau di daerah perbatasan yang ditunjuk bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang atas barang tersebut.


BAB VII

[sunting]
PEMBAYARAN BEA MASUK, PENAGIHAN UTANG,
DAN JAMINAN


Bagian Pertama
Pembayaran Bea Masuk

Pasal 36
  1. Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri.
  2. Bea Masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnya dibulatkan dalam rupiah penuh.
  3. Ketentuan tentang tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran Bea Masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Pasal 37
  1. Bea Masuk dan denda administrasi yang terutang wajib dibayar selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari sejak timbulnya kewajiban membayar menurut Undang-undang ini.
  2. Dalam hal tertentu. kewajiban membayar Bea Masuk dan denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan.
  3. Ketentuan tentang penundaan pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Kedua
Penagihan utang

Pasal 38
  1. Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar dua persen setiap bulannya atau selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung satu bulan.
  2. Penghitungan utang atau tagihan kepada negara Undang-undang ini jumlahnya dibulatkan dalam rupiah penuh.



Pasal 39
  1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pebean atas barang-barang milik yang berutang.
  2. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Bea Masuk, denda administrasi, bunga, dan biaya penagihan.
  3. Hak mendahulu untuk tagihan pabean melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali :
    1. biaya perkara semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
    2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
    3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
  4. Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkannya surat tagihan, kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut diberikan penundaan pembayaran.
  5. Dalam hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak tanggal penundaan pembayaran diberikan.



Pasal 40
  1. Hak penagihan atas utang berdasarkan Undang-undang ini kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak timbulnya kewajiban membayar.
  2. Masa kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal :
    1. yang terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
    2. yang terutang memperoleh penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2); atau c. yang terutang melakukan pelanggaran Undang-undang ini.



Pasal 41
Pelaksanaan penagihan utang dan penghapusan penagihan utang yang tidak dapat ditagih berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Ketiga
Jaminan

Pasal 42
  1. Jaminan yang disyaratkan menurut Undang-undang ini dapat dipergunakan :
    1. sekali; atau
    2. terus-menerus.


  2. Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk :
    1. uang tunai;
    2. jaminan bank;
    3. jaminan dari perusahaan asuransi; atau
    4. jaminan lainnya.
  3. Ketentuan tentang jaminan diatur lebih lanjut oleh Menteri.


BAB VIII

[sunting]
TEMPAT PENIMBUNAN DI BAWAH PENGAWASAN PABEAN


Bagian Pertama
Tempat Penimbunan Sementara

Pasal 43
  1. Di setiap Kawasan Pabean disediakan Tempat Penimbunan Sementara yang dikelola oleh pengusaha Tempat Penimbunan Sementara.
  2. Dalam hal barang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara, jangka waktu penimbunan barang paling lama tiga puluh hari sejak penimbunannya.
  3. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar dua puluh lima persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
  4. Ketentuan tentang penunjukan Tempat Penimbunan Sementara, tata cara penggunaannya, dan perubahan jangka waktu penimbunan diatur lebih lanjut oleh Menteri.



Bagian Kedua
Tempat Penimbunan Berikat

Pasal 44
  1. Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan sebagai Tempat Penimbunan Berikat untuk :
    1. menimbun barang guna diimpor untuk dipakai atau diekspor atau diimpor kembali;
    2. menimbun dan/atau mengolah barang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;
    3. menimbun dan memamerkan barang impor; atau
    4. menimbun, menyediakan untuk dan menjual barang impor kepada orang tertentu.


  2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan tentang pendirinya, penyelenggaraan, dan pengusahaan Tempat Penimbunan Berikat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 45
  1. Barang dapat dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat atas persyaratan Pejabat Bea dan Cukai untuk :
    1. diimpor untuk dipakai;
    2. diolah;
    3. diekspor sebelum atau sesudah diolah; atau
    4. diangkut ke Tempat Penimbunan Berikat atau Tempat Penimbunan Sementara.


  2. Barang dari Tempat Penimbunan Berikat yang diimpor untuk dipakai, dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif yang berlaku pada saat diimpor untuk dipakai serta nilai pabean yang terjadi pada saat barang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat.
  3. Barangsiapa yang mengeluarkan barang dari Tempat Penimbunan Berikat sebelum diberikan persetujuan oleh Pejabat Bea dan Cukai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  4. Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.



Pasal 46
  1. Izin Tempat Penimbunan Berikat dibekukan bilamana penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat :
    1. berada dalam pengawasan kurator sehubungan Tempat Penimbunan Berikat.
    2. menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan Tempat Penimbunan Berikat.


  2. Pembekuan izin dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi pencabutan bilamana penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat :
    1. tidak melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau
    2. tidak mampu lagi mengusahakan Tempat Penimbunan Berikat tersebut.
  3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberlakukan kembali bilamana penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat :
    1. telah melunasi utangnya; atau
    2. telah mengusahakan Tempat Penimbunan Berikat tersebut.
  4. Izin Tempat Penimbunan Berikat dalam hal :
    1. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat untuk jangka waktu satu tahun terus menerus tidak lagi melakukan kegiatan;
    2. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat mengalami pailit;
    3. penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat bertindak tidak jujur dalam usahanya; atau
    4. terdapat permintaan dari yang bersangkutan.
  5. Ketentuan tentang pembekuan, pemberlakuan kembali, dan pencabutan izin Tempat Penimbunan Berikat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 47
Bilamana izin Tempat Penimbunan Berikat telah dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, pengusaha dalam batas waktu tiga puluh hari sejak pencabutan izin harus :
  1. melunasi semua Bea Masuk yang terutang;
  2. mengekspor kembali barang yang masih ada di Tempat Penimbunan Berikat; atau
  3. memindahkan barang yang masih ada di Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Penimbunan Berikat lain.



Bagian Ketiga
Tempat Penimbunan Pabean

Pasal 48
  1. Di setiap Kantor Pabean disediakan Tempat Penimbunan Pabean yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Penunjukan tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.


BAB IX

[sunting]
PEMBUKUAN

Pasal 49
Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan atau pengusaha pengangkutan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan dan menyimpan catatan serta surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor.



Pasal 50
  1. Atas permintaan Pejabat Bea dan Cukai, Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan buku, catatan, dan surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor untuk kepentingan pemeriksaan.
  2. Dalam hak orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyediakan buku, catatan, dan surat-menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor untuk diperiksa beralih kepada yang mewakilinya.



Pasal 51
Pembukuan dan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 harus menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia atau dengan mata uang asing dan bahasa asing dan bahasa lain yang ditetapkan oleh Menteri, dan semua buku, catatan, serta wajib disimpan selama sepuluh tahun pada tempat usahanya di Indonesia.



Pasal 52
Barangsiapa yang tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51 dan perbuatan tersebut tidak menyebabkan kerugian keuangan negara dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).


BAB X

[sunting]
LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR SERTA

PENGENDALIAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG
HASIL PELANGGARAN HAK ATAS

KEKAYAAN INTELEKTUAL



Bagian Pertama
Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor

Pasal 53
  1. Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas Impor atau Ekspor barang tertentu wajib memberitahukan kepada Menteri.
  2. Ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
  3. Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diekspor atau diimpor, jika telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean, atas permintaan importir atau eksportir dapat :
    1. dibatalkan ekspornya;
    2. diekspor kembali; atau
    3. dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
  4. Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Kedua

Pengendalian Impor atau Ekspor


Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual

Pasal 54
Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang melindungi di Indonesia.



Pasal 55
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan dengan disertai :
  1. bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan;
  2. bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan;
  3. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya, agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan
  4. jaminan.



Pasal 56
Atas penerimaan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pejabat Bea dan Cukai :
  1. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya;
  2. terhitung tanggal diterimanya perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat, melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari Kawasan Pabean.



Pasal 57
  1. Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama hari kerja.
  2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat.
  3. Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.



Pasal 58
  1. Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.
  2. Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.



Pasal 59
  1. Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-undangan ini.
  2. Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.
  3. Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.



Pasal 60
Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.



Pasal 61
  1. Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.
  2. Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.



Pasal 62
Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat pula dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta.



Pasal 63
Ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual tidak diberlakukan terhadap barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.



Pasal 64
  1. Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XI

[sunting]
BARANG YANG DINYATAKAN TIDAK DIKUASAI, BARANG

YANG DIKUASAI NEGARA, DAN BARANG

YANG MENJADI MILIK NEGARA


Bagian Pertama
Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai

Pasal 65
  1. Barang yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai adalah :
    1. barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2);
    2. barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat yang telah dicabut izinnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47; atau
    3. barang yang dikirim melalui pos :
      1. yang ditolak oleh si alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim kembali kepada pengirim di luar Daerah Pabean;
      2. dengan tujuan luar Daerah Pabean yang diterima kembali karena ditolak atau tidak dapat disampaikan kepada alamat yang dituju, dan tidak diselesaikan oleh pengirim dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya pemberitahuan dari kantor pos.


    4. barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean dan dipungut sewa gudang yang ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 66
  1. barang yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai selain yang dimaksud pada ayat (3) pasal ini, oleh Pejabat Bea dan Cukai segera diberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya bahwa barang tersebut akan dilelang jika tidak diselesaikan dalam jangka waktu enam puluh hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
  2. barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang belum dilelang, oleh pemiliknya dapat :
    1. diimpor untuk dipakai setelah Bea Masuk dan biaya lainnya yang terutang dilunasi;
    2. diekspor kembali setelah biaya yang terutang dilunasi;
    3. dibatalkan ekspornya setelah biaya yang terutang dilunasi;
    4. diekspor setelah biaya yang terutang dilunasi; atau
    5. dikeluarkan dengan tujuan Tempat Penimbunan Berikat setelah biaya yang terutang dilunasi.
  3. Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang :
    1. busuk segera dimusnahkan;
    2. karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya;
    3. merupakan barang yang dilarang dinyatakan menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73; atau
    4. merupakan barang yang dibatasi disediakan untuk diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.



Pasal 67
  1. Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (3) huruf b dilakukan melalui lelang umum.
  2. Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi Bea Masuk yang terutang dan biaya yang harus dibayar, sisanya disediakan untuk pemiliknya.
  3. Pejabat Bea dan Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya sisa hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu tujuh hari setelah tanggal pelelangan.
  4. Sisa hasil lelang menjadi miliki negara apabila tidak diambil oleh pemiliknya dalam jangka waktu sembilan puluh setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  5. Harga terendah untuk barang yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, jika harga yang ditetapkan tidak tercapai, barang dapat dimusnahkan atau untuk tujuan lain atas persetujuan Menteri.



Bagian Kedua
Barang yang Dikuasai Negara

Pasal 68
  1. Barang yang dikuasai negara adalah :
    1. barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4);
    2. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1); atau
    3. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak kenal.


  2. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai secara tertulis kepada pemiliknya dengan menyebutkan alasan dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diumumkan selama tiga puluh hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
  3. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.



Pasal 69
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) yang :
  1. busuk segera dimusnahkan;
  2. karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya; atau
  3. merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dinyatakan menjadi barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.



Pasal 70
Barang dan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b diserahkan kembali kepada pemiliknya dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak penyimpanan di Tempat Penimbunan Pabean dalam hal :
  1. Bea Masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan telah diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau pembatasan impor atau ekspor; atau
  2. Bea Masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan telah diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau pembatasan impor atau ekspor serta telah diserahkan sejumlah uang ditetapkan oleh Menteri sebagai ganti barang yang besarnya tidak melebihi harga barang, sepanjang barang tersebut tidak diperlukan untuk bukti di pengadilan.



Pasal 71
  1. Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b dilakukan melalui lelang umum.
  2. Harga terendah untuk barang yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, dan jika harga yang ditetapkan tidak tercapai, barang dapat dimusnahkan untuk tujuan lain atas persetujuan Menteri.
  3. Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan sebagai ganti barang yang bersangkutan sambil keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) atau untuk alat bukti di sidang pengadilan.



Pasal 72
  1. Pemilik barang dan/atau sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan menyebutkan alasan dan bukti yang menguatkan keberatannya.
  2. Dalam jangka waktu sembilan puluh hari sejak diterimanya permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan keputusan bahwa :
    1. tidak terdapat pelanggaran terhadap Undang-undang ini dan segera memerintahkan agar dan /atau sarana pengangkut yang dikuasai negara atau uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b dan Pasal 70 huruf b diserahkan kepada pemiliknya; atau
    2. telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini, barang dan/atau sarana pengangkut atau uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b diselesaikan lebih lanjut berdasarkan Undang-undang ini.
  3. Keputusan yang diambil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemiliknya dan Direktur Jenderal.
  4. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri tidak memberikan keputusan, permohonan yang bersangkutan dianggap diterima.



Bagian Ketiga
Barang yang menjadi Milik Negara

Pasal 73
  1. barang yang menjadi milik negara adalah :
    1. barang yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf c;
    2. barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf d yang tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
    3. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b yang berasal dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal;
    4. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2);
    5. barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf c; atau
    6. barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat 91) atau ayat (2).


  2. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kekayaan negara dan disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
  3. Ketentuan tentang penggunaan barang yang menjadi milik negara ditetapkan oleh Menteri.


BAB XII

[sunting]
WEWENANG KEPABEANAN


Bagian Pertama
Umum

Pasal 74
  1. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan perudang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal, Pejabat Bea dan Cukai untuk mengamankan hak-hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang.
  2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 75
  1. Pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan pengawasan sarana pengangkut agar melalui jalur yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) serta untuk melaksanakan pemeriksaan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya.
  2. Kapal patroli atau sarana lainnya yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 76
  1. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta bantuan angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya.
  2. Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya berkewajiban untuk memenuhinya.



Pasal 77
  1. Untuk dipenuhinya Kewajibannya Pabean berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menengah barang dan/atau sarana pengangkut.
  2. Ketentuan tentang tata cara pencegahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua
Pengawasan dan Penyegelan

Pasal 78
Terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajibannya pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut Undang-undang ini yang berada di sarana pengangkut atau di tempat penimbunan atau tempat lain, Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan.



Pasal 79
  1. Segel dan/atau tanda pengaman yang digunakan oleh instansi pabean di negara lain atau pihak lain dapat diterima sebagai pengganti segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
  2. Persyaratan dapat diterimanya segel atau tanda pengamannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 80
  1. Pemilik dan/atau yang menguasai sarana pengangkut atau tempat-tempat yang dikunci, disegel, dan/ atau dilekati tanda pengaman oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 wajib menjamin agar semua kunci segel, atau tanda pengaman tersebut tidak rusak, lepas, atau hilang.
  2. Kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 tidak boleh dibuka, dilepas, atau dirusak tanpa izin Pejabat Bea dan Cukai.



Pasal 81
  1. Di atas sarana pengangkut atau di tempat lain yang berisi barang di bawah pengawasan pebean dapat ditempat Pejabat Bea dan Cukai.
  2. Apabila di sarana pengangkut atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia akomodasi, pengangkut atau pengusaha yang bersangkutan wajib memberikan bantuan yang layak.
  3. Pengangkut atau pengusaha yang memberikan bantuan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).



Bagian Ketiga
Pemeriksaan

Paragraf 1
Pemeriksaan atas Barang

Pasal 82
  1. Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan barang impor dan ekspor setelah Pemberitahuan Pabean diserahkan.
  2. Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa.
  3. Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Pejabat Bea dan Cukai berwenang memenuhi keperluan tersebut atas resiko dan biaya yang bersangkutan.
  4. Barangsiapa yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  5. Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
  6. Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).



Pasal 83
Surat yang dicurigai berisi barang impor atau barang ekspor yang dikirim melalui pos dapat dibuka di hadapan si alamat, atau jika si alamat tidak dapat ditemukan, surat dapat dibuka oleh Pejabat Bea dan Cukai bersama petugas kantor pos.



Pasal 84
  1. Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta kepada importir atau eksportir untuk menyerahkan buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor, dan mengambil contoh barang untuk pemeriksaan Pemberitahuan Pabean.
  2. Pengambilan contoh barang dapat pula dilakukan atas permintaan importir.



Pasal 85
  1. Pejabat Bea dan Cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah diterimanya Pemberitahuan Pabean yang telah memenuhi persyaratan dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan Pemberitahuan Pabean.
  2. Pejabat Bea dan Cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal Pemberitahuan Pabean tidak memenuhi persyaratan.



Paragraf 2
Pemeriksaan Pembukuan

Pasal 86
  1. Pejabat Bea dan Cukai berwenang memeriksa buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor, dan sediaan barang dari orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk kepentingan audit di bidang Kepabeanan.
  2. Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai yang menyerahkan buku, catatan, dan surat-menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, atau tidak bersedia untuk diperiksa sediaan barangnya dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).



Paragraf 3
Pemeriksaan Pembukuan

Pasal 87
  1. Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas bangunan dan tempat lain : a. yang penyelenggaraannya berdasarkan izin yang telah diberikan menurut Undang-undang ini; atau b. yang menurut Pemberitahuan Pabean berisi barang di bawah pengawasan pabean.
  2. Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas bangunan dan tempat lain yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bangunan atau tempat sebagimana dimaksud pada ayat (1).



Pasal 88
  1. Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan.
  2. Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas permintaan Pejabat Bea dan Cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menunjukkan surat atau dokumen yang bertalian dengan barang yang berada di tempat tersebut.



Pasal 89
  1. Pemeriksaan atas bangunan atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) atau Pasal 88 ayat (1) harus dengan surat perintah dari Direktur Jenderal.
  2. Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan untuk melakukan :
    1. pemeriksaan bangunan atau tempat yang menurut Undang-undang ini berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
    2. pengejaran orang dan/atau barang yang memasuki bangunan atau tempat lain.
  3. Pengelola bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 tidak boleh menghalangi Pejabat Bea dan Cukai yang masuk ke dalam bangunan atau tempat lain dimaksud, kecuali bangunan atau tempat lain tersebut merupakan rumah tinggal.
  4. Barangsiapa yang menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).



Paragraf 4
Pemeriksaan Sarana Pengangkut

Pasal 90
  1. Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya.
  2. Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkut apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
  4. Barangsiapa yang tidak melaksanakan perintah penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).



Pasal 91
  1. Untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) atas permintaan atau isyarat Pejabat Bea dan Cukai, pengangkut wajib menghentikan sarana pengangkutnya.
  2. Pejabat Bea dan Cukai berwenang agar sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawa ke Kantor Pabean atau tempat lain yang sesuai untuk keperluan pemeriksaan atas biaya yang bersalah.
  3. Pengangkut atas permintaan Pejabat Bea dan Cukai wajib menunjukkan semua dokumen pengangkutan serta Pemberitahuan Pabean yang diwajibkan menurut Undang-undang ini.
  4. Pengangkut yang menolak untuk memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).



Paragraf 5
Pemeriksaan Badan

Pasal 92
  1. Untuk pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-undang ini atau peraturan perundang- undangan lain tentang larangan dan pembatasan impor atau ekspor barang, Pejabat Bea dan Cukai berwenang memeriksa badan setiap orang :
    1. yang berada di atas atau baru saja turun dari sarana pengangkut yang masuk ke dalam Daerah Pabean;
    2. yang berada di atas atau siap naik ke sarana pengangkut yang tujuannya adalah tempat di luar Daerah Pabean;
    3. yang sedang berada atau baru saja meninggalkan Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat; atau
    4. yang sedang berada di atau saja meninggalkan Kawasan Pabean.


  2. Orang yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai menuju tempat pemeriksaan.


BAB XIII

[sunting]
KEBERATAN, BANDING, DAN LEMBAGA BANDING


Bagian Pertama
Keberatan dan Banding

Pasal 93
  1. Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Pejabat Bea dan Cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar Bea Masuk yang harus dibayar.
  2. Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu enam puluh hari sejak diterimanya keberatan.
  3. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan dan Bea Masuk yang terutang dianggap telah dilunasi, dan apabila keberatan diterima, jaminan dikembalikan.
  4. Apabila dalam jangka waktu enam puluh hari sebagimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap diterima dan jaminan d ikembalikan.
  5. Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu enam puluh hari, Pemerintah memberikan bunga sebesar dua persen setiap bulannya untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.



Pasal 94
  1. Orang yang dikenai sanksi administrasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi yang ditetapkan.
  2. Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu enam puluh hari sejak diterimanya keberatan.
  3. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan dan sanksi administrasi dianggap telah dilunasi, dan apabila keberatan diterima, jaminan dikembalikan.
  4. Apabila dalam jangka waktu enam puluh hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap diterima dan jaminan dikembalikan.
  5. Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu enam puluh hari, Pemerintah memberikan bunga sebesar dua persen setiap bulannya untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.



Pasal 95
  1. Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) atau keputusan Direktur Jenderal sebagimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu enam puluh hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah Bea Masuk yang terutang dilunasi.
  2. Badan peradilan pajak sebagimana dimaksud pada ayat (10) adalah badan peradilan pajak yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.



Pasal 96
  1. Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada lembaga banding yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu enam puluh hari sejak penetapan atau keputusan diterima, dilampiri salinan dari penetapan atau keputusan tersebut.
  3. Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.



Bagian Kedua
Lembaga Banding

Pasal 97
  1. Untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), dibentuk lembaga banding dengan nama Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai.
  2. Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta.
  3. Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang ketua dan beranggotakan unsur Pemerintah, pengusaha swasta, dan pakar.



Pasal 98
  1. Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai menunjuk majelis untuk memutuskan permohonan banding yang diajukan.
  2. Setiap mejelis terdiri dari tiga anggota dengan memperhatikan pertimbangan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3).



Pasal 99
  1. Persidangan majelis untuk memutuskan suatu permohonan banding bersifat tertutup.
  2. Putusan majelis diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
  3. Dalam hal tidak dicapai permufakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), putusan didasarkan pada suara terbanyak.
  4. Putusan majelis diberitahukan kepada pemohon banding dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya empat belas sejak tanggal putusan.



Pasal 100
Anggota majelis yang mempunyai kepentingan pribadi dengan permasalahan yang diperiksa harus mengundurkan diri dari majelis.



Pasal 101
Susunan organisasi dan tata kerja serta urusan mengenai administrasi, tunjangan, pengeluaran, dan tata tertib Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIV

[sunting]
KETENTUAN PIDANA

Pasal 102
Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 103
Barangsiapa yang :
  1. menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Pabean;
  2. mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/ atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor;
  3. membuat, menyetujui, atau serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan; atau
  4. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).



Pasal 104
Barangsiapa yang :
  1. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102;
  2. memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-undang ini harus disimpan;
  3. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
  4. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang- undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).



Pasal 105
Barangsiapa yang :
  1. membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini;
  2. tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).



Pasal 106
Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).



Pasal 107
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.



Pasal 108
  1. Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
    1. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan atau
    2. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau melalaikan pencegahannya.


  2. Tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan juga oleh atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
  3. Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.



Pasal 109
  1. Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara.
  2. Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dapat dirampas untuk negara.
  3. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.



Pasal 110
  1. Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/ atau pendapatan terpidana.
  2. Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.



Pasal 111
Tindak pidana di bidang Kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya tindak pidana.


BAB XV

[sunting]
PENYIDIKAN

Pasal 112
  1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.
  2. Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang :
    1. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    2. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    3. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    4. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    5. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    6. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    7. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
    8. mengambil sidik jari orang;
    9. menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
    10. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    11. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    12. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    13. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan;
    14. menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
    15. menghentikan penyidikan;
    16. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 113
  1. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di Bidang Kepabeanan.
  2. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar.


BAB XVI

[sunting]
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 114
  1. Semua pelanggaran yang oleh Undang-undang ini diancam dengan sanksi administrasi berupa denda yang dihitung berdasarkan persentase dari Bea Masuk, jika tarif atau tarif akhir Bea Masuk atas barang yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut nol persen, maka atas pelanggaran tersebut, si pelanggar dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  2. Ketentuan tentang pengenaan sanksi administrasi dan penyesuaian besarnya sanksi administrasi serta penyesuaian besarnya bunga menurut Undang-undang ini ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 115
Persyaratan dan atas cara :
  1. barang yang diimpor dari suatu kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/ atau pelabuhan bebas;
  2. Pemberitahuan Pabean di instalasi dan alat-alat yang berada di Landas Kontinen Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XVII

[sunting]
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 116
Dengan mulai berlakunya Undang-undang ini :
  1. a. semua urusan Kepabeanan yang belum dapat diselesaikan, untuk penyelesaian tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undang Kepabeanan yang lama sampai dengan tanggal 1 April 1997;
  2. b. semua barang yang disimpan di dalam Tempat Penimbunan Pabean, penyelesaiannya berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.


BAB XVIII

[sunting]
KETENTUAN PENUTUP

Pasal Pasal 117
Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :
  1. Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  2. Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  3. Tarief Ordonnantie Staatsblad tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.



Pasal Pasal 118
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1996.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 1995

MENTERI NEGARA

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.

MOERDIONO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1995

TENTANG

KEPABEANAN


UMUM
  1. 1. Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, sejak kemerdekaan Undang-undang kepabeanan nasional belum dapat dibentuk sehingga Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif) Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan penambahan untuk menjawab tuntutan pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah yang melatarbelakangi, perubahan dan penambahan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan dimaksud sehingga perlu dilakukan pembaruan.
  2. 2. Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, aparatur kepabeanan dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin baik, efektif, dan efisien, sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.
  3. 3. Undang-undang Kepabeanan ini telah memperhatikan aspek-aspek:
    1. a. keadilan, sehingga Kewajiban Pabean hanya dibebankan kepada masyarakat yang melakukan kegiatan kepabeanan dan terhadap mereka diperlakukan sama dalam hal dan kondisi yang sama;
    2. b. pemberian insentif yang akan memberikan manfaat pertumbuhan perekonomian nasional yang antara lain berupa fasilitas Tempat Penimbunan Berikat, pembebasan Bea Masuk atas impor mesin dan bahan baku dalam rangka ekspor, dan pemberian persetujuan impor barang sebelum pelunasan Bea Masuk dilakukan;
    3. c. netralitas dalam pemungutan Bea Masuk, sehingga distorsi yang mengganggu perekonomian nasional dapat dihindari;
    4. d. kelayakan administrasi, yaitu pelaksanaan administrasi kepabeanan dapat dilaksanakan lebih tertib, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat sehingga tidak terjadi duplikasi. Oleh karena itu biaya administrasi dapat ditekan serendah mungkin;
    5. e. kepentingan penerimaan negara, dalam arti ketentuan dalam Undang-undang ini telah memperhatikan segi-segi stabilitas, potensial, dan fleksibilitas dari penerimaan, sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan negara, dan dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan nasional;
    6. f. penerapan pengawasan dan sanksi dalam upaya agar ketentuan yang diatur dalam undang- undang ini ditaati;
    7. g. Wawasan Nusantara, sehingga ketentuan dalam Undang-undang ini diberlakukan di Daerah Pabean yang meliputi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana Indonesia mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat yaitu, diperairan pedalaman, perairan nusantara, laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
    8. h. praktek kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam persetujuan perdagangan internasional.
  4. 4. Undang-undang Kepabeanan ini juga mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam ketiga peraturan perundang-undangan yang digantikannya, antara lain ketentuan tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, pembukaan, sanksi administrasi, penyidikan, dan lembaga banding.
  5. 5. Selain daripada itu untuk meningkatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang, dan dokumen agar menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain:
    1. a. pelaksanaan pemeriksaan secara selektif;
    2. b. penyerahan Pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antar komputer);
    3. c. pengawasan dan pengamanan impor atau ekspor yang pelaksanaannya dititikberatkan pada audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan;
    4. d. peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas Bea Masuk melalui sistem menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self assessment), dengan tatap memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau pembatasan yang berkaitan dengan impor atau ekspor barang, seperti barang pornografi, narkotika, uang palsu, dan senjata api.
  6. 6. Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas dan mengingat Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, serta memperhatikan amanat yang tersurat dan tersirat dalam garis-garis besar daripada haluan Negara, Undang-undang Kepabeanan ini merupakan produk nasional yang mampu menjawab tuntutan pembangunan.
PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut, dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal bersangkutan, sehingga masyarakat akan lebih mudah memahaminya.

Pasal 2

Ayat (1)
Ayat ini memberikan penegasan pengertian Impor secara yuridis, yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan menetapkan saat barang tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan.
Ayat (2)
Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian Ekspor. Secara nyata Ekspor terjadi pada saat barang melintasi Daerah Pabean, namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan ekspor barang, maka secara yuridis ekspor dianggap telah terjadi pada saat barang tersebut sudah dimuat atau akan dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan "sarana pengangkut" adalah setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.
Akan dimuat dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa barang ekspor tersebut telah dapat diketahui untuk tujuan dikirim ke luar Daerah Pabean (ekspor), karena telah diserahkannya Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan Cukai. Dapat saja barang tersebut masih berada di Tempat Penimbunan Sementara atau di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk itu, termasuk di gudang atau pabrik eksportir yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam Daerah Pabean dengan menyerahkan suatu Pemberitahuan Pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor.

Pasal 3

Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang, pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara selektif dalam arti pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap importasi yang beresiko tinggi, antara lain barang yang bea masuknya tinggi, barang berharganya bagi negara dan masyarakat, serta Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai catatan kurang baik.

Pasal 4

Dalam rangka mendorong Ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya.
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat menetapkan ketentuan tentang pemeriksaan fisik atas barang ekspor.

Pasal 5

Ayat (1)
Dilihat dari keadaan geografis negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidaklah mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari Daerah Pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean hanya dapat dilakukan di Kantor Pabean. Penegasan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean maksudnya adalah kalau kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai Kantor Pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini.
Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi Kewajiban Pabean seperti penyerahan Pemberitahuan Pabean atau pelunasan Bea Masuk telah dibatasi dengan penunjukan Kantor Pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan.
Pemenuhan Kewajiban Pabean di tempat selain di Kantor Pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian; atau apabila dengan cara tersebut Kewajiban Pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah, pemberian kemudahan tersebut bersifat sementara.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa Pemberitahuan Pabean yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dapat berupa tulisan di atas formulir atau melalui media elektronik berupa disket atau hubungan langsung antar komputer.
Ayat (3)
Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang serta ketertiban bongkar muat barang, dan pengamanan keuangan negara, Undang-undang ini menetapkan adanya suatu kawasan di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain sebagai Kawasan Pabean yang sepenuhnya berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Demikian pula penunjukan Pos Pengawasan Pabean dimaksudkan untuk tempat Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari Kantor Pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi Kewajiban Pabean.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 6

Pasal ini mengandung arti bahwa sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian Kewajiban Pabean atas barang impor atau ekspor harus senantiasa didasarkan pada ketentuan dalam Undang-undang ini yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 7

Ayat (1)
Adanya kewajiban untuk melaporkan kedatangan barang impor di Kantor Pabean tujuan pertama melalui jalur yang ditetapkan dimaksudkan agar pembongkaran dilakukan dengan memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam pengertian barang impor termasuk juga sarana pengangkut yang diimpor untuk dipakai atau diimpor sementara.
Yang dimaksud dengan "jalur yang ditetapkan" adalah alur pelayaran, jalur udara, jalan perairan daratan, dan jalan darat yang ditetapkan, artinya secara pengangkut harus melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku petunjuk pelayaran. Demikian pula untuk barang yang diangkut melalui udara harus melalui jalur (koridor) udara yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan, sedangkan jalan perairan daratan dan jalan darat di perbatasan darat ditetapkan oleh Menteri.
Yang dimaksud dengan "pengangkut" adalah orang, kuasanya, atau yang bertanggung jawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang nyata-nyata mengangkut barang atau orang.
Pemberitahuan Pabean dibuat dan diserahkan oleh pengangkut dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Ayat (2)
Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan Pemberitahuan Pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat seperti kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, cuaca buruk, atau hal-hal lain yang terjadi diluar kemampuan manusia dapat diadakan penyimpangan dengan melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan "Kantor Pabean terdekat" adalah Kantor Pabean yang paling mudah dicapai.
Ayat (3)
Pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut atas ketentuan pada ayat (1) merupakan kesalahan yang dapat terjadi lebih dari satu kali.
Oleh karena itu, sanksi administrasi yang ditetapkan pada ayat ini berupa denda dari jumlah yang paling sedikit sampai dengan jumlah yang paling banyak. Dengan demikian, pengangkut yang melanggar ketentuan pada ayat (1) lebih dari satu kali akan dikenai denda yang lebih besar dari yang hanya satu kali. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut atas ketentuan pada ayat (2) tidak akan terjadi setiap saat dan terjadi diluar kemampuannya. Oleh karena itu, sanksi administrasi atas kesalahan tersebut hanya berupa denda minimum yang diatur pada ayat ini.
Ayat (4)
Kewajiban yang harus dilakukan oleh pengangkut atau kuasanya adalah memberitahukan kedatangan sarana pengangkut dengan Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan Cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga, selain wajib membayar Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi, jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut tidak dapat dikeluarkan dengan segera.
Yang dimaksud dengan "pengeluaran" adalah pengeluaran barang dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat, atau Tempat Penimbunan Pabean ke peredaran bebas dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "barang diangkut terus" adalah barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor Pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu.
Yang dimaksud dengan "barang diangkut lanjut" adalah barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui Kantor Pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu.
Yang dimaksud dengan "diekspor kembali" adalah pengiriman kembali barang impor keluar Daerah Pabean karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan atau oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor ke dalam Daerah Pabean.
Ayat (8)
Meskipun pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan dengan tanpa maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan Bea Masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai, maka atas pelanggaran tersebut di pelanggar dikenai sanksi administrasi.
Ayat (9)
Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai sebelum melunasi Bea Masuk yang terutang dengan menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk memperlancar arus barang.
Yang dimaksud dengan "pelintas batas" adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.
Yang dimaksud dengan "awak sarana pengangkut" adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkutnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan 'Persetujuan Pejabat Bea dan Cukai" adalah penetapan Pejabat Bea dan Cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi Kewajiban Pabeannya berdasarkan Undang-undang ini.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini mengenakan sanksi kepada importir yang memperoleh kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi Bea Masuknya dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan kewajiban untuk membayar Bea Masuk menurut jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "importir" adalah orang yang mengimpor.

Pasal 9

Ayat (1)
Tujuan pengaturan impor sementara adalah untuk memberikan kemudahan atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu seperti barang pameran, barang perlombaan, kendaraan yang dibawa oleh wisatawan, peralatan penelitian, yang digunakan untuk penelitian sains dan teknologi serta pendidikan, peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan tenaga ahli untuk digunakan sementara waktu dan pada waktu pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengawasan pabean" adalah pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut tidak dapat dimuat dengan segera.
Ayat (4)
Pemberitahuan pembatalan tersebut diwajibkan dalam rangka penyelesaian dan tertib administrasi serta pengawasan terhadap pemberian fasilitas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur pada huruf a dan b bertujuan untuk pengaman hak-hak negara yang masih pada barang-barang tersebut mengingat barang yang bersangkutan masih terutang Bea Masuk. Sedangkan ketentuan pada huruf c dimaksudkan agar barang yang diangkut tersebut pada dibedakan dari barang impor yang dimuat di pelabuhan di luar Daerah Pabean.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)
Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat ini ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk Bea Masuk Tambahan (BMT) yang pada waktu diundangkannya Undang- undang ini masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun, dengan tetap memperhatikan kemampuan saya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan : a. meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional; b. melindungi konsumen dalam negeri; dan c. mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya perdagangan bebas.
Ayat (2)
Sesuai dengan Notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT):
Huruf a
Untuk produk pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya diikut pada tingkat yang lebih tinggi dari empat persen, dengan tujuan untuk menghapus penggunaan hambatan nontarif sehingga menjadi tarifikasi.
Huruf b
Demi kepentingan nasional, produk tertentu yang termasuk dalam daftar ekslusif Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya tidak diikat pada tingkat tarif tertentu sehingga dikecualikan dari ketentuan pengenaan tarif maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Namun, dalam jangka waktu tertentu tarif atas produk tersebut akan diturunkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan internasional yang demikian cepat dan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, perlu diberikan pendelegasian wewenang kepada Menteri untuk menetapkan besarnya tarif Bea Masuk setiap jenis barang dan melakukan perubahan terhadap besarnya tarif tersebut.

Pasal 13

Ayat (1)
Ayat ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menetapkan tarif Bea Masuk yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Huruf a
Tarif Bea Masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya Bea Masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tarif untuk Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).
Huruf b
Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos atau jasa titipan, dapat dikenakan Bea Masuk berdasarkan tarif yang berbeda dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya terdiri dari beberapa jenis.
Huruf c
Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan Bea Masuk, barang-barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Yang dimaksud dengan "sistem klasifikasi barang" dalam pasal ini adalah suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan perdagangan, ditambah dengan : a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar berupa : 1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian; 2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi yang terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; 3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan; b. Nilai dari barang dan jasa berupa : 1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam barang impor; 2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang digunakan untuk pembuatan barang impor; 3. material yang digunakan dalam pembuatan barang impor; 4. teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan dan sketsa yang dilakukan di mana saja di luar Daerah Pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat barang dan jasa tersebut : a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan; b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang dibelinya; c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang sedang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan; d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang impor yang bersangkutan; e. biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke pelabuhan atau tempat impor di Daerah Pabean; f. biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat di Daerah Pabean. g. biaya asuransi.

Pasal 15

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dua barang dianggap identik apabila keduanya sana dalam segala hal, setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama serta : a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "metode deduksi" adalah metode untuk menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan data harga dari harga pasar dalam Daerah Pabean dikurangi biaya/pengeluaran, antara lain komisi/keuntungan, transportasi, asuransi, Bea Masuk, dan pajak; harga dari katalog dan daftar harga atau data harga lainnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "metode komputasi" adalah metode untuk menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan bahan baku, biaya proses pembuatan, dan biaya/ pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di pelabuhan atau tempat impor di Daerah Pabean.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan 'pembatasan tertentu" adalah bahwa dalam perhitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak diizinkan ditetapkan berdasarkan : a. harga jual barang produksi dalam negeri; b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila ada dua alternatif nilai pembanding; c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor; d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah ditentukan untuk barang identik atau serupa; e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke Daerah Pabean; f. harga patokan; g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 16

Prinsip yang dianut dalam pembayaran Bea Masuk adalah asas perhitungan sendiri (self assessment). Namun, Pejabat Bea dan Cukai tetap diberi wewenang untuk meneliti dan menetapkan tarif dan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk yang tersebut dalam Pemberitahuan Pabean yang diserahkan importir.
Penetapan tarif dapat diberikan sebelum atau sesudah Pemberitahuan Pabean atas impor diserahkan, sedangkan penetapan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk hanya dapat diberikan setelah Pemberitahuan Pabean diserahkan.
Pengertian "dapat" dalam pasal ini dimaksudkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif dan nilai pabean hanya dalam hal tarif dan nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean barang yang sebenarnya sehingga : a. Bea Masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih tinggi; b. Bea Masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih rendah.
Dalam hal pemberitahuan kedapatan sesuai atau benar, pemberitahuan diterima dan dianggap telah dilakukan penetapan oleh Pejabat Bea dan Cukai. Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan nilai pabean untuk pemberitahuan Bea Masuk setelah pemeriksaan fisik, tetapi sebelum diserahkan Pemberitahuan Pabean, misalnya untuk barang penumpang.
Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, jika Pemberitahuan Pabean susah didaftarkan, penetapan harus sudah diberikan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal pendaftaran. Batas waktu tiga puluh hari dianggap cukup bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan penetapan.

Pasal 17

Ayat (1)
Pada dasarnya penetapan Pejabat Bea dan Cukai sudah mengikat dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil pemeriksaan ulang atas Pemberitahuan Pabean atau Dokumen Pelengkap Pabean menunjukkan adanya kekurangan atau kelebihan pembayaran Bea dan Masuk, untuk mengamankan penerimaan negara atau menjamin hak pengguna jasa, Direktur Jenderal dapat membuat penetapan baru.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18

Yang dimaksud dengan "harga ekspor" adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke Daerah Pabean Indonesia. Dalam hal diketahui adanya hubungan antara importir dan eksportir atau pihak ketiga, atau karena alasan tertentu harga ekspor diragukan kebenarannya, harga ekspor ditetapkan berdasarkan : a. harga dari barang impor dimaksud yang dijual kembali untuk pertama kali kepada pembeli yang bebas; atau b. harga yang wajar, dalam hal tidak terdapat penjualan kembali kepada pembeli yang bebas atau tidak dijual kembali dalam kondisi seperti pada waktu diimpor.
Yang dimaksud dengan "nilai normal" adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.
Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan : a. harga tinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga; atau b. harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value).
Yang dimaksud dengan "barang sejenis" adalah barang yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor dimaksud atau barang yang memiliki karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi menyerupai barang impor dimaksud.

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "subsidi" adalah : Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan Pemerintah baik langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri, atau eksportir; atau setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan Ekspor atau menurunkan Impor dari atau ke negara yang bersangkutan.

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Pada dasarnya barang dari luar Daerah Pabean sejak memasuki Daerah Pabean sudah terutang Bea Masuk. Namun, mengingat barang tersebut tidak diimpor untuk dipakai, barang tersebut tidak dipungut Bea Masuk.

Pasal 25

Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam pasal ini adalah pembebasan yang bersifat mutlak, dalam arti jika persyaratan yang diatur dalam pasal ini dipenuhi, barang yang diimpor tersebut diberi pembebasan.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembebasan Bea Masuk" adalah peniadaan pembayaran Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya" adalah barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia. Pembebasan tersebut diberikan apabila negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama terhadap diplomat Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya" adalah milik atau untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor Indonesia.
Huruf c
Pembebasan Bea Masuk yang diberikan berdasarkan huruf ini merupakan fasilitas untuk menghilangkan beban yang dipikul oleh importir produsen yang akan memberikan nilai tambah terhadap barang atau bahan impor dimaksud dengan cara mengolah, merakit, atau memasangnya pada barang lain, kemudian mengekspor barang jadinya.
Huruf d
Pembebasan Bea Masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait terhadap buku-buku yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Huruf e
Yang dimaksud "barang untuk keperluan ibadah umum" adalah barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia.
Yang dimaksud dengan "barang keperluan amal dan sosial" adalah barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan amal/sosial dan tidak mengandung unsur komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan wabah penyakit.
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan kebudayaan" adalah barang yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antarnegara. Pembebasan Bea Masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan" adalah barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembebasan Bea Masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari departemen terkait.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Yang dimaksud dengan "barang contoh" adalah barang yang diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Yang dimaksud dengan "barang pindahan" adalah barang-barang keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.
Huruf n
Yang dimaksud dengan "barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas" adalah barang-barang yang dibawa oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3), sedangkan barang kiriman adalah barang yang dikirim adalah barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 26

Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam pasal ini adalah pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu, sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau hanya keringanan Bea Masuk.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keringanan Bea Masuk" adalah pengurangan sebagian pembayaran Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri adalah setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri.
Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan (diversifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau pabrik yang telah ada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "barang dan bahan" ialah semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam keputusan pelaksanaannya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bibit dan benih" ialah segala jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan nyata-nyata untuk dikembangbiakkan lebih lanjut dalam rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "hasil laut" ialah semua jenis tumbuhan laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau sudah diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan "sarana penangkap" ialah satu atau sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang mempunyai peralatan pengolahan.
Yang dimaksud dengan "sarana penangkap yang telah mendapat izin" adalah sarana penangkap yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang telah memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan atau pengambilan hasil laut.
Huruf f
Pembebasan Bea Masuk dapat diberikan atas impor barang yang sebelumnya diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, atau pengajuan di luar negeri.
Yang dimaksud dengan "perbaikan" adalah penanganan barang yang rusak, usang, atau tua dengan mengembalikannya pada keadaan semula tanpa mengubah sifat hakikinya.
Yang dimaksud dengan "pengerjaan" adalah penanganan barang, selain perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah sifat hakikinya.
Pengajuan meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah dan biaya perbaikan tetap dikenakan Bea Masuk
Huruf g
Pembebasan Bea Masuk dapat diberikan terhadap barang setelah diekspor, diimpor kembali tanpa mengalami suatu proses pengerjaan atau penyempurnaan apa pun, seperti barang yang dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan pameran, pertunjukan, atau perlombaan.
Terhadap barang lain yang diekspor untuk kemudian karena suatu hal, diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan ketentuan segala fasilitas yang pernah diterimanya dikembalikan.
Huruf h
Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya perubahan kondisi barang sebelum barang diterima oleh pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip pemungutan Bea Masuk dalam Undang-undang ini diterapkan atas semua barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi perubahan kondisi (kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena sebab alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan, wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut Bea Masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat kapan terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, adalah antara waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor untuk dipakai.
Huruf i
Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan adalah : 1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah manusia serta derivatifnya (turunannya) seperti darah seluruhnya, plasma kering, albumin, gamaglobulin, fibrinogen, serta organ tubuh; 2) bahan pengelompokan darah yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh- tumbuhan, atau sumber lain; 3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh- tumbuhan, atau sumber lain;
Huruf j
Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum.
Huruf k
Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang tersebut diberi pembebasan atau keringanan Bea Masuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Huruf a
Kesalahan tata usaha antara lain adalah kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sebab tertentu" pada ayat ini adalah bahwa hal tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukkan ke dalam Daerah Pabean sehingga harus diekspor kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dalam kondisi yang sama.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28

Undang-undang ini memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan Pemberitahuan Pabean, buku cacatan pabean, dan dokumen pelengkap pabean, misalnya bentuk pemberitahuan Pabean dan dokumen pelengkap pabean dapat ditetapkan baik berupa tulisan di atas formulir, disket, maupun hubungan langsung antar komputer tanpa menggunakan kertas.
contoh Pemberitahuan Pabean adalah :
a. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
b. pemberitahuan impor untuk dipakai;
c. pemberitahuan impor sementara;
d. pemberitahuan pemindahan barang dari Kawasan Pabean ke Tempat Penimbunan Berikat;
e. pemberitahuan pemindahan barang dari suatu Kantor Pabean ke Kantor Pabean lain dalam Daerah Pabean;
f. pemberitahuan ekspor barang.
Yang dimaksud dengan "buku catatan pabean" adalah buku daftar atau formulir yang digunakan untuk mencatat Pemberitahuan Pabean dan kegiatan Kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.
Buku catatan pabean, antara lain adalah daftar untuk mencatat :
a. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
b. pemberitahuan impor untuk dipakai;
c. pemberitahuan ekspor barang;
d. barang yang dianggap tidak dikuasai;
e. barang yang akan dilelang.
Yang dimaksud dengan "dokumen pelengkap pabean" adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap Pemberitahuan Pabean, misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest".

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada dasarnya Undang-undang ini menganut prinsip bahwa semua pemilik barang dapat menyelesaikan Kewajiban Pabean. Mengingat tidak semua pemilik barang mengetahui atau menguasai ketentuan tata laksana Kepabeanan atau karena suatu hal tidak dapat menyelesaikan sendiri Kewajiban Pabean, ayat ini memberi kemungkinan pemberian kuasa penyelesaian Kewajiban Pabean kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang terdaftar di Kantor Pabean.
Pengusaha semacam ini sebelumnya telah ada dan di dalam praktik sehari-hari dikenal dengan nama Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara atau Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMKU/EMPU), atau pengusaha Jasa Transportasi.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Bea Masuk atas barang impor merupakan tanggung jawab importir yang bersangkutan, kecuali jika pengurusan pemberitahuan impor dikuasakan kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan dan importir tidak ditemukan, misalnya melarikan diri, maka tanggung jawab atas Bea Masuk beralih ke pengusaha jasa kepabeanan.
Yang dimaksud dengan "pengusaha pengurusan jasa kepabeanan" adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan Kewajiban Pabean untuk dan atas nama pemilik barang.

Pasal 32

Ayat (1)
Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas Bea Masuk barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang ini, importir baru dinyatakan bertanggung jawab atas Bea Masuk sejak didaftarkannya Pemberitahuan Pabean. Dengan Demikian, sebelum didaftarkannya Pemberitahuan Pabean, tanggung jawab atas Bea Masuk berada pada pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, yaitu tempat penimbunan barang impor yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila barang impor yang harus dilunasi Bea Masuknya terdiri dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang), sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui, sebagai dasar perhitungan Bea Masuk, diambil tarif tertinggi yang berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)
Pembebasan atau kekeringan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 pada hakikatnya tidak membebaskan importir dari tanggung jawab Bea Masuk yang harus dilunasi, karena pembebasan atau kekeringan tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan secara limitatif pada saat fasilitas tersebut diberikan. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa fasilitas tersebut pada suatu saat digunakan tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan.
Karena prinsip pengenaan Bea Masuk melekat erat pada barang impor, untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan fasilitas yang telah diberikan sehingga syarat yang telah ditetapkan tidak lagi dipenuhi, Undang-undang ini menegaskan letak tanggung jawab atas Bea Masuk yang terutang berada pada orang yang mendapatkan pembebasan atau kekeringan atau yang menguasai barang tersebut.
Tujuan perluasan tanggung jawab atas Bea Masuk dalam Undang-undang ini adalah untuk menjamin hak-hak negara.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 35

Pasal-pasal terdahulu dalam bagian ini telah menegaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap Bea Masuk atas barang impor. Pasal ini juga menegaskan siapa yang bertanggung jawab atas Bea Masuk barang impor yang kedapatan di bawah penguasaan seseorang yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal-pasal tersebut di atas.
Dalam keadaan demikian dapat saja mereka merupakan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau siapa pun yang kedapatan menguasai barang impor di tempat kedatangan sarana pengangkut atau di tempat-tempat tertentu di daerah perbatasan yang ditunjuk.
Yang dimaksud dengan "tempat tertentu di daerah perbatasan yang ditunjuk" adalah suatu tempat di daerah perbatasan yang merupakan bagian dari jalan perairan daratan atau jalan darat di perbatasan yang ditunjuk sebagai tempat lintas batas (point of entry).

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)
Kewajiban membayar menurut pasal ini sepanjang mengenai Bea Masuk timbul sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean mengenai impor barang dan sepanjang mengenai denda timbul sejak diterimanya surat pemberitahuan oleh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penundaan" dalam ayat ini adalah pemberian perpanjangan jangka waktu pelunasan Bea Masuk dan denda administrasi sampai batas waktu yang ditetapkan.
Perpanjangan jangka waktu pembayaran ini diberikan dengan pertimbangan bahwa pihak yang terutang menunjukkan itikat baik untuk menyelesaikan utangnya, tetapi pada waktu yang ditentukan belum dapat dilunasinya sehingga perlu diberikan penundaan pelunasan utang.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tujuan tempo" adalah : a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang lihat Pasal 37 ayat (1); b. dalam hal tagihan pihak yang terpiutang kepada negara adalah tiga puluh hari sejak tanggal keputusan adanya tagihan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferensi yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik yang terutang. Setelah tagihan pabean dilunasi, baru diselesaikan pembayaran kepada pihak-pihak lainnya.
Maksud ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari pihak-pihak lainnya atas harta milik yang berutang untuk melunasi tagihan pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1)
Hak menagih atas utang berdasarkan pasal ini berlaku, baik untuk tagihan negara yang terutang maupun tagihan pihak yang berpiutang kepada negara.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 41

Utang yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, penagihannya diserahkan kepada instansi pemerintah yang mengurusi penagihan piutang negara.

Pasal 42

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "jaminan yang dapat digunakan terus-menerus" adalah jaminan yang diserahkan dalam bentuk dan jumlah tertentu dan dapat digunakan dengan cara : 1. jaminan yang diserahkan dapat dikurangi setiap ada pelunasan Bea Masuk sampai jaminan tersebut habis; atau 2. jaminan tetap dalam batas waktu yang tidak terbatas sehingga setiap pelunasan Bea Masuk dilakukan dengan tanpa mengurangi jaminan yang diserahkan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Jaminan lainnya dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kemungkinan diserahkannya jaminan selain yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf c.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Mengingat penyediaan Tempat Penimbunan Sementara dimaksudkan untuk menimbun barang untuk sementara waktu, perlu adanya pembatasan jangka waktu penimbunan barang-barang didalamnya.
Jangka waktu tiga puluh hari yang disediakan dianggap cukup untuk memberi kesempatan kepada yang berkepentingan agar segera mengeluarkan barangnya dari Tempat Penimbunan Sementara juga agar tidak mengganggu kelancaran arus barang di pelabuhan (kongesti).
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor wajib Bea Masuk yang hilang dari Tempat Penimbunan Sementara, disamping adanya kewajiban membayar Bea Masuk yang terutang, kepada pengusaha Tempat Penimbunan Sementara juga dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 44

Tujuan pengadaan Tempat Penimbunan Berikat dalam Undang-undang ini adalah untuk memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa penangguhan pembayaran Bea Masuk serta dapat melakukan kegiatan penyimpanan, menimbun, memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengolah barang yang berasal dari luar Daerah Pabean tanpa lebih dahulu dipungut Bea Masuknya.
Dengan adanya Tempat Penimbunan Berikat ini, akan dapat dijamin adanya kelancaran arus barang dalam kegiatan Impor atau Ekspor serta peningkatan produksi dalam negeri dalam rangka pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional.
Yang dimaksud dengan "penangguhan" adalah peniadaan sementara kewajiban pembayaran Bea Masuk sampai timbul kewajiban untuk membayar Bea Masuk berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "pengusaha Tempat Penimbunan Berikat" adalah orang yang nyata-nyata melakukan kegiatan usaha menimbun, mengolah, memamerkan, atau menjual barang di Tempat Penimbunan Berikat.
Yang dimaksud dengan "penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat" adalah orang yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan Tempat Penimbunan Berikat di suatu tempat, bangunan, atau kawasan. Dalam hal tertentu, penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat dapat juga berfungsi sebagai pengusaha Tempat Penimbunan Berikat apabila penyelenggaraan Tempat Penimbunan Berikat hanya diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh penyelenggara Tempat Penimbunan Berikat.

Pasal 45

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tarif yang dipergunakan untuk menghitung Bea Masuk atas barang yang dikeluarkan dari tempat Penimbunan Berikat ke peredaran bebas adalah tarif yang berlaku pada saat tersebut dikeluarkan. Sedangkan nilai pabean yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan Bea Masuk adalah nilai pabean dari barang pada saat barang tersebut dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat.
Apabila dasar perhitungan Bea Masuk diberitahukan dalam mata usang asing, kurs yang dipergunakan adalah kurs yang berlaku pada saat barang dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat.
Ayat (3)
Meskipun pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan dengan tanpa maksud untuk menggelakkan pembayaran Bea Masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan Bea Masuknya telah dilunasi, tetapi pengeluarannya dilakukan tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai, maka atas pelanggaran tersebut si pelanggar dikenai sanksi administrasi.
Ayat (4)
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor yang wajib Bea Masuk yang hilang dari Tempat Penimbunan Berikat, disamping adanya kewajiban membayar Bea Masuk yang terutang, kepada pengusaha Tempat Penimbunan Berikat juga dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 46

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan"izin Tempat Penimbunan Berikat dibekukan" adalah bahwa Tempat Penimbunan Berikat tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan sampai diterbitkannya keputusan pemberlakuan kembali izin dimaksud. Pembekuan izin ini merupakan tindak lanjut dari hasil audit Pejabat Bea dan Cukai terhadap Tempat Penimbunan Berikat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan menyimpan catatan serta surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor diperlukan untuk pelaksanaan audit di bidang Kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari Kawasan Pabean. Audit di bidang Kepabeanan dilakukan dalam rangka mengamankan hak-hak negara sebagai konsekuensi diberlakukannya sistem "self-assessment" dan pemeriksaan barang secara selektif.
Yang dimaksud dengan "pengusaha pengangkutan" adalah orang yang menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana pengangkut di darat, laut, atau udara.

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Buku, catatan, dan surat-menyurat yang berhubungan dengan kegiatan usaha Impor atau Ekspor harus disimpan selama sepuluh tahun, sehingga apabila dalam batas waktu tersebut diketahui terdapat pelanggaran terhadap Undang-undang ini, buku, catatan, dan surat-menyurat yang diperlukan masih tetap tersedia. Keharusan kurun waktu sepuluh tahun penyimpanan buku, catatan, dan surat-menyurat tersebut adalah taat asas (konsisten) dengan ketentuan Pasal 111 mengenai kedaluwarsanya tuntutan pidana di bidang Kepabeanan.

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)
Pada hakikatnya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan larangan dan pembatasan atas impor atau ekspor barang tertentu tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan atau pembatasan pada saat pemasukan atau pengeluaran barang ke atau dari Daerah Pabean.
Sesuai dengan praktek kepabeanan internasional, pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar dari Daerah Pabean dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak memenuhi syarat dalam ayat ini adalah barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean dalam pasal ini dapat berupa pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai, dan pemberitahuan ekspor barang.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku" adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang, misalnya impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.

Pasal 54

Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi Kawasan Pabean, yaitu tempat kegiatan Impor atau Ekspor tersebut berlangsung.
Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa Kawasan Pabean dalam Daerah Pabean Indonesia, permintaan perintah tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi Kawasan Pabean pertama, yaitu tempat impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal Ekspor dilakukan dari beberapa Kawasan Pabean, permintaan tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi Kawasan Pabean pertama, yaitu tempat Ekspor berlangsung.

Pasal 55

Kelengkapan bahan-bahan seperti tersebut dalam huruf a sampai dengan huruf d sangat penting dan karena itu kelengkapannya bersifat mutlak. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan penggunaan ketentuan ini dalam praktik dagangan yang justru bertentangan dengan tujuan pengaturan untuk mengurangi atau meniadakan perdagangan barang-barang hasil pelanggaran merek dan hak cipta.
Praktik dagang serupa itu, yang kadang kala dilakukan sebagai cara melemahkan atau melumpuhkan pesaing, pada akhirnya tidak menguntungkan bagi perekonomian pada umumnya. Oleh karena itu, keberadaan jaminan yang cukup nilainya memiliki arti penting setidaknya karena tiga hal. Pertama, melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu. Kedua, mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak. Ketiga, melindungi Pejabat Bea dan Cukai dari kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi karena dilaksanakannya perintah penangguhan.

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1)
Jangka waktu sepuluh hari kerja tersebut merupakan jangka waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegahan kemungkinan penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1)
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga telah dilanggar.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai.
Ayat (2)
Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor atau ekspor tersebut. dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau mencacah barang-barang yang dimintakan penangguhan.

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak.

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Tindakan karena jabatan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup. Tujuannya untuk mencegah peredaran barang-barang yang merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Dalam hal diambil tindakan serupa ini, berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Merek atau Undang-undang tentang Hak Cipta.

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1)
Dengan tetap memperhatikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, penerapan ketentuan dalam pasal 54 sampai dengan Pasal 63 terhadap hak atas kekayaan intelektual, selain menyangkut merek dan hak cipta, dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan pengelolaan sistem atas kekayaan intelektual.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sepanjang belum dilelang" adalah dua hari kerja sebelum tanggal pelelangan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan barang : 1) yang sifatnya tidak tahan lama, antara lain barang yang cepat busuk misalnya buah segara dan sayur segar; 2) yang sifatnya merusak adalah barang yang dapat merusak atau mencemari barang lainnya, misalnya asam sulfat dan belerang; 3) yang berbahaya adalah barang yang antara lain mudah terbakar, meledak, atau membahayakan kesehatan; 4) yang memerlukan biaya tinggi adalah barang yang pengurusannya memerlukan perlakukan khusus, misalnya binatang hidup dan barang yang harus disimpan dalam ruangan pendingin.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 67

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lelang umum" adalah penjualan barang yang dilakukan melalui kantor lelang negara.
Ayat (2)
Sisa yang disediakan untuk pemiliknya adalah hasil lelang tersebut setelah dikurangi Bea Masuk dan pajak yang terutang menurut Undang-undang ini serta biaya, antara lain sewa gudang, upah buruh, ongkos angkut, dan biaya pelelangan. Sisa hasil lelang tersebut tetap merupakan hak si pemilik barang yang dapat diambilnya dalam jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan Pasal ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud "harga terendah" adalah serendah-rendahnya yang ditetapkan oleh Menteri yang terdiri dari Bea Masuk, pajak yang terutang menurut Undang-undang ini, sewa gudang, dan biaya lain, misalnya upah buruh dan ongkos angkut yang harus dicapai dalam pelelangan umum.

Pasal 68

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "barang yang dikuasai negara" adalah barang yang untuk sementara waktu penguasaannya berada pada negara sampai dapat ditentukan status barang yang sebenarnya. Perubahan status ini dimaksudkan agar Pejabat Bea dan Cukai dapat memproses barang tersebut secara administrasi sampai dapat dibuktikan bahwa telah terjadi kesalahan atau sama sekali tidak terjadi kesalahan, sehingga masalah kepabeanannya dapat diselesaikan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Huruf a
Barang yang dikuasai negara pada huruf a ini adalah barang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan dilarang dan/atau dibatasi untuk diimpor dan tidak diberitahukan secara tidak benar, kecuali jika peraturan yang melarang dan/atau membatasinya menentukan penyelesaian lain atas barang tersebut.
Huruf b
Barang yang dikuasai negara pada huruf b ini adalah barang impor atau ekspor yang ditunda pengeluarannya, pemuatannya atau pengangkutannya atau sarana pengangkutan yang ditunda keberangkatannya oleh Pejabat Bea dan Cukai guna pemenuhan Kewajiban Pabean berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Sarana pengangkut yang ditinggalkan biasanya adalah sarana pengangkut yang kepastiannya kecil seperti motor boat yang digunakan untuk mengangkut barang yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis adalah pemberitahuan yang diberikan secara tertulis kepada pemilik atau kuasanya yang menyatakan bahwa barang atau sarana pengangkut miliknya berada dalam penguasaan negara dan pemilik atau kuasanya diminta untuk menyelesaikan Kewajiban Pabeannya.
Pengumuman yang dilakukan adalah pengumuman yang ditempelkan pada papan pengumuman yang terdapat di Kantor-kantor Pabean atau diumumkan melalui media massa seperti surat kabar.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Ayat (1)
Dalam ayat ini secara tegas ditetapkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai untuk menyelesaikan pekerjaan yang termasuk wewenangnya dalam rangka mengamankan hak-hak negara, dapat menggunakan segala upaya terhadap orang atau barang, termasuk di dalamnya binatang untuk dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang ini.
Jika perlu dapat digunakan berbagai upaya untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa di bidang Kepabeanan yang diduga sebagai tindak pidana Kepabeanan guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut Undang-undang ini.
Ayat (2)
Penggunaan senjata api sangat dibatasi mengingat besarnya bahaya bagi keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, syarat-syarat penggunaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 75

Ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, Pejabat Bea dan Cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal atau seperti pengawasan lainnya seperti radio telekomunikasi atau radar.
Yang dimaksud dengan "kapal patroli" adalah kapal laut dan kapal milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dipimpin oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagai komando patroli, yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di Daerah Pabean sesuai dengan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Mengingat dalam penggunaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ada kemungkinan menghadapi bahaya yang mengancam jiwa atau keselamatan Pejabat Bea dan Cukai dan kapal patroli, maka dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, kapal patroli dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan/atau jumlahnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun angkatan bersenjata bila diminta berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau memerintahkan untuk melindungi Pejabat Bea dan Cukai dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagimana dimaksud di atas adalah sehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77

Ayat (1)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan tugas administrasi Kepabeanan berdasarkan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "menengah barang" adalah tindakan administrasi untuk menunda pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor atau ekspor sampai dipenuhinya Kewajiban Pabean.
Yang dimaksud dengan "menegah sarana pengangkut" adalah tindakan untuk mencegah keberangkatan sarana pengangkut.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 78

Wewenang Pejabat Bea dan Cukai yang diatur dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara karena tidak diperlukan adanya penjagaan/pengawalan secara terus-menerus oleh Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 79

Pasal ini memuat ketentuan mengenai wewenang Menteri untuk menetapkan bahwa penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman sebagai pengganti segel yang dilakukan oleh pihak pabean di luar negeri atau pihak lain, dapat diterima.
Dapat diterima mengandung pengertian bahwa penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman tersebut dianggap telah disegel atau dibubuhkan di dalam negeri berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Kemudahan demikian sudah tentu membantu kelancaran perdagangan Indonesia dengan pihak luar negeri.
Apabila menurut pertimbangan Menteri, penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman yang telah dilakukan tersebut dianggap tidak cukup atau kurang aman, penyegelan atau pembubuhan tanda pengaman tidak dapat diterima.

Pasal 80

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1)
Penempatan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dilaksanakan apabila pengamanan dalam bentuk penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tidak dapat dilakukan atau apabila atas pertimbangan tertentu, tindakan penjagaan oleh Pejabat Bea dan Cukai merupakan tindakan yang lebih tepat.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini memberikan kewajiban kepada pengangkut atau pengusaha yang bersangkutan untuk memberikan bantuan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditugaskan, karena di tempat tersebut tidak tersedia akomodasi, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, antara lain berupa tempat atau ruang kerja, akomodasi, serta makanan dan minuman yang cukup.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 82

Ayat (1)
Ayat ini memberikan wewenang kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan penilaian yang tepat pemberitahuan atau dokumen yang diajukan, Pemeriksaan terhadap barang ekspor hanya dapat dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
Pemeriksaan dilakukan secara selektif sesuai dengan tata cara yang diatur oleh Menteri. Hasil pemeriksaan tersebut merupakan salah satu dasar yang digunakan untuk perhitungan Bea Masuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 83

Rahasia surat yang dipercayakan kepada Pos atau perusahaan pengangkutan umum yang ditunjuknya tidak dapat diganggu gugat, kecuali dalam hal yang diuraikan dalam Undang-undang ini.
Dalam praktik menunjukkan bahwa tidak jarang barang yang kecil ukurannya dikirimkan dalam surat. Sehubungan dengan itu, surat yang mungkin berisi barang harus dapat pula dibuka untuk keperluan pemeriksaan.
Walaupun dapat dipertanggungjawabkan bahwa pembukaan surat itu untuk keperluan pemeriksaan barang di dalamnya tanpa membaca isinya dan tidak bertentangan dengan rahasia pos, pembukaan surat tersebut harus dilakukan bersama di alamat.
Dalam hal di alamat tidak ditemukan, disyaratkan adanya surat perintah dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan dilakukan bersama-sama petugas pos.
Yang dimaksud dengan "si alamat" adalah penerima surat dalam hal Impor atau pengirim dalam hal Ekspor.

Pasal 84

Ayat (1)
Ayat ini memberikan kewenangan kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk meminta kepada Importir atau eksportir untuk : a. menyerahkan buku, catatan, dan surat menyurat yang berkaitan dengan : 1. pembelian; 2. penjualan; 3. impor; 4. ekspor; 5. persediaan; atau 6. pengiriman barang yang bersangkutan. b. menyerahkan contoh barang untuk tujuan pemeriksaan pemberitahuan.
Atas penyerahan yang dilakukan oleh importir atau eksportir sebagaimana dimaksud di atas, diberikan tanda bukti penerimaan oleh Pejabat Bea dan Cukai. Dalam hal permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi Pejabat Bea dan Cukai akan melakukan penetapan tarif dan/atau nilai pabean berdasarkan data yang ada, dan mungkin akan mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan.
Segera setelah penelitian selesai, buku, catatan, surat menyurat, dan/atau contoh barang dikembalikan kepada pemiliknya.

Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Untuk memperlancar arus barang, pemeriksaan barang di Kawasan Pabean diupayakan seminimal mungkin dengan menggunakan metode selektif.
Untuk menjamin kebenaran Pemberitahuan Pabean dalam rangka mengamankan hak-hak negara dilakukan audit di bidang Kepabeanan setelah barang keluar dari Kawasan Pabean.
Audit di Bidang Kepabeanan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap pembukuan, catatan, surat menyurat, serta sediaan barang yang bertalian dengan Impor atau Ekspor.

Pasal 87

Ayat (1)
Dilihat dari segi kepentingan pengamanan hak-hak negara, perlu dilakukan pengawasan terhadap barang, baik yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara, di dalam Tempat Penimbunan Berikat atau di tempat usaha lain yang barangnya memperoleh pembebasan, keringanan, atau penangguhan Bea Masuk maupun di tempat yang mempunyai sediaan barang yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan.
Dalam rangka pengawasan tersebut d atas, ketentuan ini mengatur mengenai kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap bangunan dan tempat lain yang telah diberi izin pengoperasian berdasarkan pemberitahuan atau dokumen pabean terdapat barang wajib bea atau barang yang dikenai peraturan larangan atau pembatasan.
Ayat (2)
Mengingat pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh Pejabat Bea dan Cukai ada kemungkinan barang oleh yang bersangkutan telah dipindahkan ke bangunan atau tempat lain yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan bangunan atau tempat lain yang sedang dilakukan pemeriksaan, maka ditetapkan ketentuan ini.
Berhubungan langsung dalam ayat ini dimaksudkan adalah hubungan secara fisik, sedangkan berhubungan tidak langsung adalah hubungan yang secara fisik tidak berhubungan secara langsung, tidak secara operasional saling berhubungan. Dengan demikian, dapat dicegah usaha untuk menghindari pemeriksaan atau menyembunyikan barang.

Pasal 88

Ayat (1)
Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang dimaksud dalam ayat ini adalah bangunan dalam Undang-undang ini, misalnya bangunan yang didirikan khusus untuk menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-undang ini.
Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang yang wajib Bea Masuk maupun yang dikenai peraturan larangan dan pembatasan, Direktur dapat memerintahkan Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 89

Ayat (1)
Sebagai syarat untuk melakukan pemeriksaan, Pejabat Bea dan Cukai harus memiliki surat perintah dari Direktur Jenderal untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Dalam pelaksanaannya, penerbitan surat perintah oleh Direktur Jenderal dapat didelegasikan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 90

Ayat (1)
Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai terhadap sarana pengangkutan bertujuan untuk menjamin hak-hak negara dan dipatuhinya peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana pengangkut serta barang diatasnya hanya dilakukan secara selektif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam melaksanakan pengawasan atas sarana pengangkut yang melakukan pembongkaran barang impor, Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang dibongkar berdasarkan peraturan perudang-undangan yang berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah Pebean.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 91

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "isyarat" adalah tanda-tanda yang diberikan kepada nakhoda atau pengangkut, berupa isyarat tangan, isyarat bunyi, isyarat lampu, radio, dan sebagainya yang lazim dipergunakan sebagai isyarat untuk menghentikan sarana pengangkut.
Ayat (2)
Untuk menghindari kesewenangan-wenangan Pejabat Bea dan Cukai, biaya yang timbul akibat pemeriksaan tersebut dibebankan kepada yang bersalah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dokumen pengangkutan" adalah semua dokumen yang diisyaratkan baik oleh ketentuan pengangkutan nasional maupun internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 92

Ayat (1)
Mengingat bahwa beberapa barang yang sedemikian kecil ukurannya sehingga dapat disembunyikan di dalam badan atau pakaian yang dikenakan, Pejabat Bea dan Cukai perlu diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan badan. Pemeriksaan badan harus diusahakan sedemikian rupa sesuai dengan norma kesusilaan dan kesopanan. Oleh karena itu, pemeriksaannya harus dilakukan di tempat tertutup oleh orang yang sama jenis kelaminnya, serta dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 93

Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk mengajukan keberatan atas keputusan Pejabat Bea dan Cukai.
Waktu tiga puluh hari yang diberikan kepada pengguna jasa kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal. Dalam hal batas waktu tiga puluh hari tersebut dilewati, hak yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap disetujui.
Ayat (2)
Penetapan jangka waktu enam puluh hari Kepada Direktur Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan suatu keberatan yang diajukan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ditolak oleh Direktur Jenderal" adalah penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan sehingga penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai menjadi tetap.
Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan sebagian atas keberatan yang diajukan, yang seperti bahwa Direktur Jenderal menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil dari pada penetapan Pejabat bea dan Cukai tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 94

Cukup jelas

Pasal 95

Badan peradilan pajak yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus permohonan banding di bidang fiskal (perpajakan).
Dalam pengertian, pajak terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung antara lain berupa pajak penghasilan, sedangkan yang termasuk dalam pajak tidak langsung antara lain pajak pertambahan nilai, Bea Masuk, dan cukai.
Untuk itu badan peradilan pajak yang akan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 9 Tahun 1994 akan mengatur pula peradilan di bidang Bea Masuk dan Cukai. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi badan peradilan di bidang fiskal sehingga dapat dihindarkan adanya dua badan peradilan di bidang fiskal yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri.

Pasal 96

Ayat (1)
Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dibentuk, permohonan banding diajukan atau upaya untuk memperoleh keadilan di bidang Kepabeanan dan cukai dilakukan melalui suatu lembaga banding yang keputusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak dapat diajukan banding kepada Peradilan Tata Usaha Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 97

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Meskipun anggota Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai diangkat oleh Pemerintah, dalam memberikan keputusan atas permohonan banding, lembaga tersebut harus netral. Oleh karena itu susunan keanggotaannya tidak hanya terdiri dari kalangan Pemerintah, tetapi juga dari kalangan pengusaha swasta dan pakar. Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99

Ayat (1)
Persidangan majelis untuk memeriksa dan memutuskan suatu permohonan banding bersifat tertutup mengandung pengertian bahwa persidangan tersebut tidak terbuka untuk umum sehingga yang hadir dalam persidangan hanyalah anggota mejelis itu sendiri.
Untuk kepentingan pemeriksaan, majelis dapat meminta kehadiran pihak pemohon atau kuasanya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 100

Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai adalah Lembaga netral yang diharapkan dapat memberikan keputusan yang seobjektif mungkin. Oleh karena itu apabila dalam menyelesaikan atau memeriksa suatu permohonan banding ada anggota Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai yang mempunyai kepentingan pribadi dengan pemohon, anggota yang bersangkutan tidak boleh memeriksa permohonan banding tersebut dan harus mengundurkan diri dari keanggotaan majelis.
Untuk kepentingan pemeriksaan permohonan banding tersebut, Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai menunjuk anggota pengganti.
Kepentingan pribadi dalam pasal ini meliputi juga adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, dan hubungan suami istri, meskipun sudah cerai, antara anggota Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dan pemohon.
Anggota majelis yang mengundurkan diri harus diganti oleh anggota yang lain dari unsur yang sama.

Pasal 101

Cukup jelas

Pasal 102

Undang-undang ini telah mengatur atau menetapkan tata cara atau kewajiban yang harus dipenuhi apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang- undang ini diancam dengan pidana berdasarkan pasal ini dengan hukuman akumulatif berupa pidana penjara dan denda.
Yang dimaksud dengan "tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini" adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan Undang-undang ini. Dengan demikian, apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan ketentuan Undang-undang ini, walaupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal ini.

Pasal 103

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor, dapat terjadi hanya dalam hal yang bersangkutan telah mengajukan Pemberitahuan Pabean dan telah melakukan pembayaran namun mengelakkan pembayaran kekurangannya, tetapi juga karena sama sekali belum mengajukan Pemberitahuan Pabean dan belum membayar Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor.
Pungutan negara lainnya dalam rangka impor antara lain berupa cukai atas Barang Kena Cukai Impor dan Pajak Pertambahan Nilai atas barang kena pajak impor.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan di mana seseorang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102. Jika barang tersebut ditemukan sebagai hasil dari pemeriksaan buku atau informasi intelejen, penyidik dapat menyita barang tersebut sesuai dengan wewenang berdasarkan Pasal 112 ayat (2) huruf k.
Seseorang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bila terjadi, pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat dituntut.

Pasal 104

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan atau pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean, misalnya "invoice".

Pasal 105

Cukup jelas

Pasal 106

Cukup jelas

Pasal 107

Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang ini dalam melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir, yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan ancaman pidana terhadap importir atau eksportir.
Misalnya, jika pengusaha jasa kepabeanan memalsukan nilai pabean pada "invoice" yang diterima dari importir sehingga Pemberitahuan pabean yang diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah, pengusaha pengurusan jas kepabeanan dikenai ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf c.

Pasal 108

Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan tersebut di atas.
Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak pidana tersebut.
Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada badan- badan yang bersangkutan dan/atau pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut senantiasa berupa pidana denda.

Pasal 109

Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Penuntut Umum. namun, barang atau ekspor yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, berdasarkan Undang- undang ini menjadi milik negara yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 110

Cukup jelas

Pasal 111

Kadaluwarsa penuntutan tindak pidana di bidang Kepabeanan dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian hukum, baik kepada masyarakat usaha maupun penegak hukum.

Pasal 112

Cukup jelas

Pasal 113

Cukup jelas

Pasal 114

Ayat (1)
Pengenaan denda administrasi yang dihitung berdasarkan persentase Bea Masuk dirasa cukup memenuhi rasa keadilan karena besar kecilnya sanksi dapat diterapkan secara proporsional dengan berat ringannya pelanggaran yang dapat mengakibatkan kerugian negara. Namun, dalam era globalisasi ekonomi, kebijaksanaan umum di bidang tarif ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif sehingga akan terdapat beberapa jenis barang yang tarif Bea Masuknya nol persen.
Apabila demikian halnya, pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang dihitung berdasarkan persentase dari Bea Masuk tidak dapat lagi diterapkan secara proporsional, sedangkan pelanggaran yang timbul atas tidak dipenuhinya suatu ketentuan tetap harus diberikan sanksi. Oleh karena itu, pelanggaran ketentuan di bidang Kepabeanan yang dilakukan terhadap impor barang yang tarif atau tarif akhirnya nol persen, dikenai sanksi administrasi berdasarkan satuan jumlah dalam rupiah.
Ayat (2)
Penetapan penyesuaian besarnya sanksi administrasi dan besarnya bunga dengan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk mengantisipasi adanya perubahan nilai mata uang.

Pasal 115

Cukup jelas

Pasal 116

Huruf a
Meskipun peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian tagihan Bea Masuk dan pungutan impor lainnya, demikian pula tagihan pihak yang berpiutang kepada negara berupa kelebihan pembayaran Bea Masuk dan pungutan lain yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang lama, maka Undang-undang ini menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 1 April 1997.
Huruf b
Cukup jelas

Pasal 117

Cukup jelas

Pasal 118

Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Keterangan

Status
Perubahan:
Peraturan terkait
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 (31 Desember 1983)
Sejarah
Belum ada riwayat sejarah